Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 04 Agustus 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (33)




“Sungguh aku tidak menyangka bahwa ada pula gadis cantik jelita di Kadipaten Kalipucang yang ada di depan mata Kerajaan Nusakambangan. Dan sungguh aku semakin tidak tahu pula, bahwa gadis cantik kembang Kadipaten Kalipucang sudah lama menjadi penghuni Pondok Tamanbidadari. Niken Gambirarum, maukah engkau memaafkan kebodohanku, dan maukah engkau menjadi istriku malam ini juga?” bujuk Sang Raja.

Tanpa berpikir panjang Niken Gambirarum langsung menjawab, ”Bukankah tadi sahaya sudah menyampaikan isi hati sahaya? Sahaya menyerahkan diri sahaya sepenuhnya kepada kehendak Yang Mulia Paduka Raja. Hanya saja, jika Paduka Raja menghendaki sahaya menjadi seorang istri, hendaklah Paduka Raja mengikuti adat yang berlaku. Karena Paduka Raja akan menjadi suami sahaya dan seorang suami adalah pelindung seorang istri, tempat mengabdi seorang istri, tempat menitipkan jiwa raga seorang istri, maka hendaklah Paduka Raja berkenan memenuhi permohonan sahaya. Itulah adat yang berlaku dan aturan yang dibenarkan oleh agama mana saja. Yang Mulia Paduka Raja, bersediakah Paduka Raja memenuhi permohonan sahaya, sebelum Paduka Raja mengambil sahaya menjadi istri Yang Mulia Paduka Raja?”

“Apa susahnya memenuhi permintaanmu, Niken Gambirarum?” kata Sang Raja Pulebahas sambil memandang tak berkedip gadis cantik yang duduk di sampingnya itu. ”Aku Raja penguasa pantai selatan dan Pulau Nusakambangan. Hartaku pun melimpah ruah. Demi calon ibu yang akan mengandung anak-anakku, katakan apa yang akan engkau minta dariku. Aku akan memenuhi permintaanmu. Aku pasti akan memberikan lebih dari apa yang engkau minta,” Sang Raja berkata seraya melingkarkan tangannya ke pundak Niken Gambirarum yang putih mulus itu. Pundaknya yang terbuka itu berpendaran tertimpa cahaya temaram  sinar lampu minyak.

Entah mengapa tiba-tiba Sang Raja merasakan hal aneh yang belum pernah dialaminya. Sebuah keindahan dari rasa cinta mulai berbunga-bunga di sudut-sudut kedalaman jiwanya. Ya, sebuah keindahan cinta yang sulit dilukiskan. Sebuah keindahan yang tiba-tiba menimbulkan rasa dahaga dari Sang Raja, sehingga dirinya  ingin terus meneguk lezatnya madu cinta yang baru pertama kali dialaminya. 

“Sahaya mengucapkan terima kasih, Yang Mulia Paduka Raja. Ada ungkapan bijak, sabda pandita ratu. Artinya, sekali seorang raja mengucapkan sesuatu, tidak boleh ditarik kembali. Permohonan sahaya hanya satu, yaitu hendaknya Yang Mulia Paduka Raja membebaskan seluruh gadis penghuni Pondok Tamanbidadari dari kewajiban menjalani ritual primitif yang merendahkan martabat dan harkat kaum sahaya. Hanya itu permintaan sahaya, Yang Mulia Paduka Raja. Sahaya menunggu jawaban Paduka Raja.”

Mendengar permintaan itu, Sang Raja justru merasa sangat gembira. Dia merasa telah ditunjukkan suatu jalan yang akan membebaskan dirinya dari kewajiban menjalani ritual terkutuk atas nama agama. Sebuah ritual yang dirasakannya  semakin lama semakin menjadi beban berat yang menghimpit jiwanya. 

“Niken Gambirarum, sudah lama sebenarnya aku meragukan kebenaran dari ritual terkutuk itu. Hanya saja, aku tidak pernah tahu jalan untuk mengakhirinya. Permintaanmu itu sungguh akan membebaskan aku dari beban berat yang setiap tahun harus aku lakukan. Besok aku akan perintahkan Bapa Pendeta Raga Pitar agar mengakhiri ritual terkutuk itu. Aku tidak peduli, apakah perintahku itu akan menodai kitab suci atau tidak.”

“Yang Mulia Paduka Raja, Paduka tidak usah khawatir. Paduka telah mengambil langkah yang benar, yang sesuai dengan petunjuk kitab suci. Tidak ada penodaan terhadap kitab suci sekte agama Hindu manapun. Sahaya pernah membaca rontal kitab suci milik Ayahanda. Dari keenam sekte agama Hindu yang berkembang di daratan Pulau Jawa, yakni sekte agama Syiwa, Wisnu, Brahma, Indra, Sambu, dan Kala, tidak ada satu pun yang mengajarkan ritual persembahan darah perawan suci.”

Gadis cantik putri sulung Adipati Kalipucang yang cerdas itu kemudian menjelaskan kepada Sang Raja, sejarah perkembangan agama Hindu dan Buddha di tanah Jawa. Penjelasan gadis cantik itu membuat Sang Raja semakin kagum kepadanya. Kini, Sang Raja semakin yakin, bahwa ritual persembahan darah perawan suci merupakan ritual menyimpang dari ajaran kitab suci agama Hindu.

“Niken Gambirarum, pengetahuan agamamu seluas lautan. Semuda usiamu, engkau tidak kalah dengan Bapa Pendeta Raga Pitar. Aku pernah mendengar perkawinan mandiri sepasang calon pengantin. Bisakah malam ini kita lakukan ritual perkawinan secara mandiri dengan saksi para Dewa di langit?” tanya Sang Raja.

“Kenapa tidak, Yang Mulia Paduka Raja? Perkawinan mandiri merupakan salah satu cara dari delapan cara perkawinan yang diijinkan dalam kitab suci. Beberapa brahmana menyebutnya sebagai perkawinan secara gandarwa. Gandarwa itu mahluk halus tidak kelihatan, hanya dewa yang mampu melihatnya. Maksud perkawinan secara gandarwa adalah prosesi ritual perkawinan menjadi pasangan suami istri tanpa diketahui oleh umum, tetapi disaksikan oleh para dewa. Sahaya lebih suka menyebutnya sebagai ritual perkawinan secara mandiri.”

“Kalau begitu marilah kita lakukan prosesi perkawinan secara mandiri. Aku ingin, malam ini juga engkau sudah jadi istriku yang sah sesuai tuntunan kitab suci.”

“Baiklah Yang Mulia Paduka Raja. Mari kita berdiri saling berhadapan. Silahkan Paduka bersaksi di hadapan para dewa untuk mengabulkan permohonan sahaya,” kata Niken Gambirarum sambil bangkit dari duduknya dan berdiri saling berhadapan dengan Sang Raja. Kedua tangan mereka diangkat ke atas setinggi dada, sehingga kedua tapak tangan mereka saling bertemu.

“Niken Gambirarum Tunjungbiru, dengarkan kata-kataku,” kata Sang Raja. ”Malam ini juga aku memutuskan, dengan disaksikan para Dewa, membebaskan semua gadis penghuni Pondok Tamanbidadari Kerajaan Nusakambangan dari kewajiban menjalani ritual persembahan darah perawan suci. Aku lakukan ini untuk memenuhi permintaan calon istriku, Niken Gambirarum Tunjungbiru.”

Setelah Sang Raja selesai mengucapkan kalimat pernyataan itu, Niken Gambirarum menyambungnya dengan mengucapkan kata-kata, “Yang Mulia Paduka Raja, sahaya bersaksi bahwa Yang Mulia Paduka Raja Pulebahas, calon suami sahaya, telah memenuhi permintaan sahaya sebagai calon istri Yang Mulia Raja Pulebahas.”

Keduanya diam beberapa saat, membiarkan kata-kata tadi meresap ke dalam jiwanya dan membubung ke langit malam, membubung melewati bulan purnama berwarna keemasan dan bintang gemintang cemerlang kebiru-biruan, membubung untuk menemui para Dewa yang jauh di atas langit sana. Dan, prosesi perkawinan secara mandiri itu pun telah berlangsung separuh jalan.

“Yang Mulia Paduka Raja, mari kita lanjutkan,” kata Niken Gambirarum memecahkan keheningan malam, meminta agar Sang Raja menyelesaikan seluruh rangkaian ritual.

Sang Raja Pulebahas menatap gadis ayu di depannya sambil tersenyum bahagia, kemudian setelah menarik napas dalam-dalam melanjutkannya. “Aku Raja Pulebahas, bersaksi di hadapan para Dewa, malam ini Niken Gambirarum Tujung Biru telah menjadi istriku dan menjadi calon Ibu dari anak-anakku. Aku akan mencintainya, menyayanginya, dan melindunginya sepanjang hayat.” 

Sang Raja diam setelah mengucapkan kata-kata itu. Niken Gambirarum langsung menyambungnya, “Sahaya Niken Gambirarum, bersaksi di hadapan para Dewa, malam ini Yang Mulia Paduka Raja Pulebahas telah menjadi suami sahaya. Sahaya akan berbakti, mengabdi kepadanya sepanjang hayat, serta bersedia mengandung calon putra-putrinya, akan menjaganya, dan mendidiknya semampu sahaya.” Prosesi perkawinan secara mandiri pun selesai. Sang Raja dan Niken Gambirarum bernapas lega. Mereka berdua telah sah sebagai sepasang suami istri yang saling jatuh cinta. Mereka menurunkan kedua tangan masing-masing yang sejak awal prosesi itu saling bertautan.

“Yang Mulia Paduka Raja, suami sahaya, sekarang boleh mencium sahaya,” kata Niken Gambirarum sambil mengangkat wajah cantiknya menatap Sang Raja.

Tanpa menunggu lama tangan Sang Raja menarik Niken Gambirarum ke dadanya, dipeluk dan didekapnya gadis ramping tinggi semampai itu. Kemudian diciuminya wajah gadis cantik itu. Akhirnya kedua bibir mereka saling bertemu. Lama kedua bibir itu bertautan, membuat jantung ke duanya berdegup lebih cepat dari biasanya. Sang Raja Pulebahas merasakan sebuah sensasi indah yang menggairahkan, yang baru pertama kali dialaminya. Api Asmara pun mulai berkobar-kobar menggerayangi seluruh pori-pori di sekujur tubuhnya. Semua itu membuat Sang Raja yang belum pernah bermain cinta ingin selalu menemukan sensasi aneh yang menggairahkan. Sang Raja terus berusaha mencari-cari dan menggalinya lebih dalam di sudut-sudut tersembunyi dari tubuh Niken Gambirarum Tunjungbiru yang molek itu.

Tetapi, betapa kecewanya Sang Raja ketika dia mulai asyik dengan permainan asmara, pintu kamar ritual tiba-tiba terbuka. Nyai Gede Wulansari melangkah masuk, sehingga terpaksa Sang Raja melepaskan gadis yang tengah berada dalam pelukannya itu. 

“Nyai Gede Wulansari! Siapa yang menyuruhmu masuk? Lancang benar Kamu!” Sang Raja berkata dengan nada suara marah menghardik Nyai Gede Wulansari. Wanita Serigala itu segera menghentikan langkahnya.

“Ampun sahaya, Yang Mulia Paduka Raja. Sahaya hanya akan memberitahu, bahwa bulan purnama telah mencapai puncak terangnya. Tengah malam sudah tiba. Sebentar lagi sinar bulan purnama akan meredup. Tengah malam akan segera lewat. Dan gonggongan anjing hutan di kejauhan sudah mulai terdengar, Yang Mulia Paduka Raja,” berkata Nyai Gede Wulansari memberikan alasan sekaligus pesan terselubung. Pesan agar Yang Mulia Raja segera melakukan ritual persembahan darah perawan suci.

Sang Raja yang tengah murka itu segera mengusir Nyai Gede Wulansari, tanpa menyadari bahaya yang tengah mengancamnya. Sang Raja tak sempat melihat tatapan mata curiga Nyai Gede Wulansari yang menatapnya bagaikan mata serigala.

“Tunggu diluar! Jangan sekali-sekali masuk, jika tidak aku panggil!” terdengar suara keras Sang Raja ketika Nyai Gede Wulansari melangkah keluar ruangan dan menutup kembali rapat-rapat pintu ruang ritual.

Ruangan ritual kembali sepi dan hening, malam yang dingin terus merangkak. Sesekali di kejauhan di tengah hutan Nusakambangan terdengar lolongan panjang anjing hutan, mendirikan bulu roma. Tiba-tiba Sang Raja menjadi cemas. Dia menangkap firasat buruk ketika lolongan anjing hutan itu semakin sering terdengar. Sempat terpikir olehnya memboyong saja Niken Gambirarum yang sudah jadi istrinya itu ke tempat peraduannya di istana tidak jauh dari Tamanbidadari. Tetapi kemarahan kepada Nyai Gede Wulansari masih menggelayuti dirinya, hingga gagasan itu lenyap seketika.

“Lupakan dan maafkan dia, Suami sahaya. Nyai Gede Wulansari bisa jadi benar, dia mengingatkan kita agar kita bergegas melayari telaga cinta,” kata Niken Gambirarum menenangkan amarah Sang Raja. “Perjalanan cinta kita masih jauh. Ranjang pengantin agaknya sudah tidak sabar menunggu kita sejak tadi. Mari kita berlayar mengarungi telaga cinta, suami sahaya Yang Mulia Paduka Raja.” 

Mendengar kata-kata itu, kembali Sang Raja memeluk Niken Gambirarum dengan lebih bergairah. Terdengar lagi suara lolong anjing hutan memecah kesunyian malam dari kejauhan. Tetapi entah mengapa, Sang Raja merasa amat terganggu dengan lolongan anjing hutan yang bolak-balik menerobos ruang ritual itu, sekalipun terdengar hanya sayup-sayup sampai ke dalam kamar.

“Hem, Istriku Niken Gambirarum, engkau pandai membuat diriku merasa tenteram dan bahagia. Tetapi menurutmu, wahai Istriku, firasat buruk apakah suara lolongan anjing hutan yang berulang kali terdengar itu, barangkali engkau tahu artinya?” tanya Sang Raja yang merasa terganggu dengan suara lolongan panjang anjing hutan itu. Bagi Sang Raja suara itu membuat bulu romanya berdiri.

“Tidak usah cemas, Suami sahaya. Tidak ada firasat buruk. Tiap bulan purnama memang selalu terdengar lolong panjang anjing hutan seperti itu. Sekarang ini adalah mangsa Kasanga. Musim anjing hutan bermain cinta. Itu adalah lolongan anjing hutan jantan yang sedang merindukan kekasihnya. Dia menunggu sang kekasih di tengah-tengah padang hijau di tepi hutan yang ditimpa cahaya bulan kuning cemerlang. Dia akan terus melolong sampai sang kekasih datang. Biasanya ketika sinar bulan mulai meredup sang kekasih baru datang. Dia agak malu-malu, tidak suka bermain cinta di padang rumput terbuka di bawah cahaya terang bulan purnama,” kata Niken Gambirarum menjelaskan kepada Sang Raja.

“Hem, apakah engkau juga malu jika harus melepas semua yang melekat pada tubuhmu, agar aku suamimu bisa menikmati seluruh keindahan anugerah dewa yang ada pada dirimu? Atau, haruskah kupadamkan lampu temaran di sudut itu?” tanya Sang Raja.

Niken Gambirarum tersenyum. Dengan sabar dia mengajak Sang Raja setahap demi setahap melangkah dalam permainan cinta, sebagaimana yang pernah dibacanya dalam kitab suci Kamasutra, pada bab  ”Seni Berbakti Pada Suami di  Malam Pertama.”

“Tentu tidak layak seorang istri malu melepas semua apa yang ada pada dirinya demi kebahagiaan dan bakti seorang istri kepada suami, Yang Mulia Paduka Raja. Kebetulan sahaya Istri Paduka, lebih suka cahaya lembut temaram seperti sekarang ini. Kalau begitu mari kita segera melangkah. Tetapi karena mendaki bukit cinta kadang-kadang tidak mudah bagi para pemula, demikian kata-kata dalam kitab suci Kamasutra yang pernah sahaya baca. Maka alangkah baiknya jika Yang Mulia tidak membiarkan madu di dalam cangkir emas itu mengental begitu saja. Biarkan sahaya mengambilkannya Yang Mulia,” Niken Gambirarum melepaskan diri dari pelukan Sang Raja, lalu melangkah untuk mengambil cangkir emas berisi minuman yang disediakan Sekarmenur di atas meja tidak jauh dari ranjang ritual.(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar