Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 01 Agustus 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (31)




Sudah berhari-hari Yang Mulia Raja Pulebahas, Raja Muda Nusakambangan itu terus menerus murung wajahnya. Sudah banyak gadis perawan cantik dijadikan korban ritual persembahan darah perawan suci kepada Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu Culung. Tetapi gadis perawan korban terakhir ritual persembahan itu benar-benar telah mengguncangkan seluruh keyakinannya. Dia sangat cemas dengan kutukan Niken Gambirarum, gadis cantik yang belum lama telah mengucapkan kata-kata kutukan sangat mengerikan bagi diri Sang Raja.

Raja Pulebahas mengira gadis cantik yang dengan sukarela menyerahkan dirinya pada malam ritual persembahan darah perawan suci itu hanyalah seorang anak nelayan yang berhasil diculik dari pantai Rawaapu. Ternyata dia adalah Putri Adipati Kalipucang yang sedang bermain-main di tepi pantai dan berhasil diculik prajuritnya. Dia kemudian dimasukkan ke dalam Pondok Tamanbidadari yang ada di tengah-tengah Kerajaan Nusakambangan.

Pagi itu Yang Mulia Paduka Raja sengaja mengundang menghadap kepadanya perangkat kerajaan yang terdiri dari dua orang kepercayaannya. Mereka adalah adiknya, Patih Puletembini dan pembantu patih Tumenggung Surajaladri. Diundang pula menghadap Sang Raja Pulebahas adalah penanggungjawab Pondok Tamanbidadari, Nyai Gede Wulansari, dan seorang brahmana pendeta agung Kerajaan Nusakambangan, Yang Suci Raga Pitar.

Yang Suci Raga Pitar pada mulanya adalah pendeta penganut sekte agama Hindu penyembah Kala yang mengajarkan praktek ritual ajaran kitab suci agama Hindu. Tetapi di tangan Yang Suci Raga Pitar, agama Hindu Sekte Kala itu telah banyak diselewengkan dan disimpangkan. Di mata para brahmana agama Hindu sekte Syiwa, Wisnu, Brahma, Sambu, Indra, dan Kala, ajaran Yang Suci Raga Pitar itu dinilai sebagai ajaran sesat.

Yang Suci Raga Pitar memuja Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu Culung, pemilik hidup abadi. Agama yang memuja Ditya Kala Rembu Culung itulah yang merupakan agama resmi Kerajaan Nusakambangan. Dengan sendirinya Yang Suci Raga Pitar menjadi sosok terhormat di lingkungan Kerajaan Nusakambangan. Dia pula yang menciptakan ritual pemujaan kepada Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu Culung, melalui pengorbanan darah perawan suci setiap malam purnama sidhi tanggal empat belas Bulan Caitra. 

Banyak gadis-gadis cantik dari daratan antara muara Sungai Citanduy sampai muara Sungai Ciserayu berhasil diculik prajurit Kerajaan Nusakambangan. Mereka ditempatkan dalam suatu barak khusus untuk menampung gadis-gadis dengan dijaga ketat bernama Pondok Tamanbidadari. Di Pondok Tamanbidadari itu terkumpul sekitar empat puluh lima orang gadis cantik perawan suci yang dimanjakan dengan kehidupan serba mewah, melimpah, dan berkecukupan. Tetapi  hidup mereka terancam direnggut kematian tragis dan mengerikan. Mereka dijadikan korban dalam ritual persembahan darah perawan suci kepada Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu Culung, dewa yang dianggap sebagai pemilik kehidupan abadi. 

“Yang Mulia Raja Pulebahas, ada permasalahan apakah kiranya, sehingga ananda mengundang Bapa menghadap dalam pertemuan ini?” tanya Yang Suci Pendeta Raga Pitar kepada Sang Raja Pulebahas. Lama Sang Raja diam saja di atas singgasananya, sehingga membuat mereka yang datang menghadap jadi gelisah.
“Adinda Patih Puletembini siap menerima perintah, Kakanda. Duka Kakanda adalah duka kami semua. Kegembiraan Kakanda juga kegembiraan kami semua,” ujar adik Sang Raja, Patih Puletembini ikut bicara, karena sejak menghadap, Sang Raja belum juga mau bicara. Wajah Sang Raja tampak murung dirundung duka seakan-akan sedang  kehilangan semangat dan gairah hidup.

“Yang Mulia Paduka Raja, hamba Tumenggung Surajaladri, juga siap menerima segala titah Paduka Raja. Seluruh pantai selatan Jawa sekitar Muara Citanduy dan Muara Ciserayu, sudah menjadi daerah taklukan Kerajaan Nusakambangan. Kalipucang, Rawaapu, Banakeling Arja Binangun, Widara Payung, sampai lereng barat pegunungan Ijo, telah tunduk dan mengakui kekuasaan Yang Mulia Paduka Raja. Hamba masih menunggu perintah Yang Mulia Paduka Raja untuk menaklukan Dayeuhluhur, Ayah, Kaleng, dan Patanahan. Jika wilayah-wilayah itu sudah dapat ditaklukan di bawah Duli Yang Mulia Paduka Raja, penaklukan Wirasaba dan Pasirluhur, bukan perkara sulit. Hamba Tumenggung Surajaladri menunggu perintah lebih lanjut dari Yang Mulia Paduka Raja,” kata Tumenggung Surajaladri ikut berbicara sekaligus memberikan laporan perkembangan ekspansi Kerajaan Nusakambangan. Sang Raja memang punya ambisi menguasai wilayah daratan Pulau Jawa bagian tengah dan selatan. Maksud laporan dari Tumenggung Surajaladri adalah untuk membesarkan hati Sang Raja, sekaligus usaha untuk membangkitkan kembali semangat dan gairah Sang Raja yang akhir-akhir ini seperti hendak padam.

Tetapi Sang Raja Pulebahas masih diam. Sang Raja duduk semakin gelisah di atas kursi singgasananya. Beberapa kali dia menarik napas dalam-dalam. Dan beberapa kali pula Sang Raja menyandarkan kepalanya ke belakang ke arah sandaran kursi singgasananya.  

“Sahaya Nyai Gede Wulansari, Yang Mulia Paduka Raja. Sungguh sahaya sangat cemas kalau-kalau akan menerima murka Yang Mulia Paduka Raja. Ananda Dyah Tunjungbiru, beberapa waktu lalu telah melaksanakan ritual persembahan darah perawan suci dengan tegar, tabah, dan dengan kerelaan berkorban amat tinggi. Oleh karenanya malam itu dia tidak memerlukan bantuan sahaya dan dua pembantu setia sahaya, Sekarmenur dan Sekarmelati. Sahaya menjadi saksi, Ananda Dyah Tunjungbiru masih perawan suci tidak tercela. Kapas darah perawan suci Ananda Dyah Tunjungbiru sahaya simpan dalam guci porselin di sanggar ritual Pondok Tamanbidadari, setelah diberi mantra oleh Yang Suci Bapa Raga Pitar.”

“Yang Mulia Paduka Raja dapat menyaksikannya. Sahaya telah menaruh bejana porselin berisi darah perawan suci itu berdampingan dengan pusaka Kerajaan Nusakambangan, bejana gelas berisi Kembang Wijaya Kusuma. Bejana kaca itu tampak semakin cemerlang cahayanya. Semoga kekuasaan, keagungan, dan kebesaran Yang Mulia Paduka Raja juga semakin cemerlang,” kata Nyai Gede Wulansari, Ibu asuh para gadis Pondok Tamanbidadari, ikut mencoba menghibur Sang Raja. 

Nyai Gede Wulansari menyebut semua gadis asuhannya di Pondok Tamanbidadari dengan panggilan kesayangan, ananda. Anak-anak asuhnya itu memang dipilih dari gadis-gadis hasil culikan yang memiliki postur tubuh seimbang. Mereka semua diberi pakaian, potongan rambut, dan rias wajah persis sama, sehingga sepintas kilas mereka bagaikan gadis-gadis kembar. Bahkan nama mereka pun sama semua, Tunjungbiru, yang berarti bunga samudra. Yang membedakan mereka hanya nama asli sebagai penanda identitas mereka. Mereka semua memiliki status terhormat, karena dipandang sebagai adik Yang Mulia Paduka Raja. Dengan demikian, Sang Raja seakan-akan mempunyai adik lebih dari empat puluh gadis kembar.

Nyai Gede Wulansari sendiri adalah seorang wanita berusia separuh baya, berbadan bulat, gemuk, tinggi besar, dengan lengan-lengan tangannya kuat luar biasa bagaikan tangkai penjepit, mirip seorang pegulat wanita. Dia mempunyai lengan tangan tangkai penjepit yang  siap mematahkan tulang-tulang rusuk siapa saja yang berhasil dipilinnya. Semua gadis anak asuhnya di Pondok Tamanbidadari takut kepada Nyai Gede Wulansari. Bagi gadis anak-anak asuhnya yang tak berdosa itu, sikap lemah lembut Nyai Gede Wulansari sebagai seorang pengasuh hanyalah sebuah kepura-puraan saja. Mereka tahu di balik wajah ramah Nyai Gede Wulansari, sejatinya tersimpan nafsu membunuh tidak kenal rasa belas kasihan. 

Tentu saja Nyai Gede Wulansari yang telah dididik dengan baik oleh Yang Suci Raga Pitar itu tidak pernah merasa berdosa. Dia malah merasa bangga telah berbakti menjadi pelayan Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu Culung. Untuk itu, dia pun berharap, sebagaimana harapan para penyembah Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu Culung lainnya, akan mendapat anugerah panjang usia, awet muda, serta hidup berkelimpahan, dan jaya. Mendengar nama Dyah Tunjungbiru disebut oleh Nyai Gede Wulansari, Sang Raja meluruskan punggungnya, kepalanya pun segera ditegakkan, dan mulailah terdengar suaranya.

“Nyai Gede Wulansari, apakah engkau lupa perintahku malam itu? Aku memerintahkanmu memanggil Yang Suci Raga Pitar untuk menjadi saksi ritual perkawaninanku malam itu juga dengan Adinda Niken Gambirarum Tunjungbiru. Celaka engkau Nyai Gede Wulansari, berani melanggar perintahku. Malam itu aku telah melakukan perkawinana secara gandarwa dengan Adinda Niken Gambirarum. Engkau tahu arti perkawinan secara gandarwa yang dibolehkan dalam ajaran kitab suci, bukan? Itu adalah ritual meresmikan hubungan suami istri berdasarkan kesepakatan berdua saja, disaksikan para dewa. Sedangkan upacara pengesahan perkawinan dilakukan menyusul. Bukankah begitu tata cara perkawinan secara gandarwa, Yang Suci Bapa Raga Pitar?“ tanya Sang Raja menghadapkan wajahnya kepada Pendeta Raga Pitar. Raga Pitar hanya menganggguk pelan. 

“Ampun sahaya, Yang Mulia Paduka Raja. Tak ada perintah kepada sahaya. Ketika sahaya dan pembantu sahaya, Sekarmenur dan Sekarmelati menjelang fajar malam itu masuk ke dalam kamar ritual, sahaya menemukan Yang Mulia Paduka Raja tertidur pulas dalam pelukan Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru di atas tilam peraduan. Ritual persembahan perawan suci telah berjalan mulus sesuai petunjuk Yang Suci Raga Pitar. Sebagai bukti bahwa ritual berjalan mulus, Sekarmenur dan Sekarmelati berhasil mendapatkan darah perawan suci Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru. Semua sudah ada dalam guci porselin,” kata Nyai Gede Wulansari.

“Ampun sahaya, Yang Mulia Paduka Raja,” kata Nyai Gede Wulansari masih melanjutkan kata-katanya seraya mengingat-ingat kembali malam tanggal empat belas Bulan Caitra beberapa hari yang lalu. Ketika itu Sang Raja Pulebahas tengah menjalani prosesi ritual persembahan darah perawan suci dengan Dyah Ayu Tunjungbiru.

”Malam itu tidak ada perintah dari Yang Mulia Paduka Raja untuk memanggil Yang Suci Raga Pitar,” kata Nyai Gede Wulansari mencoba mengingatkan Sang Raja pada malam prosesi ritual persembahan darah perawan suci di Pondok Tamanbidadari. 

“Malam itu sahaya mendapatkan Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru antara sadar dan tidak sadar. Sahaya tidak mungkin menunggu terlalu lama, sebab fajar pagi sudah hampir menyingsing. Di depan pintu sanggar ritual utusan Yang Suci Raga Pitar juga sudah tidak sabar menunggu. Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru segera sahaya beri minuman ramuan yang membuatnya pingsan. Sahaya memang terkejut, waktu menemukan cangkir emas berisi cairan ramuan khusus untuk Yang Mulia Paduka Raja sudah habis. Tetapi cangkir perak berisi cairan ramuan khusus untuk Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru masih separuh. Adakah Yang Mulia Paduka Raja ikut minum cairan dari cangkir perak yang membuat Yang Mulia Paduka Raja malam itu tidur pulas dalam pelukan Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru?” 

“Maafkan sahaya Yang Mulia Paduka Raja,” masih kata Nyai Gede Wulansari. “Sahaya memang sempat berpikir demikian. Karena petugas di depan pintu bolak-balik mengingatkan bahwa fajar hampir terbit dan ritual terancam gagal, bila Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru tidak segera dibawa ke pantai timur dekat Pulau Majeti. Maka terpaksa sahaya minumkan sisa ramuan pelemah tubuh ke mulut Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru, yang membuatnya pingsan seketika. Pembantu sahaya Sekarmenur dan Sekarmelati segera memakaikan pakaian putih suci, dan mengangkat tubuh Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru keluar dari kamar ritual.”

“Tiba di luar pintu sanggar, tubuh Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru segera diserahkannya kepada tiga petugas yang sudah tidak sabar menunggu. Sahaya menyaksikan dalam keremangan cahaya emas bulan tanggal empat belas yang sudah sangat meredup, Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru dalam keadaan pingsan dibawa dengan kuda yang berlari cepat, melesat menuju pantai timur,” kata Nyai Gede Wulansari mengakhiri penjelasannya kepada Yang Mulia Raja.

Hari masih pagi, tetapi angin laut sudah bertiup cukup kencang menerobos ruang pertemuan, membuat sejumlah daun jendela yang dibuat dari lembaran kayu tipis itu bergoyang-goyang. Bau asin air laut terbawa masuk menyinggahi semua hidung yang hadir di ruangan itu. Nyai Gede Wulansari mengusap ujung hidungnya. Dia ingat betul, Tunjungbiru memang gadis cantik jelita yang cerdas. Wajahnya lonjong, bibirnya bagaikan delima merekah, kulitnya putih bersih, tubuhnya ramping tinggi semampai. Dalam balutan kain berwarna putih biru, pada malam ritual itu tampak demikian anggun. Wajar jika Yang Mulia Paduka Raja langsung jatuh cinta begitu melihat Tunjungbiru tergolek sendirian dengan sikap pasrah, tetapi juga menantang Sang Raja dari atas ranjang ritual. 

Tidak seperti gadis lain yang melakukan perlawanan dan sering meronta-ronta pada saat dibawa masuk ke kamar ritual, Tunjungbiru malah mengajukan permintaan menjalani ritual persembahan darah perawan suci itu sendiri saja. Dia tidak mau diganggu oleh Nyai Gede Wulansari dan kedua pembantunya, Sekarmenur dan Sekarmelati.

“Nyai Gede, biarkan ananda menjalani ritual berdua saja dengan Yang Mulia Raja,” kata Tunjungbiru malam itu mengajukan permintaan kepada Nyai Gede Wulansari. ”Memang ananda penyembah Sang Hyang Syiwa. Tetapi ananda pernah mendengar sepintas kilas ajaran suci yang diamalkan para penyembah Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu Culung. Ananda tidak takut menghadapi maut melalui ritual suci. Karena itu adalah salah satu jalan yang akan mengantarkan takdir ananda mencapai moksa dan hidup abadi bahagia. Hidup abadi yang terlepas dari hukum tumimbal lahir atau inkarnasi yang membuat orang hidup menderita dan sengsara di dunia fana ini. Ananda siap lahir batin menghadapi ritual suci, Nyai Gede.” 

Mendengar permintaan seperti itu Nyai Gede Wulansari tidak kuasa menolak. Bahkan dia merasa gembira, karena tugasnya bertambah ringan. Padahal biasanya, Nyai Gede Wulansari jika membawa gadis yang telah dikarantina ke atas ranjang ritual, harus dibantu  dua orang, Sekarmenur dan Sekarmelati. Sebab biasanya gadis calon korban itu meronta-ronta sekua.(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar