Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 20 Juli 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (27)





“Asal usul Kamandaka masih belum jelas,” kata Banyakngampar. “Ananda punya dugaan kuat Kamandaka mengenal dengan baik tradisi penduduk di Pakuan Pajajaran, tradisi penduduk di Lereng Tangkuban Perahu, dan juga tradisi penduduk di sekitar Galuh. Misalnya di sekitar Sungai Citanduy, Cimuntur, Cikijing, dan Cijolang sampai Kalipucang di bagian hilir Citanduy, di sana banyak tumbuh pohon kelapa dan pohon aren. Tampaknya tidak jauh berbeda dengan keadaan di sepanjang Sungai Logawa dan Sungai Ciserayu. Penduduk di sekitar Sungai Citanduy, Cimuntur, Cikijing, dan Cijolang, juga banyak yang pandai menyadap pohon kelapa dan pohon aren.”

“Jauh sebelum Kerajaan Galuh berdiri, banyak penduduk di sekitar Sungai Cimanuk, Citanduy, Cimuntur, Cikijing, dan Cijolang yang mencari nafkah sebagai penyadap,” lanjut Silihwarna. ”Di samping sebagai penyadap, penduduk di sekitar sungai-sungai di Galuh itu juga mencari nafkah dengan menggeluti usaha sebagai peladang, pemburu, dan pedagang. Menurut ceritera penduduk, menjadi penyadap pada saat itu merupakan usaha mencari nafkah yang terhormat juga. Mereka belajar kepada seorang putra raja yang bernama Sang Katungmaralah. Dia lima bersaudara, putra ke-tiga Sang Raja Kandiawan di Medangjati. Dari kelima putra Raja Kandiawan itu, hanya Si Bungsu Wretikandayun yang bersedia membantu ayahandanya Raja Kandiawan. Kakak Sang Katungmaralah, Si Sulung Sang Mangkukuhan, lebih senang mencari nafkah sebagai peladang. Kakaknya yang nomor dua, Sang Karungkalah, lebih suka mencari nafkah dengan menjadi pemburu. Dan adiknya, Sang Sandanggreba, kakak Si Bungsu Wrtikandayun, lebih suka mencari nafkah sebagai pedagang.”

“Wajar jika tahta Raja Kandiawan di Medangjati akhirnya diserahkan kepada Si Bungsu Wretikandayun. Dialah yang membangun Kerajaan Galuh Kawali yang terletak di antara Sungai Citanduy dan Cimuntur, yang merupakan kelanjutan kerajaan Medangjati. Sang Katungmaralah itulah yang dianggap sebagai Sang Guru pelindung para penyadap di lembah Sungai Citanduy, Cimuntur, Cikijing, dan Cijolang,  sampai Kalipucang.”
“Kamandaka sangat cerdik, dia menempatkan diri sebagai pelindung para penyadap di Sungai Ciserayu, mengikuti jejak Sang Katungmaralah, putra Raja Medangjati Sang Kandiawan. Jika dugaan ananda benar, berarti Kamandaka memang pernah bermukim di sebelah barat Sungai Citanduy. Bisa jadi di Galuh, atau di Tangkuban Perahu. Atau bisa jadi malah pernah bermukim di Pakuan Pajajaran,” kata Banyakngampar mencoba menyimpulkan.

“Aku dengar Ki Sulap Pangebatan pernah memborong ratusan sabit dari pasar Karanglewas. Betulkah, Ki Patih?” tanya Kanjeng Adipati masih mempersoalkan kegiatan Ki Sulap Pangebatan.

“Benar, Kanjeng Adipati. Sabit yang dibelinya buatan tukang pandai besi dari Kadipaten Pasirluhur juga. Semua sabit diberikan secara gratis pada para penyadap,” jawab Ki Patih dengan nada suara datar dan sedikit getir.

“Memang berita terakhir dari kegiatan Kamandaka itu sangat mencemaskan,” kata Kanjeng Adipati dengan nada murung. “Jika tidak dicegah, Kamandaka bisa menjadi penguasa di wilayah segitiga Sungai Cingcinggoling dan Ciserayu. Penduduk Kadipaten Pasirluhur yang tingal di Kaliwedi, hampir semua menjadi pendukung setia Kamandaka. Bahkan hasil penyelidikan terakhir dari Ngabehi Nitipraja, setiap hari ada saja penduduk yang bergabung melamar jadi penyadap. Sebagian besar mereka berasal dari penduduk yang tinggal di sekitar Gunung Tugel ke timur sampai grumbul Kaliori, Srowot, Pajerukan, Petir, dan Kalianja. Jika suatu saat Kamandaka membentuk pasukan sabit, dan bekerja sama dengan Wirasaba, tentu akan sangat berbahaya. Wilayah segitiga dua sungai itu bisa lepas dari Kadipaten Pasirluhur yang berarti juga lepas dari Kerajaan Pajajaran,” kata Kanjeng Adipati memberikan peringatan, masih dengan nada murung.

Silihwarna dan Ki Patih terdiam merenungkan kekhawatiran Kanjeng Adipati. Setelah ditunggu beberapa saat belum ada yang menanggapi, Kanjeng Adipati melanjutkan kata-katanya.

“Ini juga berita penting hasil penyelidikan Ngabehi Nitipraja dalam usahanya  mengawasi kegiatan Kamandaka. Sekarang ini Kamandaka sering menyeberang Sungai Ciserayu lewat grumbul Kaliori, menuju arah selatan ke Kademangan Kejawar yang berada di bawah kekuasaan Wirasaba. Menurut penuturan salah seorang penduduk di Kademangan Kejawar, Ki Sulap Pangebatan alias Kamandaka berhubungan erat dengan seorang ksatria dari Majapahit yang menumpang di rumah Ki Demang Kejawar. Ngabehi Nitipraja berhasil memperoleh nama ksatria dari Majapahit tadi, yaitu Arya Baribin,” kata Kanjeng Adipati sambil memandang wajah Silihwarna.

Silihwarna segera ikut merasakan kecemasan Kanjeng Adipati. Terbayang dalam benak Silihwarna, Ki Sulap Pangebatan mengerahkan pasukan penyadap bersenjatakan sabit, dibantu ksatria dari Majapahit Arya Baribin. Mereka saling bekerja sama mengangkat senjata melepaskan diri dari Kadipaten Pasirluhur. 

“Andai kata Kanda Banyakcatra cepat kutemukan, pastilah dengan mudah Si Kamandaka dan Si Baribin itu akan aku hadapi bersama-sama dengan Kanda Banyakcatra,” kata Silihwarna di dalam hati.  

Wajah-wajah murung, cemas, dan tegang, terbayang pada wajah Kanjeng Adipati dan Ki Patih. Untuk meredakan ketegangan yang menyesakkan dada, Kanjeng Adipati kembali mengajak minum wedang jahe yang segar itu. Dia merasa tenggorokannya mulai kering. Ki Patih mengikutinya. Demikian pula Silihwarna. Tetapi pikiran Silihwarna terus berputar mencari jalan, bagaimana mengatasi persoalan gangguan keamanan di Kadipaten Pasirluhur itu.

”Sebenarnya kedatangan ananda ke Pasirluhur ini, untuk mencari Kakanda Banyakcatra yang pergi meninggalkan Pakuan Pajajaran sudah setahun lebih,” kata Silihwarna setelah selesai minum untuk menyegarkan tenggorokannya.

“Meninggalkan Pakuan? Untuk keperluan apa?” tanya Kanjeng Adipati heran.

“Biasa, Kanjeng Adipati. Apalagi kalau bukan wanita idaman calon pendamping hidup,” jawab Silihwarna. Mendengar itu Kanjeng Adipati tertawa. Wajah Kanjeng Adipati yang semula tegang lenyap seketika. Kalau urusan wanita, Kanjeng Adipati memang sangat senang memperbincangkannya.

“Lho, apakah di sekitar Pakuan Pajajaran tidak ada gadis cantik?” tanya Kanjeng Adipati.

“Tentu saja banyak, Kanjeng Adipati. Tetapi yang dicari oleh Kanda Banyakcatra adalah gadis cantik yang wajahnya mirip wajah Ibunda,” jawab Silihwarna.

“Oh, begitu? Tentu saja tidak mudah. Apakah di Kadipaten Pasirluhur ada, Ki Patih?” 

“Ya, itulah Kanjeng Adipati, sepertinya memang tidak ada. Entahlah kalau di Kadipaten Galuh. Sayangnya Raden Silihwarna tidak mampir ke Kadipaten Galuh,” jawab Ki Patih sambil memandang ke arah Silihwarna. Baik Kanjeng Adipati dan Ki Patih sama sekali tidak pernah membayangkan, bahwa gadis cantik yang dicari Putra Pajajaran Banyakcatra adalah putri dari Kadipaten Pasirluhur, Sang Dyah Ayu Dewi Ciptarasa.

“Menurut dugaan ananda, Kanda Banyakcatra ada di Kadipaten Pasirluhur. Sebab selain untuk mencari gadis idamannya, sebenarnya Ayahanda Sri Baginda Siliwangi memerlukan keterangan perkembangan keamanan wilayah paling timur Kerajaan Pajaran ini. Dan Kanda Banyakcatra mendapat tugas untuk memantau perkembangan wilayah timur Kerajaan Pajajaran dari ancaman Kerajaan Kediri maupun Kadipaten Wirasaba,” kata Silihwarna. 

“Perlu Kanjeng Adipati ketahui,” katanya melanjutkan, ”Sri Baginda memang sedang berusaha meningkatkan kewaspadaan untuk menjaga keutuhan wilayah Kerajaan Pajajaran. Sri Baginda sangat prihatin dengan perkembangan bandar-bandar Kerajaan Pajajaran di sebelah timur Muara Cimanuk. Mungkin Kanjeng Adipati dan Paman Patih sudah mendengar. Bandar penting dan makmur, Muarajati di pesisir pantai utara  hampir jatuh  ke tangan Kerajaan Islam Demak. Kini bandar muara Sungai Cimanuk juga tengah terancam. Karena itu, Sri Baginda membagi tugas kepada para putra-putranya. Adinda Banyakbelabur ditugasi memantau perkembangan wilayah pantai utara. Ananda sendiri ditugasi untuk mengawasi wilayah Kerajaan Pajajaran di sepanjang pantai selatan. Sedangkan Kanda Banyakcatra, mendapat tugas untuk memantau wilayah Lembah Sungai Ciserayu bagian barat dari kemungkinan menghadapi ekspansi Wirasaba,” kata Silihwarna menjelaskan kebijakan Sri Baginda Prabu Siliwangi dalam menjaga keutuhan wilayah Kerajaan Pajajaran.

Wajah Kanjeng Adipati dan Ki Patih yang mulai menurun tingkat ketegangannya, kembali tegang setelah mendengar penjelasan Silihwarna. 

“Ananda bertekad akan membantu Kanjeng Adipati menjaga keutuhan wilayah paling timur Kerajaan Pajajaran,” kata Silihwarna pada akhirnya, membuat Kanjeng Adipati dan Ki Patih wajahnya kembali cerah. “Tak ada jalan lain kecuali Kamandaka harus segera ditangkap, sebab dia bermukim di wilayah Kadipaten Pasirluhur. Ananda juga cemas jangan-jangan Kanda Banyakcatra disandera Kamandaka dan Baribin.”
Kedua petinggi Kadipaten Pasirluhur itu mengangguk-anggukan wajahnya tanda setuju dengan kata-kata Silihwarna.

”Semalam dengan Raden Silihwarna sudah dibicarakan panjang lebar, bagaimana cara yang harus dilakukan agar dapat menangkap Kamandaka secepatnya. Mengingat menangkap Kamandaka tidak mudah, Raden Silihwarna memerlukan kira-kira 200 prajurit pilihan. Agar Raden Silihwarna dapat memimpin mereka, mohon kesediaan Kanjeng Adipati menyetujui pengangkatan Raden Silihwarna sebagai seorang Tumenggung Kadipaten Pasirluhur,” kata Ki Patih Reksanata meminta persetujuan  Kanjeng Adipati.

“Oh, tidak ada masalah, silahkan saja. Malah bagus untuk memperkuat daya tempur prajurit Kadipaten Pasirluhur. Biar para tumenggung yang ada kelak bisa menimba ilmu kepada Raden Silihwarna. Aku kira daya tempur prajurit Pasirluhur memang agak menurun. Buktinya menangkap seorang Kamandaka, sudah berbulan-bulan tidak pernah berhasil. Waktu mengepung Kamandaka di Taman Kaputren, malah lima orang prajurit mengalami luka berat. Lima belas prajurit sisanya juga gagal menangkap Kamandaka. Bahkan tiga prajurit yang mencoba menangkapnya tewas. Karena itu, apa kira-kira langkah yang akan ditempuh untuk menangkap Kamandaka?” tanya Kanjeng Adipati kepada Silihwarna dengan nada penuh harap.Karena ingin menghormati Ki Patih Reksanata, Silihwarna minta agar Ki Patihlah yang  menjawab pertanyaan Kanjeng Adipati.

“Raden Silihwarna akan mengepung kediaman Kamandaka di Kaliwedi dengan kekuatan 200 prajurit. Semua jalan keluar akan ditutup. Kira-kira itulah langkah yang akan dilakukan oleh Raden Silihwarna. Barangkali Kanjeng Adipati punya pendapat lain?” tanya Ki Patih kepada Kanjeng Adipati.

“Apakah tidak akan menimbulkan korban jiwa cukup banyak?” Kanjeng Adipati balik bertanya kepada Ki Patih. ”Bagaimana kalau selama pengepungan para penyadap anak buah Nyai Kertisara bangkit melawan prajurit yang mengepung dengan menggunakan sabit yang dimilikinya? Atau bagaimana kalau Kamandaka minta bantuan Kadipaten Wirasaba lewat Baribin yang berada di seberang selatan Sungai Ciserayu?”

Ki Patih langsung diam tak berkutik, lalu melirik Silihwarna. Silihwarna mengerti kesulitan Ki Patih menjawab pertanyaan Kanjeng Adipati. Maka Silihwarna berkata kepada Kanjeng Adipati.

“Kanjeng Adipati sepenuhnya betul. Paman Patih juga betul, karena itu adalah langkah terakhir jika memang tidak ada jalan lain buat menangkap Kamandaka. Tetapi semalam ananda punya gagasan. Bagaimana kalau ananda tantang Ki Sulap dalam gelanggang adu ayam di Pangebatan?  Dengan demikian kita pancing Kamandaka keluar dari sarangnya. Di situlah baru kita kepung. Biar ananda yang menyamar sebagai botoh sabung ayam menggantikan Ngabehi Nitipraja. Nanti Ngabehi Nitipraja supaya mencarikan ayam jago yang bagus. Tujuannya bukan mengalahkan si Mercu. Tapi nanti anandalah yang akan langsung menangkap Kamandaka saat ananda berhadap-hadapan dengan Kamandaka dalam gelanggang sabung ayam,” kata Silihwarna memaparkan rencananya.

“Setuju sekali, Raden. Sebuah gagasan cemerlang dari Putra Pajajaran,” kata Kanjeng Adipati memberikan pujian. Wajahnya  tampak gembira. Ki Patih juga memuji gagasan Silihwarna.

“Permohonan ananda hanyalah rahasiakan asal usul ananda. Jangan sebut-sebut ananda berasal dari Pajajaran. Sebab ananda khawatir penyamaran ananda akan gagal,” pesan Silihwarna. “Jika sampai rahasia ananda bocor, ananda khawatir Ki Sulap Pangebatan tidak bersedia menerima tantangan ananda. Terserah bagaimana cara Kanjeng Adipati dan Paman Patih merahasiakan nama dan asal ananda di hadapan Ngabehi Nitipraja dan punggawa Kadipaten Pasirluhur lainnya.”(bersambung)

1 komentar: