“Gampang sekali, Raden.
Tidak usah cemas. Nanti akan Uwa
jelaskan kepada para punggawa dan Ngabehi Nitipraja, bahwa Raden adalah menantu
Adipati Dayeuhluhur, yang diminta bantuannya menjadi pelatih prajurit-prajurit
Kadipaten Pasirluhur. Anggap saja di Kadipaten Dayeuhluhur Raden sudah memiliki
pangkat tumenggung,” kata Kanjeng Adipati.
Tiba-tiba saja Kanjeng
Adipati Kandhadaha ingat Adipati Dayeuhluhur yang masih iparnya. Kadipaten
Dayeuhluhur adalah kadipaten yang berada di sisi timur Sungai Citanduy. Adipati
Dayeuhluhur mempunyai anak perempuan yang cantik juga, namanya Mayangsari. Dengan
Putri Kanjeng Adipati, Sang Dewi, Mayangsari itu bagaikan adik kakak. Hanya
saja, Mayangsari lebih muda sedikit.
“Bagaimana Raden?
Setuju bukan?”
“Jika menurut Kanjeng
Adipati dan Paman Patih cara itu yang terbaik, ananda akan mengikutinya,” jawab
Silihwarna.
“Ki Patih, kita sudah
mencapai kesepakatan,” kata Kanjeng Adipati menyimpulkan. ”Kita rahasiakan asal-usul
dan nama asli Raden Silihwarna. Kepada Ngabehi Nitipraja, para punggawa, lurah,
dan perangkat kadipaten lainnya, harus dijelaskan bahwa Raden Silihwarna adalah
menantu Adipati Dayeuhluhur dengan pangkat tumenggung yang akan membantu Kadipaten
Pasirluhur menangkap si Macan Muda, Kamandaka. Setuju Raden? Setuju Ki Patih?”
tanya Kanjeng Adipati pada mereka berdua. Baik Ki Patih maupun Silihwarna mengangguk
hampir bersamaan. Mereka semua mencapai kata sepakat.
“Mari kita minum
bersama untuk merayakan kesepakatan kita, demi kejayaan Kerajaan Pajajaran dan
keselamatan Kadipaten Pasirluhur,” kata Kanjeng Adipati. Seorang bujang yang dipanggil,
datang dengan membawa tiga cangkir baru berisi air nira dari pohon aren. Mereka
bertiga bersama-sama mengangkat cangkir dan meneguk habis isinya.
Akhirnya Kanjeng
Adipati mengijinkan Ki Patih dan Silihwarna meninggalkan serambi ruang tamu
Dalem Gede untuk menindaklanjuti tugas yang sudah menunggu. Tugas itu adalah
mengatur langkah-langkah menangkap Kamandaka dengan cara menantang Ki Sulap
Pangebatan berlaga dalam permainan judi di arena sabung ayam Desa Pangebatan.
***
Pagi itu Ki Sulap
Pangebatan dan Rekajaya sedang berada di pinggir Sungai Ciserayu, menunggui
sejumlah orang yang tengah membuat pangkalan baru untuk melabuhkan perahu-perahu
sungai yang sudah dipesan. Dilihatnya beberapa orang sedang mengambil pasir dan
batu, ada pula yang sedang jongkok mengeraskan lantai-lantai tangga untuk turun
ke arah sungai.
Undak-undakan atau trap
yang dibuat di bibir sungai sebagai jalan untuk turun ke bawah sudah hampir
selesai. Patok-patok bambu untuk menambatkan perahu malah sudah siap digunakan.
Demikian pula gudang, rumah jaga, dan bangunan pondok tempat menunggu yang
dibangun di kiri-kanan trap jalan turun ke sungai. Semua bangunan itu dibuat
dari tiang bambu betung, tali ijuk, atap rumbia, dinding anyaman bambu wulung,
dan kerangka kayu jati sebagai penguat daun pintu, jendela, dan usuk. Bangunan
pondok bambu yang indah dan menghadap ke Sungai Ciserayu mengingatkan orang
pada model bangunan rumah adat yang tersebar di wilayah Kerajaan Galuh. Lantainya
dari papan kayu jati mengkilap.
Kamandaka didampingi
Rekajaya, duduk di atas bangku terbuat dari akar pohon jati tua yang telah
disulap menjadi tempat duduk, yang didirikan di luar bangunan pondok bambu. Kamandaka
asyik dan merasa terhibur menikmati Sungai Ciserayu yang mengalir dengan tenang
di depannya. Di sebelah selatan sungai tampak rangkaian pegunungan Ciserayu
membentang dari timur ke barat bagaikan raksasa berjubah kelabu yang sedang
tidur. Pohon kelapa, jati, pinus, dan pohon hutan lainnya tumbuh berderet di
sepanjang lereng-lereng bukit.
Kamandaka melihat dua
tiga perahu berisi sejumlah penumpang dan barang bawaan melintas di atas sungai.
Perahu-perahu itu meluncur dari arah hulu menuju hilir, melewati bagian sungai
di depan Kamandaka, terus meluncur ke barat. Ketiga perahu itu makin lama makin
kecil, akhirnya hilang di tempat menikung jauh di sebelah barat sana.
“Perahu-perahu yang
lalu lalang di atas Sungai Ciserayu belum seramai lalu lintas perahu di Sungai
Ciliwung,” kata Kamandaka kepada Rekajaya yang ada di sampingnya.
“Mudah-mudahan gagasan
Raden kelak menjadi kenyataan. Sungai Ciserayu akan seramai Sungai Ciliwung,”
jawab Rekajaya sambil membayangkan lalu lintas Sungai Ciliwung, karena dia belum
pernah melihatnya. Rekajaya merasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
setelah tahu ternyata Kamandaka itu adalah seorang ksatria dari Keraton
Pajajaran.
Kamandaka menatap
langit cerah di atasnya. Dilihatnya langit berwarna biru dengan
gumpalan-gumpalan awan putih bersih. Lalu dipandangnya kembali Pegunungan Ciserayu.
Lima atau enam ekor elang berputar-putar bagaikan layang-layang hitam di langit
tenggara. Kamandaka tahu, di bawah elang yang sedang berputar-putar itu,
terletak Kademangan Kejawar. Beberapa hari lalu Kamandaka diundang Ki Demang Kejawar.
Ki Demang ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Nyai Kertisara dan Ki
Sulap Pangebatan, karena baru saja disumbang satu karung beras, lima keranjang
gula kelapa, dan dua keranjang gula aren oleh Nyai Kertisara dan Ki Sulap
Pangebatan. Sumbangan itu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan Kademangan
Kejawar.
Sebenarnya Kademangan
Kejawar bukan lagi wilayah Kerajaan Pajajaran. Sejak tahun 1413 M sudah menjadi
tanah sima, yaitu tanah bebas pajak, yang
berada di bawah perlindungan Kadipaten Wirasaba. Ki Demang Kejawar oleh Adipati
Wirasaba dipercaya sebagai penyelenggarakan upacara suci keagamaan menyembah Dewa
Syiwa yang dipusatkan di sisi barat Pegunungan Ciserayu. Karena Kerajaan
Pajajaran juga menyembah Sang Hyang Syiwa, banyak penduduk Desa Kaliwedi dan
sekitarnya sering ikut dalam perayaan suci agama Syiwa yang diselenggarakan Ki
Demang Kejawar. Ki Sulap Pangebatan sendiri belum pernah menghadiri perayaan
suci ritual penyembahan Sang Hyang Syiwa.
Ketika itu Kamandaka
mendapat sambutan luar biasa. Ki Demang Kejawar ternyata telah mengenalnya sebagai
Ki Sulap Pangebatan. Pada kunjungan pertama itulah Ki Sulap Pangebatan
dikenalkan oleh Ki Demang Kejawar dengan seorang ksatria muda tampan yang
berasal dari Kerajaan Majapahit, Arya Baribin. Entah mengapa, Ki Sulap
Pangebatan dan Arya Baribin langsung bersahabat. Ki Sulap Pangebatan merasa
dirinya memiliki pandangan dan wawasan
yang sama tentang banyak hal dengan Arya Baribin. Terutama gagasan tentang
usaha membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat Sudra, yaitu rakyat kebanyakan
pada umumnya yang selama ini dalam keadaan hidup tertindas oleh adat, tradisi,
dan sistim kemasyarakatan yang berlaku. Ingatannya kepada Arya Bribin lenyap
saat seorang pekerja datang menghadapnya.
“Ndara, kalau ingin
turun ke bawah. Lantai trap paling bawah sudah dikeraskan dengan pasir dan
batu. Barangkali Ndara akan melihatnya?” pekerja itu memohon agar Kamandaka
bersedia melihat hasil pekerjaannya.
“Ayo, Kakang Rekajaya,
kita lihat ke bawah,” ajak Kamandaka seraya bangkit dari tempat duduknya, turun
ke bawah mengikuti tukang penggarap trap tangga turun yang dibuat di dinding
sungai. Kamandaka merasa puas dengan pekerjaan tukang batu itu.
“Ajarilah teman-temanmu
yang lain, agar semakin banyak penduduk Kaliwedi yang mempunya keterampilan.
Desa ini akan berkembang maju, jika banyak orang-orang terampil seperti kamu.
Nyai Kertisara masih punya banyak proyek yang memerlukan banyak tenaga terampil,”
pesan Kamandaka sambil memuji mereka.
Bangunan pangkalan perahu
di tepi Sungai Ciserayu itu dibangun atas nama Nyai Kertisara, yang dalam waktu
singkat berkembang menjadi wanita pengusaha gula kelapa dan gula aren sukses.
Tiap hari produksinya meningkat, sehingga Nyai Kertisara merasa perlu mencari
daerah pemasaran baru. Dengan membuka pangkalan baru di tepi Sungai Ciserayu dan
membeli sejumlah perahu, Nyai Kertisara akan dapat memasarkan produksinya melalui
angkutan sungai ke tempat-tempat jauh ke arah hilir Sungai Ciserayu. Dengan
demikian pangsa pasar hasil produki Nyai Kertisara akan semakin luas.
Tentu saja semua ide
itu berasal dari Kamandaka. Sebenarnya Kamandaka pun hanya meniru saja dari apa
yang pernah dilakukan ayahnya Sri Baginda Siliwangi yang telah membangun banyak
pangkalan air di tepi Sungai Ciliwung untuk memasarkan lada dan pala hasil petani
Kerajaan Pajajaran yang melimpah. Sebagaimana Sri Baginda Prabu Siliwangi yang
telah menghidupkan angkutan barang dan orang melalui Sungai Ciliwung, Kamandaka
juga mendorong Nyai Kertisara melakukan hal yang sama. Yaitu meramaikan dan
lebih menghidupkan angkutan barang dan orang melalui Sungai Ciserayu.
“Kapan perahu baru yang
kita pesan bisa tiba, Kakang Rekajaya?” tanya Kamandaka yang merasa puas ketika
menyaksikan pekerjaan pembuatan pangkalan baru itu hampir selesai.
“Tidak bisa cepat,
Raden. Katanya sih tinggal merakit saja. Paling cepat tujuh hari pasaran
selesai empat perahu,” jawab Rekajaya.
“Tinggal merakit empat
perahu saja perlu waktu begitu lama, tujuh hari pasaran itu satu bulan lebih,
Kakang Rekajaya.”
“Begitulah Raden, yang
mengerjakan tidak banyak.”
“Sayang sekali. Pohon
jati di sepanjang pegunungan Ciserayu ini cukup banyak dan tumbuh subur. Tetapi
keterampilan orang membuat perahu sungai di sini kurang dan lama sekali,” kata
Kamandaka menyesali keadaan.
“Kakang Rekajaya,
tahukah Kakang tentang bangsa Galuh?” tanya Kamandaka yang dijawab Rekajaya dengan
menggeleng.
”Kalau begitu, dengarkanlah,”
kata Kamandaka, lalu mulai berceritera.
Turunan Bangsa Galuh baik
yang tinggal di sebelah barat maupun timur Citanduy, sudah kehilangan keterampilannya
sebagai putra-putra sungai dan lautan. Mereka mengembangkan diri hanya menjadi
putra-putra daratan yang memuliakan ladang, sawah, gua, dan gunung. Mereka
lalai mengembangkan diri menjadi putra-putra air yang memuliakan sungai, danau,
ombak, gelombang, dan lautan.
Tidak ada bangsa yang
akan menjadi besar dan perkasa, jika hanya menjadi penguasa tanah daratan.
Bangsa-bangsa besar adalah bangsa-bangsa yang menghadapkan wajahnya ke samudra
raya yang luas. Bangsa Romawi dan Bangsa Greek, mereka jadi bangsa besar karena
menghadapkan wajahnya ke Laut Mediteran di selatan Roma dan Athena. Bangsa Arab
dan Persia menjadi bangsa dengan peradaban tinggi karena mereka menghadapkan wajahnya
ke arah laut Arabia di selatan. Bangsa India di Lembah Sungai Indus, Gangga,
dan Yamuna, menjadi bangsa yang besar karena mereka menghadapkan wajahnya ke
Lautan India yang ada di selatan. Bangsa Galuh di lembah Sungai Menam, Mekong,
dan Sungai Sutra, juga menjadi bangsa besar karena mereka menghadapkan wajahnya
ke laut China Selatan. Demikan pula
Bangsa China menjadi bangsa dengan peradaban agung, karena Bangsa China
menghadapkan wajahnya ke arah Laut China Selatan dan Lautan Nusantara yang ada
di selatan Kepulauan Nusantara.(Bersambung)
Silakan Kunjungi Artikel Laga Ayam
BalasHapusMengobati Ayam Ngorok Yang Terbaik
Kaki Ayam Yang Patah Dapat Menyambungkan Kembali
Efek Ayam Aduan Minum Air Garam
Dan dapat Hubungi Kontak Whatsapp Kami +62-8122-222-995