“Dalam syarat nomor lima,” kata Sang Dewi
melanjutkan. “Disebutkan calon mempelai pria harus turun dari tandu dan mendatangi
tandu calon mempelai putri. Pada saat mempelai pria-Raja Pulebahas membuka
kelambu tandu calon mempelai wanita, karena terkejut, si Lutung Kasarung akan
marah. Apalagi yang mendatangi si Lutung, orang yang belum dikenal dan belum
pernah dilihatnya. Pasti si Lutung Kasarung akan meloncat menyerang pundak
Pulebahas, leher, dan bagian kepala lainnya. Pada saat itulah Kanda Kamandaka
yang menyamar sebagai Uwak Lengser harus siap untuk menghabisi Pulebahas yang
sedang diserang si Lutung,” kata Sang Dewi. Seperti biasa Sang Dewi kembali
diam sejenak.
“Aku lanjutkan lagi, ya,” kata Sang Dewi pula, “Untuk memenangkan perang, tidak ada jalan
lain bagi Kanda Kamandaka kecuali harus secepatnya menewaskan Pulebahas. Kita
anggap saja Kanda Kamandaka sukses secepat kilat menewaskan Pulebahas. Kanda
Kamandaka harus bergerak cepat memindahkan calon mempelai putri ke dalam tandu
calon mempelai putra. Pasukan sektor barat harus bergerak cepat melindungi
tandu pengantin pria yang sudah berisi calon mempelai wanita.”
“Pasukan sektor barat harus bisa menghalang-halangi agar serangan
Kanda Kamandaka kepada Pulebahas tidak terlihat pasukan dari selatan. Satu lagi
tugas berat dari pasukan sektor barat, yakni mengamankan 40 putri kembar
dibelakang tandu Raja-Pulebahas,” kata Sang Dewi.
“Empat puluh putri kembar itu besar
kemungkinan akan dipimpin oleh tiga prajurit wanita kembar Kerajaan
Nusakambangan. Tugas berat seluruh pasukan Pasirluhur-Dayeuhluhur, tidak boleh
ada satu pun dari 40 putri kembar dan tiga prajurit wanita yang mengawalnya itu jangan-sampai terluka,
cedera, apalagi sampai ada yang tewas” kata Sang Dewi mengingatkan pentingnya
mengamankan para gadis pengiring calon mempelai pria.
“Kanda Kamandaka juga harus cepat menugaskan
beberapa pasukan dari utara untuk mengangkat tandu dari Nusakambangan yang
sudah bersisi calon mempelai putri, agar bisa cepat bergerak ke arah utara.
Karena itu pasukan sektor utara harus memberi jalan untuk lewat tandu pengantin
dari Nusakambangan. Jika tandu pengantin begerak cepat ke utara otomatis
barisan putri kembar perawan suci yang mengawal tandu pengantin akan terbawa
bergerak ke utara. Setelah barisan para gadis kembar lewat semua, pasukan barat
menutup jalan bagi pasukan Nusakambangan yang ada dibelakang barisan gadis
pengawal pengantin.
“Penyelesaian akhir, menghadapi pasukan
Nusakambangan di sektor selatan. Tiga panglima mereka Puletembini, Surajaladri,
dan Singalaut, menjadi tugas Dinda Wirapati, Dinda Silihwarna dan Dinda Arya
Baribin untuk melumpuhkannya mereka. Demikian gambaran rencana operasi memenangkan
perang. Jika pasukan gabungan Pasirluhur-Dayeuhluhur memiliki disiplin yang
tinggi, dan terus menerus melakukan latihan, aku yakin, perang menaklukan
Kerajaan Nusakambangan akan dimenangkan gabungan prajurit
Pasirluhur-Dayeuhluhur,” kata Sang Dewi mengakhiri penjelasannya.
“Silahkan jika ada yang akan menanggapi.
Singkat saja, karena sebentar lagi malam akan segera tiba, dan Ki Patih sudah
mau istirahat,” kata Kanjeng Adipati.
Ki Patih yang kini wajahnya selalu cerah itu
tersenyum. Dia tahu Kanjeng Adipati mengira bahwa dirinya sudah mengantuk.
Padahal Ki Patih sedang terkagum-kagum pada uraian Sang Dewi yang sangat
menarik itu. “Ki Patih merasa semua yang dipaparkan Ananda Dewi sudah jelas dan
lengkap sekali. Tinggal menindaklanjuti saja. Yang tidak kalah pentingnya
menurut Paman adalah persiapan untuk
melatih parajurit. Masih ada waktu 120 hari. Paman rasa cukup waktu. Paman
usulkan, bila dapat disetujui, Pusat Komando Perang kelak dipusatkan di kadipaten
saja. Jadi nanti mulai dari Dewan Penasihat Perang, Panglima Tertinggi, dan
para Panglima Komandan Sektor berkumpul dan merancang strategi di sini. Kalau
di kepatihan, terlalu sempit,” kata Ki Patih.
Kanjeng Adipati mengangguk-anggukan kepalanya.Semua
yang hadir setuju dengan usul Ki Patih. Kanjeng Adipati mengucapkan terima
kasih kepada Ki Patih yang masih bisa menyumbangkan buah pikirannya. Pertemuan
pun memasuki tahap akhir. Kamandaka memberi isyarat pada Silihwarna untuk
berbicara sebelum pertemuan ditutup.
“Kanjeng Uwa Adipati, Kanjeng Ibu, Paman
Patih, dan Ayunda Dewi, karena pertemuan sudah selesai, maka kami berdua mohon
doa restu agar selamat pulang ke Pakuan untuk menyampaikan kabar gembira kepada
Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi. Rencananya kami akan berangkat besok
pagi. Jika tidak ada halangan dua puluh hari lagi, kami berdua akan kembali
lagi ke sini,” kata Silihwarna memohon ijin untuk kembali ke Pakuan Pajajaran
esok paginya.
“Selamat jalan Raden, semoga selamat
diperjalanan. Salam dari kami semua untuk Sri Baginda Prabu Siliwangi, semoga
selalu selamat dan sejahtera,” kata Kanjeng Adipati sambil menutup pertemuan
sore hari itu.
Malam itu
Kamandaka duduk di teras kamar Sang Dewi sambil memandang bulan tanggal empat
belas yang berpendaran di langit malam. Awan putih tipis bergerak perlahan
mengiringinya. Sang Dewi duduk di sampingnya membicarakan banyak hal sambil
melepas rindu. Khandegwilis sibuk menyiapkan makanan kecil dan minuman.
Sebelumnya Khandegwilis dan Rekajaya duduk di
lantai ikut berbincang-bincang menemani Kamandaka dan Sang Dewi. Tetapi Sang
Dewi kemudian menyuruh Khandegwilis menyiapkan minuman dan makanan kecil untuk
Raden Kamanda. Karena Khandegwilis meninggalkan Ndara Putrinya, Rakajaya
ikut-ikutan berdiri dan pamit dengan alasan ingin berbincang-bincang menemani
Silihwarna yang sendirian di tempat penginapan kamar tamu kadipaten yang ada di
depan.
Tetapi sebenarnya baik Khandegwilis maupun
Rekajaya, tahu maksud sebenarnya perintah Sang Dewi. Sang Dewi ingin berbincang-bincang
dengan Kamandaka berdua saja. Itulah sebabnya Rekajaya cepat-cepat berdiri pula
dengan mencari dalih untuk meninggalkan bendaranya itu. Setelah kedua
pembantunya itu pergi, perbincangan Sang Dewi dengan Kamandaka sampai pada
Arya Baribin.
“Nanti Dinda akan aku kenalkan dengan Dimas
Arya Baribin. Tadi pagi sempat bertemu. Dia sudah tahu kalau aku besok akan
pulang ke Pakuan. Dia titip salam untuk Dinda Ratna Pamekas.”
“Bagus sekali, kalau kelak hubungan keduanya
terus berlanjut. Setidak-tidaknya akan
menyatukan trah Majapahit dengan trah Pajajaran,” kata Sang Dewi.
“Memang aku akan mengarahkannya ke sana.
Apalagi Dimas Arya Baribin sudah mengatakan kepadaku niatnya ingin berbakti
kepada Kerajaan Pajajaran dan Pasirluhur. Itu sebabnya aku usulkan dalam rapat
agar dia ditetapkan sebagai panglima komandan sektor timur.”
“Kalau Dinda Silihwarna, apakah sudah punya
calon istri, atau belum?” tanya Sang
Dewi.
“Dinda Silihwarna
itu pemuda yang malang. Cita-citanya ingin jadi brahmacharin. Dia pergi ke
Padepokan Megamendung. Selama lima tahun melatih diri dengan menjauhi wanita.
Nyatanya dia telah gagal. Eh, Tahu-tahu dia menyusulku,” kata Kamandaka
menjelaskan tentang adik kandung satu-satunya, Silihwarna. “Sampai sekarang
satu-satunya Adik kandungku yang malang itu, tidak punya teman wanita.”
“Kasihan juga,
Dinda Silihwarna,” kata Sang Dewi
memberi komentar.
“Ya, itulah masalah yang belum terpecahkan. Aku
dengar-dengar, Kanjeng Rama Adipati mau menjodohkan Dinda Silihwarna dengan
putri Adipati Dayeuhluhur, Dyah Ayu Mayangsari. Dinda Dewi pernah dengar?”
“Lho, malah Kanda sudah tahu. Tetapi aku
setuju banget kok. Dinda Mayangsari cantik. Dia adik sepupuku. Setahun lebih
muda dari aku. Mungkin seusia dengan Dinda Ratna Pamekas. Nanti kalau ketemu
Dinda Wirapati, akan aku sampaikan juga. Setiap tiga bulan Dinda Wirapati biasanya rutin menemui Kanjeng Rama.”
“Dengar-dengar, Dinda Wirapati sempat menaksir Dinda Dewi ?”
kata Kamandaka menggoda Sang Dewi.
“Apa? Coba Ulangi lagi!”
”Dengar-dengar, Dinda Wirapati sempat menaksir
Dinda Dewi?” kata Kamandaka mengulangi kalimatnya sekali lagi memenuhi
permintaan Sang Dewi. Mendengar kalimat itu, tiba-tiba Sang Dewi langsung mencubit paha Kamandaka
sekeras-kerasnya. Akibatnya Kamandaka menjerit kesakitan sambil memegangi bekas
cubitan Sang Dewi.
Khandegwilis yang sedang menyiapkan minuman di
dapur dalam kamar Sang Dewi, langsung tertawa dan berteriak dari dalam, ”Ndara
Putri, jangan galak-galak pada Raden Kamandaka, nanti dimarahi Kanjeng Ibu, lho!”
“Tuh, Biyung Emban sampai dengar,” kata Sang
Dewi.
“Habis, Dinda Dewi nyubitnya keras banget!”
“Lagi?” tanya Sang Dewi sambil tangannya
mengusap-usap bekas cubitan pada paha Kamandaka.
“Kata orang, seorang istri yang suka nyubit suaminya, anaknya akan
banyak” kata Kamandaka yang merasa nyaman karena bekas cubitannya masih
diusap-usap Sang Dewi.
“Ya, itu kalau cubitannya dilakukan di atas
ranjang,”
“Ssst. Jangan keras-keras nanti Emban Khandegwilis
dengar!”, kata Kamandaka. Tetapi Sang Dewi malah menjatuhkan wajahnya ke dada
Kamandaka. Pelan-pelan diraihnya wajah Sang Dewi, lalu diciumnya dengan lembut.
Empat bulan lebih berpisah membuat hati
Kamandaka berbunga-bunga kembali, saat menyadari gadis yang dirindukannya siang
dan malam itu, kini kembali berada dalam pelukannya. Kamandaka cepat melepaskan
Sang Dewi dari dekapannya, saat dia mendengar langkah-langkah tipis Khandegwilis.
Biyung Emban itu keluar membawakan
minuman yang masih hangat dengan makanan
kecil dan sejumlah buah sawo manis.
“Biyung Emban, malam ini aku tidak usah
ditemani, ya. Biyung Emban tidur sendirian saja.” Sang Dewi memberitahu Khandegwilis
yang menjawab sambil senyum-senyum kecil mengiyakan.
“Aku masih penasaran dengan Dinda Wirapati,”
kata Kamandaka kembali menyinggung putra sulung Adipati Dayeuhluhur yang belum
dikenalnya itu.
“Hem, cemburu ya? “ kata Sang Dewi mulai
menggoda Kamandaka, “Masa kepada adik ipar, cemburu?”
“Bukan begitu, Dindaku sayang. Aku menaruh
simpati pada derita yang dialami Dinda Wirapati, seperti yang dikatakan Dinda
Dewi dalam pertemuan tadi,” kata Kamandaka sambil menatap gadis cantik yang
duduk di sampingnya itu.
“Iya, betul sekali,” kata Sang Dewi, “Justru
karena itu, Kanda Kamandaka harus bisa membantu Dinda Wirapati mengalahkan Raja
Pulebahas dan menaklukkan Kerajaan Nusakambangan. Kabar terakhir yang membuat
duka yang mendalam bagi Dinda Wirapati, adalah Dyah Ayu Niken Gambirarum, putri Adipati Kalipucang
yang diculik itu, belum lama berselang telah tewas. Dia menjadi korban ritual
persembahan darah perawan suci. Dinda Wirapati sangat sedih dan bertekad untuk
membalas dendam. Tetapi tekad saja tentu tidak cukup. Dinda Wirapati yang
menaruh dendam kepada Raja Pulebahas itu, memerlukan bantuan Kanda Kamandaka.” Kamandaka
ikut terharu juga mendengar penuturan Sang Dewi itu.
“Dari mana Dinda Wirapati bisa mengetahui
kabar itu?” tanya Kamandaka yang baru paham, apa sebabnya Wirapati secara rutin
mengunjungi Kadipaten Pasirluhur. Tentu dalam rangka konsolidansi mencari cara
untuk menaklukan Kerajaan Nusakambangan, pikir Kamandaka.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar