Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Rabu, 09 Agustus 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (35)




“Aku tidak ragu-ragu lagi, Istriku. Benih yang aku tanamkan dalam rahimmu malam ini benar-benar calon anak keturunanku. Engkau akan menjadi ibu anak-anaku. Aku akan segera menjadi ayah dari anak-anakmu. Besok tidak ada lagi orang dari Kerajaan Nusakambangan yang berani memanggil langsung namamu. Engkau adalah istriku, Permaisuri Kerajaan Nusakambangan. Besok semua orang akan memanggilmu Gusti Ratu Ayu Permaisuri Raja Kerajaan Nusakambangan. Ya, mulai sekarang pun aku akan memanggilmu Ratu Ayu, Permaisuri Raja Pulebahas,” kata Sang Raja bangga, wajahnya tampak ceria dan berseri-seri, bagaikan seorang anak yang berhasil menemukan kembali ibunya yang sudah lama menghilang.

“Adinda Ratu Ayu, tolonglah aku ambilkan guci porselin di atas meja itu,” kata Sang Raja mengulangi perintahnya. Tetapi kali ini dengan nada riang gembira.

“Baiklah, Kanda Paduka Raja,” kata Niken Gambirarum segera bangkit mengambil guci porselin dengan hiasan bunga mawar biru. Sang Raja segera memasukkan lipatan lembaran kapas darah perawan suci itu ke dalam guci porselin, lalu menutupnya. Niken Gambirarum kembali meletakkan guci porselin itu di tempatnya semula.

“Adinda Ratu Ayu, apakah Engkau sunggguh-sungguh ingin punya delapan anak dari aku?” tanya Sang Raja pada permaisurinya yang telah kembali ke dalam pelukannya di bawah selimut yang menutupi mereka.

“Jika Kanda Paduka Raja menghendaki, kenapa tidak?” jawabnya sambil menatap wajah Sang Raja dengan bola matanya yang indah berkilat-kilat.

“Tetapi dapatkah Adindaku membimbing aku lagi mendaki puncak surgawi ketujuh dan ke delapan selagi fajar belum tiba, Adindaku?”

Ratu Ayu Niken Gambirarum tersenyum. ”Aku khawatir Kanda akan sangat lemah. Apakah tidak sebaiknya dilanjutkan besok malam saja? Aku sih siap kapan saja.”

“Adindaku yang tadi menggoda. Lagi pula aku ingin punya delapan anak dari rahim Adinda. Tidak jadi enam anak. Hehehe…,” kata Sang Raja tertawa. “Jika Adindaku bisa membimbing aku mendaki lagi puncak bukit surgawi malam ini, kenapa tidak? Kalau besok malam terlalu lama, bukan? Kalau toh harus sampai terbit fajar, bahkan sampai siang hari tidak mengapa, bukan?” kata Sang Raja melanjutkan.

“Kanda, dulu di Kadipaten Kalipucang ada seorang brahmana ahli yoga telah mengajarkan padaku cara-cara membuka simpul energi yang ada di daerah punggung dan pinggang,” kata Ratu Ayu Niken Gambirarum menceriterakan pengalamannya. ”Semuanya ada dua belas titik simpul energi cinta. Jarang ada pria hebat bisa membuka ke dua belas simpul energi cinta itu. Hanya para brahmana ahli yoga yang mampu. Itu pun tidak digunakan untuk berhubungan badan dengan lawan jenis. Para brahmana ahli yoga biasanya menggunakan energi cinta tadi untuk meningkatkan kekebalan. Para pengikut agama Tantra juga memiliki keahlian serupa.”

“Lelaki biasa rata-rata hanya mampu membuka dua atau bahkan hanya satu energi cinta. Dengan olah raga, makanan dengan gizi baik, dan ramu-ramuan tertentu, seseorang bisa membuka enam simpul energi cinta. Semuanya berlangsung secara otomatis dikendalikan oleh alam bawah sadar. Tetapi dengan tekanan dan pijatan pada titik-titik simpul energi, seseorang bisa meningkatkan kemampuan membuka simpul-simpul energi cinta itu. Sayang sekali titik-titik simpul energi cinta itu ada di sekitar ruas-ruas tulang belakang, sehingga seseorang sendiri saja, tidak mungkin bisa membuka titik-titik simpul energi cintanya sendirian dengan teknik tekan, pijit, dan pijat tanpa bantuan orang lain.” demikian Niken Gambirarum menjelaskan pengalamannya belajar kepada pendeta ahli yoga. “Silahkan Kanda tengkurap, aku akan periksa simpul-simpul energi yang ada pada Kanda.”  

Sang Raja mengikuti perintah Ratu Ayu Permaisurinya. Dia membalikkan tubuhnya hingga punggungnya yang kekar dan bidang itu menghadap ke atas. Dengan cekatan menggunakan jari jemarinya yang lentik Niken Gambirarum mulai memeriksa dan menekan simpul-simpul energi cinta yang ada di sepanjang ruas tulang punggung dan daerah sekitar pinggang.

“Kanda punya delapan simpul, tepat dugaanku. Yang enam sudah terbuka dan sudah kosong karena Kakanda sudah menggunakannya. Masih ada dua. Jika aku tekan, akan segera terbuka simpul energi cinta. Tetapi aku sarankan satu saja. Sebab jika kedua-duanya digunakan aku khawatir Kakanda akan lemah sekali setelah menggunakannya. Bagaimana, Kanda?”

“Adindaku yang minta aku mendaki sampai puncak kedelapan, bukan? Lagi pula aku ingin Adindaku punya delapan anak, apakah Adindaku keberatan?”

“Sama sekali tidak. Baiklah kalau begitu, Kanda.” jawabnya.

Lalu jari-jari yang lembut itu menekan, memijit, memijat, dan membuat beberapa kali pusaran di titik simpul energi ketujuh dan kedelapan yang ada di sekitar pinggang. Tak lama kemudian gairah Sang Raja mulai bangkit lagi. Simpul energi cinta telah terbuka dan siap dilepaskan. Sang Raja mulai merasakan gairah asmaranya meledak-ledak kembali di kedalaman jiwanya. Demikian pula energi vitalitasnya dirasakannya telah pulih kembali. Sebuah keinginan aneh dan tak pernah dipahaminya, tiba-tiba mendesak-desak kembali dan muncul dalam dirinya. Sekalipun begitu Sang Raja merasa tidak asing lagi dengan perasaan aneh dan menggairahkan yang muncul lagi itu setelah simpul-simpul energi yang tersisa dibuka Sang Permaisuri.

“Adindaku, temani aku melanjutkan perjalanan mendaki bukit cinta sampai ke puncak surgawi ketujuh dan kedelapan,” kata Sang Raja setelah membalikkan tubuhnya, langsung memeluk dan mencium Ratu Ayu Niken Gambirarum. 

“Dengan senang hati Kanda, marilah,” kata Ratu Ayu Niken Gambirarum yang ahli dan menguasai seni bercinta itu. Dia tahu gairah Sang Raja untuk melakukan permainan cinta telah bangkit kembali. Maka mereka berdua pun bersama-sama mendaki bukit cinta dalam permainan asmara yang sangat indah menuju puncak surgawi. Kembali keringat Sang Raja bercucuran bercampur dengan keringat Sang Permaisuri. Napas keduanya kembali saling berkejaran tatkala puncak keindahan dan kebahagian surgawi bukit cinta ketujuh dan ke delapan berhasil dicapai bersama-sama. Sang Raja pun jatuh terkulai dengan perasaan puas dan bahagia yang sulit dilukiskan. Sang Raja jatuh terkulai di samping Sang Permaisuri.

“Adindaku, betapa hebatnya engkau, sampai aku tak berdaya begini,” kata Sang Raja merintih.

“Bukankah aku sudah katakan, agar Kanda jangan memaksakan mendaki puncak ke tujuh dan kedelapan?” bisik Sang Permaisuri seraya mencium pipi Sang Raja.

“Ya, tetapi aku merasakan suatu kebahagian surgawi persembahan Adinda yang sungguh hebat dan luar biasa itu. Aku sangat puas, Adindaku sayang. Adindaku akan mengandung delapan anak-anakku kelak. Semoga Sang Hyang Syiwa mengabulkan permohananku,” kata sang Raja yang tiba-tiba merasa tenggorokannya sangat haus.

“Adindaku, kenapa aku menjadi sangat haus begini?”

“Di dalam cangkir perak masih ada minuman, Kanda.”

“Tak apalah, ambilkan, Adindaku sayang.”

Niken Gambirarum segera bangkit mengambil cangkir perak berisi minuman. Ketika Sang Raja meneguknya separuh isi cangkir, tak lama kemudian tubuhnya terkulai dan pingsan seketika. Niken Gambirarum cepat-cepat mengembalikan cangkir ke tempatnya semula. Setelah dia kembali ke ranjang ritual, diselimutinya Sang Raja. Niken Gambirarum menduga Sang Raja pingsan karena kelelahan. Dia berpikir, nanti toh akan sadar kembali. Niken Gambirarum masuk ke dalam selimut, berbaring di samping Sang Raja. Kemudian dipeluknya Sang Raja dengan segenap kasih sayangnya, Sang Raja yang sedang tidak sadarkan diri. Tetapi lama-lama Niken Gambirarum yang tidak menyadari bahaya tengah mengancam dirinya itu, tidur terlelap juga.

Pada saat itulah berkelebat tiga bayangan dengan leluasa bergerak masuk ke dalam ruangan. Ketiga bayangan itu  mendekati ranjang ritual. Mereka bergerak cepat. Dipeganginya  kedua kaki Niken Gambirarum, dipeganginya pula kedua tangan dan kepalanya. Mulutnya tiba-tiba dibuka secara paksa. Ketika dia sadar, di mulutnya sudah terkumpul minuman dari cangkir perak yang dituangkan secara paksa.Terpaksa cairan itu langsung ditelannya. Sejak itu dia tak ingat apa-apa lagi. Ya, dia Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum pingsan selamanya. Pingsan yang tak akan pernah bangun lagi. Karena tidak lama lagi nyawanya akan dipaksa lepas dan meninggalkan raganya tanpa bisa meninggalkan pesan kepada siapa saja. Bahkan  tidak bisa meninggalkan pesan kepada Sang Raja Pulebahas yang telah menjadi suami tercinta dan tambatan hatinya. Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum telah jatuh ke tangan Wanita Serigala yang siap menerkamnya, demi keyakinan sebuah agama. Sebuah agama  yang telah diselewengkan dan disalahgunakan.

Wanita serigala itu, Nyai Gede Wulansari dibantu Sekarmenur dan Sekarmelati, segera menggotong keluar kamar tubuh Niken Gambirarum yang telah dibalut dengan pakaian putih bersih. Ditinggalkannya Sang Raja tergolek pingsan tak berdaya sendirian di bawah selimut yang menutupi tubuhnya.

Di luar ruang sanggar ritual tiga orang utusan Yang Suci Pendeta Raga Pitar sudah tidak sabar menunggu di atas dua kudanya. Tubuh Niken Gambirarum segera dinaikkan ke atas kuda diapit dua orang utusan. Kedua kuda itu pun cepat melesat beriring-iringan dipacu menuju pantai timur Nusakambangan, berkejar-kejaran dengan fajar pagi yang tidak lama lagi akan segera menyingsing.

Sejak itu tubuh Niken Gambirarum, yang sempat menjadi Permaisuri Raja Pulebahas kurang dari satu malam itu, lenyap tak pernah diketahui di mana rimbanya. Yang tertinggal di Tamanbidadari hanyalah darah perawan sucinya yang sempat diselamatkan di dalam guci porselin milik Raja Pulebahas. 

Ketika Sang Raja bangun dari pingsannya pada pagi harinya, dia mendapatkan firasat kurang baik. Tapi segalanya sudah terlambat. Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum, telah lama dibawa ke pantai timur Pulau Nusakambangan untuk melewati prosesi lebih lanjut yang tidak mungkin dicegah. Pagi itu, air mata Sang Raja bercucuran terkenang wanita cantik yang cerdas luar biasa, mumpuni segala bisa.

“Hem, Adindaku Ratu Ayu Niken Gambirarum, istriku tercinta. Maafkan akan keteledoranku tidak menjagamu dengan baik dari maut yang setiap saat mengintaimu. Maafkan aku, Adindaku. Semoga Sang Hyang Syiwa menyelamatkan sukmamu, karena pengorbanan Adindaku yang besar dan luar biasa kepadaku.”

Diraihnya guci porselin di atas meja, dibukanya tutup guci porselin itu. Aroma harum segar mewangi muncul dari dalam guci porselin. Aroma itu beterbangan keluar, beberapa kali menyinggahi ujung hidung Sang Raja. Kemudian lipatan kapas bersisi tetesan bercak darah perawan suci dari Niken Gambirarum di dalam guci diambilnya. Lama diciuminya lembaran kapas yang harum itu beberapa kali, sampai air mata Sang Raja yang perkasa itu mengering.

“Aku akan hukum Wanita Serigala itu dan Pendeta sesat Raga Pitar! Tunggu saja!” kata Raja Pulebahas dengan geram kepada dirinya sendiri. Dia mengeluarkan ancamannya sambil meninggalkan Pondok Tamanbidadari. Sebuah tandu penjemput dari Istana Raja yang sudah lama menunggu, membawa Sang Raja kembali ke Istananya.

Setelah peristiwa ritual malam tanggal empat belas bulan Caitra itu, Sang Raja jatuh sakit berhari-hari. Baru setelah sembuh tibalah kesempatan Sang Raja memanggil mereka menghadapnya untuk menerima murka Sang Raja.
***
Matahari pagi terus bergerak naik menuju puncak langit. Sinarnya cemerlang  bagaikan kilauan lempengan perak menyilaukan mata itu, mulai memanggang Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan. Amarah Sang Raja Pulebahas juga terus naik menuju puncaknya. Hanya Patih Puletembini dan Tumenggung Surajaladri, yang sudah diberitahu lebih dulu keputusan penting apa yang akan diambil Sang Raja pada hari itu. Karena itu, sebenarnya Patih Puletembini dan Tumenggung Surajaladri lebih dari siap untuk mengambil tindakan mengamankan keputusan penting yang akan diambil Sang Raja.

“Adinda Patih Puletembini dan Tumenggung Surajaladri, dengarkan sabdaku Raja Pulebahas, Raja Kerajaan Nusakambangan yang telah kembali memeluk agama leluhurnya menyembah Sang Hyang Syiwa. Yang terkutuk adalah Nyai Gede Wulansari yang telah membunuh Permasuriku Ratu Ayu Niken Gambirarum. Yang terkutuk juga adalah Pendeta sesat Raga Pitar! Engkau tahu Puletembini dan Tumenggung Surajaladri, apa hukuman kepada orang yang dinyatakan terkutuk oleh Rajamu? Bertindaklah atas nama Rajamu dan Sang Hyang Dewa Syiwa!”

Mendengar perintah itu Patih Puletembini dan pembantunya Tumenggung Surajaladri segera bergerak untuk menangkap Nyai Gede Wulansari dan Pendeta Raga Pitar. Baik Nyai Gede Wulansari maupun Pendeta Raga Pitar sama sekali tidak menduga akan mengalami peristiwa yang tragis itu. Tetapi rupanya Nyai Gede Wulansari, jauh lebih siap dari Yang Suci Raga Pitar.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar