Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 03 Oktober 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(51)



“Kanda, apakah tidak rindu dengan  kamar aku? Di sana siang tadi ada Rekajaya membantu beres-beres, lho!” kata Sang Dewi sambil memegang lengan kanan Kamandaka, lalu menyandarkan wajahnya ke bahu Kamandaka.
“Aku hanya rindu pada pemilik kamar,” jawab Kamandaka mulai menggoda.
“Ih, sadis deh. Pemilik kamar kan Kanjeng Rama. Ayo, temui Rekajaya!” kata Sang Dewi sambil menarik Kamandaka menuju Taman Kaputren. Nama Rekajaya disebut Sang Dewi hanya sebagai alasan agar Kamandaka mau ke Taman Kaputren.
Kamandaka terkejut melihat kamar Sang Dewi yang begitu menawan. Di teras ada sebuah meja dari kayu jati ukiran dengan sepasang kursi bersandaran dengan rangka kayu jati  mengkilap. Di halaman teras yang bersih dan rapih itu tumbuh aneka macam bunga, tetapi paling banyak bunga melati diatur rapi dikelilingi rumput terbentang bak permadani hijau lembut. Pohon tanjung tumbuh di pinggir tembok tidak jauh dari teras. Lantai teras dan kamar terbuat dari batu pualam warna putih  abu-abu  mengkilat.
“Aku tidak bisa mengenali lagi teras depan kamar Dinda Dewi,“ kata Kamandaka.
“Dari dulu juga seperti ini. Tak ada yang berubah,”  kata Sang Dewi. “ Dulu Kanda ke sini malam hari, jadi lupa. Kalau di dalam kamar pasti tidak lupa.” Mereka berdua masuk ke dalam kamar Sang Dewi. Kamandaka mulai mengenal bagian-bagian di dalam kamar Sang Dewi yang luas itu. Seperangkat tempat duduk, meja kerja, lemari hias, lemari pakaian, lemari gantungan baju Sang Dewi, meja makan, dapur, kamar mandi dan tempat tidur dari kayu jati coklat tua mengkilap. Seprei ukuran ganda berwarna pink menutupi ranjang tempat tidur. Dua buah bantal dan guling tertata rapi di atas ranjang.
“Sepertinya posisi lemari hias bergeser?” tanya Kamandaka.
“Banyak yang geser-sana geser sini. Itu tadi pekerjaan Rekajaya. Sisanya tugas Biyung Emban.”
Pada saat Kamandaka dan Sang Dewi tiba di depan lemari hias, keduanya berhenti sebentar. Dan  Sang Dewi berbisik, “Cium, Kanda!”
Kamandaka tak mungkin melewatkan kesempatan yang langka itu. Diciumnya Sang Dewi pada pipi kanan-pipi kiri, leher kanan-leher kiri. Akhirnya bibir Kamandaka singgah di bibir Sang Dewi. Agak lama juga kedua bibir itu saling bertautan, ditemani dua buah bayangan. Pria tampan dan gadis cantik yang ada di dalam cermin lemari hias.
Tiba-tiba terdengar suara dari luar memanggil-manggil, “Ndara Putri, pesan Kanjeng Rama, pertemuan supaya dilanjutkan lagi!”
Sang Dewi dan Kamandaka cepat-cepat keluar kamar. Mereka berdua kembali ke ruang tamu Dalem Gede. Pada pertemuan lanjutan, Sang Dewi langsung menggunakan kesempatan pertama untuk bicara, “Terimakasih Kanjeng Rama. Apa yang ingin Dewi sampaikan pada kesempatan ini adalah hasil pembicaraan mendalam dengan Dinda Wirapati. Karena Dinda Wirapati belum bisa hadir, Dewi akan menyampaikan gagasan ini untuk mendapat tanggapan dan masukan dari Paman Patih, Kanda Kamandaka, dan Dinda Silihwarna”  kata Sang Dewi mengawali pembicaraan masalah rencana  perang dengan Nusakambangan.
“Kadipaten Pasirluhur harus menyiapkan perang untuk menaklukan Kerajaan Nusakambangan. Medan pertempuran telah Dewi siapkan pada persyaratan nomor empat dan lima yang harus dipenuhi calon mempelai pria, Raja Pulebahas. Medan itu adalah jalan simpang empat di luar pusat pemerintahan Kadipaten Pasirluhur, yaitu antara jalan yang melintang dari selatan ke utara dengan jalan yang melintang dari Rawalo – Dayeuhluhur.
“Rombongan Pulebahas akan datang dari arah selatan dan berhenti di simpang empat. Pulebahas  ada di dalam tandu paling depan. Di belakangnya ada 40 putri kembar perawan suci, di belakangnya lagi ada  ratusan  pasukan pengiring dan para panglima perang,” kata Sang Dewi memberikan gambaran posisi pasukan lawan yang harus dihadapi.
“Pulebahas akan memegang peran ganda, sebagai panglima perang tertinggi prajurit Nusakambangan dan sebagai calon mempelai pria. Panglima perang mereka ada tiga yaitu Patih Puletembini, adik Raja, Tumenggung Surajaladri, dan Rangga Singalaut. Itulah panglima perang mereka menurut keterangan Dinda Wirapati. Pada persyaratan nomor tujuh, Sang Dewi minta agar semua pasukan pengiring tidak membawa senjata apapun. Butir ini tidak bisa  dipegang. Mereka sulit dipercaya. Anggap saja pasukan mereka memiliki senjata yang lengkap,” kata Sang Dewi pula, lalu diam sejenak.
“Silahkan Nduk Dewi lanjutkan strategi yang perlu disiapkan dalam menghadapi perang melawan Nusakambangan,” kata Kanjeng Adipati sebagai pemandu pertemuan.
Sang Dewi melanjutkan, “Itu tadi gambaran singkat pasukan lawan. Sekarang apa yang perlu disiapkan dari pasukan Kadipaten Pasirluhur? Kadipaten Pasirluhur harus membentuk pasukan gabungan dengan Kadipaten Dayeuhluhur. Paling tidak harus ada satu panglima tinggi dan tiga panglima komandan sektor. Nama-nama yang akan Dewi usulkan menjadi  panglima perang gabungan pasukan Kadipaten Pasirluhur-Dayeuhluhur adalah sebagai berikut.
“Panglima tertingginya, Kanda Kamandaka. Kanda Kamandaka merangkap sebagai pengawal tandu yang berisi calon mempelai wanita. Tandu calon mempelai wanita dan pasukan pengawal akan datang dari arah utara ke selatan dan berhenti di simpang empat, di depan tandu dari Nusakambangan. Panglima pasukan pengawal tandu calon pengantin putri yang akan datang dari arah utara, Dewi usulkan Dinda Silihwarna. Jadi, Dinda Silihwarna sekaligus mengawal calon pengantin putri dan menjadi komandan sektor utara.”
“Agar supaya Pulebahas tidak curiga, Kanda Kamandaka harus menyamar sebagai Uwak Lengser  yang berpakaian hitam-hitam, ikat kepala hitam, alas kaki hitam, wajah dirias hitam. Dalam legenda Lutung Kasarung, Uwak Lengser ini yang mengantarkan Putri Purbasari dan seekor kera sakti Lutung Kasarung menghadap Raden Indajaya dan Putri Purbarangrang di Istana Pasirbatang,” kata Sang Dewi pula.
“Dalam strategi ini, Uwak Lengser diperankan oleh Kanda Kamandaka, Putri Purbasari oleh aku sendiri selaku calon pengantin putri, dan Lutung Kasarung jelmaan Guru Minda, ya diperankan  si Lutung cerdas yang ada di Taman kaputren. Dengan memerankan Uwak Lengser, Kanda Kamandaka dengan mudah akan bisa mendekati Pulebahas supaya dapat menantang duel satu-satu.” Sang Dewi menjelaskan peran penting yang harus dilakukan Kamandaka kelak.
“Ada yang ingin menanggapi?” tanya Sang Dewi.
“Sungguh mantap sekali strategi Dinda Dewi,” kata Kamandaka memberikan pujian kepada Sang Dewi yang disetujui oleh semua hadirin  dalam pertemuan itu.
“Nduk Dewi, bisa terus dilanjutkan gambaran strategi perang yang kelak harus dilaksanakan. Soal pembentukan pasukan gabungan Kadipaten Pasirluhur-Dayeuhluhur, Kanjeng Ramamu pasti setuju. Demikian pula soal panglima perang yang Nduk Dewi usulkan,” kata Kanjeng Ayu Adipati yang ternyata mengikuti dengan cermat semua hal yang dibicarakan dalam pertemuan itu.
”Betul, Kanda Adipati?” tanya Kanjeng Ayu Adipati pada suaminya. Kanjeng Adipati yang memimpin rapat dan duduk di samping Kanjeng Ayu Adipati sambil tersenyum langsung membenarkan kata-kata istrinya.
“Kalau begitu Dewi lanjutkan. Sekarang tentang pasukan pendukung sektor barat dan sektor timur,” kata Sang Dewi melanjutkan.
“Kadipaten Pasirluhur pertama-tama harus menyiapkan dua pasukan untuk menjepit pasukan Nusakambangan. Pasukan penjepit pertama adalah  pasukan yang didatangkan  dari arah barat. Pasukan ini bisa dipasok dari Kadipaten Dayeuhluhur. Komandan perangnya usul aku, Dinda Wirapati. Mengingat Dinda Wirapati banyak mengetahui kekuatan dan kelemahan prajurit Nusakambnagan, Dinda Wirapati aku usulkan juga merangkap menjadi Wakil Kanda Kamandaka. Jadi. Dinda Wirapati menjadi Wakil Panglima Perang.”
“Pasukan penjepit kedua adalah pasukan yang didatangkan dari arah Rawalo, arah timur. Siapakah yang akan ditunjuk Kanda Kamandaka mejadi komandan pasukan sektor  timur? Tumenggung Maresi? Katanya sakit-sakitan. Paman Patih sudah terlalu tua. Kanjeng Rama, Paman Adipati Dayeuhluhur dan Paman Patih cukup sebagai Dewan Penasihat Perang saja. Ada usul, Kanda Kamandaka?” tanya Sang Dewi.
Kamandaka diam sejenak. Tetapi pada akhirnya dapat ide juga. “Aku usulkan, Dimas Arya Baribin,” kata Kamandaka.
“Siapa Arya Baribin?” tanya Sang Dewi.
“Dia sahabatku. Dinda Silihwarna juga sudah kenal. Dimas Arya Baribin ini seorang Ksatria Majapahit yang melarikan diri karena dikejar-kejar prajurit Kediri. Sebenarnya dia punya ilmu beladiri cukup baik juga. Kini mendapat perlindungan dari Ki Demang Kejawar. Dia ingin sekali mengabdikan dirinya untuk kepentingan Kadipaten Pasirluhur dan Kerajaan Pajajaran,” kata Kamandaka menjelaskan.
“Dinda sangat setuju usul Kanda Kamandaka, Ayunda Dewi” kata Silihwarna.
“Baiklah, kalau begitu. Memang usul panglima tertinggi harus dihormati,” kata Sang Dewi menyetujui usul Kamandaka. “Apalagi didukung komandan sektor utara. Jadi sudah lengkap ada tiga pemimpin pasukan yang akan membantu panglima tertinggi Kanda Kamandaka,” kata Sang Dewi. Pembicaraan mulai beralih kepada jumlah pasukan yang diperlukan.
“Jadi ada akan ada tiga  pemimpin pasukan perang yang dikendalikan Kanda Kamandaka selaku Panglima Perang Tertinggi. Dinda Wirapati,  komandan sektor barat, merangkap wakil panglima perang. Dinda Silihwarna, komandan sektor utara. Dan Dimas Arya Baribin, komandan sektor timur. Masing-masing komandan paling tidak harus punya 400 prajurit yang terlatih dengan baik. Kadipaten Dayeuhluhur bisa memasok 200 prajurit. Jadi sektor barat kurang 200 lagi.  Dinda Silihwarna punya 200 prajurit ditambah 400 prajurit yang biasa dipegang Tumenggung Maresi. Total sektor utara punya 600 prajurit. Yang 200 pindahkan ke sektor timur. Jadi sektor timur kurang 200 prajurit. Kanda Kamandaka harus mencari tambahan 400 lagi calon prajurit untuk menutup sektor barat dan sektor timur.”
“Ya, bisa dicari. Sudah ada gambaran kalau hanya untuk menambah 400 prajurit  lagi. Kanjeng Uwa Adipati bisa mohon bantuan 200 prajurit dari Kadipaten Galuh untuk sektor barat. Untuk sektor timur, Nyai Kertisara punya para penyadap yang berbadan kekar dan sehat, karena setiap pagi dan siang selalu melatih otot-ototnya dengan memanjat pohon kelapa. Mereka sering dijuluki pasukan sabit. Nanti Kanjeng Uwa Adipati atau Ki Patih juga  bisa minta tolong mereka memperkuat prajurit yang sudah ada. Kita tinggal memberi pelatihan kepada mereka,” kata Kamandaka memberikan sumbangan pemikiran pemecahan kekurangan prajurit di sektor barat dan timur.
“Kalau begitu perhitungan jumlah prajurit yang siap perang menghadapi Nusakambangan sudah selesai. Sekarang kita memasuki tahap operasional memenangkan perang. Mungkin Kanda Kamandaka atau Dinda Silihwarna ada gagasan?”
“Silahkan dari Dinda Dewi dulu yang sudah merancang medan perang dengan Dinda Wirapati. Nanti para panglima sektor tinggal menindaklanjuti di lapangan,” kata Kamandaka. Dalam hati Kamandaka  berdecak kagum kepada Sang Dewi. Gadis yang nampak sering tidak suka berbasa-basi apabila bicara itu, ternyata menguasai seni berperang, sekalipun baru tahap teori.
“Baiklah. Ini pembahasan terakhir, yaitu pelaksanaan di hari pertama saat perang mulai digelar,” kata Sang Dewi mulai menjelaskan operasi untuk memenangkan perang.
“Dimulai ketika kedua pasukan sudah saling berhadap-hadapan di simpang empat. Pasukan Nusakambangan yang ada di sektor selatan, harus bisa dilumpuhkan oleh tiga pasukan gabungan  Pasirluhur-Dayeuhluhur yang berada di sektor barat, utara, dan timur. Pembukaan perang dimulai  oleh Kanda Kamandaka yang menyamar sebagai Uwak Lengser sambil mengawal tandu calon mempelai putri. Mempelai putri ada di dalam tandu tertutup kelambu kuning. Di dalam tandu ada calon mempelai wanita ditemani si Lutung Kasarung,” kata Sang Dewi, kemudian diam sejenak untuk memberi kesempatan para pendengarnya mengendapkan  keterangan yang baru saja disampaikan.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar