Sudah berhari-hari Yang
Mulia Raja Pulebahas, Raja Muda Nusakambangan itu terus menerus murung
wajahnya. Sudah banyak gadis perawan cantik dijadikan korban ritual persembahan
darah perawan suci kepada Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu Culung. Tetapi gadis perawan
korban terakhir ritual persembahan itu benar-benar telah mengguncangkan seluruh
keyakinannya. Dia sangat cemas dengan kutukan Niken Gambirarum, gadis cantik yang
belum lama telah mengucapkan kata-kata kutukan sangat mengerikan bagi diri Sang
Raja.
Raja Pulebahas mengira
gadis cantik yang dengan sukarela menyerahkan dirinya pada malam ritual persembahan
darah perawan suci itu hanyalah seorang anak nelayan yang berhasil diculik dari
pantai Rawaapu. Ternyata dia adalah Putri Adipati Kalipucang yang sedang bermain-main
di tepi pantai dan berhasil diculik prajuritnya. Dia kemudian dimasukkan ke
dalam Pondok Tamanbidadari yang ada di tengah-tengah Kerajaan Nusakambangan.
Pagi itu Yang Mulia
Paduka Raja sengaja mengundang menghadap kepadanya perangkat kerajaan yang
terdiri dari dua orang kepercayaannya. Mereka adalah adiknya, Patih Puletembini
dan pembantu patih Tumenggung Surajaladri. Diundang pula menghadap Sang Raja
Pulebahas adalah penanggungjawab Pondok Tamanbidadari, Nyai Gede Wulansari, dan
seorang brahmana pendeta agung Kerajaan Nusakambangan, Yang Suci Raga Pitar.
Yang Suci Raga Pitar
pada mulanya adalah pendeta penganut sekte agama Hindu penyembah Kala yang
mengajarkan praktek ritual ajaran kitab suci agama Hindu. Tetapi di tangan Yang
Suci Raga Pitar, agama Hindu Sekte Kala itu telah banyak diselewengkan dan
disimpangkan. Di mata para brahmana agama Hindu sekte Syiwa, Wisnu, Brahma,
Sambu, Indra, dan Kala, ajaran Yang Suci Raga Pitar itu dinilai sebagai ajaran
sesat.
Yang Suci Raga Pitar
memuja Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu Culung, pemilik hidup abadi. Agama yang
memuja Ditya Kala Rembu Culung itulah yang merupakan agama resmi Kerajaan
Nusakambangan. Dengan sendirinya Yang Suci Raga Pitar menjadi sosok terhormat
di lingkungan Kerajaan Nusakambangan. Dia pula yang menciptakan ritual pemujaan
kepada Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu Culung, melalui pengorbanan darah perawan
suci setiap malam purnama sidhi tanggal empat belas Bulan Caitra.
Banyak gadis-gadis
cantik dari daratan antara muara Sungai Citanduy sampai muara Sungai Ciserayu berhasil
diculik prajurit Kerajaan Nusakambangan. Mereka ditempatkan dalam suatu barak
khusus untuk menampung gadis-gadis dengan dijaga ketat bernama Pondok Tamanbidadari.
Di Pondok Tamanbidadari itu terkumpul sekitar empat puluh lima orang gadis
cantik perawan suci yang dimanjakan dengan kehidupan serba mewah, melimpah, dan
berkecukupan. Tetapi hidup mereka
terancam direnggut kematian tragis dan mengerikan. Mereka dijadikan korban
dalam ritual persembahan darah perawan suci kepada Sang Mahadewa Ditya Kala
Rembu Culung, dewa yang dianggap sebagai pemilik kehidupan abadi.
“Yang Mulia Raja
Pulebahas, ada permasalahan apakah kiranya, sehingga ananda mengundang Bapa
menghadap dalam pertemuan ini?” tanya Yang Suci Pendeta Raga Pitar kepada Sang
Raja Pulebahas. Lama Sang Raja diam saja di atas singgasananya, sehingga
membuat mereka yang datang menghadap jadi gelisah.
“Adinda Patih
Puletembini siap menerima perintah, Kakanda. Duka Kakanda adalah duka kami
semua. Kegembiraan Kakanda juga kegembiraan kami semua,” ujar adik Sang Raja,
Patih Puletembini ikut bicara, karena sejak menghadap, Sang Raja belum juga mau
bicara. Wajah Sang Raja tampak murung dirundung duka seakan-akan sedang kehilangan semangat dan gairah hidup.
“Yang Mulia Paduka
Raja, hamba Tumenggung Surajaladri, juga siap menerima segala titah Paduka
Raja. Seluruh pantai selatan Jawa sekitar Muara Citanduy dan Muara Ciserayu,
sudah menjadi daerah taklukan Kerajaan Nusakambangan. Kalipucang, Rawaapu,
Banakeling Arja Binangun, Widara Payung, sampai lereng barat pegunungan Ijo,
telah tunduk dan mengakui kekuasaan Yang Mulia Paduka Raja. Hamba masih
menunggu perintah Yang Mulia Paduka Raja untuk menaklukan Dayeuhluhur, Ayah,
Kaleng, dan Patanahan. Jika wilayah-wilayah itu sudah dapat ditaklukan di bawah
Duli Yang Mulia Paduka Raja, penaklukan Wirasaba dan Pasirluhur, bukan perkara
sulit. Hamba Tumenggung Surajaladri menunggu perintah lebih lanjut dari Yang
Mulia Paduka Raja,” kata Tumenggung Surajaladri ikut berbicara sekaligus
memberikan laporan perkembangan ekspansi Kerajaan Nusakambangan. Sang Raja
memang punya ambisi menguasai wilayah daratan Pulau Jawa bagian tengah dan
selatan. Maksud laporan dari Tumenggung Surajaladri adalah untuk membesarkan
hati Sang Raja, sekaligus usaha untuk membangkitkan kembali semangat dan gairah
Sang Raja yang akhir-akhir ini seperti hendak padam.
Tetapi Sang Raja
Pulebahas masih diam. Sang Raja duduk semakin gelisah di atas kursi singgasananya.
Beberapa kali dia menarik napas dalam-dalam. Dan beberapa kali pula Sang Raja menyandarkan
kepalanya ke belakang ke arah sandaran kursi singgasananya.
“Sahaya Nyai Gede
Wulansari, Yang Mulia Paduka Raja. Sungguh sahaya sangat cemas kalau-kalau akan
menerima murka Yang Mulia Paduka Raja. Ananda Dyah Tunjungbiru, beberapa waktu lalu
telah melaksanakan ritual persembahan darah perawan suci dengan tegar, tabah,
dan dengan kerelaan berkorban amat tinggi. Oleh karenanya malam itu dia tidak
memerlukan bantuan sahaya dan dua pembantu setia sahaya, Sekarmenur dan
Sekarmelati. Sahaya menjadi saksi, Ananda Dyah Tunjungbiru masih perawan suci
tidak tercela. Kapas darah perawan suci Ananda Dyah Tunjungbiru sahaya simpan
dalam guci porselin di sanggar ritual Pondok Tamanbidadari, setelah diberi
mantra oleh Yang Suci Bapa Raga Pitar.”
“Yang Mulia Paduka Raja
dapat menyaksikannya. Sahaya telah menaruh bejana porselin berisi darah perawan
suci itu berdampingan dengan pusaka Kerajaan Nusakambangan, bejana gelas berisi
Kembang Wijaya Kusuma. Bejana kaca itu tampak semakin cemerlang cahayanya.
Semoga kekuasaan, keagungan, dan kebesaran Yang Mulia Paduka Raja juga semakin
cemerlang,” kata Nyai Gede Wulansari, Ibu asuh para gadis Pondok Tamanbidadari,
ikut mencoba menghibur Sang Raja.
Nyai Gede Wulansari
menyebut semua gadis asuhannya di Pondok Tamanbidadari dengan panggilan
kesayangan, ananda. Anak-anak asuhnya itu memang dipilih dari gadis-gadis hasil
culikan yang memiliki postur tubuh seimbang. Mereka semua diberi pakaian,
potongan rambut, dan rias wajah persis sama, sehingga sepintas kilas mereka
bagaikan gadis-gadis kembar. Bahkan nama mereka pun sama semua, Tunjungbiru,
yang berarti bunga samudra. Yang membedakan mereka hanya nama asli sebagai penanda
identitas mereka. Mereka semua memiliki status terhormat, karena dipandang
sebagai adik Yang Mulia Paduka Raja. Dengan demikian, Sang Raja seakan-akan
mempunyai adik lebih dari empat puluh gadis kembar.
Nyai Gede Wulansari sendiri
adalah seorang wanita berusia separuh baya, berbadan bulat, gemuk, tinggi besar,
dengan lengan-lengan tangannya kuat luar biasa bagaikan tangkai penjepit, mirip
seorang pegulat wanita. Dia mempunyai lengan tangan tangkai penjepit yang siap mematahkan tulang-tulang rusuk siapa
saja yang berhasil dipilinnya. Semua gadis anak asuhnya di Pondok Tamanbidadari
takut kepada Nyai Gede Wulansari. Bagi gadis anak-anak asuhnya yang tak berdosa
itu, sikap lemah lembut Nyai Gede Wulansari sebagai seorang pengasuh hanyalah
sebuah kepura-puraan saja. Mereka tahu di balik wajah ramah Nyai Gede
Wulansari, sejatinya tersimpan nafsu membunuh tidak kenal rasa belas kasihan.
Tentu saja Nyai Gede
Wulansari yang telah dididik dengan baik oleh Yang Suci Raga Pitar itu tidak
pernah merasa berdosa. Dia malah merasa bangga telah berbakti menjadi pelayan
Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu Culung. Untuk itu, dia pun berharap, sebagaimana
harapan para penyembah Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu Culung lainnya, akan
mendapat anugerah panjang usia, awet muda, serta hidup berkelimpahan, dan jaya. Mendengar nama Dyah
Tunjungbiru disebut oleh Nyai Gede Wulansari, Sang Raja meluruskan punggungnya,
kepalanya pun segera ditegakkan, dan mulailah terdengar suaranya.
“Nyai Gede Wulansari,
apakah engkau lupa perintahku malam itu? Aku memerintahkanmu memanggil Yang
Suci Raga Pitar untuk menjadi saksi ritual perkawaninanku malam itu juga dengan
Adinda Niken Gambirarum Tunjungbiru. Celaka engkau Nyai Gede Wulansari, berani
melanggar perintahku. Malam itu aku telah melakukan perkawinana secara gandarwa dengan Adinda Niken Gambirarum.
Engkau tahu arti perkawinan secara gandarwa
yang dibolehkan dalam ajaran kitab suci, bukan? Itu adalah ritual meresmikan
hubungan suami istri berdasarkan kesepakatan berdua saja, disaksikan para dewa.
Sedangkan upacara pengesahan perkawinan dilakukan menyusul. Bukankah begitu
tata cara perkawinan secara gandarwa,
Yang Suci Bapa Raga Pitar?“ tanya Sang Raja menghadapkan wajahnya kepada
Pendeta Raga Pitar. Raga Pitar hanya menganggguk pelan.
“Ampun sahaya, Yang
Mulia Paduka Raja. Tak ada perintah kepada sahaya. Ketika sahaya dan pembantu
sahaya, Sekarmenur dan Sekarmelati menjelang fajar malam itu masuk ke dalam
kamar ritual, sahaya menemukan Yang Mulia Paduka Raja tertidur pulas dalam
pelukan Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru di atas tilam peraduan. Ritual persembahan
perawan suci telah berjalan mulus sesuai petunjuk Yang Suci Raga Pitar. Sebagai
bukti bahwa ritual berjalan mulus, Sekarmenur dan Sekarmelati berhasil
mendapatkan darah perawan suci Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru. Semua sudah ada
dalam guci porselin,” kata Nyai Gede Wulansari.
“Ampun sahaya, Yang
Mulia Paduka Raja,” kata Nyai Gede Wulansari masih melanjutkan kata-katanya
seraya mengingat-ingat kembali malam tanggal empat belas Bulan Caitra beberapa
hari yang lalu. Ketika itu Sang Raja Pulebahas tengah menjalani prosesi ritual
persembahan darah perawan suci dengan Dyah Ayu Tunjungbiru.
”Malam itu tidak ada
perintah dari Yang Mulia Paduka Raja untuk memanggil Yang Suci Raga Pitar,”
kata Nyai Gede Wulansari mencoba mengingatkan Sang Raja pada malam prosesi
ritual persembahan darah perawan suci di Pondok Tamanbidadari.
“Malam itu sahaya
mendapatkan Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru antara sadar dan tidak sadar. Sahaya
tidak mungkin menunggu terlalu lama, sebab fajar pagi sudah hampir menyingsing.
Di depan pintu sanggar ritual utusan Yang Suci Raga Pitar juga sudah tidak
sabar menunggu. Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru segera sahaya beri minuman ramuan
yang membuatnya pingsan. Sahaya memang terkejut, waktu menemukan cangkir emas
berisi cairan ramuan khusus untuk Yang Mulia Paduka Raja sudah habis. Tetapi
cangkir perak berisi cairan ramuan khusus untuk Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru
masih separuh. Adakah Yang Mulia Paduka Raja ikut minum cairan dari cangkir
perak yang membuat Yang Mulia Paduka Raja malam itu tidur pulas dalam pelukan
Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru?”
“Maafkan sahaya Yang
Mulia Paduka Raja,” masih kata Nyai Gede Wulansari. “Sahaya memang sempat
berpikir demikian. Karena petugas di depan pintu bolak-balik mengingatkan bahwa
fajar hampir terbit dan ritual terancam gagal, bila Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru
tidak segera dibawa ke pantai timur dekat Pulau Majeti. Maka terpaksa sahaya
minumkan sisa ramuan pelemah tubuh ke mulut Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru, yang
membuatnya pingsan seketika. Pembantu sahaya Sekarmenur dan Sekarmelati segera
memakaikan pakaian putih suci, dan mengangkat tubuh Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru
keluar dari kamar ritual.”
“Tiba di luar pintu
sanggar, tubuh Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru segera diserahkannya kepada tiga
petugas yang sudah tidak sabar menunggu. Sahaya menyaksikan dalam keremangan
cahaya emas bulan tanggal empat belas yang sudah sangat meredup, Ananda Dyah
Ayu Tunjungbiru dalam keadaan pingsan dibawa dengan kuda yang berlari cepat,
melesat menuju pantai timur,” kata Nyai Gede Wulansari mengakhiri penjelasannya
kepada Yang Mulia Raja.
Hari masih pagi, tetapi
angin laut sudah bertiup cukup kencang menerobos ruang pertemuan, membuat
sejumlah daun jendela yang dibuat dari lembaran kayu tipis itu
bergoyang-goyang. Bau asin air laut terbawa masuk menyinggahi semua hidung yang
hadir di ruangan itu. Nyai Gede Wulansari mengusap ujung hidungnya. Dia ingat
betul, Tunjungbiru memang gadis cantik jelita yang cerdas. Wajahnya lonjong,
bibirnya bagaikan delima merekah, kulitnya putih bersih, tubuhnya ramping
tinggi semampai. Dalam balutan kain berwarna putih biru, pada malam ritual itu
tampak demikian anggun. Wajar jika Yang Mulia Paduka Raja langsung jatuh cinta
begitu melihat Tunjungbiru tergolek sendirian dengan sikap pasrah, tetapi juga
menantang Sang Raja dari atas ranjang ritual.
Tidak seperti gadis
lain yang melakukan perlawanan dan sering meronta-ronta pada saat dibawa masuk
ke kamar ritual, Tunjungbiru malah mengajukan permintaan menjalani ritual
persembahan darah perawan suci itu sendiri saja. Dia tidak mau diganggu oleh
Nyai Gede Wulansari dan kedua pembantunya, Sekarmenur dan Sekarmelati.
“Nyai Gede, biarkan
ananda menjalani ritual berdua saja dengan Yang Mulia Raja,” kata Tunjungbiru
malam itu mengajukan permintaan kepada Nyai Gede Wulansari. ”Memang ananda
penyembah Sang Hyang Syiwa. Tetapi ananda pernah mendengar sepintas kilas
ajaran suci yang diamalkan para penyembah Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu
Culung. Ananda tidak takut menghadapi maut melalui ritual suci. Karena itu
adalah salah satu jalan yang akan mengantarkan takdir ananda mencapai moksa dan hidup abadi bahagia. Hidup
abadi yang terlepas dari hukum tumimbal
lahir atau inkarnasi yang membuat orang hidup menderita dan sengsara di dunia
fana ini. Ananda siap lahir batin menghadapi ritual suci, Nyai Gede.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar