“Kanda, apakah tidak rindu dengan kamar aku? Di sana siang tadi ada Rekajaya
membantu beres-beres, lho!” kata Sang Dewi sambil memegang lengan kanan
Kamandaka, lalu menyandarkan wajahnya ke bahu Kamandaka.
“Aku hanya rindu pada pemilik kamar,” jawab
Kamandaka mulai menggoda.
“Ih, sadis deh. Pemilik kamar kan Kanjeng
Rama. Ayo, temui Rekajaya!” kata Sang Dewi sambil menarik Kamandaka menuju Taman
Kaputren. Nama Rekajaya disebut Sang Dewi hanya sebagai alasan agar Kamandaka
mau ke Taman Kaputren.
Kamandaka terkejut melihat kamar Sang Dewi
yang begitu menawan. Di teras ada sebuah meja dari kayu jati ukiran dengan
sepasang kursi bersandaran dengan rangka kayu jati mengkilap. Di
halaman teras yang bersih dan rapih itu tumbuh aneka macam bunga, tetapi paling
banyak bunga melati diatur rapi dikelilingi rumput terbentang bak
permadani hijau lembut. Pohon tanjung tumbuh di pinggir tembok tidak jauh dari
teras. Lantai teras dan kamar terbuat dari batu pualam warna putih abu-abu
mengkilat.
“Aku tidak bisa mengenali lagi teras depan
kamar Dinda Dewi,“ kata Kamandaka.
“Dari dulu juga seperti ini. Tak ada yang
berubah,” kata Sang Dewi. “ Dulu Kanda
ke sini malam hari, jadi lupa. Kalau di dalam kamar pasti tidak lupa.” Mereka
berdua masuk ke dalam kamar Sang Dewi. Kamandaka mulai mengenal bagian-bagian
di dalam kamar Sang Dewi yang luas itu. Seperangkat tempat duduk, meja kerja,
lemari hias, lemari pakaian, lemari gantungan baju Sang Dewi, meja makan,
dapur, kamar mandi dan tempat tidur dari kayu jati coklat tua mengkilap.
Seprei ukuran ganda berwarna pink menutupi ranjang tempat tidur. Dua buah
bantal dan guling tertata rapi di atas ranjang.
“Sepertinya posisi lemari hias bergeser?”
tanya Kamandaka.
“Banyak yang geser-sana geser sini. Itu tadi
pekerjaan Rekajaya. Sisanya tugas Biyung Emban.”
Pada saat Kamandaka dan Sang Dewi tiba di
depan lemari hias, keduanya berhenti sebentar. Dan Sang Dewi berbisik, “Cium, Kanda!”
Kamandaka tak mungkin melewatkan kesempatan
yang langka itu. Diciumnya Sang Dewi pada pipi kanan-pipi kiri, leher
kanan-leher kiri. Akhirnya bibir Kamandaka singgah di bibir Sang Dewi. Agak
lama juga kedua bibir itu saling bertautan, ditemani dua buah bayangan. Pria
tampan dan gadis cantik yang ada di dalam cermin lemari hias.
Tiba-tiba terdengar suara dari luar
memanggil-manggil, “Ndara Putri, pesan Kanjeng Rama, pertemuan supaya
dilanjutkan lagi!”
Sang Dewi dan Kamandaka cepat-cepat keluar
kamar. Mereka berdua kembali ke ruang tamu Dalem Gede. Pada pertemuan lanjutan,
Sang Dewi langsung menggunakan kesempatan pertama untuk bicara, “Terimakasih
Kanjeng Rama. Apa yang ingin Dewi sampaikan pada kesempatan ini adalah hasil
pembicaraan mendalam dengan Dinda Wirapati. Karena Dinda Wirapati belum bisa
hadir, Dewi akan menyampaikan gagasan ini untuk mendapat tanggapan dan masukan
dari Paman Patih, Kanda Kamandaka, dan Dinda Silihwarna” kata Sang Dewi mengawali pembicaraan masalah
rencana perang dengan Nusakambangan.
“Kadipaten Pasirluhur harus menyiapkan perang
untuk menaklukan Kerajaan Nusakambangan. Medan pertempuran telah Dewi siapkan
pada persyaratan nomor empat dan lima yang harus dipenuhi calon mempelai pria,
Raja Pulebahas. Medan itu adalah jalan simpang empat di luar pusat pemerintahan
Kadipaten Pasirluhur, yaitu antara jalan yang melintang dari selatan ke utara
dengan jalan yang melintang dari Rawalo – Dayeuhluhur.
“Rombongan Pulebahas akan datang dari arah
selatan dan berhenti di simpang empat. Pulebahas ada di dalam tandu paling depan. Di
belakangnya ada 40 putri kembar perawan suci, di belakangnya lagi ada ratusan
pasukan pengiring dan para panglima perang,” kata Sang Dewi memberikan
gambaran posisi pasukan lawan yang harus dihadapi.
“Pulebahas akan memegang peran ganda, sebagai
panglima perang tertinggi prajurit Nusakambangan dan sebagai calon mempelai
pria. Panglima perang mereka ada tiga yaitu Patih Puletembini, adik Raja,
Tumenggung Surajaladri, dan Rangga Singalaut. Itulah panglima perang mereka
menurut keterangan Dinda Wirapati. Pada persyaratan nomor tujuh, Sang Dewi
minta agar semua pasukan pengiring tidak membawa senjata apapun. Butir ini
tidak bisa dipegang. Mereka sulit
dipercaya. Anggap saja pasukan mereka memiliki senjata yang lengkap,” kata Sang
Dewi pula, lalu diam sejenak.
“Silahkan Nduk Dewi lanjutkan strategi yang
perlu disiapkan dalam menghadapi perang melawan Nusakambangan,” kata Kanjeng
Adipati sebagai pemandu pertemuan.
Sang Dewi melanjutkan, “Itu tadi gambaran
singkat pasukan lawan. Sekarang apa yang perlu disiapkan dari pasukan Kadipaten
Pasirluhur? Kadipaten Pasirluhur harus membentuk pasukan gabungan dengan
Kadipaten Dayeuhluhur. Paling tidak harus ada satu panglima tinggi dan tiga
panglima komandan sektor. Nama-nama yang akan Dewi usulkan menjadi panglima perang gabungan pasukan Kadipaten
Pasirluhur-Dayeuhluhur adalah sebagai berikut.
“Panglima tertingginya, Kanda Kamandaka. Kanda
Kamandaka merangkap sebagai pengawal tandu yang berisi calon mempelai wanita.
Tandu calon mempelai wanita dan pasukan pengawal akan datang dari arah utara ke
selatan dan berhenti di simpang empat, di depan tandu dari Nusakambangan.
Panglima pasukan pengawal tandu calon pengantin putri yang akan datang dari
arah utara, Dewi usulkan Dinda Silihwarna. Jadi, Dinda Silihwarna sekaligus mengawal
calon pengantin putri dan menjadi komandan sektor utara.”
“Agar supaya Pulebahas tidak curiga, Kanda
Kamandaka harus menyamar sebagai Uwak Lengser
yang berpakaian hitam-hitam, ikat kepala hitam, alas kaki hitam, wajah
dirias hitam. Dalam legenda Lutung Kasarung, Uwak Lengser ini yang mengantarkan
Putri Purbasari dan seekor kera sakti Lutung Kasarung menghadap Raden Indajaya
dan Putri Purbarangrang di Istana Pasirbatang,” kata Sang Dewi pula.
“Dalam strategi ini, Uwak Lengser diperankan
oleh Kanda Kamandaka, Putri Purbasari oleh aku sendiri selaku calon pengantin
putri, dan Lutung Kasarung jelmaan Guru Minda, ya diperankan si Lutung cerdas yang ada di Taman kaputren.
Dengan memerankan Uwak Lengser, Kanda Kamandaka dengan mudah akan bisa mendekati
Pulebahas supaya dapat menantang duel satu-satu.” Sang Dewi menjelaskan peran
penting yang harus dilakukan Kamandaka kelak.
“Ada yang ingin menanggapi?” tanya Sang Dewi.
“Sungguh mantap sekali strategi Dinda Dewi,”
kata Kamandaka memberikan pujian kepada Sang Dewi yang disetujui oleh semua
hadirin dalam pertemuan itu.
“Nduk Dewi, bisa terus dilanjutkan gambaran
strategi perang yang kelak harus dilaksanakan. Soal pembentukan pasukan
gabungan Kadipaten Pasirluhur-Dayeuhluhur, Kanjeng Ramamu pasti setuju. Demikian
pula soal panglima perang yang Nduk Dewi usulkan,” kata Kanjeng Ayu Adipati
yang ternyata mengikuti dengan cermat semua hal yang dibicarakan dalam
pertemuan itu.
”Betul, Kanda Adipati?” tanya Kanjeng Ayu
Adipati pada suaminya. Kanjeng Adipati yang memimpin rapat dan duduk di samping
Kanjeng Ayu Adipati sambil tersenyum langsung membenarkan kata-kata istrinya.
“Kalau begitu Dewi lanjutkan. Sekarang tentang
pasukan pendukung sektor barat dan sektor timur,” kata Sang Dewi melanjutkan.
“Kadipaten Pasirluhur pertama-tama harus
menyiapkan dua pasukan untuk menjepit pasukan Nusakambangan. Pasukan penjepit
pertama adalah pasukan yang
didatangkan dari arah barat. Pasukan ini
bisa dipasok dari Kadipaten Dayeuhluhur. Komandan perangnya usul aku, Dinda
Wirapati. Mengingat Dinda Wirapati banyak mengetahui kekuatan dan kelemahan
prajurit Nusakambnagan, Dinda Wirapati aku usulkan juga merangkap menjadi Wakil
Kanda Kamandaka. Jadi. Dinda Wirapati menjadi Wakil Panglima Perang.”
“Pasukan penjepit kedua adalah pasukan yang
didatangkan dari arah Rawalo, arah timur. Siapakah yang akan ditunjuk Kanda
Kamandaka mejadi komandan pasukan sektor
timur? Tumenggung Maresi? Katanya sakit-sakitan. Paman Patih sudah
terlalu tua. Kanjeng Rama, Paman Adipati Dayeuhluhur dan Paman Patih cukup
sebagai Dewan Penasihat Perang saja. Ada usul, Kanda Kamandaka?” tanya Sang
Dewi.
Kamandaka diam sejenak. Tetapi pada akhirnya
dapat ide juga. “Aku usulkan, Dimas Arya Baribin,” kata Kamandaka.
“Siapa Arya Baribin?” tanya Sang Dewi.
“Dia sahabatku. Dinda Silihwarna juga sudah
kenal. Dimas Arya Baribin ini seorang Ksatria Majapahit yang melarikan diri
karena dikejar-kejar prajurit Kediri. Sebenarnya dia punya ilmu beladiri cukup
baik juga. Kini mendapat perlindungan dari Ki Demang Kejawar. Dia ingin sekali mengabdikan
dirinya untuk kepentingan Kadipaten Pasirluhur dan Kerajaan Pajajaran,” kata
Kamandaka menjelaskan.
“Dinda sangat setuju usul Kanda Kamandaka,
Ayunda Dewi” kata Silihwarna.
“Baiklah, kalau begitu. Memang usul panglima
tertinggi harus dihormati,” kata Sang Dewi menyetujui usul Kamandaka. “Apalagi
didukung komandan sektor utara. Jadi sudah lengkap ada tiga pemimpin pasukan
yang akan membantu panglima tertinggi Kanda Kamandaka,” kata Sang Dewi. Pembicaraan
mulai beralih kepada jumlah pasukan yang diperlukan.
“Jadi ada akan ada tiga pemimpin pasukan perang yang dikendalikan
Kanda Kamandaka selaku Panglima Perang Tertinggi. Dinda Wirapati, komandan sektor barat, merangkap wakil
panglima perang. Dinda Silihwarna, komandan sektor utara. Dan Dimas Arya
Baribin, komandan sektor timur. Masing-masing komandan paling tidak harus punya
400 prajurit yang terlatih dengan baik. Kadipaten Dayeuhluhur bisa memasok 200
prajurit. Jadi sektor barat kurang 200 lagi.
Dinda Silihwarna punya 200 prajurit ditambah 400 prajurit yang biasa
dipegang Tumenggung Maresi. Total sektor utara punya 600 prajurit. Yang 200
pindahkan ke sektor timur. Jadi sektor timur kurang 200 prajurit. Kanda
Kamandaka harus mencari tambahan 400 lagi calon prajurit untuk menutup sektor barat
dan sektor timur.”
“Ya, bisa dicari. Sudah ada gambaran kalau
hanya untuk menambah 400 prajurit lagi.
Kanjeng Uwa Adipati bisa mohon bantuan 200 prajurit dari Kadipaten Galuh untuk
sektor barat. Untuk sektor timur, Nyai Kertisara punya para penyadap yang
berbadan kekar dan sehat, karena setiap pagi dan siang selalu melatih
otot-ototnya dengan memanjat pohon kelapa. Mereka sering dijuluki pasukan
sabit. Nanti Kanjeng Uwa Adipati atau Ki Patih juga bisa minta tolong mereka memperkuat prajurit
yang sudah ada. Kita tinggal memberi pelatihan kepada mereka,” kata Kamandaka
memberikan sumbangan pemikiran pemecahan kekurangan prajurit di sektor barat
dan timur.
“Kalau begitu perhitungan jumlah prajurit yang
siap perang menghadapi Nusakambangan sudah selesai. Sekarang kita memasuki
tahap operasional memenangkan perang. Mungkin Kanda Kamandaka atau Dinda
Silihwarna ada gagasan?”
“Silahkan dari Dinda Dewi dulu yang sudah
merancang medan perang dengan Dinda Wirapati. Nanti para panglima sektor
tinggal menindaklanjuti di lapangan,” kata Kamandaka. Dalam hati Kamandaka berdecak kagum kepada Sang Dewi. Gadis yang
nampak sering tidak suka berbasa-basi apabila bicara itu, ternyata menguasai
seni berperang, sekalipun baru tahap teori.
“Baiklah. Ini pembahasan terakhir, yaitu
pelaksanaan di hari pertama saat perang mulai digelar,” kata Sang Dewi mulai
menjelaskan operasi untuk memenangkan perang.
“Dimulai ketika kedua pasukan sudah saling
berhadap-hadapan di simpang empat. Pasukan Nusakambangan yang ada di sektor
selatan, harus bisa dilumpuhkan oleh tiga pasukan gabungan Pasirluhur-Dayeuhluhur yang berada di sektor
barat, utara, dan timur. Pembukaan perang dimulai oleh Kanda Kamandaka yang menyamar sebagai
Uwak Lengser sambil mengawal tandu calon mempelai putri. Mempelai putri ada di dalam
tandu tertutup kelambu kuning. Di dalam tandu ada calon mempelai wanita
ditemani si Lutung Kasarung,” kata Sang Dewi, kemudian diam sejenak untuk
memberi kesempatan para pendengarnya mengendapkan keterangan yang baru saja disampaikan.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar