“Siap,
Raden. Banyak punggawa Kadipaten yang bisa dikerahkan, baik untuk Baturagung
maupun Kendalisada.”
“Baiklah
kalau begitu. Selanjutnya menjadi tanggung jawab Dimas Arya Baribin selaku
penanggung jawab sektor timur. Selalu hubungi aku bila ada kesulitan.
Tumenggung Maresi, antarkan Rekajaya ke Kaliwedi,” kata Kamandaka sambil
bersiap akan kembali ke Dalem Kadipaten Pasirluhur.
Kegiatan
meninjau lokasi pelatihan prajurit sektor utara dan sektor timur telah selesai.
Kamandaka segera meloncat naik ke atas kudanya, disusul Silihwarna dan Arya
Baribin. Jigjayuda selaku petunjuk jalan memacu kudanya kembali ke Kaliwedi.
Berturut-turut mengikuti di belakangnya, Arya Baribin dengan Ratna Pamekas,
Silihwarna dengan Mayangsari disusul Kamandaka dengan Sang Dewi. Paling
belakang Tumenggung Maresi selaku pengawal rombongan sambil membawa Rekajaya
yang hanya akan ikut sampai Kaliwedi saja.
Dari
Kaliwedi para ksatria Kadipaten Pasirluhur itu memacu kudanya ke arah utara,
lalu belok kiri menuju Kadipaten Pasirluhur. Dengan mudah rombonga Sang Dewi
melewati Sungai Banjaran. Matahari akhir musim kemarau akan segera-terbenam,
tampak bagaikan bola tembaga raksasa tergantung di langit sebelah barat. Sang
Dewi dari atas kudanya melihat bola tembaga raksasa yang sinarnya berpendaran
kemana-mana. Sebentar lagi bola tembaga raksasa akan segera lenyap di balik
kaki langit. Sebagian dari sinar matahari warna merah tembaga singgah di wajah Sang
Dewi,sehingga menjadikan Sang Dewi tampak semakin cantik. Kamandaka yang
mengendalikan kudanya, gelisah seketika. Bagi Kamandaka kecantikan Sang Dewi saat-itu-sangat
indah alami, bagaikan bidadari dalam balutan cahaya warna merah senja yang sedang-turun
dari Kahyangan. Kamandaka pun berbisik lirih.
“Dinda
Dewi, dalam balutan cahaya matahari senja hari, tampak semakin cantik.”
“Kenapa
Kanda tidak....,?” tanya Sang Dewi, sambil menjatuhkan kepalanya ke belakang,
sehingga pipi kiri Sang Dewi langsung berimpitan dengan pipi kanan Kamandaka. Kesempatan
itu dimanfaatkan Kamandaka untuk memberikan ciuman lembut kepada Sang Dewi. Tetapi
tak lama kemudian Sang Dewi menarik kepalanya ke depan kembali.
“Kenapa,
Dinda Dewi?” tanya Kamandaka-penasaran.
“Kanjeng
Ibu melarang sepasang kekasih, bahkan sepasang suami istri berkasih-kasihan
pada saat senjakala tiba seperti ini. Orang bilang sekarang ini saat
candikkala, saat energi negatip muncul di permukaan bumi. Bahkan Dewa Syiwa dan
Dewi Uma pun pernah mendapat kutukan alam semesta karena melanggar larangan
bermain cinta pada saat senja kala tiba,” kata Sang Dewi mengingatkan Kamandaka
kepada kisah para dewa yang sempat dibacanya.
“Tapi,
Dinda Dewi yang tadi...,” sanggah Kamandaka.
“Ya,
karena Kanda memuji aku,”
“Lagi?”
goda Kamandaka.
“Tidak
ah, nanti bikin iri Tumenggung Maresi yang ada di belakang kita,” katanya.
Tetapi, Sang Dewi kembali menjatuhkan kepalanya kebelakang, sehingga kedua pipi
sepasang kekasih itu saling bertemu kembali. Bahkan Sang Dewi memejamkan
matanya seakan-akan tertidur dalam pelukan tangan kanan Kamandaka yang sedang
mengendalikan tali kekang kuda. Kamandaka tersenyum dalam hati. Dia tidak
pernah menyesal. Rasa rindunya kepada Sang Dewi, tak pernah lenyap. Tepat saat
matahari terbenam di kaki langit, rombongan para Ksatria Kadipaten Pasirluhur
itu tiba kembali di halaman Pendapa Kadipaten.
“Dinda
Dewi, sudah sampai,” bisik Kamandaka pada Sang Dewi yang masih memejamkan
matanya. Kamandaka tidak melewatkan kesempatan untuk memberikan ciuman selagi
mereka masih berada di atas pelana kuda. Kamandaka segera meloncat turun.
Kemudian membimbing Sang Dewi turun dari atas pelana kuda.Seorang bujang yang
sedang berjaga dekat pintu gerbang berlari-lari dan mengambil alih kuda dari
Kamandaka, lalu membawanya ke kandang kuda.
***
Matahari terbit
dan terbenam silih berganti. Pagi bertukar dengan siang. Siang bertukar dengan
malam. Kembali malam bertukar dengan pagi. Bumi pun terus berputar. Hari
berganti hari, bulan berganti bulan. Akhirnya waktu 120 hari yang dijanjikan
untuk pertemuan dan penjemputan calon mempelai wanita Kadipaten
Pasirluhur oleh calon mempelai pria Kerajaan Nusakambangan, tinggal
tersisa lima hari lagi.
Tepat pada saat itu datanglah utusan dari
Nusakambangan. Mereka segera
menghadap Kanjeng Adipati dan-menyatakan siap memenuhi semua persyaratan yang
diminta calon mempelai putri. Bahkan permintaan 1000 kodi mori putih bersih
telah dibawa dan untuk diserahkan hari itu juga.
Utusan juga minta kepastian janji
Kadipaten Pasirluhur mengenai tempat dan waktu penjemputan calon mempelai wanita oleh calon mempelai
pria. Kemudina dilanjutkan dengan acara ritual pernikahan kedua calon
mempelai-dan pesta pernikahan.
Pihak Kadipaten Pasirluhur memberikan jaminan,
bahwa tidak ada perubahan tempat dan waktu yang sudah dijanjikan. Utusan
Nusakambangan pun kembali dengan membawa kabar menggembirakan bagi Sang Raja Kerajaan Nusakambangan.
Dua hari sebelum waktu yang telah
disepakati, Sang Dewi dan Kamandaka
beserta seluruh pasukan dari tiga sektor segera bertolak dari pangkalannya
masing-masing. Esok siang harinya semua pasukan sudah tiba dan menempati sektornya sendiri-sendiri.Prajurit dari Padepokan Baturagung
menempati jalan sektor utara dengan komandan Silihwarna. Prajurit dari Padepokan Dayeuhluhur, menempati jalan sektor barat dengan komandan
Wirapati. Sedangkan prajurit dari Padepokan Kendalisada, menempati
jalur sektor timur dengan komandan Arya Baribin.
Tenda-tenda
pasukan didirikan pada jarak sekitar lima pal dari jalan simpang empat yang
sudah disepakati. Tujuannya agar kehadiran pasukan itu tidak mencurigakan
Kerajaan Nusakambangan. Memang kehadiran
pasukan sengaja disamarkan sedemikian
rupa sehingga seakan-akan mereka hanyalah pasukan pengiring calon mempelai putri, yang sama sekali tidak
membahayakan rombongan pengiring mempelai pria Nusakambangan. Kamandaka
dan Sang Dewi menempati tenda tersendiri ditemani juru rias yang telah siap
dengan tandu calon pengantin putri. Si
Lutung Kasarung ikut menjadi penghuni tenda Sang Dewi.Sore hari pun tiba. Angin dari lereng-lereng
bukit yang ada di kanan kiri jalan, menyinggahi tempat perkemahan. Sang Dewi
melihat pucuk-pucuk pohon raksasa yang berdiri tegak tidak jauh dari pinggir
jalan, bergerak-gerak seakan-akan sedang menari digoyang angin sore.
“Kanda Kamandaka, lihat langit di atas
pohon-pohon yang menjulang ke angkasa itu,” kata Sang Dewi kepada Kamandaka yang duduk di
sampingnya sambil memangku si Lutung Kasarung.
“Apakah Kanda melihat keanehan dari burung
hitam itu? Elangkah atau burung gagakkah?”
Kamandaka menatap langit di atas pohon yang
ditunjukkan Sang Dewi. Sejumlah burung elang berputar-putar membentuk lingkaran
di udara. Anehnya makin lama elang yang berkumpul makin banyak. Kumpulan elang
itu membentuk banyak lingkaran-lingkaran hitam di langit. Mula-mula hanya satu
lingkaran. Datang lagi sekumpulan elang membentuk lingkaran tersendiri. Datang
lagi yang lain lagi, juga membentuk lingkaran tersendiri lagi, demikian
seterusnya.
“Itu burung elang,” kata Kamandaka
“Bagaimana kalau bukan burung elang, tetapi
burung gagak?” tanya Sang Dewi. Kamandaka tidak menjawab, karena dia
berpendapat burung gagak dan burung elang memang berbeda.
“Ya, kalau itu burung gagak menurut Dinda Dewi
ada masalah apa?”
“Penciuman burung gagak tajam. Dia mampu
mencium bau amis darah yang akan tertumpah dalam medan pertempuran, sebelum ada
darah tertumpah.”
“Bukan penciuman burung gagak yang tajam,”
kata Kamandaka mencoba menjelaskan perilaku burung-burung buas pemakan bangkai
itu. “Tapi memang burung-burung itu tahu perilaku manusia sejak jaman dulu
hingga sekarang. Mereka tahu, manusia yang berkumpul sambil membawa senjata,
kemudian mendirikan perkemahan, bagi burung gagak atau pun elang pemakan
bangkai adalah suatu pertanda akan
ada peperangan. Dan setiap peperangan pasti akan ada korban, ada darah
tumpah, dan ada mayat-mayat bergelimpangan yang segera akan menjadi bangkai.
Dan bangkai, memang makanan lezat bagi burung gagak maupun burung elang pemakan
bangkai.”
“Kanda, benar sekali. Lihat itu
lingkaran-lingkaran hitam semakin banyak saja. Mereka tampaknya sedang berpesta
pora dengan tarian ritual menyambut darah, mayat, bangkai, dan kematian,” kata
Sang Dewi.
“Kalau pestanya belum. Itu baru tarian ritual
mereka agar besok perang benar-benar menjadi kenyataan. Usai peperangan besok
sore barulah mereka berpesta pora merayakan kematian, tanpa peduli dari pihak
mana kematian itu menjemput para prajurit,” Kamandaka meluruskan anggapan Sang
Dewi.
“Perang sebenarnya sesuatu yang
problematis. Akibat peperangan bisa merusak
peradaban manusia yang sebenarnya cinta damai. Tetapi anehnya, tanpa peperangan tidak akan pernah tercipta keadilan, kebenaran, dan perdamaian
sejati. Bisakah manusia hidup tanpa peperangan?” tanya Sang Dewi.
“Itulah masalah yang sejak berpuluh-puluh abad lalu dan pada abad-abad yang-akan datang selalu dipikirkan oleh para brahmana, pendeta, nabi, pujangga, dan para pemikir yang cerdik
pandai,” jawab Kamandaka.
“Tetapi Dinda
Dewi, selama orang hidup di dunia
ini masih memperebutkan harta, tahta dan wanita, selama itu akan tetap ada
peperangan. Dan selama itu pula para ksatria akan tetap ada. Sebab tugas para
ksatria memang berperang. Adalah suatu pandangan keliru jika orang
membenci para ksatria karena mengira para ksatria adalah penyebab timbulnya
peperangan. Karena menganggap para ksatrialah penyebab timbulnya
peperangan, maka ada yang berpendapat, hanya dengan memusnahkan para ksatria
maka dunia akan terbebaskan dari peperangan. Dan terwujudlah
perdamaian abadi di antara umat manusia. Tapi-sebenarnya-pendapat itu hanyalah romantisme dan khayalan tidak berdasarkan kenyataan di dunia yang
terkadang membingungkan.”
“Dalam kisah Mahabharata, Rama Parasu adalah
contoh dari sosok brahmana yang menganggap bahwa di dunia ini tidak akan pernah ada kehidupan yang tertib dan damai selama masih ada golongan ksatria dalam
masyarakat,” kata Kamandaka melanjutkan.
“Karena golongan ksatria telah dijadikan
kambing hitam orang-orang semacam Rama Parasu, maka golongan ksatria itu
harus dimusnahkan. Dia menganggap golongan ksatrialah biang kerok kekacauan, penyulut peperangan, demi ambisinya yang-tak-pernah-terpuaskan akan harta, tahta, dan wanita.”
“Ya, benar sekali,” kata Sang
Dewi menanggapi Kamandaka yang menyinggung seorang brahmana sakti, Rama Parasu.
“Aku pernah baca kisah Ramaparasu, brahmana yang bersumpah untuk membunuh para
ksatria. Dengan kampaknya yang menakutkan, dia memenggal leher setiap ksatria
yang dijumpainya. Tetapi para ksatria tidak pernah musnah. Boleh dikatakan
patah tumbuh hilang berganti. Kenapa para ksatria tidak pernah musnah?” tanya
Sang Dewi.
“Karena tanpa ksatria justru dunia ini akan
kacau balau,” Sang Dewi menjawab pertanyaannya sendiri. “Tanpa
peran para ksatria, tidak mungkin tercipta masyarakat tertib damai.
Hanya para ksatria dan bukan para brahmana yang bisa mewujudkan tertib damainya
masyarakat. Perang akan hilang dengan sendirinya bila para ksatria bisa
mewujudkan masyarakat tertib damai. Tertib yang sesungguhnya tidak
akan ada bila tidak ada perdamaian. Dan damai dalam masyrakat hanya akan ada
apabila setiap warga masyarakat tidak dihalang-halangi dalam memenuhi segala
kebutuhan hidupnya atas dasar prinsip keadilan, kebenaran, dan persamaan.(bersambung)