Mendengar permintaan
seperti itu Nyai Gede Wulansari tidak kuasa menolak. Bahkan dia merasa gembira,
karena tugasnya bertambah ringan. Padahal biasanya, Nyai Gede Wulansari jika
membawa gadis yang telah dikarantina ke atas ranjang ritual, harus dibantu dua orang, Sekarmenur dan Sekarmelati. Sebab
biasanya gadis calon korban itu meronta-ronta sekuat tenaga. Setelah gadis itu
dibaringkan, Nyai Gede Wulansari harus memegangi tangan,dada, dan leher gadis
itu, sedang Sekarmenur memegangi paha kirinya, Sekarmelati paha kanannya. Dan
biasanya gadis yang akan dikorbankan itu tetap meronta-ronta sampai peluhnya
mengalir dan semakin lama semakin lemah. Pada saat itulah Sang Paduka Raja
Pulebahas masuk dan naik ke atas ranjang ritual. Prosesi persembahan perawan
suci pun berlangsung secara mekanis, cepat, dan singkat. Setelah darah perawan
suci didapat, Sang Raja Pulebahas turun dari ranjang ritual, kembali ke kamar
peristirahatannya. Terkadang Sang Raja sendiri merasa bosan melakukan ritual
yang menjemukan itu. Tak ada gairah. Tak ada cinta.
Gadis yang sudah sangat
lemah itu segera diberi minum cairan berisi ramuan yang membuatnya pingsan
seketika. Biasanya tugas Nyai Gede Wulansari dan kedua pembantunya itu selesai
saat telah datang tiga orang penjemput utusan Yang Suci Raga Pitar. Nyai Gede
Wulansari dan kedua pembantunya hanya bisa melihat saat tubuh gadis itu
dinaikkan ke atas kuda diapit dua orang yang segera melesat menembus malam yang
tak lama lagi akan didatangi fajar pagi. Kuda satunya lagi mengikuti dari
belakang.
Nyai Gede Wulansari
juga tak pernah tahu prosesi selanjutnya, ketika gadis korban ritual itu
dijemput maut di pantai timur melalui keris pusaka Yang Suci Raga Pitar. Yang
Suci Raga Pitar itulah yang menangani lebih lanjut prosesi akhir dari persembahan
darah perawan suci kepada Sang Mahadewa Ditya Kala Rembu Culung. Gadis yang
telah menjadi mayat itu dibungkus dengan anyaman janur, diberi beban pemberat
dan dengan perahu dibawa ke tengah laut di sisi timur Pulau Majeti. Dari sana dilepaskan
dan ditenggelamkan ke dalam Lautan Suci.
Sebagian darah yang
bisa diambil dengan tusukan keris Yang Suci Raga Pitar ditaburkan di Pulau
Majeti, sebagai pupuk pohon bunga sakti Wijaya Kusuma yang tumbuh di sana. Ya,
semua prosesi akhir itu, Nyai Gede Wulansari, bahkan Yang Mulia Raja sendiri,
tidak pernah melihatnya. Tetapi Dyah Ayu Tunjungbiru mengetahuinya, karena dia
pernah diberitahu ajaran sekte menyimpang itu dari seorang pendeta penyembah
Sang Hyang Syiwa, ketika dia masih tinggal di Kadipaten Kalipucang.
Nyai Gede Wulansari
masih ingat, senyum manis tersungging di bibir Tunjungbiru saat dia melangkah
masuk dengan tenang ke dalam kamar kemudian naik ke atas ranjang ritual.
Sekarmenur mengiringinya dengan membawakan sebuah guci porselin kecil, sebuah
cangkir perak, dan sebuah cangkir emas berisi ramuan cair. Cangkir perak untuk
Tunjungbiru, sedang cangkir emas untuk Yang Mulia Raja. Isi cangkir emas adalah
ramuan stamina yang berguna untuk meningkatkan vitalitas Sang Raja, sedang
cairan di dalam cangkir perak adalah cairan untuk melemahkan gadis yang akan
menjalani prosesi persembahan darah perawan suci dengan dosis tinggi, sehingga
dengan mudah membuatnya pingsan. Tentu saja Niken Gambirarum Tunjungbiru tidak
pernah diberitahu apa isi minuman yang sebenarnya.
Nyai Gede Wulansari
segera memberitahu Yang Mulia Raja yang sedang menunggu di kamar
peristirahatannya, setelah itu ke luar dan menunggu di balik pintu sanggar ritual
ditemani pembantu setianya, Sekarmenur dan Sekarmelati. Mereka menunggu dengan
sabar prosesi yang tengah berlangsung di balik pintu ruang ritual.
Mereka masuk ke dalam
sanggar bukan karena diundang Yang Mulia Raja. Tetapi karena malam terus
merangkak menuju fajar. Bulan Purnama pun semakin lama semakin meredup. Nyai
Gede Wulansari khawatir, prosesi yang berjalan sendiri itu akan melampaui batas
waktu yang telah ditetapkan oleh petunjuk Yang Suci Raga Pitar. Pada saat
itulah Nyai Gede Wulansari menemukan sejumlah keganjilan. Kedua pasangan itu
dalam keadaan berpelukan tidur pulas, seakan-akan mereka adalah sepasang suami
istri yang baru saja menjalani malam pertama dari malam pengantin mereka yang
sangat indah.
“Celaka benar engkau,
Nyai Gede Wulansari. Engkau bunuh istriku Niken Gambirarum,” kata Sang Raja,
membuyarkan lamunan Nyai Gede Wulansari. Dia tetap menggerutu menyalahkan Nyai
Gede Wulansari. Sang Raja seakan-akan tidak mau mendengarkan sejumlah alasan
yang telah disampaikannya.
“Sungguh terkutuk
engkau, Nyai Gede Wulansari. Engkau yang terkutuk. Tapi aku yang harus menerima
kutukan Niken Gambirarum. Yang Suci Bapa Pendeta Raga Pitar! Tahukah Bapa apa
kutukan istriku Niken Gambirarum kepadaku dan kepada masa depan Kerajaan
Nusakambangan? Bapa Pendeta, Patih Puletembini, Tumenggung Surajaladri, Nyai
Gede Wulansari, kalian semua tak tahu kutukan Niken Gambirarum yang amat mengerikan
itu,” kata Sang Raja dengan nada gusar dan menahan amarah. Semua yang hadir
terdiam. Tak ada satu pun yang berani membuka mulut.
***
Sang Raja masih saja
terbayang-bayang malam yang dirasakannya sangat indah itu. Dia benar-benar
merasa direnggut dari suatu keindahan permainan cinta yang belum pernah dirasakannya.
Ya, Sang Raja ingat malam itu, di Pondok Tamanbidadari, ketika Nyai Gede
Wulansari memberitahu kepadanya, bahwa prosesi bisa dimulai.
Saat itu Sang Raja
sedang menunggu di ruang istirahat yang berdampingan dengan kamar pelaksanaan
prosesi ritual. Sang Raja segera bangkit. Melalui pintu penghubung antar dua
kamar yang saling berdampingan itu, Sang Raja melangkah masuk. Segera
dilihatnya gadis cantik dalam cahaya lampu redup. Dia hanya mengenakan kemben
hitam untuk menyembunyikan kedua buah dadanya yang indah, membuat Sang Raja
begitu terpesona. Kulitnya putih bersih bak pualam. Sebuah sabuk berwarna merah
berperada benang kuning emas melingkari pinggangnya mengikat kain batik putih
biru yang menutup bagian bawah tubuhnya. Rambutnya yang hitam legam, disanggul
sangat indah bagaikan mahkota penghias kepala.
“Sahaya sampaikan
sembah kepada Yang Mulia Paduka Raja,” kata gadis itu tanpa perasaan takut
sedikitpun. “Nyai Gede Wulansari biasa memanggil sahaya, Endang Tunjungbiru.
Padahal nama sahaya yang sebenarnya adalah Niken Gambirarum. Sahaya putri
pertama Adipati Kadipaten Kalipucang yang pernah diserbu dan ditaklukan
prajurit-prajurit Yang Mulia Paduka Raja. Ayah sahaya sempat mengungsikan
sahaya dengan menitipkan di rumah seorang nelayan di tepi Pantai Rawaapu.
Tetapi nasib malang menghampiri sahaya. Ketika sedang bermain di tepi pantai,
sahaya berhasil ditangkap prajurit-prajurit Yang Mulia Paduka Raja. Maka sejak
hari yang sial itu, sahaya menjadi penghuni Pondok Tamanbidadari Nusakambangan.”
Niken Gambirarum turun
dari atas ranjang ritual, melakukan sembah sujud pada Yang Mulia Paduka Raja.
“Aku tidak menduga sama
sekali engkau putri Adipati Kalipucang,” kata Sang Raja sambil mengajak gadis
cantik itu duduk di pinggir ranjang ritual. Dipegangnya lengan gadis cantik
itu. Oh, alangkah lembutnya, pikir Sang Raja.
“Keluargamu musnah
semua karena melawan prajuritku. Namamu bagus sekali. Hem, gadis ayu kembang
Kadipaten Kalipucang yang luput dari perhatianku. Jika aku gabungkan namamu
dengan nama penghuni Pondok Tamanbidadari, namamu adalah Niken Gambirarum Tunjungbiru.
Sungguh engkau adalah gadis kembang Kadipaten Kalipucang yang kini jadi kembang
Kerajaan Nusakambangan. Engkau pantas menjadi pendampingku, menjadi
permaisuriku. Engkau lebih dari layak jika aku sebut kembang Wijayakusuma
Kerajaan Nusakambangan. Engkau pasti tahu bunga Wijayakusuma, kembang indah
yang tumbuh di Pulau Majeti sebagai anugerah dewa. Bunga itu adalah kembang
pusaka Kerajaan Nusakambangan. Kembang yang merupakan simbol keabadian,
kemenangan, dan kejayaan.”
“Tetapi, aku telah
memusnahkan keluargamu karena ketidaktahuanku. Apakah engkau dendam kepadaku,
Niken Gambirarum Tunjungbiru?”
“Sahaya tidak pernah
dendam kepada siapa pun. Sahaya percaya saja kepada para dewa yang akan berbuat
adil.”
“Hem, Niken Gambirarum,
jika aku tahu Adipati Kalipucang punya putri secantik engkau, tentulah engkau
sudah aku lamar sejak dulu. Dan keluargamu tidak harus tumpas semuanya. Ayahmu
pastilah sudah jadi mertuaku.”
“Kehendak Dewa sudah
terjadi, Yang Mulai Paduka Raja. Tidak ada gunanya menyesalkan sesuatu yang
sudah terjadi. Sekarang sahaya akan mengalir saja mengikuti kehendak takdir.
Sekarang terserah Yang Mulia Paduka Raja. Hidup dan mati sahaya, jiwa dan raga
sahaya sepenuhnya ada di tangan Yang Mulia Paduka Raja. Sahaya berserah diri
sepenuhnya. Jika Yang Mulia Paduka Raja menghendaki persembahan kesucian
sahaya, sahaya siap berkorban untuk kepentingan Yang Mulia Paduka Raja.”
“Paduka bisa membuka
tali pengikat kemben sahaya dan menarik sabuk pengikat yang melilit pinggang
sahaya. Selanjutnya Paduka bisa berbuat apa saja terhadap diri sahaya. Tetapi
bila pengorbanan sahaya kepada Yang Mulia Paduka Raja berakhir dengan
melayangnya jiwa sahaya, sahaya sudah berdoa kepada Dewa sesembahan sahaya,
agar Yang Mulia Paduka Raja dan Kerajaan Nusakambangan mendapat kutukan dari
para Dewa,” kata gadis itu dengan kata-kata mantap dan tegas, tanpa ada
keraguan sedikit pun.
Sang Raja menggigil
mendengar kata-kata kutukan dari gadis cantik Kadipaten Kalipucang itu. Sang
Raja ingat perintahnya menumpas seluruh keluarga Adipati Kadipaten Kalipucang hanya
karena adipati itu menolak mengakui kekuasaan Kerajaan Nusakambangan. Sang Raja
terdiam agak lama, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
”Jika sampai jiwa
sahaya melayang, kutukan dari sahaya ialah Paduka Raja tidak akan pernah punya
permaisuri, tidak akan pernah punya keturunan. Cepat atau lambat Kerajaan
Paduka juga akan hancur. Tidak pernahkah Yang Mulia Paduka Raja merenungkan,
bahwa tanpa kaum sahaya, Yang Mulia tidak mungkin lahir ke dunia ini? Bukankah
Yang Mulia lahir ke dunia melewati rahim seorang ibu? Ya, seorang ibu adalah
kaum sahaya. Tidak pernahkah Yang Mulia merenungkan, tanpa seorang istri yang
setia menjadi pendamping Yang Mulia Paduka Raja, yang rela mengandung calon
keturunan dan penerus Yang Mulia, tidak mungkin Yang Mulia memiliki keturunan,
bukan? Dan seorang istri yang setia kepada Yang Mulia adalah kaum sahaya juga.”
Kembali kata-kata tajam
gadis putri Adipati Kalipucang itu meluncur bagaikan puluhan anak panah yang
melesat dari busurnya menembus dada Sang Raja dan menghunjam jantung hatinya,
membuat Sang Raja semakin menggigil.
“Harta tanpa sentuhan
halus seorang wanita, tahta tanpa didampingi seorang wanita, Yang Mulia Paduka
Raja,” kata Niken Gambirarum melanjutkan kata-katanya ketika dilihatnya Sang
Raja Pulebahas tetap diam. ”Semuanya akan menimbulkan malapetaka bagi
kehidupan. Dan wanita itu adalah kaum sahaya. Yang Mulia Paduka Raja, bahkan
seekor monyet atau kera jantan yang paling perkasa pun, tidak pernah melakukan
pembunuhan kepada monyet betina atas nama kepercayaan atau agama apapun.”
Sang Raja masih tetap
bungkam, tetapi wajahnya semakin pucat. Rangkaian kata-kata bijak yang meluncur
dari mulut mungil Niken Gambirarum Tunjungbiru sungguh menimbulkan kecemasan
luar biasa. Sang Raja tiba-tiba seperti diingatkan kepada sejumlah gadis yang
meronta-ronta di atas ranjang ritual ketika harus mempersembahkan darah suci
keperawanan kepadanya. Sang Raja sendiri melakukan perbuatan yang sesungguhnya
terkutuk itu, hanya karena melaksanakan kewajiban agama sebagaimana yang
diajarkan Yang Suci Raga Pitar. Tak ada kegembiraan, tak ada gairah, tak ada
cinta. Bahkan terkadang Sang Raja merasa tersiksa.
“Hem, sungguh terkutuk
aku,” demikian Sang Raja berkata di dalam benaknya, ”Setelah gadis-gadis korban
ritual itu mempersembahkan miliknya yang paling berharga, Nyai Gede Wulansari
membuat gadis-gadis itu pingsan. Kemudian Bapa Pendeta Raga Pitar dengan
kerisnya mengambil nyawa gadis-gadis tak berdosa itu. Oh, memang benar engkau
Niken Gambirarum, aku manusia terkutuk lebih rendah dari seekor monyet atau
kera. Sebab aku membiarkan saja kekerasan terhadap gadis-gadis tak berdosa itu,
tanpa aku berusaha mencegahnya. Hem, benar sekali kata-katamu Niken Gambirarum.
Kenapa engkau lebih bijaksana ketimbang Bapa Pendeta Raga Pitar?”
“Mestinya tidak ada
agama yang mengajarkan kekerasan kepada manusia, bahkan kepada manusia yang
paling lemah dan paling menderita sekalipun. Bukankah kata agama itu mengandung
arti tidak kacau? Jika agama menimbulkan kekerasan dan kekacauan, dapat
dipastikan ajaran agama itu telah diselewengkan. He, apakah agama Ditya Kala
Rembu Culung agama yang telah menyimpang dari ajaran aslinya?” Sang Raja terus
berdiskusi sendiri dalam benaknya menanggapi ancaman kutukan dari Niken
Gambirarum.
“Niken Gambirarum,
benar sekali kata-katamu,” kata Sang Raja setelah diam agak lama. ”Aku bersedia
menerima hukuman dari para Dewa, jika jiwamu sampai melayang karena
perbuatanku. Aku pikir hanya pria bodoh dan dungu saja yang membiarkan jiwamu
melayang dengan sia-sia. Niken Gambirarum, maafkan aku jika pada masa lalu
telah membuat engkau dan keluargamu sangat menderita.”
“Maafkan aku. Semua itu
terjadi karena ketidaktahuan dan kecerobohanku,” kata Sang Raja melanjutkan. ”Andai
kata saat itu aku tahu di Kadipaten Kalipucang ada gadis secantik engkau,
pastilah engkau pada saat itu sudah aku lamar. Yang aku ketahui hanyalah
Kadipaten Pasirluhur di utara sana yang memiliki gadis cantik, namanya Dyah Ayu
Dewi Ciptarasa,” kata Sang Raja pula.(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar