Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 08 Agustus 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (34)




“Silahkan, Suami sahaya,” Niken Gambirarum menyerahkan cangkir emas kepada Sang Raja. Diteguknya minuman pemicu stamina itu sampai tinggal separuh, lalu diserahkan kembali.

“Secangkir berdua. Engkau Istriku harus menghabiskan sisanya,” Sang Raja minta agar istrinya ikut minum juga dari satu cangkir yang sama.

Niken Gambirarum meneguk madu itu sampai habis. Ketika Niken Gambirarum selesai meletakkan cangkir emas yang telah kosong di tempat semula, Sang Raja yang mengikutinya dari belakang segera memeluknya. Bibir Sang Raja beberapa kali mendarat di leher Niken Gambirarum yang putih bersih seputih pualam itu.

“Suami sahaya, sahaya tidak bisa naik ke atas ranjang pengantin. Lagi pula kewajiban Suami sahaya adalah membatu sahaya melepas tali pengikat kemben sahaya dan menarik sabuk yang melilit pinggang sahaya, Yang Mulia Paduka Raja,” kata Niken Gambirarum yang mengetahui gairah asmara Sang Raja mulai berkobar-kobar. 

Tangan Sang Raja segera melepas pengait kemben di punggung Niken Gambirarum, kemudian ditariknya sabuk berwarna merah dengan sulaman benang kuning emas yang meliliti pinggang istrinya. Seketika luruh dan lepaslah kemben dan kain batik yang melindungi tubuh Niken Gambirarum, semuanya menggeletak di atas lantai. Sang Raja takjub bukan main tatkala menyaksikan Niken Gambirarum dalam keadaan torso bak patung pualam berwarna putih cemerlang dari seorang bidadari  pahatan pematung terkenal. Tanpa membuang waktu diangkatnya Niken Gambirarum dan dibaringkannya di atas ranjang ritual yang telah berubah jadi ranjang pengantin malam pertama. 

Tanpa sadar Sang Raja membaringkan Niken Gambirarum tepat di atas lembaran kapas putih bersih yang memang sengaja disiapkan Nyai Gede Wulansari. Lembaran kapas putih bersih di atas tilam ranjang ritual itu khusus untuk menampung tetesan darah perawan suci yang biasa dikorbankan pada setiap ritual. Sang Raja yang sedang diamuk badai asmara menyala-nyala itu segera menyusul naik ke atas ranjang pengantin. 
***
Bulan di langit semakin meredup ketika Nyai Gede Wulansari dan kedua pembantunya di luar ruangan gelisah menunggu prosesi di balik pintu ruang ritual yang belum juga usai. Malam yang dingin merambat lambat. Tetapi Sang Raja belum juga memanggilnya dari dalam. Beberapa ekor kelelawar terbang melintasi atap Pondok Tamanbidadari. Dari sebuah pohon karet raksasa yang tumbuh tidak jauh dari tempat mereka bertiga duduk, dilihatnya sepasang burung hantu terbang menyusup ke dalamnya, menghilang di balik rerimbunan daun pohon karet raksasa. Ya, memang dalam kegelapan malam itu, pohon karet besar yang rimbun daunnya itu tampak seperti raksasa sedang tidur sambil berdiri.

Apa yang dilihatnya itu membuat Nyai Gede Wulansari semakin cemas. Baginya, kembalinya burung hantu ke sarangnya adalah pertanda tak lama lagi fajar pagi akan segera datang. Dan dua ekor kuda dengan tiga orang utusan Yang Suci Raga Pitar akan segera tiba untuk menjemput gadis yang telah mempersembahkan darah perawan sucinya.

“Hem, tumben lama benar Yang Mulia Raja. Aku khawatir Sang Raja jatuh cinta pada Tunjungbiru. Bisa gawat ritual persembahan tahun ini bila itu terjadi. Malapetaka akan menimpa Kerajaan Nusakambangan, bila Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu Culung murka akibat kecerobohan Yang Mulia Raja. Sekarmenur, apa pendapatmu? Haruskah aku masuk ke dalam sekalipun Yang Mulia Raja belum memanggilku?” tanya Nyai Gede Wulansari dengan nada cemas. Dia berdiri dan berjalan mondar mandir kian kemari sambil memandang Sekarmenur dan Sekarmelati yang duduk di depannya. 

“Nanti Yang Mulia Paduka Raja murka lagi,” jawab Sekarmenur dan Sekarmelati hampir bersamaan. Mereka berdua keberatan jika Nyai Gede Wulansari masuk ke dalam.

“Baiklah, akan aku tunggu sampai terdengar derap kaki kuda menuju ke sini. Dengarkan baik-baik Sekarmenur. Beritahu aku jika kamu mendengarnya lebih dulu,” pesan Nyai Gede Wulansari mengambil keputusan. Malam pun kembali sunyi. Lolong anjing hutan di kejauhan sudah tidak terdengar lagi.

Sementara itu di dalam ruangan di atas ranjang ritual, Sang Raja tergolek lemah di samping Niken Gambirarum yang ada dalam pelukannya. Selimut halus dan lembut melindungi mereka berdua dari cubitan dinginnya malam.  Keduanya bermandikan keringat. Sang Raja merasakan kepuasan dan kebahagian surgawi  yang belum pernah dialaminya. 

“Hem, luar biasa hebat persembahanmu kepadaku malam ini. Aku tak akan pernah melupakan sampai kapan pun, Istriku Niken Gamir Arum. Terima kasih atas semua pengorbananmu,” kata Sang Raja sambil mencium pipi dan leher istrinya yang masih basah oleh keringat. Rasa lelah yang  menimbulkan rasa bahagia bagi Sang Raja pelan-pelan mulai lenyap.

”Engkau telah membawa aku mengembara keenam puncak bukit surgawi,” kata Sang Raja pula.

“Seharusnya Yang Mulia bisa mencapai puncak bukit surgawi sampai kedelapan,” kata Niken Gambirarum menggoda, seraya membalas ciuman Sang Raja.

“Puncak kedelapan?” 

“Ya, kenapa tidak, Yang Mulia?”

“Hem, apakah engkau akan sanggup mengandung anakku delapan kali?” 

“Ya, kenapa tidak, Yang Mulia?”

Sesungguhnya Raja Pulebahas adalah seorang pria yang tampan, kata Niken Gambirarum dalam benaknya seraya menatap pria yang tergolek di sampingnya itu. Berkulit kuning, berhidung mancung, memiliki dada bidang, dan rambut hitam tipis menjadi jambang penghias dagunya yang tebal. Sang Raja pun bertubuh kekar dan perkasa. Lagi pula, di luar dugaan dirinya, ternyata Sang Raja adalah seorang pria romantis. Perilaku yang tampak kejam, sebenarnya terjadi karena pengaruh agama sesat yang dipeluknya. 

Tidak banyak yang tahu, bahwa leluhur Sang Raja adalah Raden Pucang Kembar menantu leluhur Adipati Banakeling. Raden Pucang Kembar sebenarnya berasal dari Kadipaten Kalipucang juga, yang berarti masih leluhurnya.

”Sayang sekali setelah keturunan Raden Pucang Kembar menjadi penguasa Pulau Nusakambangan, mereka beralih menjadi pengikut agama Kala. Agama yang telah diubah oleh pendetanya, sehingga menjelma menjadi sekte sesat, penyembah Ditya Kala Rembu Culung,” kata Niken Gambirarum dalam renungannya sambil memandang Sang Raja yang tergolek di sampingnya. 

“Aku tidak bisa membayangkan jika engkau setiap tahun harus mengandung anakku delapan kali. Engkau tentu akan banyak menderita, Istriku,” kata Sang Raja tiba-tiba, membuat hilang semua yang sedang dipikirkan Niken Gambirarum.

“Paduka Raja mungkin lupa. Paduka sendiri adalah pria kembar bersama adik Paduka Patih Puletembini, bukan? Leluhur Paduka, pendiri Kerajaan Nusakambangan, sesungguhnya bernama Raden Pucang Kembar. Menurut Ayahanda, Raden Pucang Kembar adalah leluhur sahaya juga. Diberi nama Pucang Kembar, karena memang punya saudara kembar. Leluhur kita sesungguhnya berbakat memiliki anak kembar. Itu sebabnya Paduka Raja gemar menjadikan para gadis penghuni Pondok Tamanbidadari yang dianggap adik Paduka itu, gadis-gadis putri lautan yang kembar,”  kata Niken Gambirarum menerangkan panjang lebar leluhur Raja Nusakambangan yang membuat Sang Raja termangu-mangu mendengarkan asal-usul leluhurnya.

“Oh, ya? Sungguh aku tidak menduga sama sekali. Kalau begitu kita sebenarnya berasal dari leluhur yang sama. Hem, bisa jadi ini semua karena kehendak para dewa, aku dipertemukan secara tidak sengaja dengan Istriku, Niken Gambirarum yang berasal dari leluhur dengan darah yang sama,” kata Sang Raja gembira.

“Masuk akal juga apa yang engkau katakan, Istriku. Dengan hanya tiga atau empat kali hamil, engkau sudah bisa melahirkan enam atau delapan anak-anakku. Hehehe….” Sang Raja tertawa gembira.

“Betul sekali, Yang Mulia Paduka Raja, Suami sahaya. Itu jika para dewa mengabulkan permohonan kita.”
“Istriku Niken Gambirarum, hendaklah kelak engkau bisa mendidik agar anak-anak kita yang lahir dari rahimmu itu bisa menjadi penguasa Nusakambangan dan tanah daratan Pulau Jawa bagian selatan yang telah aku taklukan maupun yang akan aku taklukan. Anak kita yang sulung akan aku angkat menjadi calon penggantiku, penguasa Kerajaan Nusakambangan. Anak kita nomor dua akan aku angkat menjadi Adipati Kalipucang yang kelak akan aku aktifkan lagi. Adik-adiknya yang lain akan aku siapkan untuk kadipaten lainnya yang telah berhasil aku taklukan.”

“Sahaya berharap Yang Mulia Paduka Raja, Suami sahaya bersedia memeluk agama sahaya, menyembah Sang Hyang Syiwa, agama leluhur Yang Mulia Paduka Raja. Hanya Sang Hyang Syiwa, pemilik sejuta kebijakan dan kecerdasan yang akan dapat mengabulkan cita-cita dan kehendak Yang Mulia Paduka Raja,” kata Niken  Gambirarum memohon kepada Sang Raja.

“Benar sekali, Istriku. Aku akan mengikuti agama dan kepercayaan Istriku, Niken Gambirarum. Agama Syiwa akan aku jadikan agama resmi Kerajaan Nusakambangan, menggantikan agama penyembah Ditya Kala Rembu Culung. Aku tidak ingin lebih buruk dari monyet atau kera, seperti yang pernah engkau katakan kepadaku,” jawab Sang Raja tegas, membuat Niken Gambirarum gembira bukan main.

“Terima kasih, Suami sahaya. Dengan demikian sahaya tidak merasa cemas akan masa depan calon putra-putri Yang Mulia Paduka Raja, bila kelak sahaya  mengandungnya,” kata Niken Gambirarum sambil memeluk dan mencium Sang Raja. Tentu saja Sang Raja membalas pelukan dan ciuman itu. 

Tetapi kemudian secara tidak sengaja tangan Sang Raja meraba perut Niken Gambirarum. Terasa lembut dan halus, selembut dan sehalus kain sutra. Terbayang oleh Sang Raja, alangkah bahagia dirinya jika perut yang halus dan lembut itu kelak mengandung bayi buah kasih sayangnya. Tetapi setelah itu terbayang juga alangkah kasihan istrinya itu jika perut yang lembut itu harus berkali-kali mengandung bayi-bayi hasil buah cintanya. Dari membayangkan istrinya hamil mengandung bayi-bayi calon penerusnya itu, tiba-tiba Sang Raja ingat sesuatu. Tetapi untuk menyampaikan kepada Niken Gambirarum yang telah memberikan kebahagiaan luar biasa itu, Sang Raja merasa tidak sampai hati. Sang Raja khawatir permintaannya akan melukai Niken Gambirarum. Karena itu Sang Raja mencoba mencari jalan mudah dan aman yang tidak akan membuat Niken Gambirarum tersinggung. Kata Sang Raja kepada Niken Gambirarum, “Bisakah Dinda ambilkan guci porselin di samping cangkir perak dan cangkir emas di atas meja itu, Istriku?” 

“Baiklah Yang Mulai Paduka Raja, Suami sahaya,” kata Niken Gambirarum. Tetapi dia tidak segera bangkit, karena sebenarnya dia tahu apa sesungguhnya yang dikehendaki suaminya. Sesungguhnya Niken Gambirarum adalah gadis cerdas, karena itu dia cepat tahu maksud dari Sang Raja. 

Guci porselin itu adalah tempat menyimpan lembaran kapas berisi tetesan darah perawan suci setelah ritual selesai. Sesungguhnya Sang Raja menghendaki bukti kesucian dirinya. Oleh karena itu Niken Gambirarum tidak segera bangun. Dia hanya menggeser tubuhnya, kemudian dibantunya Sang Raja menemukan lembaran kapas putih tempat menampung tetesan darah perawan sucinya. Dia tahu bahwa lembaran kapas putih itu terletak di atas tilam ranjang ritual tepat berada di bawah pinggangnya agak ke bawah jika dirinya tidur terlentang. 

Tangan Sang Raja mulai meraba-raba mencari kian kemari. Akhirnya Sang Raja bisa menemukannya. Lembaran kapas itu pun ditariknya. Di bawah keremangan cahaya lampu kamar, Sang Raja melihat lembaran kapas putih itu dipenuhi bercak-bercak tetesan darah perawan suci Niken Gambirarum.

Sang Raja Pulebahas tampak sangat gembira dan puas. Lebih-lebih Niken Gambirarum. Dia merasa bangga dapat mempertahankan kesucian dirinya dan mempersembahkan darah suci keperawanannya kepada suaminya, Yang Mulia Paduka Raja. Sang Raja kemudian melipat lembaran kapas itu sehingga berbentuk segi empat. Lalu diciuminya beberapa kali. Niken Gambirarum pun dimintanya menciumnya. Kemudian dipeluknya Niken Gambirarum dengan penuh kasih sayang.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar