Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 22 Agustus 2017

Novel:-Melati-Kadipaten-Pasirluhur-(36)




Ketika Patih Puletembini bergerak sendirian hendak menangkap Nyai Gede Wulansari, sesungguhnya dia melakukan tindakan ceroboh. Nyai Gede Wulansari cepat meloncat dan memasang posisi kuda-kuda. Wanita Serigala itu sadar akan bahaya yang mengancam dirinya. Dan baginya memang mati dengan bertarung mempertahankan nyawa lebih terhormat dari pada mati dengan menyerahkan lehernya untuk dipancung pedang Sang Raja. 

Nyai Gede Wulansari, Si Wanita Serigala itu menantang duel Patih Puletembini di hadapan Sang Raja. Patih Puletembini mendekat, dengan sembrono melepaskan tamparan ke wajah Nyai Gede Wulansari. Tapi di luar dugaan Patih Puletembini, dengan mudah Nyai Gede Wulansari memiringkan wajahnya. Tamparan meleset menemui angin. Nyai Gede Wulansari yang pandai gulat itu tidak menyia-nyiakan lengan Patih Puletembini yang lewat di depanya. Tangannya yang kekar bak tangkai penjepit, menangkap lengan Patih Puletembini. Dengan sentakan kuat luar biasa tubuh Patih Puletembini yang tinggi besar tertarik ke arah Wanita Serigala itu. Tubuhnya pun terhuyung-huyung bagaikan pohon yang kelapa akan segera tumbang. 

Secepat kilat Nyai Gede Wulansari memuntir tangan Patih Puletembini. Tubuh yang akan jatuh karena kehilangan keseimbangannya itu tiba-tiba jatuh dalam cengkeraman Nyai Gede Wulansari yang menjepitnya dari belakang. Tangan kirinya mengunci leher, tangan kanannya mengunci lengan kanan Patih Puletembini yang dipuntir ke belakang. Kalau mau, Wanita Serigala itu sebenarnya dengan mudah bisa mematahkan lengan dan leher Patih Puletembini. Tetapi Wanita Serigala itu memilih menjadikan Patih Puletembini yang nyaris terkunci itu menjadi tameng bagi dirinya dan mulai mendorong bergerak mendekati Sang Raja.

Untunglah Tumenggung Surajaladri dengan mudah melumpuhkan Pendeta Raga Pitar. Dengan melepaskan suatu tendangan maut, tapak kaki Tumenggung Surajaladri mengenai lempengan emas dengan lambang phalus, lambang agama Ditya Kala Rembu Culung yang menggantung di leher Yang Suci Raga Pitar. Pendeta Yang Suci Raga Pitar langsung roboh setelah terlempar jatuh ke belakang. Kepala bagian belakang membentur dinding batu, membuat Yang Suci Raga Pitar mencium lantai dengan mulut mengeluarkan darah segar. Pendeta sesat itu langsung tewas seketika.

Tumenggung Surajaladri segera melihat Nyai Gede Wulansari bergerak akan mendekati Sang Raja dengan tameng Patih Puletembini yang praktis sudah jadi kartu mati. Tumenggung Surajaladri tidak mungkin meloncat mendekati Wanita Serigala yang sudah menangkap mangsanya itu untuk membantu Sang Raja maupun Patih Puletembini. Sebab tindakan demikian adalah tindakan bodoh. Bukan hanya nyawa Patih Puletembini yang terancam. Tetapi juga nyawa Sang Raja. 

Seorang pegulat handal seperti Nyai Gede Wulansari tidak mungkin dilayani berkelahi dengan jarak dekat. Tumenggung Surajaladri bisa mengalami nasib konyol seperti Patih Puletembini. Peluang Wanita Serigala untuk mendapatkan tiga mangsa sekaligus memang besar. Tumenggung Surajaladri segera memutar otaknya guna menyelamatkan keadaan yang sudah sangat kritis. Nyai Gede Wulansari memang nekat melakukan pemberontakan dan pembangkangan secara terang-terangan di hadapan Sang Raja. 

Tiba-tiba Tumenggung Surajaladri melihat sisi kanan leher Nyai Gede Wulansari yang terbuka. Tanpa pikir panjang, Tumenggung Surajaladri yang ahli melempar pisau itu, menarik pisau bermata dua yang terselip di pinggangnya dan dilemparkannya sekuat tenaga ke arah sisi leher kanan Wanita Serigala yang terbuka itu. Pisau meluncur cepat bagaikan anak panah menuju sasaran. Ujung pisau tepat mengenai sisi leher kanan tembus ke sisi leher kiri. Tubuh Wanita Serigala itu langsung roboh tanpa sempat mengeluarkan teriakan dan tewas seketika. Darah merah segar mengalir dari lehernya yang tertembus pisau. Patih Puletembini dan Raja dapat diselamatkan dari ancaman Wanita Serigala itu. 

Para penjaga baru berdatangan dan ramai-ramai masuk ruangan setelah Nyai Gede Wulansari dan Yang Suci Raga Pitar menjadi mayat. Sang Raja kemudian memerintahkan agar kedua mayat pembangkang dan pendeta sesat itu dibungkus, dimasukkan ke dalam jaring, lalu dilemparkan ke tengah laut di sebelah selatan Pulau Nusakambangan. Sang Raja Pulebahas kemudian mengeluarkan perintah.

“Aku Sang Raja Pulebahas, Penguasa dan Raja Kerajaan Nusakambangan. Dengan ini menyatakan sejak hari ini, aku melarang agama yang menyembah Ditya Kala Rembu Culung. Aku juga menghapus semua ritual persembahan darah perawan suci di seluruh wilayah Kerajaan Nusakambangan. Aku nyatakan agama Syiwa menjadi agama resmi Raja Kerajaan Nusakambangan. Aku menganjurkan rakyatku menyembah Sang Hyang Syiwa. Agama selain Syiwa yang aku ijinkan dipeluk oleh rakyat Kerajaan Nusakambangan hanyalah agama Wisynu, Brahma, Indra, Sambu, dan Kala. Selain agama yang aku sebutkan di atas adalah terlarang, kecuali sudah mendapat persetujuan dari aku, Sang Raja.” 

Sang Raja Pulebahas merasa puas setelah menyampaikan perintah kepada para kawulanya. Sebab dengan perintah itu Sang Raja merasa telah melaksanakan janjinya kepada Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum. Dengan melaksanakan janjinya itu Sang Raja berharap kutukan terhadap dirinya dan kerajaannya tidak akan terjadi. Pada kesempatan itu Sang Raja bekenan memberikan ampunan kepada Sekarmenur dan Sekarmelati. Keduanya menyatakan bertobat dan bersedia memeluk agama baru yang dipeluk Sang Raja Pulebahas. Keduanya juga telah mengucapkan janji sumpah setia kepada Sang Raja.

Karena itu Sang Raja kemudian mengangkat Sekarmenur dan Sekarmelati menjadi ketua dan wakil ketua pengelola Pondok Tamanbidadari yang dialihkan menjadi taman pendidikan bagi gadis-gadis penghuninya. Mereka dididik dengan berbagai ketrampilan wanita agar kelak gadis-gadis itu bisa menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga yang baik. Status mereka tetap diakui sebagai adik kembar Sang Raja. Seratus hari setelah Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum dianggap moksa, Sang Raja mengumpulkan Patih Puletembini, Tumenggung Surajaladri, Sekarmenur, dan Sekarmelati.

“Adindaku Patih Puletembini, aku dengar engkau mau minta ijin padaku melamar Sekarmenur?” tanya Sang Raja pagi itu di Istana Sang Raja.

“Betul, Kanda Yang Mulia Paduka Raja,” jawab Patih Puletembini dengan wajah memerah karena malu.

“Hem, engkau dulu tidak berani melamar Sekarmenur karena takut pada Si Gila Wulansari, ya?” tanya Sang Raja menggoda Patih Puletembini yang hampir saja tewas diterkam Wanita Serigala Nyai Gede Wulansari. Patih Puletembini hanya tersenyum malu-malu.

“Makanya engkau harus banyak berlatih agar kemampuan bela dirimu tetap prima. Jangan hanya mengandalkan anak buah saja,” kata Sang Raja memberi nasihat.

“Tumenggung Surajaladri, aku juga dengar kamu mau minta ijin untuk melamar Sekarmelati?” tanya Sang Raja pada Tumenggung Surajaladri.

“Benar, Yang Mulia Raja,” jawab Tumenggung Surajaladri singkat.

“Sekarmenur dan Sekarmelati, aku sudah mendengar sendiri keinginan Patih Puletembini dan Tumenggung Surajaladri untuk melamarmu. Aku setuju sekali. Engkau berdua cantik, lincah, cekatan, dan perkasa pula. Aku kira cocok jika menjadi pendamping Patih Puletembini dan Tumenggung Surajaladri. Aku mengijinkan kamu berdua membangun rumah tangga dengan Puletembini dan Tumenggung Surajaladri.”

“Terima kasih, Yang Mulia Paduka Raja,” jawab Sekarmenur dan Sekarmelati bersamaan.

“Ya, tapi nanti dulu, aku belum selesai bicara. Adinda Puletembini, Tumenggung Surajaladri, Sekarmenur, dan Sekarmelati. Aku ijinkan kalian membentuk rumah tangga menjadi pasangan suami istri sah. Tapi, masa kalian biarkan Rajamu menjadi duda sendirian saja?”

Mereka semua diam, tetapi dalam hati tertawa, karena rupanya Sang Raja juga tidak mau kalah dengan anak buahnya. Memang penguasa Kerajaan Nusakambangan itu masih muda-muda, termasuk Sang Raja sendiri yang gagal mewujudkan mimpi-mimpinya membangun rumah tangga dan ingin punya delapan anak dengan Niken Gambirarum.

Tumenggung Surajaladri mengajukan usul kepada Sang Raja. ”Yang Mulai Paduka Raja, bagaimana kalau Adinda Sekarmelati mencarikan salah seorang gadis dari Pondok Tamanbidadari? Bukankah banyak gadis-gadis cantik di sana?”

“Jangan!” jawab Sang Raja cepat. ”Aku sudah bersumpah pada Sang Hyang Syiwa dan berjanji pada mendiang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum bahwa semua gadis di Pondok Tamanbidadari itu aku angkat sebagai adik-adiku. Tidak mungkin kakak kawin dengan adik, bukan? Aku adalah Raja Kerajaan Nusakambangan. Semua raja Penguasa pulau mengambil permaisuri dari tanah daratan. Karena itu calon permaisuriku harus dari tanah Jawa. Mendiang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum, seperti sudah aku ceriterakan kepada kalian semua, adalah putri Adipati Kalipucang. Adinda Puletembini, apa sumbang saranmu?”

Patih Puletembini melirik Sekarmenur yang duduk di sampingnya sambil mencolek pinggang Sekarmenur, lalu berkata, ”Adinda Sekarmenur mungkin bisa memberikan saran, Kanda Yang Mulia Raja.”

“Hem, Sekarmenur. Kamu kasihan apa tidak pada Rajamu? Tiap malam kedinginan selalu, terbayang-bayang dan ingat pada Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum. Coba, apa saranmu?” tanya Sang Raja sambil berpaling memandang Sekarmenur.(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar