Ketika Patih Puletembini
bergerak sendirian hendak menangkap Nyai Gede Wulansari, sesungguhnya dia
melakukan tindakan ceroboh. Nyai Gede Wulansari cepat meloncat dan memasang
posisi kuda-kuda. Wanita Serigala itu sadar akan bahaya yang mengancam dirinya.
Dan baginya memang mati dengan bertarung mempertahankan nyawa lebih terhormat
dari pada mati dengan menyerahkan lehernya untuk dipancung pedang Sang Raja.
Nyai Gede Wulansari, Si
Wanita Serigala itu menantang duel Patih Puletembini di hadapan Sang Raja.
Patih Puletembini mendekat, dengan sembrono melepaskan tamparan ke wajah Nyai
Gede Wulansari. Tapi di luar dugaan Patih Puletembini, dengan mudah Nyai Gede
Wulansari memiringkan wajahnya. Tamparan meleset menemui angin. Nyai Gede
Wulansari yang pandai gulat itu tidak menyia-nyiakan lengan Patih Puletembini
yang lewat di depanya. Tangannya yang kekar bak tangkai penjepit, menangkap
lengan Patih Puletembini. Dengan sentakan kuat luar biasa tubuh Patih Puletembini
yang tinggi besar tertarik ke arah Wanita Serigala itu. Tubuhnya pun
terhuyung-huyung bagaikan pohon yang kelapa akan segera tumbang.
Secepat kilat Nyai Gede
Wulansari memuntir tangan Patih Puletembini. Tubuh yang akan jatuh karena
kehilangan keseimbangannya itu tiba-tiba jatuh dalam cengkeraman Nyai Gede
Wulansari yang menjepitnya dari belakang. Tangan kirinya mengunci leher, tangan
kanannya mengunci lengan kanan Patih Puletembini yang dipuntir ke belakang.
Kalau mau, Wanita Serigala itu sebenarnya dengan mudah bisa mematahkan lengan
dan leher Patih Puletembini. Tetapi Wanita Serigala itu memilih menjadikan
Patih Puletembini yang nyaris terkunci itu menjadi tameng bagi dirinya dan
mulai mendorong bergerak mendekati Sang Raja.
Untunglah Tumenggung
Surajaladri dengan mudah melumpuhkan Pendeta Raga Pitar. Dengan melepaskan
suatu tendangan maut, tapak kaki Tumenggung Surajaladri mengenai lempengan emas
dengan lambang phalus, lambang agama Ditya Kala Rembu Culung yang menggantung
di leher Yang Suci Raga Pitar. Pendeta Yang Suci Raga Pitar langsung roboh setelah
terlempar jatuh ke belakang. Kepala bagian belakang membentur dinding batu,
membuat Yang Suci Raga Pitar mencium lantai dengan mulut mengeluarkan darah
segar. Pendeta sesat itu langsung tewas seketika.
Tumenggung Surajaladri
segera melihat Nyai Gede Wulansari bergerak akan mendekati Sang Raja dengan
tameng Patih Puletembini yang praktis sudah jadi kartu mati. Tumenggung
Surajaladri tidak mungkin meloncat mendekati Wanita Serigala yang sudah
menangkap mangsanya itu untuk membantu Sang Raja maupun Patih Puletembini.
Sebab tindakan demikian adalah tindakan bodoh. Bukan hanya nyawa Patih Puletembini
yang terancam. Tetapi juga nyawa Sang Raja.
Seorang pegulat handal seperti
Nyai Gede Wulansari tidak mungkin dilayani berkelahi dengan jarak dekat.
Tumenggung Surajaladri bisa mengalami nasib konyol seperti Patih Puletembini.
Peluang Wanita Serigala untuk mendapatkan tiga mangsa sekaligus memang besar. Tumenggung
Surajaladri segera memutar otaknya guna menyelamatkan keadaan yang sudah sangat
kritis. Nyai Gede Wulansari memang nekat melakukan pemberontakan dan
pembangkangan secara terang-terangan di hadapan Sang Raja.
Tiba-tiba Tumenggung
Surajaladri melihat sisi kanan leher Nyai Gede Wulansari yang terbuka. Tanpa
pikir panjang, Tumenggung Surajaladri yang ahli melempar pisau itu, menarik
pisau bermata dua yang terselip di pinggangnya dan dilemparkannya sekuat tenaga
ke arah sisi leher kanan Wanita Serigala yang terbuka itu. Pisau meluncur cepat
bagaikan anak panah menuju sasaran. Ujung pisau tepat mengenai sisi leher kanan
tembus ke sisi leher kiri. Tubuh Wanita Serigala itu langsung roboh tanpa sempat
mengeluarkan teriakan dan tewas seketika. Darah merah segar mengalir dari
lehernya yang tertembus pisau. Patih Puletembini dan Raja dapat diselamatkan
dari ancaman Wanita Serigala itu.
Para penjaga baru
berdatangan dan ramai-ramai masuk ruangan setelah Nyai Gede Wulansari dan Yang
Suci Raga Pitar menjadi mayat. Sang Raja kemudian memerintahkan agar kedua
mayat pembangkang dan pendeta sesat itu dibungkus, dimasukkan ke dalam jaring,
lalu dilemparkan ke tengah laut di sebelah selatan Pulau Nusakambangan. Sang
Raja Pulebahas kemudian mengeluarkan perintah.
“Aku Sang Raja
Pulebahas, Penguasa dan Raja Kerajaan Nusakambangan. Dengan ini menyatakan sejak
hari ini, aku melarang agama yang menyembah Ditya Kala Rembu Culung. Aku juga menghapus
semua ritual persembahan darah perawan suci di seluruh wilayah Kerajaan
Nusakambangan. Aku nyatakan agama Syiwa menjadi agama resmi Raja Kerajaan
Nusakambangan. Aku menganjurkan rakyatku menyembah Sang Hyang Syiwa. Agama
selain Syiwa yang aku ijinkan dipeluk oleh rakyat Kerajaan Nusakambangan
hanyalah agama Wisynu, Brahma, Indra, Sambu, dan Kala. Selain agama yang aku
sebutkan di atas adalah terlarang, kecuali sudah mendapat persetujuan dari aku,
Sang Raja.”
Sang Raja Pulebahas
merasa puas setelah menyampaikan perintah kepada para kawulanya. Sebab dengan
perintah itu Sang Raja merasa telah melaksanakan janjinya kepada Sang
Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum. Dengan melaksanakan janjinya itu Sang
Raja berharap kutukan terhadap dirinya dan kerajaannya tidak akan terjadi. Pada
kesempatan itu Sang Raja bekenan memberikan ampunan kepada Sekarmenur dan
Sekarmelati. Keduanya menyatakan bertobat dan bersedia memeluk agama baru yang
dipeluk Sang Raja Pulebahas. Keduanya juga telah mengucapkan janji sumpah setia
kepada Sang Raja.
Karena itu Sang Raja
kemudian mengangkat Sekarmenur dan Sekarmelati menjadi ketua dan wakil ketua
pengelola Pondok Tamanbidadari yang dialihkan menjadi taman pendidikan bagi gadis-gadis
penghuninya. Mereka dididik dengan berbagai ketrampilan wanita agar kelak
gadis-gadis itu bisa menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga yang baik.
Status mereka tetap diakui sebagai adik kembar Sang Raja. Seratus hari setelah
Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum dianggap moksa, Sang Raja
mengumpulkan Patih Puletembini, Tumenggung Surajaladri, Sekarmenur, dan
Sekarmelati.
“Adindaku Patih
Puletembini, aku dengar engkau mau minta ijin padaku melamar Sekarmenur?” tanya
Sang Raja pagi itu di Istana Sang Raja.
“Betul, Kanda Yang
Mulia Paduka Raja,” jawab Patih Puletembini dengan wajah memerah karena malu.
“Hem, engkau dulu tidak
berani melamar Sekarmenur karena takut pada Si Gila Wulansari, ya?” tanya Sang
Raja menggoda Patih Puletembini yang hampir saja tewas diterkam Wanita Serigala
Nyai Gede Wulansari. Patih Puletembini hanya tersenyum malu-malu.
“Makanya engkau harus
banyak berlatih agar kemampuan bela dirimu tetap prima. Jangan hanya
mengandalkan anak buah saja,” kata Sang Raja memberi nasihat.
“Tumenggung
Surajaladri, aku juga dengar kamu mau minta ijin untuk melamar Sekarmelati?”
tanya Sang Raja pada Tumenggung Surajaladri.
“Benar, Yang Mulia
Raja,” jawab Tumenggung Surajaladri singkat.
“Sekarmenur dan
Sekarmelati, aku sudah mendengar sendiri keinginan Patih Puletembini dan
Tumenggung Surajaladri untuk melamarmu. Aku setuju sekali. Engkau berdua
cantik, lincah, cekatan, dan perkasa pula. Aku kira cocok jika menjadi
pendamping Patih Puletembini dan Tumenggung Surajaladri. Aku mengijinkan kamu
berdua membangun rumah tangga dengan Puletembini dan Tumenggung Surajaladri.”
“Terima kasih, Yang
Mulia Paduka Raja,” jawab Sekarmenur dan Sekarmelati bersamaan.
“Ya, tapi nanti dulu, aku
belum selesai bicara. Adinda Puletembini, Tumenggung Surajaladri, Sekarmenur,
dan Sekarmelati. Aku ijinkan kalian membentuk rumah tangga menjadi pasangan
suami istri sah. Tapi, masa kalian biarkan Rajamu menjadi duda sendirian saja?”
Mereka semua diam,
tetapi dalam hati tertawa, karena rupanya Sang Raja juga tidak mau kalah dengan
anak buahnya. Memang penguasa Kerajaan Nusakambangan itu masih muda-muda,
termasuk Sang Raja sendiri yang gagal mewujudkan mimpi-mimpinya membangun rumah
tangga dan ingin punya delapan anak dengan Niken Gambirarum.
Tumenggung Surajaladri
mengajukan usul kepada Sang Raja. ”Yang Mulai Paduka Raja, bagaimana kalau
Adinda Sekarmelati mencarikan salah seorang gadis dari Pondok Tamanbidadari?
Bukankah banyak gadis-gadis cantik di sana?”
“Jangan!” jawab Sang
Raja cepat. ”Aku sudah bersumpah pada Sang Hyang Syiwa dan berjanji pada
mendiang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum bahwa semua gadis di Pondok
Tamanbidadari itu aku angkat sebagai adik-adiku. Tidak mungkin kakak kawin
dengan adik, bukan? Aku adalah Raja Kerajaan Nusakambangan. Semua raja Penguasa
pulau mengambil permaisuri dari tanah daratan. Karena itu calon permaisuriku harus
dari tanah Jawa. Mendiang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum, seperti sudah
aku ceriterakan kepada kalian semua, adalah putri Adipati Kalipucang. Adinda Puletembini,
apa sumbang saranmu?”
Patih Puletembini
melirik Sekarmenur yang duduk di sampingnya sambil mencolek pinggang
Sekarmenur, lalu berkata, ”Adinda Sekarmenur mungkin bisa memberikan saran,
Kanda Yang Mulia Raja.”
“Hem, Sekarmenur. Kamu
kasihan apa tidak pada Rajamu? Tiap malam kedinginan selalu, terbayang-bayang
dan ingat pada Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum. Coba, apa saranmu?”
tanya Sang Raja sambil berpaling memandang Sekarmenur.(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar