“Ampun sahaya Yang
Mulia Raja, bila mana saran sahaya tidak berkenan bagi Yang Mulia,” jawab
Sekarmenur.
“Tidak apa-apa. Ayo,
katakan apa saranmu?”
“Sahaya mendengar,”
kata Sekarmenur, ”ada seorang gadis cantik jelita di tanah daratan Pulau Jawa
di utara sana di Lembah Ciserayu di Lereng Selatan Gunung Agung. Namanya Dyah
Ayu Dewi Ciptarasa, putri bungsu Adipati Pasirluhur. Sahaya dengar sudah banyak
adipati dan putra adipati yang melamarnya. Tapi Sang Dewi belum berkenan.
Menurut sahaya, sangat tepat jika Yang Mulia Paduka Raja segera melamarnya.
Siapa tahu Sang Dewi berkenan menjadi Permaisuri Yang Mulia Paduka Raja.”
Sang Raja tersenyum
menyetujui usul Sekarmenur. Soal adanya gadis cantik di Kadipaten Pasirluhur,
Sang Raja sudah pernah mendengarnya. Sang Raja berkata, ”Adakah putra raja atau
raja yang pernah melamarnya, Sekarmenur? Barangkali saja kamu bisa menjelaskan
dari apa yang sempat kamu dengar.”
“Justru itulah, sahaya
usulkan agar Yang Mulia Paduka Raja cepat mengirimkan utusan untuk melamar Sang
Dewi. Dari bisik-bisik yang sempat sahaya dengar di pasar daratan yang selalu
ramai itu, belum ada seorang putra raja atau seorang raja sempat melamar Sang Dewi,
Dyah Ayu Ciptarasa. Sahaya yakin bila Yang Mulia Paduka Raja cepat melamarnya,
kemungkinan besar akan diterima. Adipati Kandhadaha, Ayah Sang Dewi pasti juga
bangga bila punya menantu raja perkasa seperti Yang Mulia Paduka Raja.”
“Terima kasih,
Sekarmenur. Saran dan pendapatmu aku terima. Kadipaten yang kaya dan makmur itu
akan segera menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Nusakambangan jika aku
berhasil memboyong Dyah Ayu Dewi Ciptarasa. Wirasaba akan lebih mudah aku taklukkan
bila Kadipaten Pasirluhur sudah aku kuasai. Adinda Puletembini, sudah dengar
saran cerdas dari calon istrimu, bukan? Apa pendapatmu sekarang?”
“Jika Kanda Yang Mulia
Paduka Raja mengijinkan,” jawab Patih Puletembini, ”Dinda akan segera menghadap
Adipati Pasirluhur atas nama Kanda untuk melamar Dyah Ayu Dewi Ciptarasa.”
“Baiklah, aku ijinkan.
Besok berangkatlah ditemani Tumenggung Surajaladri. Sekarmenur, kamu buatkan
surat lamaran yang bagus, ya. Katakan jika lamaranku ditolak, aku akan
mengirimkan pasukan untuk menaklukkan Kadipaten Pasirluhur. Adinda Patih Puletembini,
berangkatlah pagi-pagi dan bawa bekal yang cukup. Cari kuda yang baik di
daratan agar cepat sampai ke Pasirluhur. Jika Adipati Pasirluhur menolak engkau
kuberi wewenang untuk mengancamnya dan menyatakan perang dengan Kadipaten
Pasirluhur, seperti yang tersebut dalam surat yang akan disiapkan Sekarmenur.
Apakah perlu pasukan pengawal?”
“Tidak usah, Kanda Yang
Mulia Raja. Kecuali Adinda Sekarmenur dan Sekarmelati diijinkan ikut.”
“Ngawur kamu,
Puletembini! Sekarmenur dan Sekarmelati belum jadi istri kalian, tentu saja
tidak boleh. Tapi kalau hanya mengantarkan menyeberang sampai daratan, silahkan
saja,” kata Sang Raja disambut dengan gembira Patih Puletembini dan Tumenggung
Surajaladri.
Tiba-tiba Sekarmenur berkata,
”Yang Mulia Paduka Raja, sebaiknya Kanda Patih Puletembini jangan diijinkan
pergi. Siapa yang akan membantu Yang Mulia Raja bila Kanda Patih Puletembini
pergi?”
Sang Raja tertawa
mendengar usul Sekarmenur. ”Hahaha…, betul juga usulmu. Hem, Tumenggung
Surajaladri, perintahku untuk Patih Puletembini aku cabut. Engkau saja yang aku
tugaskan mewakili aku menyampaikan surat lamaran ke Pasirluhur. Tumenggung
Surajaladri, cari anak buahmu yang bisa menemanimu.”
“Baiklah, Yang Mulia
Paduka Raja, hamba akan ajak Rangga Singalaut sebagai teman.”
“Rangga Singalaut,
sudah punya calon istri?” tanya Sang Raja.
“Sudah, Yang Mulia,
Sekarcempaka namanya.”
“Baiklah, kalau begitu.
Semuanya boleh menikah, setelah Rajamu berhasil menyunting Dyah Ayu Dewi
Ciptarasa,” kata Sang Raja.
Matahari bagaikan bola
perak yang tengah meleleh berkilau-kilauan tergantung di puncak langit, ketika
Sang Raja Pulebahas menutup pertemuan dan mengijinkan mereka semua meninggalkan
ruangan. Sekarmenur tampak berseri-seri wajahnya, karena dia tak perlu khawatir
ditinggal Puletembini. Puletembini memuji Sekarmenur yang banyak akalnya itu.
“Aku pun senang tidak
jadi diutus Kanda Raja. Ayo, cepat dibuat surat lamaran ke Kadipaten Pasirluhur.
Kanda Raja pasti menunggu-nunggu. Nanti sore harus sudah selesai,” kata Patih
Puletembini mengajak Sekarmenur.
“Baiklah, Kanda
Puletembini. Ayo, temani aku ke Pondok Tamanbidadari. Surat lamaran Yang Mulia
Raja akan segera aku siapkan.”
Mereka berjalan
beriringan. Di belakang mereka menyusul Tumenggung Surajaladri dengan
Sekarmelati. Sang Raja sendiri menuju ruang sanggar pemujaan. Di situ terdapat stoples
kaca tembus pandang berisi bunga Wijayakusuma yang diawetkan di dalam larutan
pengawet terbuat dari cairan alkohol berbahan air tape. Bunga pusaka berwarna
putih bersih itu tampak bercahaya berkilau-kilauan menerangi sanggar pamujan,
karena cahaya yang dipancarkannya bersipantulan ke mana-mana. Di samping
stoples yang berisi bunga pusaka Wijayakusuma terletak guci porselin Niken
Gambirarum. Sang Raja segera meraihnya, kemudian membuka tutupnya. Lipatan kapas
bersisi darah perawan suci Niken Gambirarum masih utuh di dalam guci porselin.
Aroma harum segar mewangi muncul dari dalam guci porselin menyebar keluar
terhirup hidung Sang Raja. Sang Raja tidak asing lagi dengan aroma harum yang
segera menghadirkan di pelupuk matanya sosok permaisuri Ratu Ayu Niken
Gambirarum yang sangat dicintainya.
“Adinda Ratu Ayu Niken
Gambirarum,” kata Sang Raja Pulebahas kepada guci porselin yang tengah
dipegangnya itu. “Aku telah memenuhi semua janjiku kepadamu. Semoga aku
dibebaskan dari semua kutukan. Aku sudah menjadi pemeluk Sang Hyang Syiwa,
mengikuti kehendakmu. Aku juga sudah hapuskan semua ritual sesat persembahan
darah perawan suci. Aku tidak ingin lebih buruk dari monyet atau kera seperti
yang pernah engkau katakan kepadaku.”
“Permaisuriku Ratu Ayu,
semoga engkau bahagia berada di sisi Sang Hyang Syiwa dan para Dewa. Ijinkanlah
aku mempersunting Dyah Ayu Dewi Ciptarasa, Putri Kadipaten Pasirluhur sebagai
permaisuriku menggantikan dirimu. Atau, Adindaku akan menitis menjadi satu ke dalam
raga Dyah Ayu Dewi Ciptarasa? Oh, tentu aku sangat gembira sekali bila itu
terjadi. Aku akan selalu menganggap Dyah Ayu Dewi Ciptarasa adalah inkarnasi
dirimu. Bukankah Adindaku juga putri Adipati? Adipati Kalipucang, bukan?”
Setelah puas melakukan
dialog imajinatif dengan mendiang Ratu Ayu Niken Gambirarum, Sang Raja
menempatkan guci porselin kembali ke tempatnya. Sang Raja pun meninggalkan
sanggar pamujan.Sore hari, Sekarmenur
diantar Patih Puletembini menemui Sang Raja menyerahkan konsep surat lamaran
yang telah dibuatnya atas perintah Sang Raja. Sang Raja segera membaca isi surat
lamaran.
“Yang Mulia Paman Adipati Kandhadaha di Pasirluhur. Salam dan bahagia.
Inilah surat dari saya, Raja Pulebahas yang memerintah negeri agung Kerajaan
Nusakambangan, dihaturkan ke hadapan Paman Adipati Kandhadaha yang memerintah
Kadipaten Pasirluhur. Adapun maksud dan isi surat ini adalah, saya bermaksud
melamar putri bungsu Paman Adipati Kandhadaha, Dyah Ayu Dewi Ciptarasa. Itupun
apabila Paman Adipati mengijinkan. Adapun apa saja yang akan diminta, saya akan
menyanggupinya. Akan tetapi, apabila Paman Adipati menolak lamaran saya ini,
maka dengan berat hati, terpaksa saya akan mengirimkan pasukan untuk menaklukkan
Kadipaten Pasirluhur. Demikian, ditunggu jawaban Paman Adipati Kandhadaha.
Salam. Saya, Sang Raja Kerajaan Nusakambangan, Pulebahas.”
Selesai membaca surat
lamaran itu, Sang Raja tersenyum puas.-”Bagus sekali tulisan
dan susunan kalimatmu, Sekarmenur. Cocok menjadi penulis kerajaan membantu Patih
Puletembini,” puji Sang Raja kepada Sekarmenur. Sekarmenur tersenyum
tersipu-sipu.
”Bungkuslah dengan kain kuning dan ikat dengan benang sutra
hijau. Adinda Puletembini, serahkan surat lamaran itu pada Tumenggung
Surajaladri. Besok Tumenggung Surajaladri dan Rangga Singalaut harus sudah
berangkat ke Kadipaten Pasirluhur.”
Setelah surat lamaran
diberi stempel kerajaan dan dibungkus rapi, Patih Puletembini bersama
Sekarmenur mengundurkan diri dari hadapan Sang Raja. Kemudian mereka berdua
bergegas menemui Tumenggung Surajaladri dan Rangga Singalaut.-Esoknya, fajar sudah
merekah di kaki langit sebelah timur. Permukaan Laut Segara Anakan tampak berwarna
kelabu dengan riak-riak putih, sedang bergoyang-goyang dimainkan gelombang.
Tumenggung Surajaladri dan Rangga Singalaut meluncur di atas perahu ke arah
utara, melintasi air laut yang tersibak menyingkir ke kanan dan kiri perahu.
Tak lama kemudian, mereka berdua sudah sampai di pantai daratan Pulau Jawa.
Dari sana dengan menggunakan kuda, mereka berdua memacunya ke arah utara,
menyusuri pinggir Sungai Ciserayu yang bermuara di Teluk Penyu menuju Kadipaten
Pasirluhur.[] (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar