Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 06 Oktober 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(52)



“Dalam syarat nomor lima,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Disebutkan calon mempelai pria harus turun dari tandu dan mendatangi tandu calon mempelai putri. Pada saat mempelai pria-Raja Pulebahas membuka kelambu tandu calon mempelai wanita, karena terkejut, si Lutung Kasarung akan marah. Apalagi yang mendatangi si Lutung, orang yang belum dikenal dan belum pernah dilihatnya. Pasti si Lutung Kasarung akan meloncat menyerang pundak Pulebahas, leher, dan bagian kepala lainnya. Pada saat itulah Kanda Kamandaka yang menyamar sebagai Uwak Lengser harus siap untuk menghabisi Pulebahas yang sedang diserang si Lutung,” kata Sang Dewi. Seperti biasa Sang Dewi kembali diam sejenak.
“Aku lanjutkan lagi,  ya,” kata Sang Dewi pula,  “Untuk memenangkan perang, tidak ada jalan lain bagi Kanda Kamandaka kecuali harus secepatnya menewaskan Pulebahas. Kita anggap saja Kanda Kamandaka sukses secepat kilat menewaskan Pulebahas. Kanda Kamandaka harus bergerak cepat memindahkan calon mempelai putri ke dalam tandu calon mempelai putra. Pasukan sektor barat harus bergerak cepat melindungi tandu pengantin pria yang sudah berisi calon mempelai wanita.”
“Pasukan sektor barat  harus bisa menghalang-halangi agar serangan Kanda Kamandaka kepada Pulebahas tidak terlihat pasukan dari selatan. Satu lagi tugas berat dari pasukan sektor barat, yakni mengamankan 40 putri kembar dibelakang tandu Raja-Pulebahas,” kata Sang Dewi.
“Empat puluh putri kembar itu besar kemungkinan akan dipimpin oleh tiga prajurit wanita kembar Kerajaan Nusakambangan. Tugas berat seluruh pasukan Pasirluhur-Dayeuhluhur, tidak boleh ada satu pun dari 40 putri kembar dan tiga prajurit wanita  yang mengawalnya itu jangan-sampai terluka, cedera, apalagi sampai ada yang tewas” kata Sang Dewi mengingatkan pentingnya mengamankan para gadis pengiring calon mempelai pria.
“Kanda Kamandaka juga harus cepat menugaskan beberapa pasukan dari utara untuk mengangkat tandu dari Nusakambangan yang sudah bersisi calon mempelai putri, agar bisa cepat bergerak ke arah utara. Karena itu pasukan sektor utara harus memberi jalan untuk lewat tandu pengantin dari Nusakambangan. Jika tandu pengantin begerak cepat ke utara otomatis barisan putri kembar perawan suci yang mengawal tandu pengantin akan terbawa bergerak ke utara. Setelah barisan para gadis kembar lewat semua, pasukan barat menutup jalan bagi pasukan Nusakambangan yang ada dibelakang barisan gadis pengawal pengantin.
“Penyelesaian akhir, menghadapi pasukan Nusakambangan di sektor selatan. Tiga panglima mereka Puletembini, Surajaladri, dan Singalaut, menjadi tugas Dinda Wirapati, Dinda Silihwarna dan Dinda Arya Baribin untuk melumpuhkannya mereka. Demikian gambaran rencana operasi memenangkan perang. Jika pasukan gabungan Pasirluhur-Dayeuhluhur memiliki disiplin yang tinggi, dan terus menerus melakukan latihan, aku yakin, perang menaklukan Kerajaan Nusakambangan akan dimenangkan gabungan prajurit Pasirluhur-Dayeuhluhur,” kata Sang Dewi mengakhiri penjelasannya.
“Silahkan jika ada yang akan menanggapi. Singkat saja, karena sebentar lagi malam akan segera tiba, dan Ki Patih sudah mau istirahat,” kata Kanjeng Adipati.
Ki Patih yang kini wajahnya selalu cerah itu tersenyum. Dia tahu Kanjeng Adipati mengira bahwa dirinya sudah mengantuk. Padahal Ki Patih sedang terkagum-kagum pada uraian Sang Dewi yang sangat menarik itu. “Ki Patih merasa semua yang dipaparkan Ananda Dewi sudah jelas dan lengkap sekali. Tinggal menindaklanjuti saja. Yang tidak kalah pentingnya menurut Paman  adalah persiapan untuk melatih parajurit. Masih ada waktu 120 hari. Paman rasa cukup waktu. Paman usulkan, bila dapat disetujui, Pusat Komando Perang kelak dipusatkan di kadipaten saja. Jadi nanti mulai dari Dewan Penasihat Perang, Panglima Tertinggi, dan para Panglima Komandan Sektor berkumpul dan merancang strategi di sini. Kalau di kepatihan, terlalu sempit,” kata Ki Patih.
Kanjeng Adipati mengangguk-anggukan kepalanya.Semua yang hadir setuju dengan usul Ki Patih. Kanjeng Adipati mengucapkan terima kasih kepada Ki Patih yang masih bisa menyumbangkan buah pikirannya. Pertemuan pun memasuki tahap akhir. Kamandaka memberi isyarat pada Silihwarna untuk berbicara sebelum pertemuan ditutup.
“Kanjeng Uwa Adipati, Kanjeng Ibu, Paman Patih, dan Ayunda Dewi, karena pertemuan sudah selesai, maka kami berdua mohon doa restu agar selamat pulang ke Pakuan untuk menyampaikan kabar gembira kepada Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi. Rencananya kami akan berangkat besok pagi. Jika tidak ada halangan dua puluh hari lagi, kami berdua akan kembali lagi ke sini,” kata Silihwarna memohon ijin untuk kembali ke Pakuan Pajajaran esok paginya. 
“Selamat jalan Raden, semoga selamat diperjalanan. Salam dari kami semua untuk Sri Baginda Prabu Siliwangi, semoga selalu selamat dan sejahtera,” kata Kanjeng Adipati sambil menutup pertemuan sore hari itu.

Malam itu Kamandaka duduk di teras kamar Sang Dewi sambil memandang bulan tanggal empat belas yang berpendaran di langit malam. Awan putih tipis bergerak perlahan mengiringinya. Sang Dewi duduk di sampingnya membicarakan banyak hal sambil melepas rindu. Khandegwilis sibuk menyiapkan makanan kecil dan minuman.
Sebelumnya Khandegwilis dan Rekajaya duduk di lantai ikut berbincang-bincang menemani Kamandaka dan Sang Dewi. Tetapi Sang Dewi kemudian menyuruh Khandegwilis menyiapkan minuman dan makanan kecil untuk Raden Kamanda. Karena Khandegwilis meninggalkan Ndara Putrinya, Rakajaya ikut-ikutan berdiri dan pamit dengan alasan ingin berbincang-bincang menemani Silihwarna yang sendirian di tempat penginapan kamar tamu kadipaten yang ada di depan.
Tetapi sebenarnya baik Khandegwilis maupun Rekajaya, tahu maksud sebenarnya perintah Sang Dewi. Sang Dewi ingin berbincang-bincang dengan Kamandaka berdua saja. Itulah sebabnya Rekajaya cepat-cepat berdiri pula dengan mencari dalih untuk meninggalkan bendaranya itu. Setelah kedua pembantunya itu pergi, perbincangan Sang Dewi dengan Kamandaka  sampai pada  Arya Baribin.
“Nanti Dinda akan aku kenalkan dengan Dimas Arya Baribin. Tadi pagi sempat bertemu. Dia sudah tahu kalau aku besok akan pulang ke Pakuan. Dia titip salam untuk Dinda Ratna Pamekas.”
“Bagus sekali, kalau kelak hubungan keduanya terus berlanjut. Setidak-tidaknya akan  menyatukan trah Majapahit dengan trah Pajajaran,” kata Sang Dewi.
“Memang aku akan mengarahkannya ke sana. Apalagi Dimas Arya Baribin sudah mengatakan kepadaku niatnya ingin berbakti kepada Kerajaan Pajajaran dan Pasirluhur. Itu sebabnya aku usulkan dalam rapat agar dia ditetapkan sebagai panglima komandan sektor timur.”
“Kalau Dinda Silihwarna, apakah sudah punya calon istri, atau  belum?” tanya Sang Dewi.
“Dinda Silihwarna itu pemuda yang malang. Cita-citanya ingin jadi brahmacharin. Dia pergi ke Padepokan Megamendung. Selama lima tahun melatih diri dengan menjauhi wanita. Nyatanya dia telah gagal. Eh, Tahu-tahu dia menyusulku,” kata Kamandaka menjelaskan tentang adik kandung satu-satunya, Silihwarna. “Sampai sekarang satu-satunya Adik kandungku yang malang itu, tidak punya teman wanita.”
“Kasihan juga,  Dinda Silihwarna,” kata  Sang Dewi memberi komentar.
“Ya, itulah masalah yang belum terpecahkan. Aku dengar-dengar, Kanjeng Rama Adipati mau menjodohkan Dinda Silihwarna dengan putri Adipati Dayeuhluhur, Dyah Ayu Mayangsari. Dinda Dewi pernah dengar?”
“Lho, malah Kanda sudah tahu. Tetapi aku setuju banget kok. Dinda Mayangsari cantik. Dia adik sepupuku. Setahun lebih muda dari aku. Mungkin seusia dengan Dinda Ratna Pamekas. Nanti kalau ketemu Dinda Wirapati, akan aku sampaikan juga. Setiap tiga bulan Dinda Wirapati  biasanya rutin menemui Kanjeng Rama.”
“Dengar-dengar,  Dinda Wirapati sempat menaksir Dinda Dewi ?” kata Kamandaka menggoda Sang Dewi.
“Apa? Coba Ulangi lagi!”
”Dengar-dengar, Dinda Wirapati sempat menaksir Dinda Dewi?” kata Kamandaka mengulangi kalimatnya sekali lagi memenuhi permintaan Sang Dewi. Mendengar kalimat itu, tiba-tiba  Sang Dewi langsung mencubit paha Kamandaka sekeras-kerasnya. Akibatnya Kamandaka menjerit kesakitan sambil memegangi bekas cubitan Sang Dewi.
Khandegwilis yang sedang menyiapkan minuman di dapur dalam kamar Sang Dewi, langsung tertawa dan berteriak dari dalam, ”Ndara Putri, jangan galak-galak pada Raden Kamandaka, nanti dimarahi Kanjeng Ibu, lho!”
“Tuh, Biyung Emban sampai dengar,” kata Sang Dewi.
“Habis, Dinda Dewi nyubitnya keras banget!”
“Lagi?” tanya Sang Dewi sambil tangannya mengusap-usap bekas cubitan pada paha Kamandaka.
“Kata orang, seorang istri  yang suka nyubit suaminya, anaknya akan banyak” kata Kamandaka yang merasa nyaman karena bekas cubitannya masih diusap-usap Sang Dewi.
“Ya, itu kalau cubitannya dilakukan di atas ranjang,”
“Ssst. Jangan keras-keras nanti Emban Khandegwilis dengar!”, kata Kamandaka. Tetapi Sang Dewi malah menjatuhkan wajahnya ke dada Kamandaka. Pelan-pelan diraihnya wajah Sang Dewi, lalu diciumnya dengan lembut. Empat bulan lebih  berpisah membuat hati Kamandaka berbunga-bunga kembali, saat menyadari gadis yang dirindukannya siang dan malam itu, kini kembali berada dalam pelukannya. Kamandaka cepat melepaskan Sang Dewi dari dekapannya, saat dia mendengar langkah-langkah tipis Khandegwilis. Biyung Emban itu  keluar membawakan minuman yang masih hangat dengan  makanan kecil dan sejumlah  buah sawo  manis.
“Biyung Emban, malam ini aku tidak usah ditemani, ya. Biyung Emban tidur sendirian saja.” Sang Dewi memberitahu Khandegwilis yang menjawab sambil senyum-senyum kecil mengiyakan.
“Aku masih penasaran dengan Dinda Wirapati,” kata Kamandaka kembali menyinggung putra sulung Adipati Dayeuhluhur yang belum dikenalnya itu.
“Hem, cemburu ya? “ kata Sang Dewi mulai menggoda Kamandaka, “Masa kepada adik ipar, cemburu?”
“Bukan begitu, Dindaku sayang. Aku menaruh simpati pada derita yang dialami Dinda Wirapati, seperti yang dikatakan Dinda Dewi dalam pertemuan tadi,” kata Kamandaka sambil menatap gadis cantik yang duduk di sampingnya itu.
“Iya, betul sekali,” kata Sang Dewi, “Justru karena itu, Kanda Kamandaka harus bisa membantu Dinda Wirapati mengalahkan Raja Pulebahas dan menaklukkan Kerajaan Nusakambangan. Kabar terakhir yang membuat duka yang mendalam bagi Dinda Wirapati, adalah Dyah Ayu  Niken Gambirarum, putri Adipati Kalipucang yang diculik itu, belum lama berselang telah tewas. Dia menjadi korban ritual persembahan darah perawan suci. Dinda Wirapati sangat sedih dan bertekad untuk membalas dendam. Tetapi tekad saja tentu tidak cukup. Dinda Wirapati yang menaruh dendam kepada Raja Pulebahas itu, memerlukan bantuan Kanda Kamandaka.” Kamandaka ikut terharu juga mendengar penuturan Sang Dewi itu.
“Dari mana Dinda Wirapati bisa mengetahui kabar itu?” tanya Kamandaka yang baru paham, apa sebabnya Wirapati secara rutin mengunjungi Kadipaten Pasirluhur. Tentu dalam rangka konsolidansi mencari cara untuk menaklukan Kerajaan Nusakambangan, pikir Kamandaka.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar