Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 03 Agustus 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (32)




Mendengar permintaan seperti itu Nyai Gede Wulansari tidak kuasa menolak. Bahkan dia merasa gembira, karena tugasnya bertambah ringan. Padahal biasanya, Nyai Gede Wulansari jika membawa gadis yang telah dikarantina ke atas ranjang ritual, harus dibantu  dua orang, Sekarmenur dan Sekarmelati. Sebab biasanya gadis calon korban itu meronta-ronta sekuat tenaga. Setelah gadis itu dibaringkan, Nyai Gede Wulansari harus memegangi tangan,dada, dan leher gadis itu, sedang Sekarmenur memegangi paha kirinya, Sekarmelati paha kanannya. Dan biasanya gadis yang akan dikorbankan itu tetap meronta-ronta sampai peluhnya mengalir dan semakin lama semakin lemah. Pada saat itulah Sang Paduka Raja Pulebahas masuk dan naik ke atas ranjang ritual. Prosesi persembahan perawan suci pun berlangsung secara mekanis, cepat, dan singkat. Setelah darah perawan suci didapat, Sang Raja Pulebahas turun dari ranjang ritual, kembali ke kamar peristirahatannya. Terkadang Sang Raja sendiri merasa bosan melakukan ritual yang menjemukan itu. Tak ada gairah. Tak ada cinta. 

Gadis yang sudah sangat lemah itu segera diberi minum cairan berisi ramuan yang membuatnya pingsan seketika. Biasanya tugas Nyai Gede Wulansari dan kedua pembantunya itu selesai saat telah datang tiga orang penjemput utusan Yang Suci Raga Pitar. Nyai Gede Wulansari dan kedua pembantunya hanya bisa melihat saat tubuh gadis itu dinaikkan ke atas kuda diapit dua orang yang segera melesat menembus malam yang tak lama lagi akan didatangi fajar pagi. Kuda satunya lagi mengikuti dari belakang. 

Nyai Gede Wulansari juga tak pernah tahu prosesi selanjutnya, ketika gadis korban ritual itu dijemput maut di pantai timur melalui keris pusaka Yang Suci Raga Pitar. Yang Suci Raga Pitar itulah yang menangani lebih lanjut prosesi akhir dari persembahan darah perawan suci kepada Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu Culung. Gadis yang telah menjadi mayat itu dibungkus dengan anyaman janur, diberi beban pemberat dan dengan perahu dibawa ke tengah laut di sisi timur Pulau Majeti. Dari sana dilepaskan dan ditenggelamkan ke dalam Lautan Suci.

Sebagian darah yang bisa diambil dengan tusukan keris Yang Suci Raga Pitar ditaburkan di Pulau Majeti, sebagai pupuk pohon bunga sakti Wijaya Kusuma yang tumbuh di sana. Ya, semua prosesi akhir itu, Nyai Gede Wulansari, bahkan Yang Mulia Raja sendiri, tidak pernah melihatnya. Tetapi Dyah Ayu Tunjungbiru mengetahuinya, karena dia pernah diberitahu ajaran sekte menyimpang itu dari seorang pendeta penyembah Sang Hyang Syiwa, ketika dia masih tinggal di Kadipaten Kalipucang. 

Nyai Gede Wulansari masih ingat, senyum manis tersungging di bibir Tunjungbiru saat dia melangkah masuk dengan tenang ke dalam kamar kemudian naik ke atas ranjang ritual. Sekarmenur mengiringinya dengan membawakan sebuah guci porselin kecil, sebuah cangkir perak, dan sebuah cangkir emas berisi ramuan cair. Cangkir perak untuk Tunjungbiru, sedang cangkir emas untuk Yang Mulia Raja. Isi cangkir emas adalah ramuan stamina yang berguna untuk meningkatkan vitalitas Sang Raja, sedang cairan di dalam cangkir perak adalah cairan untuk melemahkan gadis yang akan menjalani prosesi persembahan darah perawan suci dengan dosis tinggi, sehingga dengan mudah membuatnya pingsan. Tentu saja Niken Gambirarum Tunjungbiru tidak pernah diberitahu apa isi minuman yang sebenarnya. 

Nyai Gede Wulansari segera memberitahu Yang Mulia Raja yang sedang menunggu di kamar peristirahatannya, setelah itu ke luar dan menunggu di balik pintu sanggar ritual ditemani pembantu setianya, Sekarmenur dan Sekarmelati. Mereka menunggu dengan sabar prosesi yang tengah berlangsung di balik pintu ruang ritual.

Mereka masuk ke dalam sanggar bukan karena diundang Yang Mulia Raja. Tetapi karena malam terus merangkak menuju fajar. Bulan Purnama pun semakin lama semakin meredup. Nyai Gede Wulansari khawatir, prosesi yang berjalan sendiri itu akan melampaui batas waktu yang telah ditetapkan oleh petunjuk Yang Suci Raga Pitar. Pada saat itulah Nyai Gede Wulansari menemukan sejumlah keganjilan. Kedua pasangan itu dalam keadaan berpelukan tidur pulas, seakan-akan mereka adalah sepasang suami istri yang baru saja menjalani malam pertama dari malam pengantin mereka yang sangat indah.  

“Celaka benar engkau, Nyai Gede Wulansari. Engkau bunuh istriku Niken Gambirarum,” kata Sang Raja, membuyarkan lamunan Nyai Gede Wulansari. Dia tetap menggerutu menyalahkan Nyai Gede Wulansari. Sang Raja seakan-akan tidak mau mendengarkan sejumlah alasan yang telah disampaikannya. 

“Sungguh terkutuk engkau, Nyai Gede Wulansari. Engkau yang terkutuk. Tapi aku yang harus menerima kutukan Niken Gambirarum. Yang Suci Bapa Pendeta Raga Pitar! Tahukah Bapa apa kutukan istriku Niken Gambirarum kepadaku dan kepada masa depan Kerajaan Nusakambangan? Bapa Pendeta, Patih Puletembini, Tumenggung Surajaladri, Nyai Gede Wulansari, kalian semua tak tahu kutukan Niken Gambirarum yang amat mengerikan itu,” kata Sang Raja dengan nada gusar dan menahan amarah. Semua yang hadir terdiam. Tak ada satu pun yang berani membuka mulut. 
***
Sang Raja masih saja terbayang-bayang malam yang dirasakannya sangat indah itu. Dia benar-benar merasa direnggut dari suatu keindahan permainan cinta yang belum pernah dirasakannya. Ya, Sang Raja ingat malam itu, di Pondok Tamanbidadari, ketika Nyai Gede Wulansari memberitahu kepadanya, bahwa prosesi bisa dimulai. 

Saat itu Sang Raja sedang menunggu di ruang istirahat yang berdampingan dengan kamar pelaksanaan prosesi ritual. Sang Raja segera bangkit. Melalui pintu penghubung antar dua kamar yang saling berdampingan itu, Sang Raja melangkah masuk. Segera dilihatnya gadis cantik dalam cahaya lampu redup. Dia hanya mengenakan kemben hitam untuk menyembunyikan kedua buah dadanya yang indah, membuat Sang Raja begitu terpesona. Kulitnya putih bersih bak pualam. Sebuah sabuk berwarna merah berperada benang kuning emas melingkari pinggangnya mengikat kain batik putih biru yang menutup bagian bawah tubuhnya. Rambutnya yang hitam legam, disanggul sangat indah bagaikan mahkota penghias kepala. 

“Sahaya sampaikan sembah kepada Yang Mulia Paduka Raja,” kata gadis itu tanpa perasaan takut sedikitpun. “Nyai Gede Wulansari biasa memanggil sahaya, Endang Tunjungbiru. Padahal nama sahaya yang sebenarnya adalah Niken Gambirarum. Sahaya putri pertama Adipati Kadipaten Kalipucang yang pernah diserbu dan ditaklukan prajurit-prajurit Yang Mulia Paduka Raja. Ayah sahaya sempat mengungsikan sahaya dengan menitipkan di rumah seorang nelayan di tepi Pantai Rawaapu. Tetapi nasib malang menghampiri sahaya. Ketika sedang bermain di tepi pantai, sahaya berhasil ditangkap prajurit-prajurit Yang Mulia Paduka Raja. Maka sejak hari yang sial itu, sahaya menjadi penghuni Pondok Tamanbidadari Nusakambangan.”
Niken Gambirarum turun dari atas ranjang ritual, melakukan sembah sujud pada Yang Mulia Paduka Raja. 

“Aku tidak menduga sama sekali engkau putri Adipati Kalipucang,” kata Sang Raja sambil mengajak gadis cantik itu duduk di pinggir ranjang ritual. Dipegangnya lengan gadis cantik itu. Oh, alangkah lembutnya, pikir Sang Raja.

“Keluargamu musnah semua karena melawan prajuritku. Namamu bagus sekali. Hem, gadis ayu kembang Kadipaten Kalipucang yang luput dari perhatianku. Jika aku gabungkan namamu dengan nama penghuni Pondok Tamanbidadari, namamu adalah Niken Gambirarum Tunjungbiru. Sungguh engkau adalah gadis kembang Kadipaten Kalipucang yang kini jadi kembang Kerajaan Nusakambangan. Engkau pantas menjadi pendampingku, menjadi permaisuriku. Engkau lebih dari layak jika aku sebut kembang Wijayakusuma Kerajaan Nusakambangan. Engkau pasti tahu bunga Wijayakusuma, kembang indah yang tumbuh di Pulau Majeti sebagai anugerah dewa. Bunga itu adalah kembang pusaka Kerajaan Nusakambangan. Kembang yang merupakan simbol keabadian, kemenangan, dan kejayaan.” 

“Tetapi, aku telah memusnahkan keluargamu karena ketidaktahuanku. Apakah engkau dendam kepadaku, Niken Gambirarum Tunjungbiru?”

“Sahaya tidak pernah dendam kepada siapa pun. Sahaya percaya saja kepada para dewa yang akan berbuat adil.”


“Hem, Niken Gambirarum, jika aku tahu Adipati Kalipucang punya putri secantik engkau, tentulah engkau sudah aku lamar sejak dulu. Dan keluargamu tidak harus tumpas semuanya. Ayahmu pastilah sudah jadi mertuaku.”

“Kehendak Dewa sudah terjadi, Yang Mulai Paduka Raja. Tidak ada gunanya menyesalkan sesuatu yang sudah terjadi. Sekarang sahaya akan mengalir saja mengikuti kehendak takdir. Sekarang terserah Yang Mulia Paduka Raja. Hidup dan mati sahaya, jiwa dan raga sahaya sepenuhnya ada di tangan Yang Mulia Paduka Raja. Sahaya berserah diri sepenuhnya. Jika Yang Mulia Paduka Raja menghendaki persembahan kesucian sahaya, sahaya siap berkorban untuk kepentingan Yang Mulia Paduka Raja.”


“Paduka bisa membuka tali pengikat kemben sahaya dan menarik sabuk pengikat yang melilit pinggang sahaya. Selanjutnya Paduka bisa berbuat apa saja terhadap diri sahaya. Tetapi bila pengorbanan sahaya kepada Yang Mulia Paduka Raja berakhir dengan melayangnya jiwa sahaya, sahaya sudah berdoa kepada Dewa sesembahan sahaya, agar Yang Mulia Paduka Raja dan Kerajaan Nusakambangan mendapat kutukan dari para Dewa,” kata gadis itu dengan kata-kata mantap dan tegas, tanpa ada keraguan sedikit pun. 

Sang Raja menggigil mendengar kata-kata kutukan dari gadis cantik Kadipaten Kalipucang itu. Sang Raja ingat perintahnya menumpas seluruh keluarga Adipati Kadipaten Kalipucang hanya karena adipati itu menolak mengakui kekuasaan Kerajaan Nusakambangan. Sang Raja terdiam agak lama, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.

”Jika sampai jiwa sahaya melayang, kutukan dari sahaya ialah Paduka Raja tidak akan pernah punya permaisuri, tidak akan pernah punya keturunan. Cepat atau lambat Kerajaan Paduka juga akan hancur. Tidak pernahkah Yang Mulia Paduka Raja merenungkan, bahwa tanpa kaum sahaya, Yang Mulia tidak mungkin lahir ke dunia ini? Bukankah Yang Mulia lahir ke dunia melewati rahim seorang ibu? Ya, seorang ibu adalah kaum sahaya. Tidak pernahkah Yang Mulia merenungkan, tanpa seorang istri yang setia menjadi pendamping Yang Mulia Paduka Raja, yang rela mengandung calon keturunan dan penerus Yang Mulia, tidak mungkin Yang Mulia memiliki keturunan, bukan? Dan seorang istri yang setia kepada Yang Mulia adalah kaum sahaya juga.”

Kembali kata-kata tajam gadis putri Adipati Kalipucang itu meluncur bagaikan puluhan anak panah yang melesat dari busurnya menembus dada Sang Raja dan menghunjam jantung hatinya, membuat Sang Raja semakin menggigil.


“Harta tanpa sentuhan halus seorang wanita, tahta tanpa didampingi seorang wanita, Yang Mulia Paduka Raja,” kata Niken Gambirarum melanjutkan kata-katanya ketika dilihatnya Sang Raja Pulebahas tetap diam. ”Semuanya akan menimbulkan malapetaka bagi kehidupan. Dan wanita itu adalah kaum sahaya. Yang Mulia Paduka Raja, bahkan seekor monyet atau kera jantan yang paling perkasa pun, tidak pernah melakukan pembunuhan kepada monyet betina atas nama kepercayaan atau agama apapun.”

Sang Raja masih tetap bungkam, tetapi wajahnya semakin pucat. Rangkaian kata-kata bijak yang meluncur dari mulut mungil Niken Gambirarum Tunjungbiru sungguh menimbulkan kecemasan luar biasa. Sang Raja tiba-tiba seperti diingatkan kepada sejumlah gadis yang meronta-ronta di atas ranjang ritual ketika harus mempersembahkan darah suci keperawanan kepadanya. Sang Raja sendiri melakukan perbuatan yang sesungguhnya terkutuk itu, hanya karena melaksanakan kewajiban agama sebagaimana yang diajarkan Yang Suci Raga Pitar. Tak ada kegembiraan, tak ada gairah, tak ada cinta. Bahkan terkadang Sang Raja merasa tersiksa. 

“Hem, sungguh terkutuk aku,” demikian Sang Raja berkata di dalam benaknya, ”Setelah gadis-gadis korban ritual itu mempersembahkan miliknya yang paling berharga, Nyai Gede Wulansari membuat gadis-gadis itu pingsan. Kemudian Bapa Pendeta Raga Pitar dengan kerisnya mengambil nyawa gadis-gadis tak berdosa itu. Oh, memang benar engkau Niken Gambirarum, aku manusia terkutuk lebih rendah dari seekor monyet atau kera. Sebab aku membiarkan saja kekerasan terhadap gadis-gadis tak berdosa itu, tanpa aku berusaha mencegahnya. Hem, benar sekali kata-katamu Niken Gambirarum. Kenapa engkau lebih bijaksana ketimbang Bapa Pendeta Raga Pitar?”

“Mestinya tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan kepada manusia, bahkan kepada manusia yang paling lemah dan paling menderita sekalipun. Bukankah kata agama itu mengandung arti tidak kacau? Jika agama menimbulkan kekerasan dan kekacauan, dapat dipastikan ajaran agama itu telah diselewengkan. He, apakah agama Ditya Kala Rembu Culung agama yang telah menyimpang dari ajaran aslinya?” Sang Raja terus berdiskusi sendiri dalam benaknya menanggapi ancaman kutukan dari Niken Gambirarum.

“Niken Gambirarum, benar sekali kata-katamu,” kata Sang Raja setelah diam agak lama. ”Aku bersedia menerima hukuman dari para Dewa, jika jiwamu sampai melayang karena perbuatanku. Aku pikir hanya pria bodoh dan dungu saja yang membiarkan jiwamu melayang dengan sia-sia. Niken Gambirarum, maafkan aku jika pada masa lalu telah membuat engkau dan keluargamu sangat menderita.”

“Maafkan aku. Semua itu terjadi karena ketidaktahuan dan kecerobohanku,” kata Sang Raja melanjutkan. ”Andai kata saat itu aku tahu di Kadipaten Kalipucang ada gadis secantik engkau, pastilah engkau pada saat itu sudah aku lamar. Yang aku ketahui hanyalah Kadipaten Pasirluhur di utara sana yang memiliki gadis cantik, namanya Dyah Ayu Dewi Ciptarasa,” kata Sang Raja pula.(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar