“Silahkan, Suami
sahaya,” Niken Gambirarum menyerahkan cangkir emas kepada Sang Raja. Diteguknya
minuman pemicu stamina itu sampai tinggal separuh, lalu diserahkan kembali.
“Secangkir berdua.
Engkau Istriku harus menghabiskan sisanya,” Sang Raja minta agar istrinya ikut
minum juga dari satu cangkir yang sama.
Niken Gambirarum
meneguk madu itu sampai habis. Ketika Niken Gambirarum selesai meletakkan
cangkir emas yang telah kosong di tempat semula, Sang Raja yang mengikutinya
dari belakang segera memeluknya. Bibir Sang Raja beberapa kali mendarat di
leher Niken Gambirarum yang putih bersih seputih pualam itu.
“Suami sahaya, sahaya
tidak bisa naik ke atas ranjang pengantin. Lagi pula kewajiban Suami sahaya
adalah membatu sahaya melepas tali pengikat kemben sahaya dan menarik sabuk
yang melilit pinggang sahaya, Yang Mulia Paduka Raja,” kata Niken Gambirarum
yang mengetahui gairah asmara Sang Raja mulai berkobar-kobar.
Tangan Sang Raja segera
melepas pengait kemben di punggung Niken Gambirarum, kemudian ditariknya sabuk berwarna
merah dengan sulaman benang kuning emas yang meliliti pinggang istrinya.
Seketika luruh dan lepaslah kemben dan kain batik yang melindungi tubuh Niken Gambirarum,
semuanya menggeletak di atas lantai. Sang Raja takjub bukan main tatkala
menyaksikan Niken Gambirarum dalam keadaan torso bak patung pualam berwarna
putih cemerlang dari seorang bidadari
pahatan pematung terkenal. Tanpa membuang waktu diangkatnya Niken
Gambirarum dan dibaringkannya di atas ranjang ritual yang telah berubah jadi
ranjang pengantin malam pertama.
Tanpa sadar Sang Raja
membaringkan Niken Gambirarum tepat di atas lembaran kapas putih bersih yang
memang sengaja disiapkan Nyai Gede Wulansari. Lembaran kapas putih bersih di
atas tilam ranjang ritual itu khusus untuk menampung tetesan darah perawan suci
yang biasa dikorbankan pada setiap ritual. Sang Raja yang sedang diamuk badai
asmara menyala-nyala itu segera menyusul naik ke atas ranjang pengantin.
***
Bulan di langit semakin
meredup ketika Nyai Gede Wulansari dan kedua pembantunya di luar ruangan
gelisah menunggu prosesi di balik pintu ruang ritual yang belum juga usai.
Malam yang dingin merambat lambat. Tetapi Sang Raja belum juga memanggilnya
dari dalam. Beberapa ekor kelelawar terbang melintasi atap Pondok
Tamanbidadari. Dari sebuah pohon karet raksasa yang tumbuh tidak jauh dari
tempat mereka bertiga duduk, dilihatnya sepasang burung hantu terbang menyusup
ke dalamnya, menghilang di balik rerimbunan daun pohon karet raksasa. Ya,
memang dalam kegelapan malam itu, pohon karet besar yang rimbun daunnya itu tampak
seperti raksasa sedang tidur sambil berdiri.
Apa yang dilihatnya itu
membuat Nyai Gede Wulansari semakin cemas. Baginya, kembalinya burung hantu ke
sarangnya adalah pertanda tak lama lagi fajar pagi akan segera datang. Dan dua
ekor kuda dengan tiga orang utusan Yang Suci Raga Pitar akan segera tiba untuk
menjemput gadis yang telah mempersembahkan darah perawan sucinya.
“Hem, tumben lama benar
Yang Mulia Raja. Aku khawatir Sang Raja jatuh cinta pada Tunjungbiru. Bisa
gawat ritual persembahan tahun ini bila itu terjadi. Malapetaka akan menimpa
Kerajaan Nusakambangan, bila Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu Culung murka akibat
kecerobohan Yang Mulia Raja. Sekarmenur, apa pendapatmu? Haruskah aku masuk ke
dalam sekalipun Yang Mulia Raja belum memanggilku?” tanya Nyai Gede Wulansari dengan
nada cemas. Dia berdiri dan berjalan mondar mandir kian kemari sambil memandang
Sekarmenur dan Sekarmelati yang duduk di depannya.
“Nanti Yang Mulia
Paduka Raja murka lagi,” jawab Sekarmenur dan Sekarmelati hampir bersamaan.
Mereka berdua keberatan jika Nyai Gede Wulansari masuk ke dalam.
“Baiklah, akan aku
tunggu sampai terdengar derap kaki kuda menuju ke sini. Dengarkan baik-baik
Sekarmenur. Beritahu aku jika kamu mendengarnya lebih dulu,” pesan Nyai Gede
Wulansari mengambil keputusan. Malam pun kembali sunyi. Lolong anjing hutan di
kejauhan sudah tidak terdengar lagi.
Sementara itu di dalam
ruangan di atas ranjang ritual, Sang Raja tergolek lemah di samping Niken
Gambirarum yang ada dalam pelukannya. Selimut halus dan lembut melindungi
mereka berdua dari cubitan dinginnya malam.
Keduanya bermandikan keringat. Sang Raja merasakan kepuasan dan
kebahagian surgawi yang belum pernah
dialaminya.
“Hem, luar biasa hebat
persembahanmu kepadaku malam ini. Aku tak akan pernah melupakan sampai kapan
pun, Istriku Niken Gamir Arum. Terima kasih atas semua pengorbananmu,” kata
Sang Raja sambil mencium pipi dan leher istrinya yang masih basah oleh
keringat. Rasa lelah yang menimbulkan
rasa bahagia bagi Sang Raja pelan-pelan mulai lenyap.
”Engkau telah membawa
aku mengembara keenam puncak bukit surgawi,” kata Sang Raja pula.
“Seharusnya Yang Mulia
bisa mencapai puncak bukit surgawi sampai kedelapan,” kata Niken Gambirarum
menggoda, seraya membalas ciuman Sang Raja.
“Puncak kedelapan?”
“Ya, kenapa tidak, Yang
Mulia?”
“Hem, apakah engkau
akan sanggup mengandung anakku delapan kali?”
“Ya, kenapa tidak, Yang
Mulia?”
Sesungguhnya Raja
Pulebahas adalah seorang pria yang tampan, kata Niken Gambirarum dalam benaknya
seraya menatap pria yang tergolek di sampingnya itu. Berkulit kuning, berhidung
mancung, memiliki dada bidang, dan rambut hitam tipis menjadi jambang penghias
dagunya yang tebal. Sang Raja pun bertubuh kekar dan perkasa. Lagi pula, di
luar dugaan dirinya, ternyata Sang Raja adalah seorang pria romantis. Perilaku
yang tampak kejam, sebenarnya terjadi karena pengaruh agama sesat yang
dipeluknya.
Tidak banyak yang tahu,
bahwa leluhur Sang Raja adalah Raden Pucang Kembar menantu leluhur Adipati Banakeling.
Raden Pucang Kembar sebenarnya berasal dari Kadipaten Kalipucang juga, yang
berarti masih leluhurnya.
”Sayang sekali setelah
keturunan Raden Pucang Kembar menjadi penguasa Pulau Nusakambangan, mereka beralih
menjadi pengikut agama Kala. Agama yang telah diubah oleh pendetanya, sehingga
menjelma menjadi sekte sesat, penyembah Ditya Kala Rembu Culung,” kata Niken
Gambirarum dalam renungannya sambil memandang Sang Raja yang tergolek di
sampingnya.
“Aku tidak bisa
membayangkan jika engkau setiap tahun harus mengandung anakku delapan kali.
Engkau tentu akan banyak menderita, Istriku,” kata Sang Raja tiba-tiba, membuat
hilang semua yang sedang dipikirkan Niken Gambirarum.
“Paduka Raja mungkin
lupa. Paduka sendiri adalah pria kembar bersama adik Paduka Patih Puletembini,
bukan? Leluhur Paduka, pendiri Kerajaan Nusakambangan, sesungguhnya bernama
Raden Pucang Kembar. Menurut Ayahanda, Raden Pucang Kembar adalah leluhur
sahaya juga. Diberi nama Pucang Kembar, karena memang punya saudara kembar.
Leluhur kita sesungguhnya berbakat memiliki anak kembar. Itu sebabnya Paduka
Raja gemar menjadikan para gadis penghuni Pondok Tamanbidadari yang dianggap
adik Paduka itu, gadis-gadis putri lautan yang kembar,” kata Niken Gambirarum menerangkan panjang
lebar leluhur Raja Nusakambangan yang membuat Sang Raja termangu-mangu mendengarkan
asal-usul leluhurnya.
“Oh, ya? Sungguh aku
tidak menduga sama sekali. Kalau begitu kita sebenarnya berasal dari leluhur
yang sama. Hem, bisa jadi ini semua karena kehendak para dewa, aku dipertemukan
secara tidak sengaja dengan Istriku, Niken Gambirarum yang berasal dari leluhur
dengan darah yang sama,” kata Sang Raja gembira.
“Masuk akal juga apa
yang engkau katakan, Istriku. Dengan hanya tiga atau empat kali hamil, engkau
sudah bisa melahirkan enam atau delapan anak-anakku. Hehehe….” Sang Raja
tertawa gembira.
“Betul sekali, Yang
Mulia Paduka Raja, Suami sahaya. Itu jika para dewa mengabulkan permohonan
kita.”
“Istriku Niken
Gambirarum, hendaklah kelak engkau bisa mendidik agar anak-anak kita yang lahir
dari rahimmu itu bisa menjadi penguasa Nusakambangan dan tanah daratan Pulau
Jawa bagian selatan yang telah aku taklukan maupun yang akan aku taklukan. Anak
kita yang sulung akan aku angkat menjadi calon penggantiku, penguasa Kerajaan
Nusakambangan. Anak kita nomor dua akan aku angkat menjadi Adipati Kalipucang
yang kelak akan aku aktifkan lagi. Adik-adiknya yang lain akan aku siapkan untuk
kadipaten lainnya yang telah berhasil aku taklukan.”
“Sahaya berharap Yang
Mulia Paduka Raja, Suami sahaya bersedia memeluk agama sahaya, menyembah Sang
Hyang Syiwa, agama leluhur Yang Mulia Paduka Raja. Hanya Sang Hyang Syiwa,
pemilik sejuta kebijakan dan kecerdasan yang akan dapat mengabulkan cita-cita
dan kehendak Yang Mulia Paduka Raja,” kata Niken Gambirarum memohon kepada Sang Raja.
“Benar sekali, Istriku.
Aku akan mengikuti agama dan kepercayaan Istriku, Niken Gambirarum. Agama Syiwa
akan aku jadikan agama resmi Kerajaan Nusakambangan, menggantikan agama penyembah
Ditya Kala Rembu Culung. Aku tidak ingin lebih buruk dari monyet atau kera,
seperti yang pernah engkau katakan kepadaku,” jawab Sang Raja tegas, membuat
Niken Gambirarum gembira bukan main.
“Terima kasih, Suami
sahaya. Dengan demikian sahaya tidak merasa cemas akan masa depan calon putra-putri
Yang Mulia Paduka Raja, bila kelak sahaya
mengandungnya,” kata Niken Gambirarum sambil memeluk dan mencium Sang
Raja. Tentu saja Sang Raja membalas pelukan dan ciuman itu.
Tetapi kemudian secara
tidak sengaja tangan Sang Raja meraba perut Niken Gambirarum. Terasa lembut dan
halus, selembut dan sehalus kain sutra. Terbayang oleh Sang Raja, alangkah
bahagia dirinya jika perut yang halus dan lembut itu kelak mengandung bayi buah
kasih sayangnya. Tetapi setelah itu terbayang juga alangkah kasihan istrinya
itu jika perut yang lembut itu harus berkali-kali mengandung bayi-bayi hasil
buah cintanya. Dari membayangkan istrinya hamil mengandung bayi-bayi calon
penerusnya itu, tiba-tiba Sang Raja ingat sesuatu. Tetapi untuk menyampaikan
kepada Niken Gambirarum yang telah memberikan kebahagiaan luar biasa itu, Sang
Raja merasa tidak sampai hati. Sang Raja khawatir permintaannya akan melukai
Niken Gambirarum. Karena itu Sang Raja mencoba mencari jalan mudah dan aman
yang tidak akan membuat Niken Gambirarum tersinggung. Kata Sang Raja kepada Niken
Gambirarum, “Bisakah Dinda ambilkan guci porselin di samping cangkir perak dan
cangkir emas di atas meja itu, Istriku?”
“Baiklah Yang Mulai
Paduka Raja, Suami sahaya,” kata Niken Gambirarum. Tetapi dia tidak segera
bangkit, karena sebenarnya dia tahu apa sesungguhnya yang dikehendaki suaminya.
Sesungguhnya Niken Gambirarum adalah gadis cerdas, karena itu dia cepat tahu
maksud dari Sang Raja.
Guci porselin itu
adalah tempat menyimpan lembaran kapas berisi tetesan darah perawan suci setelah
ritual selesai. Sesungguhnya Sang Raja menghendaki bukti kesucian dirinya. Oleh
karena itu Niken Gambirarum tidak segera bangun. Dia hanya menggeser tubuhnya,
kemudian dibantunya Sang Raja menemukan lembaran kapas putih tempat menampung
tetesan darah perawan sucinya. Dia tahu bahwa lembaran kapas putih itu terletak
di atas tilam ranjang ritual tepat berada di bawah pinggangnya agak ke bawah
jika dirinya tidur terlentang.
Tangan Sang Raja mulai
meraba-raba mencari kian kemari. Akhirnya Sang Raja bisa menemukannya. Lembaran
kapas itu pun ditariknya. Di bawah keremangan cahaya lampu kamar, Sang Raja melihat
lembaran kapas putih itu dipenuhi bercak-bercak tetesan darah perawan suci
Niken Gambirarum.
Sang Raja Pulebahas tampak
sangat gembira dan puas. Lebih-lebih Niken Gambirarum. Dia merasa bangga dapat
mempertahankan kesucian dirinya dan mempersembahkan darah suci keperawanannya
kepada suaminya, Yang Mulia Paduka Raja. Sang Raja kemudian melipat lembaran
kapas itu sehingga berbentuk segi empat. Lalu diciuminya beberapa kali. Niken
Gambirarum pun dimintanya menciumnya. Kemudian dipeluknya Niken Gambirarum dengan
penuh kasih sayang.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar