“Sungguh aku tidak
menyangka bahwa ada pula gadis cantik jelita di Kadipaten Kalipucang yang ada
di depan mata Kerajaan Nusakambangan. Dan sungguh aku semakin tidak tahu pula,
bahwa gadis cantik kembang Kadipaten Kalipucang sudah lama menjadi penghuni
Pondok Tamanbidadari. Niken Gambirarum, maukah engkau memaafkan kebodohanku,
dan maukah engkau menjadi istriku malam ini juga?” bujuk Sang Raja.
Tanpa berpikir panjang
Niken Gambirarum langsung menjawab, ”Bukankah tadi sahaya sudah menyampaikan
isi hati sahaya? Sahaya menyerahkan diri sahaya sepenuhnya kepada kehendak Yang
Mulia Paduka Raja. Hanya saja, jika Paduka Raja menghendaki sahaya menjadi
seorang istri, hendaklah Paduka Raja mengikuti adat yang berlaku. Karena Paduka
Raja akan menjadi suami sahaya dan seorang suami adalah pelindung seorang
istri, tempat mengabdi seorang istri, tempat menitipkan jiwa raga seorang istri,
maka hendaklah Paduka Raja berkenan memenuhi permohonan sahaya. Itulah adat
yang berlaku dan aturan yang dibenarkan oleh agama mana saja. Yang Mulia Paduka
Raja, bersediakah Paduka Raja memenuhi permohonan sahaya, sebelum Paduka Raja
mengambil sahaya menjadi istri Yang Mulia Paduka Raja?”
“Apa susahnya memenuhi
permintaanmu, Niken Gambirarum?” kata Sang Raja Pulebahas sambil memandang tak
berkedip gadis cantik yang duduk di sampingnya itu. ”Aku Raja penguasa pantai
selatan dan Pulau Nusakambangan. Hartaku pun melimpah ruah. Demi calon ibu yang
akan mengandung anak-anakku, katakan apa yang akan engkau minta dariku. Aku
akan memenuhi permintaanmu. Aku pasti akan memberikan lebih dari apa yang
engkau minta,” Sang Raja berkata seraya melingkarkan tangannya ke pundak Niken
Gambirarum yang putih mulus itu. Pundaknya yang terbuka itu berpendaran
tertimpa cahaya temaram sinar lampu
minyak.
Entah mengapa tiba-tiba
Sang Raja merasakan hal aneh yang belum pernah dialaminya. Sebuah keindahan
dari rasa cinta mulai berbunga-bunga di sudut-sudut kedalaman jiwanya. Ya,
sebuah keindahan cinta yang sulit dilukiskan. Sebuah keindahan yang tiba-tiba
menimbulkan rasa dahaga dari Sang Raja, sehingga dirinya ingin terus meneguk lezatnya madu cinta yang
baru pertama kali dialaminya.
“Sahaya mengucapkan
terima kasih, Yang Mulia Paduka Raja. Ada ungkapan bijak, sabda pandita ratu.
Artinya, sekali seorang raja mengucapkan sesuatu, tidak boleh ditarik kembali.
Permohonan sahaya hanya satu, yaitu hendaknya Yang Mulia Paduka Raja
membebaskan seluruh gadis penghuni Pondok Tamanbidadari dari kewajiban
menjalani ritual primitif yang merendahkan martabat dan harkat kaum sahaya.
Hanya itu permintaan sahaya, Yang Mulia Paduka Raja. Sahaya menunggu jawaban Paduka
Raja.”
Mendengar permintaan
itu, Sang Raja justru merasa sangat gembira. Dia merasa telah ditunjukkan suatu
jalan yang akan membebaskan dirinya dari kewajiban menjalani ritual terkutuk
atas nama agama. Sebuah ritual yang dirasakannya semakin lama semakin menjadi beban berat yang menghimpit
jiwanya.
“Niken Gambirarum,
sudah lama sebenarnya aku meragukan kebenaran dari ritual terkutuk itu. Hanya
saja, aku tidak pernah tahu jalan untuk mengakhirinya. Permintaanmu itu sungguh
akan membebaskan aku dari beban berat yang setiap tahun harus aku lakukan.
Besok aku akan perintahkan Bapa Pendeta Raga Pitar agar mengakhiri ritual
terkutuk itu. Aku tidak peduli, apakah perintahku itu akan menodai kitab suci
atau tidak.”
“Yang Mulia Paduka
Raja, Paduka tidak usah khawatir. Paduka telah mengambil langkah yang benar,
yang sesuai dengan petunjuk kitab suci. Tidak ada penodaan terhadap kitab suci
sekte agama Hindu manapun. Sahaya pernah membaca rontal kitab suci milik
Ayahanda. Dari keenam sekte agama Hindu yang berkembang di daratan Pulau Jawa,
yakni sekte agama Syiwa, Wisnu, Brahma, Indra, Sambu, dan Kala, tidak ada satu
pun yang mengajarkan ritual persembahan darah perawan suci.”
Gadis cantik putri
sulung Adipati Kalipucang yang cerdas itu kemudian menjelaskan kepada Sang
Raja, sejarah perkembangan agama Hindu dan Buddha di tanah Jawa. Penjelasan
gadis cantik itu membuat Sang Raja semakin kagum kepadanya. Kini, Sang Raja
semakin yakin, bahwa ritual persembahan darah perawan suci merupakan ritual
menyimpang dari ajaran kitab suci agama Hindu.
“Niken Gambirarum,
pengetahuan agamamu seluas lautan. Semuda usiamu, engkau tidak kalah dengan
Bapa Pendeta Raga Pitar. Aku pernah mendengar perkawinan mandiri sepasang calon
pengantin. Bisakah malam ini kita lakukan ritual perkawinan secara mandiri
dengan saksi para Dewa di langit?” tanya Sang Raja.
“Kenapa tidak, Yang
Mulia Paduka Raja? Perkawinan mandiri merupakan salah satu cara dari delapan
cara perkawinan yang diijinkan dalam kitab suci. Beberapa brahmana menyebutnya
sebagai perkawinan secara gandarwa. Gandarwa itu mahluk halus tidak kelihatan,
hanya dewa yang mampu melihatnya. Maksud perkawinan secara gandarwa adalah prosesi
ritual perkawinan menjadi pasangan suami istri tanpa diketahui oleh umum,
tetapi disaksikan oleh para dewa. Sahaya lebih suka menyebutnya sebagai ritual
perkawinan secara mandiri.”
“Kalau begitu marilah
kita lakukan prosesi perkawinan secara mandiri. Aku ingin, malam ini juga
engkau sudah jadi istriku yang sah sesuai tuntunan kitab suci.”
“Baiklah Yang Mulia
Paduka Raja. Mari kita berdiri saling berhadapan. Silahkan Paduka bersaksi di
hadapan para dewa untuk mengabulkan permohonan sahaya,” kata Niken Gambirarum
sambil bangkit dari duduknya dan berdiri saling berhadapan dengan Sang Raja.
Kedua tangan mereka diangkat ke atas setinggi dada, sehingga kedua tapak tangan
mereka saling bertemu.
“Niken Gambirarum
Tunjungbiru, dengarkan kata-kataku,” kata Sang Raja. ”Malam ini juga aku
memutuskan, dengan disaksikan para Dewa, membebaskan semua gadis penghuni
Pondok Tamanbidadari Kerajaan Nusakambangan dari kewajiban menjalani ritual
persembahan darah perawan suci. Aku lakukan ini untuk memenuhi permintaan calon
istriku, Niken Gambirarum Tunjungbiru.”
Setelah Sang Raja
selesai mengucapkan kalimat pernyataan itu, Niken Gambirarum menyambungnya
dengan mengucapkan kata-kata, “Yang Mulia Paduka Raja, sahaya bersaksi bahwa
Yang Mulia Paduka Raja Pulebahas, calon suami sahaya, telah memenuhi permintaan
sahaya sebagai calon istri Yang Mulia Raja Pulebahas.”
Keduanya diam beberapa
saat, membiarkan kata-kata tadi meresap ke dalam jiwanya dan membubung ke
langit malam, membubung melewati bulan purnama berwarna keemasan dan bintang
gemintang cemerlang kebiru-biruan, membubung untuk menemui para Dewa yang jauh
di atas langit sana. Dan, prosesi perkawinan secara mandiri itu pun telah
berlangsung separuh jalan.
“Yang Mulia Paduka
Raja, mari kita lanjutkan,” kata Niken Gambirarum memecahkan keheningan malam,
meminta agar Sang Raja menyelesaikan seluruh rangkaian ritual.
Sang Raja Pulebahas
menatap gadis ayu di depannya sambil tersenyum bahagia, kemudian setelah
menarik napas dalam-dalam melanjutkannya. “Aku Raja Pulebahas, bersaksi di hadapan
para Dewa, malam ini Niken Gambirarum Tujung Biru telah menjadi istriku dan
menjadi calon Ibu dari anak-anakku. Aku akan mencintainya, menyayanginya, dan
melindunginya sepanjang hayat.”
Sang Raja diam setelah
mengucapkan kata-kata itu. Niken Gambirarum langsung menyambungnya, “Sahaya
Niken Gambirarum, bersaksi di hadapan para Dewa, malam ini Yang Mulia Paduka
Raja Pulebahas telah menjadi suami sahaya. Sahaya akan berbakti, mengabdi
kepadanya sepanjang hayat, serta bersedia mengandung calon putra-putrinya, akan
menjaganya, dan mendidiknya semampu sahaya.” Prosesi perkawinan
secara mandiri pun selesai. Sang Raja dan Niken Gambirarum bernapas lega.
Mereka berdua telah sah sebagai sepasang suami istri yang saling jatuh cinta.
Mereka menurunkan kedua tangan masing-masing yang sejak awal prosesi itu saling
bertautan.
“Yang Mulia Paduka
Raja, suami sahaya, sekarang boleh mencium sahaya,” kata Niken Gambirarum sambil
mengangkat wajah cantiknya menatap Sang Raja.
Tanpa menunggu lama tangan
Sang Raja menarik Niken Gambirarum ke dadanya, dipeluk dan didekapnya gadis
ramping tinggi semampai itu. Kemudian diciuminya wajah gadis cantik itu.
Akhirnya kedua bibir mereka saling bertemu. Lama kedua bibir itu bertautan,
membuat jantung ke duanya berdegup lebih cepat dari biasanya. Sang Raja
Pulebahas merasakan sebuah sensasi indah yang menggairahkan, yang baru pertama
kali dialaminya. Api Asmara pun mulai berkobar-kobar menggerayangi seluruh
pori-pori di sekujur tubuhnya. Semua itu membuat Sang Raja yang belum pernah
bermain cinta ingin selalu menemukan sensasi aneh yang menggairahkan. Sang Raja
terus berusaha mencari-cari dan menggalinya lebih dalam di sudut-sudut
tersembunyi dari tubuh Niken Gambirarum Tunjungbiru yang molek itu.
Tetapi, betapa
kecewanya Sang Raja ketika dia mulai asyik dengan permainan asmara, pintu kamar
ritual tiba-tiba terbuka. Nyai Gede Wulansari melangkah masuk, sehingga
terpaksa Sang Raja melepaskan gadis yang tengah berada dalam pelukannya itu.
“Nyai Gede Wulansari!
Siapa yang menyuruhmu masuk? Lancang benar Kamu!” Sang Raja berkata dengan nada
suara marah menghardik Nyai Gede Wulansari. Wanita Serigala itu segera
menghentikan langkahnya.
“Ampun sahaya, Yang
Mulia Paduka Raja. Sahaya hanya akan memberitahu, bahwa bulan purnama telah
mencapai puncak terangnya. Tengah malam sudah tiba. Sebentar lagi sinar bulan purnama
akan meredup. Tengah malam akan segera lewat. Dan gonggongan anjing hutan di
kejauhan sudah mulai terdengar, Yang Mulia Paduka Raja,” berkata Nyai Gede
Wulansari memberikan alasan sekaligus pesan terselubung. Pesan agar Yang Mulia
Raja segera melakukan ritual persembahan darah perawan suci.
Sang Raja yang tengah
murka itu segera mengusir Nyai Gede Wulansari, tanpa menyadari bahaya yang
tengah mengancamnya. Sang Raja tak sempat melihat tatapan mata curiga Nyai Gede
Wulansari yang menatapnya bagaikan mata serigala.
“Tunggu diluar! Jangan
sekali-sekali masuk, jika tidak aku panggil!” terdengar suara keras Sang Raja
ketika Nyai Gede Wulansari melangkah keluar ruangan dan menutup kembali rapat-rapat
pintu ruang ritual.
Ruangan ritual kembali
sepi dan hening, malam yang dingin terus merangkak. Sesekali di kejauhan di
tengah hutan Nusakambangan terdengar lolongan panjang anjing hutan, mendirikan
bulu roma. Tiba-tiba Sang Raja menjadi cemas. Dia menangkap firasat buruk
ketika lolongan anjing hutan itu semakin sering terdengar. Sempat terpikir
olehnya memboyong saja Niken Gambirarum yang sudah jadi istrinya itu ke tempat
peraduannya di istana tidak jauh dari Tamanbidadari. Tetapi kemarahan kepada
Nyai Gede Wulansari masih menggelayuti dirinya, hingga gagasan itu lenyap
seketika.
“Lupakan dan maafkan
dia, Suami sahaya. Nyai Gede Wulansari bisa jadi benar, dia mengingatkan kita
agar kita bergegas melayari telaga cinta,” kata Niken Gambirarum menenangkan
amarah Sang Raja. “Perjalanan cinta kita masih jauh. Ranjang pengantin agaknya
sudah tidak sabar menunggu kita sejak tadi. Mari kita berlayar mengarungi
telaga cinta, suami sahaya Yang Mulia Paduka Raja.”
Mendengar kata-kata
itu, kembali Sang Raja memeluk Niken Gambirarum dengan lebih bergairah.
Terdengar lagi suara lolong anjing hutan memecah kesunyian malam dari kejauhan.
Tetapi entah mengapa, Sang Raja merasa amat terganggu dengan lolongan anjing
hutan yang bolak-balik menerobos ruang ritual itu, sekalipun terdengar hanya
sayup-sayup sampai ke dalam kamar.
“Hem, Istriku Niken
Gambirarum, engkau pandai membuat diriku merasa tenteram dan bahagia. Tetapi menurutmu,
wahai Istriku, firasat buruk apakah suara lolongan anjing hutan yang berulang
kali terdengar itu, barangkali engkau tahu artinya?” tanya Sang Raja yang
merasa terganggu dengan suara lolongan panjang anjing hutan itu. Bagi Sang Raja
suara itu membuat bulu romanya berdiri.
“Tidak usah cemas, Suami
sahaya. Tidak ada firasat buruk. Tiap bulan purnama memang selalu terdengar
lolong panjang anjing hutan seperti itu. Sekarang ini adalah mangsa Kasanga.
Musim anjing hutan bermain cinta. Itu adalah lolongan anjing hutan jantan yang sedang
merindukan kekasihnya. Dia menunggu sang kekasih di tengah-tengah padang hijau
di tepi hutan yang ditimpa cahaya bulan kuning cemerlang. Dia akan terus
melolong sampai sang kekasih datang. Biasanya ketika sinar bulan mulai meredup
sang kekasih baru datang. Dia agak malu-malu, tidak suka bermain cinta di
padang rumput terbuka di bawah cahaya terang bulan purnama,” kata Niken
Gambirarum menjelaskan kepada Sang Raja.
“Hem, apakah engkau
juga malu jika harus melepas semua yang melekat pada tubuhmu, agar aku suamimu
bisa menikmati seluruh keindahan anugerah dewa yang ada pada dirimu? Atau,
haruskah kupadamkan lampu temaran di sudut itu?” tanya Sang Raja.
Niken Gambirarum
tersenyum. Dengan sabar dia mengajak Sang Raja setahap demi setahap melangkah
dalam permainan cinta, sebagaimana yang pernah dibacanya dalam kitab suci
Kamasutra, pada bab ”Seni Berbakti Pada
Suami di Malam Pertama.”
“Tentu tidak layak
seorang istri malu melepas semua apa yang ada pada dirinya demi kebahagiaan dan
bakti seorang istri kepada suami, Yang Mulia Paduka Raja. Kebetulan sahaya Istri
Paduka, lebih suka cahaya lembut temaram seperti sekarang ini. Kalau begitu
mari kita segera melangkah. Tetapi karena mendaki bukit cinta kadang-kadang tidak
mudah bagi para pemula, demikian kata-kata dalam kitab suci Kamasutra yang
pernah sahaya baca. Maka alangkah baiknya jika Yang Mulia tidak membiarkan madu
di dalam cangkir emas itu mengental begitu saja. Biarkan sahaya mengambilkannya
Yang Mulia,” Niken Gambirarum melepaskan diri dari pelukan Sang Raja, lalu
melangkah untuk mengambil cangkir emas berisi minuman yang disediakan
Sekarmenur di atas meja tidak jauh dari ranjang ritual.(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar