“Sesungguhnya seorang
gadis yang dipingit itu bagaikan bunga indah tumbuh di dalam sangkar emas,”
kata Banyakngampar dalam benaknya.”Banyak kumbang datang hanya untuk melihat,
tetapi tidak dapat mendekat. Jika kumbang ingin mendekat, niscaya akan
terbentur dinding sangkar. Walapun begitu, kumbang lebih bahagia dari bunga.
Karena kumbang dapat menikmati kebebasan, sedang bunga harus menikmati ketidakbebasannya.
Sampai suatu ketika ada seekor kumbang yang berhasil mendekatinya dan memetiknya.”
“Tetapi kumbang itu
bukan untuk memberikan kebebasan. Kumbang datang hanya untuk memilikinya,
menguasainya, mengisap madunya, dan menjadikan sang kembang tempat menanam
benih calon anak-anak kumbang. Kebebasan sang bunga tinggal sekeping impian
yang semakin lama semakin lenyap ditelan hiruk pikuk kehidupan. Tentunya
seiring dengan munculnya anak-anak kumbang dari dirinya. Sementara sang
kumbang, bebas untuk terbang kian kemari menikmati kebebasannya mencari
kembang-kembang baru yang masih segar harum mewangi. Kasihan, malang benar
Dinda Ratna Pamekas,” keluh Banyakngampar terus melanjutkan perbincangan dalam
batinnya.”
”Coba seandainya adat
memingit wanita dihilangkan. Wanita diberi kebebasan mengembangkan potensi
dirinya yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya. Mereka diberikan kebebasan
bergaul dengan lawan jenisnya secara wajar, alami, dan bertanggungjawab,
dipandu nilai-nilai ajaran agama dan budi pekerti luhur yang menjaga kesucian.
Niscaya tidak akan ada wanita yang menderita karena terpenjara dalam pingitan,
dan tidak akan bersemi hubungan cinta yang rumit antara aku, Kanda Banyakcatra,
dan Dinda Ratna Pamekas.”
“Dinda Ratna Pamekas tak
pernah mengenal pemuda lain selain kakak-kakaknya. Wajar bila Dinda Ratna
Pamekas melabuhkan jangkar cintanya kepada pria saudara-saudaranya. Aku, Kanda
Banyakcatra, dan Dinda Ratna Pamekas, hanyalah korban dari adat dan tradisi
yang diciptakan di lingkungan para bangsawan kerajaan mana pun di muka bumi.
Lagi pula, kenapa Dinda Ratna Pamekas tumbuh jadi gadis cantik jelita mirip
Ibunda yang memikat setiap kumbang yang mengetahuinya?” kata Banyakngampar
dalam hati.
Sesungguhnya
Banyakngamparlah yang lebih dulu menyadari bahaya cinta rumit yang membelit
dirinya itu. Sebelum segalanya berkembang jadi malapetaka, Banyakngampar segera
meninggalkan Keraton, menghabiskan waktunya di Padepokan Megamendung, di kaki
Gunung Gede. Banyakngampar berupaya menghindar bertemu dengan adik tirinya yang
cantik jelita itu, dan membabat habis tunas-tunas cinta yang terus bermunculan
dalam dirinya. Untuk sementara usaha Banyakngampar memang berhasil. Jalan untuk
menjadi seorang brahmacharin, brahmana yang tidak nikah seumur hidupnya terbuka
lebar. Tetapi barang siapa yang menjadi seorang
brahmacharin hanya karena hendak menghindar dan melarikan diri dari
cinta, dia seumur hidup tidak akan dapat menumpas benih-benih cinta yang telah
tertanam dalam dirinya. Paling jauh dia hanya dapat menumpas tunas-tunas cinta
yang setiap saat bermunculan.
Sesungguhnya energi
cinta pada lawan jenis memang merupakan anugerah alam semesta pada setiap
kehidupan di muka bumi. Dia adalah fitrah, anugerah dari Yang Maha Kuasa. Dia
hanya harus disikapi dengan cara yang bijak. Bukan untuk dibasmi. Apalagi
ditumpas atau ditindas. Malangnya itulah yang terjadi pada Banyakngampar.
Sesekali bayang-bayang
cinta yang telah dihindarinya dan ingin ditumpasnya, tiba-tiba muncul kembali
di bawah alam kesadarannya. Bila itu terjadi, Banyakngampar hanya bisa menangis
menatap dengan sedih bayang-bayang adik tirinya yang cantik jelita, yang hadir
di pelupuk matanya. Pada saat-saat seperti itu, keinginan untuk meninggalkan
Padepokan dan mendatangi Taman Kaputren, bertemu dengan adik tirinya,
dirasakannya mendesak-desak dirinya. Mendesak bagaikan air bendungan yang tengah
pasang, hendak menjebol pintu bendungan yang telah ditutupnya rapat-rapat.
Jika hal itu terjadi
Banyakngampar cepat-cepat menuju ruang perpustakaan Padepokan Megamendung.
Diambilnya Rontal Mahabharata Parwa ke-3, Warna Parwa, yaitu parwa yang
menceriterakan perjuangan Arjuna melawan Sang Miraksaraja, Prabu Niwatakawaca.
Pada saat seperti itulah, Banyakngampar merasa dirinya berubah warna alias
Silihwarna, menjadi Sang Arjuna yang mampu mengendalikan seluruh hawa nafsunya
akan harta, tahta ,dan cinta pada wanita. Sang Arjuna akhirnya berhasil
mengalahkan Prabu Niwatakawaca. Ya, Sang Silihwarna usai membaca Warna Parwa, mampu
melenyapkan bayang-bayang cinta pada adik tirinya, bayang-bayang Ratna Pamekas
yang datang hendak menggodanya. Silihwarna merasa dirinya bagaikan Arjuna yang
berhasil menumbangkan raja raksasa, Prabu Niwatakawaca.
Rupanya seperti
halnya Banyakngampar, Banyakcatra juga mulai menyadari cinta yang rumit dengan
adik tirinya itu. Hanya saja, cara yang ditempuh Banyakcatra berbeda. Dia tetap
merawat tunas-tunas cinta, dengan mencari gadis lain di luar keluarganya untuk
menanam benih-benih cinta yang telah menumbuhkan tunas-tunas cinta itu. Banyakcatra
gigih berkelana kian kemari untuk mencari gadis yang wajahnya mirip ibunya. Berarti
juga gadis yang wajahnya mirip adik tirinya, Ratna Pamekas. Tentu saja gadis
itu bukanlah Ratna Pamekas.
Dan dalam hidup ini,
barang siapa berusaha keras dan bersusah payah untuk mencari, pasti akan
mendapatkan. Sedang mereka yang terus menghindar, bukan saja akan gagal. Tetapi
juga akan terus kecewa dirundung duka cita cinta yang tak pernah kunjung padam.
Sebab, cinta adalah energi kehidupan di muka bumi ini. Tidak pernah ada energi
kehidupan di muka bumi ini yang terbebas dari energi cinta.
“Agaknya Kanda
Banyakcatra telah menempuh jalan yang benar. Berbahagialah, wahai Kanda, jika
Kanda telah menemukan gadis idaman hati,” kata Banyakngampar. Diam-diam
Banyakngampar memuji cara yang ditempuh kakaknya dalam mencari solusi dari problem
cinta yang dihadapinya.
Tak terasa malam terus
merambat dalam sepi. Jalan di depan pintu gerbang Dalem Kepatihan tampak
lengang. Sejumlah pohon yang tumbuh di halaman Dalem Kepatihan tampak seperti
raksasa sedang tidur berselimutkan kabut malam yang semakin pekat. Beberapa orang
petugas jaga berkerumun di dalam gardu jaga. Tampaknya sebagian besar dari
mereka tertidur. Hanya satu orang saja yang terlihat sedang duduk mematung di
luar gardu jaga. Banyakngampar masih enggan meninggalkan tempat duduknya. Dia masih
senang berada di kegelapan malam menatap
bintang berkerlap-kerlip di langit sebelah barat. Sebab di sana ada Kerajaan
Pajajaran. Di sana ada Taman Kaputren, dan disana pula ada adik tirinya, Ratna
Pamekas, yang tengah berada dalam taman pingitan.
Banyakngampar tentu
saja ingat beberapa waktu lalu ketika dia tiba di Keraton Pajajaran setelah
hampir lima tahun meninggalkannya. Dia pulang karena dipanggil ayahnya, Sri
Baginda Prabu Siliwangi untuk mencari kakaknya, yang sudah lebih dari setahun
pergi dan kini tidak diketahui keberadaannya. Banyakngampar telah menyanggupi
perintah ayahnya. Sebelum berangkat ke Kadipaten Pasirluhur, Banyakcatra
menyempatkan diri menemui adik tirinya, Ratna Pamekas di Taman Kaputren.
Betapa terkejut
Banyakngampar saat melihat adik tirinya. Lima tahun bukanlah waktu yang pendek.
Saat meninggalkan keraton, adik tirinya itu baru masuk dalam taman pingitan.
Berarti selama dalam pingitan, Ratna Pamekas telah berkembang menjadi sekuntum
bunga indah di dalam sangkar emas. Bagi Banyakngampar, kini adik tirinya itu
benar-benar telah menjelma menjadi bidadari cantik yang telah turun ke Taman Kaputren
Keraton Pajajaran.
“Hem…, Dinda, aku
benar-benar hampir tidak dapat mengenal diri Dinda. Betapa cantiknya Dinda
kini. Aku gagal membayangkan diri Dinda. Ternyata Dinda bagaikan Maneka Dewi,
Adindaku,” kata Banyakngampar memuji adik tirinya.
Maneka Dewi adalah
bidadari paling cantik yang ditugaskan oleh Dewa Indra dalam mitologi agama
Hindu untuk menggoda brahmacharin. Ratna Pamekas hanya tersenyum mendengar pujian
itu. Dia menangkap nada-nada bergetar mengiringi kata-kata pujian yang meluncur
dari bibir kakaknya. Bola mata Ratna Pamekas berbinar-binar seketika. Dia gembira
karena tahu kakaknya telah mengurungkan niat menjadi seorang brahmacharin.
”Kanda Banyakngampar,
aku kira Kanda sudah lupa pada kecantikan seorang wanita. Aku mendengar kabar
Kanda pergi ke Padepokan Megamendung, karena Kanda akan menjadi seorang
brahmacharin. Wah, tentu Kanda sudah hebat sekarang. Pasti ribuan gulungan
rontal berisi ajaran-ajaran kitab suci telah Kanda baca. Aku sedih sekali,
Kanda, saat mendengar Kanda ingin menjadi seorang brahmacharin,” kata Ratna
Pamekas, menggoda kakaknya.
Banyakngampar
tersipu-sipu mendengar kata-kata adiknya. Banyakngampar merasa adiknya tahu
bahwa dirinya sebenarnya telah gagal membasmi tunas-tunas cinta yang setiap
saat muncul di kedalaman jiwanya. Puluhan gulungan rontal yang berulang kali
dibacanya, telah gagal menumpas tunas-tunas cinta yang setiap saat bermunculan
kembali.
“Pada waktu Kanda
pergi, aku tak lama kemudian masuk taman pingitan,” kata adik tirinya. “Tidak
lama kemudian Kanda Banyakcatra juga pergi. Aku sedih jika mengingat Kanda. Semuda
usia Kanda, Kanda sudah memutuskan ingin menjadi seorang brahmacharin. Kenapa
Kanda Banyakngampar lebih suka menipu diri sendiri dengan bersikap bukan
sebagai seorang ksatria? Kanda tidak berani menghadapi kenyataan, bukan? Kita
bukanlah keturunan para brahmana. Kita ditakdirkan menjadi keturunan para
ksatria.”
“Tugas para brahmana
adalah mencari jalan untuk moksa,
sedang tugas para ksatria adalah mewujudkan kemakmuran, keadilan, dan
kesejahteraan di dunia serta melenyapkan segala kemiskinan, kebodohan, dan
segala macam bentuk penindasan bagi kemanusiaan,” kata adik tirinya terus
menghamburkan kata-kata dari bibirnya yang mungil.
“Para brahmana memilih
mati di sanggar pamujan. Para ksatria memilih mati di tengah medan peperangan.
Tugas putri para ksatria adalah melahirkan para ksatria. Tanpa para kstaria
gagah berani, yang pandai menunggang kuda, memainkan panah dan tombak, tidak
takut dengan tajamnya mata pedang, dan yang pandai memainkan senjata kujang
untuk melindungi diri sang ksatria, tidak mungkin akan terwujud masyarakat yang
tertib dan damai. Sebab memang itulah darma para ksatria,” kata Ratna Pamekas.
Banyakngampar takjub seketika mendengar penuturan adik tirinya itu.
“Mustahil Kanda
Banyakngampar tidak memahami darma para ksatria. Lalu buat apa dulu Kanda
Banyakngampar bersama-sama Kanda Banyakcatra dan Kanda Banyakbelabur bersusah
payah mengikuti latihan dasar keprajuritan? Dan buat apa dulu aku diminta
memijit setiap Kanda datang berdua dengan Kanda Banyakcatra, jika bukan agar
Kanda menjadi seorang Ksatria Pajajaran yang dapat mempertahankan kebesaran dan
kejayaan Pajajaran?” kata-kata Ratna Pamekas kembali meluncur bagaikan anak-anak panah lepas dari
busurnya.
“Aku hanya
membayangkan,” lanjut Ratna Pamekas. “Jika benar Kanda telah diwisuda menjadi
seorang brahmacharin, pastilah tidak akan mendatangi aku lagi di Taman Kaputren.
Kanda pasti tak akan mau aku pijit lagi seperti dulu. Ya, dulu waktu kita masih
punya kebebasan yang indah untuk saling bertemu dan saling memberikan dukungan
kepada apa yang kita inginkan bagi diri kita masing-masing di masa depan.”
“Aku sungguh sangat
sedih, Kanda, karena aku membayangkan Kanda tidak akan berani mendekati aku. Dan
Kanda pasti tidak akan berani…, Kanda Banyakngampar pasti tidak akan berani…,” suara
Ratna Pamekas terdengar terbata-bata. Dia tidak mampu meneruskan kata-katanya.
“Ya, pastilah Kanda tidak akan berani memeluk aku dan mencium aku lagi,” akhirnya
Ratna Pamekas berhasil menyelesaikan kalimat yang tersendat-sendat itu.
“Hem, Dinda, maafkanlah
aku. Kata-kata Dinda benar seluruhnya. Aku mengira bisa melarikan diri
menghindari Dinda. Aku mencoba beberapa kali menjadi Silihwarna. Aku mecoba
menjadi seorang Arjuna yang mampu mengalahkan Raksasa Niwatakawaca. Aku memang
berhasil mengalahkan Niwatakawaca. Tetapi berulang kali datang pula bayangan
Maneka Dewi. Dinda tahu bukan, Maneka Dewi?”
“Dialah bidadari cinta
yang telah melahirkan Sakunthala di pinggir hutan di lereng Himalaya. Sakuntala
itulah Ibu para leluhur ksatria darah Bharata yang gagah berani. Aku telah
menyadari takdir hidupku bukanlah menjadi seorang brahmacharin. Takdir hidupku adalah
menjadi seorang ksatria. Aku tidak akan takut lagi menghadapi problem cinta
yang tumbuh di antara kita. Yang diperlukan hanya sikap bijaksana, seperti yang
telah ditempuh oleh Kanda Banyakcatra. Benar bukan, Dinda?” kata Banyakngampar.
“Aku bangga punya Kakak
seperti Kanda Banyakngampar dan Kanda Banyakcatra. Aku mencintai Kanda berdua.
Dan aku pun tahu, Kanda berdua mencintai aku dengan tulus.”
“Aku akan terus
mencintai Dinda, sebagaimana juga Kanda Banyakcatra. Aku akan terus mencintai
Dinda tanpa harus menyakiti Dinda, tanpa harus memiliki Dinda. Sebab aku tahu,
Dinda kelak adalalah milik lelaki yang akan menjadi suami Dinda.”
Ratna Pamekas tersenyum
senang mendengar kata-kata Banyakngampar. Sebab dia tahu, bahwa dia tidak akan
pernah kehilangan kasih sayang, baik dari Banyakngampar maupun Banyakcatra. Dan
dia tahu, kedua kakaknya dan dirinya sendiri telah mampu menemukan jalan untuk
mengatasi jalinan cinta yang nyaris rumit di antara mereka bertiga.
“Kanda Banyakngampar,
besok Kanda akan berangkat ke Pasirluhur, bukan?”
“Benar sekali, Dinda.”
“Aku doakan semoga
Kanda Banyakcatra sudah menemukan gadis idamannya. Demikian pula Kanda
Banyakngampar aku doakan segera mendapatkan gadis calon pendamping Kanda. Tapi
jangan lupa, carikan juga aku seorang ksatria gagah perkasa yang mencintai aku,
sebagaimana cinta Kanda Banyakngampar dan Banyakcatra kepadaku. Aku tidak ingin
berpisah dengan Kanda berdua,” kata Ratna Pamekas.
“Baiklah, Dinda. Doakan
selalu agar aku dalam waktu singkat bisa bertemu dengan Kanda Banyakcatra,”
kata Banyakngampar.
Sebelum meninggalkan
Taman Kaputren, dipeluk dan diciumnya adik tirinya itu. Ciuman dan pelukan
kasih sayang seorang kakak kepada seorang adik. Tak terasa kedua kakak beradik
itu larut dalam duka mendalam. Keduanya berurai air mata. Ratna Pamekas sungguh
cemas, kalau-kalau itu adalah pertemuan terakhir dengan Banyakngampar.
Sebagaimana dulu, dia pun merasakan kecemasan yang sama saat Banyakcatra juga
mendatanginya untuk mohon diri meninggalkan Keraton Pajajaran.
Banyakngampar
tersadar dari lamunannya ketika seorang petugas ronda malam sudah ada di
dekatnya dan menyapanya. ”Sudah malam Raden, belum juga tidur?” tanya penjaga sambil
mendekati Banyakngampar atau Silihwarna. Silihwarna tersenyum, kemudian berdiri
dan melangkah menuju tempat peristirahatannya di kamar tamu Dalem Kepatihan.(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar