“Aku tidak ragu-ragu
lagi, Istriku. Benih yang aku tanamkan dalam rahimmu malam ini benar-benar
calon anak keturunanku. Engkau akan menjadi ibu anak-anaku. Aku akan segera
menjadi ayah dari anak-anakmu. Besok tidak ada lagi orang dari Kerajaan
Nusakambangan yang berani memanggil langsung namamu. Engkau adalah istriku,
Permaisuri Kerajaan Nusakambangan. Besok semua orang akan memanggilmu Gusti
Ratu Ayu Permaisuri Raja Kerajaan Nusakambangan. Ya, mulai sekarang pun aku
akan memanggilmu Ratu Ayu, Permaisuri Raja Pulebahas,” kata Sang Raja bangga,
wajahnya tampak ceria dan berseri-seri, bagaikan seorang anak yang berhasil menemukan
kembali ibunya yang sudah lama menghilang.
“Adinda Ratu Ayu,
tolonglah aku ambilkan guci porselin di atas meja itu,” kata Sang Raja
mengulangi perintahnya. Tetapi kali ini dengan nada riang gembira.
“Baiklah, Kanda Paduka
Raja,” kata Niken Gambirarum segera bangkit mengambil guci porselin dengan
hiasan bunga mawar biru. Sang Raja segera memasukkan lipatan lembaran kapas
darah perawan suci itu ke dalam guci porselin, lalu menutupnya. Niken Gambirarum
kembali meletakkan guci porselin itu di tempatnya semula.
“Adinda Ratu Ayu,
apakah Engkau sunggguh-sungguh ingin punya delapan anak dari aku?” tanya Sang
Raja pada permaisurinya yang telah kembali ke dalam pelukannya di bawah selimut
yang menutupi mereka.
“Jika Kanda Paduka Raja
menghendaki, kenapa tidak?” jawabnya sambil menatap wajah Sang Raja dengan bola
matanya yang indah berkilat-kilat.
“Tetapi dapatkah
Adindaku membimbing aku lagi mendaki puncak surgawi ketujuh dan ke delapan
selagi fajar belum tiba, Adindaku?”
Ratu Ayu Niken
Gambirarum tersenyum. ”Aku khawatir Kanda akan sangat lemah. Apakah tidak
sebaiknya dilanjutkan besok malam saja? Aku sih siap kapan saja.”
“Adindaku yang tadi
menggoda. Lagi pula aku ingin punya delapan anak dari rahim Adinda. Tidak jadi
enam anak. Hehehe…,” kata Sang Raja tertawa. “Jika Adindaku bisa membimbing aku
mendaki lagi puncak bukit surgawi malam ini, kenapa tidak? Kalau besok malam
terlalu lama, bukan? Kalau toh harus sampai terbit fajar, bahkan sampai siang
hari tidak mengapa, bukan?” kata Sang Raja melanjutkan.
“Kanda, dulu di
Kadipaten Kalipucang ada seorang brahmana ahli yoga telah mengajarkan padaku
cara-cara membuka simpul energi yang ada di daerah punggung dan pinggang,” kata
Ratu Ayu Niken Gambirarum menceriterakan pengalamannya. ”Semuanya ada dua belas
titik simpul energi cinta. Jarang ada pria hebat bisa membuka ke dua belas
simpul energi cinta itu. Hanya para brahmana ahli yoga yang mampu. Itu pun
tidak digunakan untuk berhubungan badan dengan lawan jenis. Para brahmana ahli
yoga biasanya menggunakan energi cinta tadi untuk meningkatkan kekebalan. Para
pengikut agama Tantra juga memiliki keahlian serupa.”
“Lelaki biasa rata-rata
hanya mampu membuka dua atau bahkan hanya satu energi cinta. Dengan olah raga,
makanan dengan gizi baik, dan ramu-ramuan tertentu, seseorang bisa membuka enam
simpul energi cinta. Semuanya berlangsung secara otomatis dikendalikan oleh
alam bawah sadar. Tetapi dengan tekanan dan pijatan pada titik-titik simpul
energi, seseorang bisa meningkatkan kemampuan membuka simpul-simpul energi
cinta itu. Sayang sekali titik-titik simpul energi cinta itu ada di sekitar
ruas-ruas tulang belakang, sehingga seseorang sendiri saja, tidak mungkin bisa
membuka titik-titik simpul energi cintanya sendirian dengan teknik tekan, pijit,
dan pijat tanpa bantuan orang lain.” demikian Niken Gambirarum menjelaskan
pengalamannya belajar kepada pendeta ahli yoga. “Silahkan Kanda tengkurap, aku
akan periksa simpul-simpul energi yang ada pada Kanda.”
Sang Raja mengikuti
perintah Ratu Ayu Permaisurinya. Dia membalikkan tubuhnya hingga punggungnya
yang kekar dan bidang itu menghadap ke atas. Dengan cekatan menggunakan jari
jemarinya yang lentik Niken Gambirarum mulai memeriksa dan menekan
simpul-simpul energi cinta yang ada di sepanjang ruas tulang punggung dan
daerah sekitar pinggang.
“Kanda punya delapan
simpul, tepat dugaanku. Yang enam sudah terbuka dan sudah kosong karena Kakanda
sudah menggunakannya. Masih ada dua. Jika aku tekan, akan segera terbuka simpul
energi cinta. Tetapi aku sarankan satu saja. Sebab jika kedua-duanya digunakan
aku khawatir Kakanda akan lemah sekali setelah menggunakannya. Bagaimana, Kanda?”
“Adindaku yang minta
aku mendaki sampai puncak kedelapan, bukan? Lagi pula aku ingin Adindaku punya
delapan anak, apakah Adindaku keberatan?”
“Sama sekali tidak.
Baiklah kalau begitu, Kanda.” jawabnya.
Lalu jari-jari yang
lembut itu menekan, memijit, memijat, dan membuat beberapa kali pusaran di titik
simpul energi ketujuh dan kedelapan yang ada di sekitar pinggang. Tak lama
kemudian gairah Sang Raja mulai bangkit lagi. Simpul energi cinta telah terbuka
dan siap dilepaskan. Sang Raja mulai merasakan gairah asmaranya meledak-ledak
kembali di kedalaman jiwanya. Demikian pula energi vitalitasnya dirasakannya
telah pulih kembali. Sebuah keinginan aneh dan tak pernah dipahaminya, tiba-tiba
mendesak-desak kembali dan muncul dalam dirinya. Sekalipun begitu Sang Raja
merasa tidak asing lagi dengan perasaan aneh dan menggairahkan yang muncul lagi
itu setelah simpul-simpul energi yang tersisa dibuka Sang Permaisuri.
“Adindaku, temani aku
melanjutkan perjalanan mendaki bukit cinta sampai ke puncak surgawi ketujuh dan
kedelapan,” kata Sang Raja setelah membalikkan tubuhnya, langsung memeluk dan
mencium Ratu Ayu Niken Gambirarum.
“Dengan senang hati Kanda,
marilah,” kata Ratu Ayu Niken Gambirarum yang ahli dan menguasai seni bercinta
itu. Dia tahu gairah Sang Raja untuk melakukan permainan cinta telah bangkit kembali.
Maka mereka berdua pun bersama-sama mendaki bukit cinta dalam permainan asmara
yang sangat indah menuju puncak surgawi. Kembali keringat Sang Raja bercucuran
bercampur dengan keringat Sang Permaisuri. Napas keduanya kembali saling
berkejaran tatkala puncak keindahan dan kebahagian surgawi bukit cinta ketujuh
dan ke delapan berhasil dicapai bersama-sama. Sang Raja pun jatuh terkulai
dengan perasaan puas dan bahagia yang sulit dilukiskan. Sang Raja jatuh
terkulai di samping Sang Permaisuri.
“Adindaku, betapa
hebatnya engkau, sampai aku tak berdaya begini,” kata Sang Raja merintih.
“Bukankah aku sudah katakan,
agar Kanda jangan memaksakan mendaki puncak ke tujuh dan kedelapan?” bisik Sang
Permaisuri seraya mencium pipi Sang Raja.
“Ya, tetapi aku
merasakan suatu kebahagian surgawi persembahan Adinda yang sungguh hebat dan
luar biasa itu. Aku sangat puas, Adindaku sayang. Adindaku akan mengandung delapan
anak-anakku kelak. Semoga Sang Hyang Syiwa mengabulkan permohananku,” kata sang
Raja yang tiba-tiba merasa tenggorokannya sangat haus.
“Adindaku, kenapa aku menjadi
sangat haus begini?”
“Di dalam cangkir perak
masih ada minuman, Kanda.”
“Tak apalah, ambilkan,
Adindaku sayang.”
Niken Gambirarum segera
bangkit mengambil cangkir perak berisi minuman. Ketika Sang Raja meneguknya
separuh isi cangkir, tak lama kemudian tubuhnya terkulai dan pingsan seketika.
Niken Gambirarum cepat-cepat mengembalikan cangkir ke tempatnya semula. Setelah
dia kembali ke ranjang ritual, diselimutinya Sang Raja. Niken Gambirarum
menduga Sang Raja pingsan karena kelelahan. Dia berpikir, nanti toh akan sadar
kembali. Niken Gambirarum masuk ke dalam selimut, berbaring di samping Sang
Raja. Kemudian dipeluknya Sang Raja dengan segenap kasih sayangnya, Sang Raja
yang sedang tidak sadarkan diri. Tetapi lama-lama Niken Gambirarum yang tidak menyadari
bahaya tengah mengancam dirinya itu, tidur terlelap juga.
Pada saat itulah
berkelebat tiga bayangan dengan leluasa bergerak masuk ke dalam ruangan. Ketiga
bayangan itu mendekati ranjang ritual.
Mereka bergerak cepat. Dipeganginya kedua
kaki Niken Gambirarum, dipeganginya pula kedua tangan dan kepalanya. Mulutnya
tiba-tiba dibuka secara paksa. Ketika dia sadar, di mulutnya sudah terkumpul
minuman dari cangkir perak yang dituangkan secara paksa.Terpaksa cairan itu
langsung ditelannya. Sejak itu dia tak ingat apa-apa lagi. Ya, dia Sang
Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum pingsan selamanya. Pingsan yang tak akan
pernah bangun lagi. Karena tidak lama lagi nyawanya akan dipaksa lepas dan
meninggalkan raganya tanpa bisa meninggalkan pesan kepada siapa saja. Bahkan tidak bisa meninggalkan pesan kepada Sang
Raja Pulebahas yang telah menjadi suami tercinta dan tambatan hatinya. Sang
Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum telah jatuh ke tangan Wanita Serigala yang
siap menerkamnya, demi keyakinan sebuah agama. Sebuah agama yang telah diselewengkan dan disalahgunakan.
Wanita serigala itu,
Nyai Gede Wulansari dibantu Sekarmenur dan Sekarmelati, segera menggotong
keluar kamar tubuh Niken Gambirarum yang telah dibalut dengan pakaian putih
bersih. Ditinggalkannya Sang Raja tergolek pingsan tak berdaya sendirian di
bawah selimut yang menutupi tubuhnya.
Di luar ruang sanggar
ritual tiga orang utusan Yang Suci Pendeta Raga Pitar sudah tidak sabar
menunggu di atas dua kudanya. Tubuh Niken Gambirarum segera dinaikkan ke atas
kuda diapit dua orang utusan. Kedua kuda itu pun cepat melesat beriring-iringan
dipacu menuju pantai timur Nusakambangan, berkejar-kejaran dengan fajar pagi
yang tidak lama lagi akan segera menyingsing.
Sejak itu tubuh Niken
Gambirarum, yang sempat menjadi Permaisuri Raja Pulebahas kurang dari satu
malam itu, lenyap tak pernah diketahui di mana rimbanya. Yang tertinggal di
Tamanbidadari hanyalah darah perawan sucinya yang sempat diselamatkan di dalam
guci porselin milik Raja Pulebahas.
Ketika Sang Raja bangun
dari pingsannya pada pagi harinya, dia mendapatkan firasat kurang baik. Tapi
segalanya sudah terlambat. Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum, telah
lama dibawa ke pantai timur Pulau Nusakambangan untuk melewati prosesi lebih
lanjut yang tidak mungkin dicegah. Pagi itu, air mata Sang Raja bercucuran
terkenang wanita cantik yang cerdas luar biasa, mumpuni segala bisa.
“Hem, Adindaku Ratu Ayu
Niken Gambirarum, istriku tercinta. Maafkan akan keteledoranku tidak menjagamu
dengan baik dari maut yang setiap saat mengintaimu. Maafkan aku, Adindaku. Semoga
Sang Hyang Syiwa menyelamatkan sukmamu, karena pengorbanan Adindaku yang besar
dan luar biasa kepadaku.”
Diraihnya guci porselin
di atas meja, dibukanya tutup guci porselin itu. Aroma harum segar mewangi
muncul dari dalam guci porselin. Aroma itu beterbangan keluar, beberapa kali
menyinggahi ujung hidung Sang Raja. Kemudian lipatan kapas bersisi tetesan
bercak darah perawan suci dari Niken Gambirarum di dalam guci diambilnya. Lama
diciuminya lembaran kapas yang harum itu beberapa kali, sampai air mata Sang
Raja yang perkasa itu mengering.
“Aku akan hukum Wanita
Serigala itu dan Pendeta sesat Raga Pitar! Tunggu saja!” kata Raja Pulebahas
dengan geram kepada dirinya sendiri. Dia mengeluarkan ancamannya sambil
meninggalkan Pondok Tamanbidadari. Sebuah tandu penjemput dari Istana Raja yang
sudah lama menunggu, membawa Sang Raja kembali ke Istananya.
Setelah peristiwa
ritual malam tanggal empat belas bulan Caitra itu, Sang Raja jatuh sakit
berhari-hari. Baru setelah sembuh tibalah kesempatan Sang Raja memanggil mereka
menghadapnya untuk menerima murka Sang Raja.
***
Matahari pagi terus
bergerak naik menuju puncak langit. Sinarnya cemerlang bagaikan kilauan lempengan perak menyilaukan
mata itu, mulai memanggang Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan. Amarah Sang Raja
Pulebahas juga terus naik menuju puncaknya. Hanya Patih Puletembini dan
Tumenggung Surajaladri, yang sudah diberitahu lebih dulu keputusan penting apa
yang akan diambil Sang Raja pada hari itu. Karena itu, sebenarnya Patih
Puletembini dan Tumenggung Surajaladri lebih dari siap untuk mengambil tindakan
mengamankan keputusan penting yang akan diambil Sang Raja.
“Adinda Patih
Puletembini dan Tumenggung Surajaladri, dengarkan sabdaku Raja Pulebahas, Raja
Kerajaan Nusakambangan yang telah kembali memeluk agama leluhurnya menyembah
Sang Hyang Syiwa. Yang terkutuk adalah Nyai Gede Wulansari yang telah membunuh
Permasuriku Ratu Ayu Niken Gambirarum. Yang terkutuk juga adalah Pendeta sesat
Raga Pitar! Engkau tahu Puletembini dan Tumenggung Surajaladri, apa hukuman
kepada orang yang dinyatakan terkutuk oleh Rajamu? Bertindaklah atas nama
Rajamu dan Sang Hyang Dewa Syiwa!”
Mendengar perintah itu
Patih Puletembini dan pembantunya Tumenggung Surajaladri segera bergerak untuk
menangkap Nyai Gede Wulansari dan Pendeta Raga Pitar. Baik Nyai Gede Wulansari
maupun Pendeta Raga Pitar sama sekali tidak menduga akan mengalami peristiwa
yang tragis itu. Tetapi rupanya Nyai Gede Wulansari, jauh lebih siap dari Yang
Suci Raga Pitar.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar