Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Minggu, 23 Juli 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (28)





“Gampang sekali, Raden. Tidak usah cemas. Nanti akan Uwa jelaskan kepada para punggawa dan Ngabehi Nitipraja, bahwa Raden adalah menantu Adipati Dayeuhluhur, yang diminta bantuannya menjadi pelatih prajurit-prajurit Kadipaten Pasirluhur. Anggap saja di Kadipaten Dayeuhluhur Raden sudah memiliki pangkat tumenggung,” kata Kanjeng Adipati. 

Tiba-tiba saja Kanjeng Adipati Kandhadaha ingat Adipati Dayeuhluhur yang masih iparnya. Kadipaten Dayeuhluhur adalah kadipaten yang berada di sisi timur Sungai Citanduy. Adipati Dayeuhluhur mempunyai anak perempuan yang cantik juga, namanya Mayangsari. Dengan Putri Kanjeng Adipati, Sang Dewi, Mayangsari itu bagaikan adik kakak. Hanya saja, Mayangsari lebih muda sedikit. 

“Bagaimana Raden? Setuju bukan?”

“Jika menurut Kanjeng Adipati dan Paman Patih cara itu yang terbaik, ananda akan mengikutinya,” jawab Silihwarna.

“Ki Patih, kita sudah mencapai kesepakatan,” kata Kanjeng Adipati menyimpulkan. ”Kita rahasiakan asal-usul dan nama asli Raden Silihwarna. Kepada Ngabehi Nitipraja, para punggawa, lurah, dan perangkat kadipaten lainnya, harus dijelaskan bahwa Raden Silihwarna adalah menantu Adipati Dayeuhluhur dengan pangkat tumenggung yang akan membantu Kadipaten Pasirluhur menangkap si Macan Muda, Kamandaka. Setuju Raden? Setuju Ki Patih?” tanya Kanjeng Adipati pada mereka berdua. Baik Ki Patih maupun Silihwarna mengangguk hampir bersamaan. Mereka semua mencapai kata sepakat.

“Mari kita minum bersama untuk merayakan kesepakatan kita, demi kejayaan Kerajaan Pajajaran dan keselamatan Kadipaten Pasirluhur,” kata Kanjeng Adipati. Seorang bujang yang dipanggil, datang dengan membawa tiga cangkir baru berisi air nira dari pohon aren. Mereka bertiga bersama-sama mengangkat cangkir dan meneguk habis isinya. 

Akhirnya Kanjeng Adipati mengijinkan Ki Patih dan Silihwarna meninggalkan serambi ruang tamu Dalem Gede untuk menindaklanjuti tugas yang sudah menunggu. Tugas itu adalah mengatur langkah-langkah menangkap Kamandaka dengan cara menantang Ki Sulap Pangebatan berlaga dalam permainan judi di arena sabung ayam Desa Pangebatan.
 ***


Pagi itu Ki Sulap Pangebatan dan Rekajaya sedang berada di pinggir Sungai Ciserayu, menunggui sejumlah orang yang tengah membuat pangkalan baru untuk melabuhkan perahu-perahu sungai yang sudah dipesan. Dilihatnya beberapa orang sedang mengambil pasir dan batu, ada pula yang sedang jongkok mengeraskan lantai-lantai tangga untuk turun ke arah sungai.

Undak-undakan atau trap yang dibuat di bibir sungai sebagai jalan untuk turun ke bawah sudah hampir selesai. Patok-patok bambu untuk menambatkan perahu malah sudah siap digunakan. Demikian pula gudang, rumah jaga, dan bangunan pondok tempat menunggu yang dibangun di kiri-kanan trap jalan turun ke sungai. Semua bangunan itu dibuat dari tiang bambu betung, tali ijuk, atap rumbia, dinding anyaman bambu wulung, dan kerangka kayu jati sebagai penguat daun pintu, jendela, dan usuk. Bangunan pondok bambu yang indah dan menghadap ke Sungai Ciserayu mengingatkan orang pada model bangunan rumah adat yang tersebar di wilayah Kerajaan Galuh. Lantainya dari papan kayu jati mengkilap.

Kamandaka didampingi Rekajaya, duduk di atas bangku terbuat dari akar pohon jati tua yang telah disulap menjadi tempat duduk, yang didirikan di luar bangunan pondok bambu. Kamandaka asyik dan merasa terhibur menikmati Sungai Ciserayu yang mengalir dengan tenang di depannya. Di sebelah selatan sungai tampak rangkaian pegunungan Ciserayu membentang dari timur ke barat bagaikan raksasa berjubah kelabu yang sedang tidur. Pohon kelapa, jati, pinus, dan pohon hutan lainnya tumbuh berderet di sepanjang lereng-lereng bukit.
Kamandaka melihat dua tiga perahu berisi sejumlah penumpang dan barang bawaan melintas di atas sungai. Perahu-perahu itu meluncur dari arah hulu menuju hilir, melewati bagian sungai di depan Kamandaka, terus meluncur ke barat. Ketiga perahu itu makin lama makin kecil, akhirnya hilang di tempat menikung jauh di sebelah barat sana. 

“Perahu-perahu yang lalu lalang di atas Sungai Ciserayu belum seramai lalu lintas perahu di Sungai Ciliwung,” kata Kamandaka kepada Rekajaya yang ada di sampingnya. 

“Mudah-mudahan gagasan Raden kelak menjadi kenyataan. Sungai Ciserayu akan seramai Sungai Ciliwung,” jawab Rekajaya sambil membayangkan lalu lintas Sungai Ciliwung, karena dia belum pernah melihatnya. Rekajaya merasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa setelah tahu ternyata Kamandaka itu adalah seorang ksatria dari Keraton Pajajaran.

Kamandaka menatap langit cerah di atasnya. Dilihatnya langit berwarna biru dengan gumpalan-gumpalan awan putih bersih. Lalu dipandangnya kembali Pegunungan Ciserayu. Lima atau enam ekor elang berputar-putar bagaikan layang-layang hitam di langit tenggara. Kamandaka tahu, di bawah elang yang sedang berputar-putar itu, terletak Kademangan Kejawar. Beberapa hari lalu Kamandaka diundang Ki Demang Kejawar. Ki Demang ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Nyai Kertisara dan Ki Sulap Pangebatan, karena baru saja disumbang satu karung beras, lima keranjang gula kelapa, dan dua keranjang gula aren oleh Nyai Kertisara dan Ki Sulap Pangebatan. Sumbangan itu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan Kademangan Kejawar.

Sebenarnya Kademangan Kejawar bukan lagi wilayah Kerajaan Pajajaran. Sejak tahun 1413 M sudah menjadi tanah sima, yaitu tanah bebas pajak, yang berada di bawah perlindungan Kadipaten Wirasaba. Ki Demang Kejawar oleh Adipati Wirasaba dipercaya sebagai penyelenggarakan upacara suci keagamaan menyembah Dewa Syiwa yang dipusatkan di sisi barat Pegunungan Ciserayu. Karena Kerajaan Pajajaran juga menyembah Sang Hyang Syiwa, banyak penduduk Desa Kaliwedi dan sekitarnya sering ikut dalam perayaan suci agama Syiwa yang diselenggarakan Ki Demang Kejawar. Ki Sulap Pangebatan sendiri belum pernah menghadiri perayaan suci ritual penyembahan Sang Hyang Syiwa.

Ketika itu Kamandaka mendapat sambutan luar biasa. Ki Demang Kejawar ternyata telah mengenalnya sebagai Ki Sulap Pangebatan. Pada kunjungan pertama itulah Ki Sulap Pangebatan dikenalkan oleh Ki Demang Kejawar dengan seorang ksatria muda tampan yang berasal dari Kerajaan Majapahit, Arya Baribin. Entah mengapa, Ki Sulap Pangebatan dan Arya Baribin langsung bersahabat. Ki Sulap Pangebatan merasa dirinya  memiliki pandangan dan wawasan yang sama tentang banyak hal dengan Arya Baribin. Terutama gagasan tentang usaha membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat Sudra, yaitu rakyat kebanyakan pada umumnya yang selama ini dalam keadaan hidup tertindas oleh adat, tradisi, dan sistim kemasyarakatan yang berlaku. Ingatannya kepada Arya Bribin lenyap saat seorang pekerja datang menghadapnya.

“Ndara, kalau ingin turun ke bawah. Lantai trap paling bawah sudah dikeraskan dengan pasir dan batu. Barangkali Ndara akan melihatnya?” pekerja itu memohon agar Kamandaka bersedia melihat hasil pekerjaannya. 

“Ayo, Kakang Rekajaya, kita lihat ke bawah,” ajak Kamandaka seraya bangkit dari tempat duduknya, turun ke bawah mengikuti tukang penggarap trap tangga turun yang dibuat di dinding sungai. Kamandaka merasa puas dengan pekerjaan tukang batu itu. 

“Ajarilah teman-temanmu yang lain, agar semakin banyak penduduk Kaliwedi yang mempunya keterampilan. Desa ini akan berkembang maju, jika banyak orang-orang terampil seperti kamu. Nyai Kertisara masih punya banyak proyek yang memerlukan banyak tenaga terampil,” pesan Kamandaka sambil memuji mereka.
Bangunan pangkalan perahu di tepi Sungai Ciserayu itu dibangun atas nama Nyai Kertisara, yang dalam waktu singkat berkembang menjadi wanita pengusaha gula kelapa dan gula aren sukses. Tiap hari produksinya meningkat, sehingga Nyai Kertisara merasa perlu mencari daerah pemasaran baru. Dengan membuka pangkalan baru di tepi Sungai Ciserayu dan membeli sejumlah perahu, Nyai Kertisara akan dapat memasarkan produksinya melalui angkutan sungai ke tempat-tempat jauh ke arah hilir Sungai Ciserayu. Dengan demikian pangsa pasar hasil produki Nyai Kertisara akan semakin luas.

Tentu saja semua ide itu berasal dari Kamandaka. Sebenarnya Kamandaka pun hanya meniru saja dari apa yang pernah dilakukan ayahnya Sri Baginda Siliwangi yang telah membangun banyak pangkalan air di tepi Sungai Ciliwung untuk memasarkan lada dan pala hasil petani Kerajaan Pajajaran yang melimpah. Sebagaimana Sri Baginda Prabu Siliwangi yang telah menghidupkan angkutan barang dan orang melalui Sungai Ciliwung, Kamandaka juga mendorong Nyai Kertisara melakukan hal yang sama. Yaitu meramaikan dan lebih menghidupkan angkutan barang dan orang melalui Sungai Ciserayu.

“Kapan perahu baru yang kita pesan bisa tiba, Kakang Rekajaya?” tanya Kamandaka yang merasa puas ketika menyaksikan pekerjaan pembuatan pangkalan baru itu hampir  selesai. 

“Tidak bisa cepat, Raden. Katanya sih tinggal merakit saja. Paling cepat tujuh hari pasaran selesai empat perahu,” jawab Rekajaya.

“Tinggal merakit empat perahu saja perlu waktu begitu lama, tujuh hari pasaran itu satu bulan lebih, Kakang Rekajaya.”

“Begitulah Raden, yang mengerjakan tidak banyak.”

“Sayang sekali. Pohon jati di sepanjang pegunungan Ciserayu ini cukup banyak dan tumbuh subur. Tetapi keterampilan orang membuat perahu sungai di sini kurang dan lama sekali,” kata Kamandaka menyesali keadaan. 

“Kakang Rekajaya, tahukah Kakang tentang bangsa Galuh?” tanya Kamandaka yang dijawab Rekajaya dengan menggeleng.

”Kalau begitu, dengarkanlah,” kata Kamandaka, lalu mulai berceritera.

Turunan Bangsa Galuh baik yang tinggal di sebelah barat maupun timur Citanduy, sudah kehilangan keterampilannya sebagai putra-putra sungai dan lautan. Mereka mengembangkan diri hanya menjadi putra-putra daratan yang memuliakan ladang, sawah, gua, dan gunung. Mereka lalai mengembangkan diri menjadi putra-putra air yang memuliakan sungai, danau, ombak, gelombang, dan lautan.

Tidak ada bangsa yang akan menjadi besar dan perkasa, jika hanya menjadi penguasa tanah daratan. Bangsa-bangsa besar adalah bangsa-bangsa yang menghadapkan wajahnya ke samudra raya yang luas. Bangsa Romawi dan Bangsa Greek, mereka jadi bangsa besar karena menghadapkan wajahnya ke Laut Mediteran di selatan Roma dan Athena. Bangsa Arab dan Persia menjadi bangsa dengan peradaban tinggi karena mereka menghadapkan wajahnya ke arah laut Arabia di selatan. Bangsa India di Lembah Sungai Indus, Gangga, dan Yamuna, menjadi bangsa yang besar karena mereka menghadapkan wajahnya ke Lautan India yang ada di selatan. Bangsa Galuh di lembah Sungai Menam, Mekong, dan Sungai Sutra, juga menjadi bangsa besar karena mereka menghadapkan wajahnya ke laut China Selatan.  Demikan pula Bangsa China menjadi bangsa dengan peradaban agung, karena Bangsa China menghadapkan wajahnya ke arah Laut China Selatan dan Lautan Nusantara yang ada di selatan Kepulauan Nusantara.(Bersambung)





1 komentar:

  1. Silakan Kunjungi Artikel Laga Ayam

    Mengobati Ayam Ngorok Yang Terbaik
    Kaki Ayam Yang Patah Dapat Menyambungkan Kembali
    Efek Ayam Aduan Minum Air Garam

    Dan dapat Hubungi Kontak Whatsapp Kami +62-8122-222-995

    BalasHapus