Sementara itu,
matahari yang menyilaukan mata baru sepenggalah tingginya ketika Ki Sulap
Pangebatan tiba di lapangan Desa Pangebatan. Rekajaya yang mengiringinya,
berjalan di belakang sambil membawa sang jawara tak terkalahkan, si Mercu. Ki
Sulap Pangebatan menyaksikan sejumlah orang terus-menerus mengalir menuju
lapangan Desa Pangebatan. Mereka semua berkumpul mengitari gelanggang sabung
adu ayam yang didirikan di pinggir lapangan. Mereka sudah tidak sabar lagi
menunggu pertandingan istimewa antara jawara juara bertahan si Mercu dengan penantangnya
si Gelapngampar. Apa lagi nilai taruhannya unik, yaitu 2 - 1 untuk si Mercu.
Artinya, jika si Mercu menang akan mendapatkan nilai taruhan sebanyak dua kali
nilai taruhan si Gelapngampar. Sebaliknya jika si Gelapngampar menang hanya
akan mendapatkan nilai taruhan satu kali saja.
Tumenggung Silihwarna sengaja tiba lebih awal
langsung masuk gelanggang, lalu duduk di kursi sebelah kanan. Mengikuti di
belakangnya, Ngabehi Nitipraja membawa jago aduan berwarna merah, si Gelapngampar.
Tumenggung Silihwarna tampak gagah bak Ksatria Pasirluhur. Dia mengenakan
surjan lurik garis-garis lurus hitam coklat, bercelana panjang hitam,
dan memakai ikat kepala hitam coklat. Diam-diam Tumenggung Silihwarna membawa
200 tentara anak buahnya. Semuanya menyamar sebagai penonton, tak satu
pun prajurit itu diperkenankan membawa senjata. Di pinggir kalangan, kentongan
sudah disiapkan dan wasit pertandingan pun sudah tiba ditemani seorang
pembantunya.
Ketika penduduk yang berkerumun melihat Ki
Sulap Pangebatan tiba di pinggir lapangan, sorak sorai membahana membuat
suasana lapangan Desa Pangebatan itu hingar bingar. Terdengar suara tepuk
tangan dan teriakan menyambut kedatangan sang jawara si Mercu. Sang Jawara itu
dibawa Rekajaya, pembantu Ki Sulap Pangebatan. Rumput di atas lapangan
sudah lama mengering,-dan semakin terkulai karena ribuan kali diinjak-injak kaki
penonton yang berbondong-bondong mendatangi tanah lapang. Bau rumput kering
bercampur debu tanah bertebaran kemana-mana memenuhi udara yang berputar-putar
di atas tanah lapang.
“Mercu! Mercu! Mercu!” demikian suara
orang-orang yang berkerumun di pinggir gelanggang sabung ayam dengan semangat. Mereka
berteriak-teriak mengelu-elukan jawara pujaan mereka. Angin dari arah utara
bertiup lembut menggoyang daun pohon angsana, belimbing, sawo, asam, dan mangga
yang banyak tumbuh di sekitar tanah lapang.
Ki Sulap Pangebatan segera memasuki gelanggang
disambut dengan jabat tangan Tumenggung Silihwarna yang menatapnya tanpa
berkedip. Ada perasaan aneh yang menyelinap dalam benak Silihwarna tatkala
menatap wajah Ki Sulap Pangebatan. Apalagi saat berjabatan tangan. Dia seperti
merasakan sesuatu yang pernah dikenalnya. Tetapi, perasaan itu cepat lenyap
ditelan hiruk pikuk sekelilingnya dan suara kokok sang jawara yang mulai
terdengar bersahut-sahutan.
Si Wasit berdiri di tepi kalangan, dia
mempersilahkan Ki Sulap Pangebatan duduk di kursi sebelah kiri. Tanpa sengaja
Ki Sulap Pangebatan mengenakan baju surjan lurik dengan garis-garis biru hitam,
celana hitam panjang, dan ikat kepala biru hitam, sehingga mengingatkan orang
kepada ksatria dari lereng Gunung Tangkuban Perahu. Orang-orang yang
menyaksikan penampilan keduanya berdecak kagum. Mereka berdua bagaikan sepasang
ksatria kembar, hanya berbeda corak warna ikat kepala dan baju yang
dikenakannya.
Tak terbayangkan
sama sekali oleh semua yang hadir, bahwa usai si Mercu dan si
Gelapngampar berlaga akan terjadi peristiwa mengerikan. Bahkan Ki Sulap
Pangebatan pun tidak menduganya sama sekali peristiwa apa yang akan menimpa
dirinya. Namun demikian, pengalaman yang dimilikinya selama ini membuatnya dia
selalu waspada terhadap setiap kemungkinan.
Di pinggang kiri Ki Sulap Pangebatan terselip
pusaka Pajajaran Kujang Kancana Shakti. Selendang sutra kuning kenang-kenangan
dari Sang Dewi meliliti pinggangnya. Semuanya terlindung di balik baju surjannya
sehingga tak seorang pun yang mengetahuinya. Lama Ki Sulap Pangebatan menatap
wajah tumenggung yang diduganya gemar jadi botoh adu ayam itu. Dia mencoba
merekam wajah Tumenggung Silihwarna yang baru dilihatnya. Aneh sekali, setiap
kali Ki Sulap Pangebatan hendak merekam wajah Tumenggung Silihwarna dalam
benaknya, setiap saat itu pula bayangan seorang pendeta muda gundul, mengenakan
jubah warna kuning, dan membawa seuntai kalung untuk berdoa, muncul dalam
benaknya.
“Hem, Banyakngampar. Malang benar pilihan
hidupmu. Jadi pendeta gundul, sebagai pelarian saja. Coba kalau kamu mengikuti
saranku, barang kali kamu akan secakap dan setampan Tumenggung Silihwarna yang
bodohnya bukan main ini. Tumenggung, tetapi gemar main judi sabung ayam yang
merusak,” kata Ki Sulap Pangebatan dalam batinnya.
Ki Sulap Pangebatan, seperti Tumenggung
Silihwarna, juga gagal menangkap sinyal-sinyal batiniah yang muncul di dalam
benaknya. Apalagi ketika Ngabehi Nitipraja melepaskan sang jawara kebanggaannya,
si Gelapngampar, ke tengah gelanggang. Bayangan pendeta gundul dalam benaknya
lenyap seketika digantikan oleh amarah yang mulai berkobar-kobar.
Hampir saja Ki Sulap Pangebatan meloncat dari
tempat duduknya untuk menangkap si Gelapngampar dan ingin membantingnya sampai
tewas. Untung saja, Ngabehi Nitipraja cepat menangkapnya kembali setelah
mendapat peringatan keras dari wasit yang akan memimpin pertandingan. Tindakan
Ngabehi Nitipraja itu bisa dianggap sebagai penghinaan kepada si Mercu. Sebab,
si Merculah yang menyandang gelar juara bertahan. Karena itu si Merculah yang
berhak turun lebih dahulu ke tengah gelanggang. Si Merculah Sang Penguasa
Gelanggang, bukan si Gelapngampar sebagai sang penantang.
Tetapi yang membuat Ki Sulap Pangebatan hampir
meledak amarahnya, sebenarnya bukan karena perbuatan Ngabehi Nitipraja yang
hanya bermaksud berkelakar. Ki Sulap Pangebatan hampir marah, karena si Gelapngampar dianggapnya telah
mencemarkan nama baik adiknya, Banyakngampar.
Tak terasa matahari musim kemarau terus bergerak merangkak naik. Para penonton adu sabung ayam
sudah gelisah menunggu. Semakin siang jumlah orang yang berkerumun semakin membludag. Mereka banyak yang tergesa-gesa menyelesaikan pekerjaannya mengurus
ladang, menggembalakan ternak, mengelola kolam ikan, berdagang di pasar, dan
pekerjaan rutin lainnya agar bisa menyaksikan pertandingan besar yang
jarang ada itu. Bau keringat penonton
yang berlelehan mulai bertebaran kemana-mana, karena matahari musim kemarau
terus menerus memanggang tanah lapang Desa Pangebatan. Untunglah banyak
pohon-pohon besar dan rindang yang tumbuh di sekelilingnya sehingga bau asam
dari keringat yang bercampur debu itu cepat kabur. Sebagian diserap daun-daun pohon-yang hijau dan rindang. Sebagian lagi diusir angin yang bertiup mengisi
relung-relung lembah Sungai Logawa.
Si Wasit dan pembantunya segera berdiri,
ketika dia mendongak ke atas dan dilihatnya matahari telah tergelincir dari atas
ubun-ubun. Si Wasit menyuruh agar kentongan dipukul sebagai tanda pertandingan
sabung ayam akan segera dimulai. Kentongan pun dipukul, suaranya menyebar
kemana-mana diiringi sorak-sorai dan tepuk tangan bergemuruh.
“Tenang! Tenang! Saudara sekalian. Tepuk
tangannya harap diakhiri. Pertandingan akan segera dimulai,” kata Si Wasit
pertandingan meminta agar penonton tidak ribut. Tetapi, tepuk tangan terus
menerus terdengar dan tidak segera berhenti. Suara penonton pun membuat bising
dan ribut. Tapi-akhirnya semua penonton diam-dengan-sendirinya. Si Wasit pun mulai angkat bicara.
”Di sebelah kiri saya adalah Ki Sulap
Pangebatan sebagai botoh dengan jawara bertahan belum terkalahkan si Mercu.
Sebagai kopoh adalah Ki-Rekajaya. Tepuk tangan untuk mereka!” kata Si Wasit
mengenalkan Ki Sulap Pangebatan, pembantunya, dan ayam jago aduannya. Penonton
mengikuti perintah Si Wasit dan tepuk tangan penonton terdengar kembali, ramai
bergemuruh. Tak lama kemudian suasana kembali tenang. Si Wasit kembali angkat
bicara.
“Di sebelah kanan saya adalah Tumenggung
Silihwarna sebagai botoh dengan jawara sang penantang si Gelapngampar. Sebagai
kopoh adalah Ngabehi Nitipraja. Tepuk tangan untuk mereka!” kembali Si Wasit
memberi perintah. Tepuk tangan kembali bergemuruh.Tetapi kalah meriah dengan
tepuk tangan pertama.
“Nilai taruhan adalah 2 bau sawah untuk si
Mercu bila menang dan 1 bau sawah untuk si Gelapngampar bila menang.
Kesepakatan ini telah disetujui oleh ke dua belah pihak. Betul Ndara
Tumenggung?“ tanya Si Wasit kepada Tumenggung Silihwarna yang dijawab dengan
anggukan.
”Betul, Ki Sulap?“ tanya Si Wasit. Dia
berpaling dari Tumenggung Silihwarna ke arah Ki Sulap Pangebatan. Ki Sulap
Pangebatan juga menganggukkan membenarkan. Si Wasit lalu bertanya
kepada Pembantu Wasit, apakah sudah mengecek lokasi sawah-sawah yang akan
dipertaruhkan.
“Lokasi sudah di cek dan benar adanya,” jawab Pembantu Wasit. ”Satu bau sawah gadai
milik Nyai Kertisara. Dua bau sawah milik Ngabehi Nitipraja yang sudah beralih
menjadi tanah gadai milik Tumenggung Silihwarna.”
“Baiklah, kalau begitu. Sekarang saya kenalkan
lebih dulu, Ki Sulap Pangebatan. Dia tinggal di desa Kaliwedi, keponakan Nyai
Kertisara. Pekerjaan tetap penasihat bisnis pengusaha kaya dan sukses, Nyai
Kertisara. Usia 20 tahun dan belum punya istri. Silahkan berdiri Ki Sulap
Pangebatan!” kata Si Wasit memperkenalkan Ki Sulap Pangebatan yang
sudah banyak dikenal namanya oleh sebagian besar penduduk Kadipaten Pasirluhur.
Tetapi, mereka banyak yang belum pernah melihatnya. Ki Sulap Pangebatan berdiri
sejenak sambil tersenyum, diiringi tepuk tangan penonton. Kini Si Wasit
berpaling kepada Tumenggung Silihwarna.
“Di sebelah kanan saya, Tumenggung Silihwarna.
Usia 18 tahun, sudah beristri, menantu Adipati Dayeuhluhur. Pekerjaan tumenggung
diperbantukan di Kadipaten Pasirluhur, membantu Tumenggung Maresi. Silahkan
berdiri Ndara Tumenggung!”
Dengan wajah merah padam Tumenggung Silihwarna
berdiri. Tepuk tangan pun bergemuruh. Si Wasit memberi waktu jeda sejenak
sebelum kentongan ke dua dipukul. Waktu jeda ini dimanfatkan penonton untuk
berbincang-bincang dan bersiap-siap melakukan taruhan sendiri di antara
mereka. Tetapi, kali ini diiringi bisik-bisik di antara para penonton yang
bermulut usil.
“Oh, Tumenggung
Silihwarna menantu Adipati Dayeuhluhur?“ kata salah seorang penonton berbadan
gemuk agak pendek dan berdiri tidak jauh di belakang tempat duduk Ki Sulap Pangebatan.
”Masih muda, ya. Siapa sih nama istrinya, putri Adipati Dayeuhluhur itu?” Si
Gemuk bertanya kepada teman yang berdiri di sampingnya.
“Hem, tak tahu kamu, ya? Adipati Dayeuhluhur
itu ipar Kanjeng Adipati Kandhadaha. Putra sulungnya, Wirapati. Adiknya, Dyah
Ayu Mayangsari. Berarti Tumenggung Silihwarna adalah suami Dyah Ayu Mayangsari,” kata teman lelaki tadi yang berdiri di samping Si Gemuk. Lelaki
itu badannya kurus, tetapi agak tinggi.
“Lho, dengar-dengar bukankah Raden
Wirapati pernah melamar Sang Dewi?”
tanya Si Gemuk pula.
“Iya, betul. Tapi Sang Dewi menolaknya,” Si
Kurus menjelaskan.
“Kenapa menolak?” tanya Si Gemuk pula
penasaran.
Tentu saja Ki Sulap Pangebatan terkejut, saat
mendengar secara samar-samar nama Sang Dewi disebut-sebut dalam perbincangan
itu. Ki Sulap Pangebatan segera membaca mantra Ciung Wanara untuk mempertajam
pendengarannya agar bisa mengikuti pembicaraan kedua orang penonton yang
berdiri di-belakangnya. Kedua orang itu agak jauh dari Ki Sulap Pangebatan karena terhalang palang bambu pembatas penonton. Kembali Ki Sulap Pangebatan mendengarkan
dengan jelas perbincangan kedua lelaki itu.
“Mana aku tahu? Mungkin Sang Dewi kurang
nyaman menikah dengan putra adik ipar Ayahnya, sekalipun usia Raden Wirapati
lebih tua,” jawab Si Kurus.
“Ya, tapi Sang Dewi malah jatuh cinta pada
tukang jala dan paleka anak angkat Ki Patih Reksanata,” kata lelaki yang gemuk
tadi.
“Itulah cinta. Tapi, sepertinya sekarang Sang
Dewi sakit,” kata Si Kurus.
“Sakit? Sakit apa?”
“Mana aku tahu?”
“Hamil kali?”
kata Si Gemuk sambil tertawa dengan maksud berkelakar.(bersambung)