Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 11 Juli 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (24)





“Kalau begitu, tentu saja Kamandaka cepat kaya,” kata Banyakngampar. “Tetapi kesalahan terbesar tentulah pada para punggawa yang gemar bertaruh dalam permainan judi sabung ayam. Coba seandainya Kadipaten melarang kebiasaan yang buruk itu. Kebiasaan yang hanya menjual mimpi, dan merusak semangat kerja masyarakat. Orang-orang yang meraih kekayaan dengan cara gampang seperti Kamandaka dan Kertisara, tidak mungkin akan bermunculan di Kadipaten Pasirluhur. Orang-orang seperti Ki Sulap Pangebatan dan pamannya Ki Kertisara bisa menjadi botoh handal, karena memang ada orang-orang yang gemar membeli mimpi. Para botoh itulah yang menjual mimpi.” 

“Dan di mana-mana para penjual yang meraup keuntungan, bukan para pembeli. Dalam permainan judi, pembeli sudah puas hanya dengan mimpi-mimpinya. Karena itulah Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi sudah lama melarang berbagai bentuk perjudian seperti permainan judi sabung ayam. Bahkan jika ada punggawa kerajaan yang ketahuan main judi sabung ayam, langsung dipecat. Mestinya kebijakan Sri Baginda itu diikuti di sini,” kata Banyakngampar. Ki Patih sepenuhnya sependapat dengan apa yang dikatakan Banyakngampar itu.

“Sebaiknya Paman segera mengusulkan kepada Kanjeng Adipati untuk melarang permainan sabung ayam dengan taruhan. Para punggawa, lurah, dan seluruh aparat kadipaten harus menjadi contoh. Pastilah penduduk akan mematuhinya. Paman juga sebaiknya cepat mengerahkan pasukan untuk menangkap Kamandaka, sebelum dia menghilang” kata Banyakngampar memberikan saran.

“Justru itulah yang membuat pusing Paman. Menangkap Kamandaka bukan perkara mudah. Dia ternyata memiliki ilmu tinggi. Waktu di Taman Kaputren, Kamandaka  dikepung dua puluh orang, dengan mudah dia bisa lolos. Bahkan lima orang pengepungnya mengalami luka berat. Untuk mengirimkan pasukan ke Kaliwedi, belum tentu berhasil. Kini Kamandaka punya pengikut yang banyak. Puluhan penyadap yang dibantu Nyai Kertisara, tentu akan membela Kamandaka. Lagi pula Paman tidak punya perwira cakap yang dapat diandalkan untuk melawan Kamandaka. Padahal Kamandaka benar-benar menimbulkan ancaman serius. Jika Kamandaka menjalin kerja sama dengan Kadipaten Wirasaba di sisi selatan Sungai Ciserayu dan sebelah timur Sungai Cingcinggoling, dengan mudah Kamandaka bisa mengobarkan pemberontakan melawan Kadipaten Pasirluhur. Apakah Raden akan membiarkan Kadipaten Pasirluhur lepas dari Kerajaan Pakuan Pajajaran?” 

Mendengar keluhan Ki Patih, Banyakngampar termenung sejenak. Kesadarannya sebagai seorang Ksatria Pajajaran tiba-tiba bangkit. Dia segera melihat, Kadipaten Pasirluhur sebagai kadipaten ujung tombak wilayah timur Kerajaan Pajajaran berada dalam kondisi mencemaskan. Jika Kerajaan Pajajaran tidak segera turun tangan, niscaya wilayah Kerajaan Pajajaran di timur Citanduy akan lepas, mengikuti Kadipaten Nusakambangan dan wilayah-wilayah lain di timur Sungai Ciserayu. 

Banyakngampar sebenarnya sudah pernah mendengar dari ayahnya yang menjelaskan riwayat wilayah di sebelah timur Sungai Ciserayu. Wilayah itu pada mulanya merupakan wilayah Kerajaan Galuh. Tetapi menjadi agak terbengkalai setelah Patih Bunisora meninggal. Sedangkan Raja Galuh saat itu, Rahyang Niskala Wastu Kancana lebih memperhatikan wilayah barat Kerajaan Galuh. Kondisi wilayah timur Lembah Ciserayu yang agak terbengkalai itulah yang dimanfaatkan Kerajaan Majapahit untuk melakukan ekspansi ke barat, menerobos Sungai Bhagalin sampai sisi timur Sungai Ciserayu. Tak lama kemudian di wilayah sebelah  timur Sungai Ciserayu berdiri sejumlah kadipaten yang tunduk pada Kerajaan Majapahit.

Kadipaten Wirasaba (1413 M) berhasil didirikan oleh para kentol, yakni ksatria tingkat rendah tetapi memiliki kesaktian dan ahli ilmu bela diri, yang dikirim dari Kadipaten Pengging. Salah seorang bekas kentol yang berhasil mendirikan sebuah kadipaten di sebelah timur Sungai Cingcinggoling dan Ciserayu adalah Ki Gede Paguhan. Dia kemudian diangkat oleh Raja Majapahit Wikramawardhana (1389-1429 M) menjadi Adipati Wirasaba ke-1 dengan menyandang gelar Kanjeng Adipati Wira Utama.

“Benar demikian, Paman Patih?” Banyakngampar menanyakan kepada Ki Patih Reksanata kebenaran riwayat Kadipaten Wirasaba yang pernah disampaikan Sri Baginda Prabu Siliwangi kepadanya. Banyakngampar sayup-sayup masih ingat penjelasan itu.

“Benar sekali, Raden,” jawab Ki Patih. “Rupanya Sri Baginda Prabu Siliwangi masih terus mengikuti perkembangan wilayah Kerajaan Pajajaran di Lembah Ciserayu. Kadipaten Wirasaba memang harus kita waspadai. Terutama ambisinya untuk mengembangkan wilayah ke sebelah barat Sungai Cingcinggoling dan Ciserayu. Sekarang ini penguasa Kadipaten Wirasaba adalah Kanjeng Adipati Wirasaba V.” 

“Penaklukan wilayah-wilayah di lembah sebelah timur Ciserayu dilakukan dari Kadipaten Pengging. Tidak mengherankan bahwa para penguasa kadipaten-kadipaten yang muncul di sisi timur Lembah Ciserayu itu sebagian besar punya ikatan kekerabatan dengan para penguasa Pengging. Ekspansi para kentol Pengging ke Lembah Ciserayu terhenti karena di sisi barat Sungai Cingcinggoling dan Ciserayu ada Kadipaten Pasirluhur yang relatif kuat.” 

“Kadipaten Pasirluhur memiliki kemampuan memproduksi alat-alat perang, sehingga Kadipaten Wirasaba harus berpikir masak-masak bila ingin melakukan ekspansi ke wilayah Kadipaten Pasirluhur,” kata Ki Patih Reksanata membuat Banyakngampar semakin paham potensi konflik yang tengah berkembang di Lembah Ciserayu yang subur itu. 

“Keberadaan Kamandaka dan aktivitasnya di Kaliwedi sebenarnya membingungkan,” kata Ki Patih kembali menyinggung kegiatan Kamandaka.

“Pada satu sisi dia meningkatkan kesejahteraan penduduk di sekitar wilayah segitiga Sungai Cingcinggoling dan Ciserayu. Di lain pihak aktivitas Kamandaka bisa berbahaya bila dia menjalin hubungan rahasia dengan Kadipaten Wirasaba. Itulah sebabnya, Kanjeng Adipati menugaskan Ngabehi Nitipraja untuk terus mengawasi aktivitas Kamandaka. Memang sejak ditugaskan, Ngabehi Nitipraja terus menyebar mata-mata di Kaliwedi untuk mengawasi Kamandaka.” 

“Tampaknya jika ananda perhatikan situasinya sangat mengkhawatirkan, Paman,” kata Banyakngampar setelah mendapat penjelasan  panjang lebar dari Ki Patih Reksanata.

”Jika Kanjeng Adipati tidak keberatan, ananda sanggup menangkap Kamandaka. Tujuan ananda datang ke Pasirluhur ini untuk mencari Kanda Banyakcatra. Tetapi selama ada Kamandaka yang bisa menjadi sumber ancaman dan gangguan keamanan, tentu tidak mudah bagi ananda untuk mencari Kanda Banyakcatra di seluruh wilayah Kadipaten Pasirluhur.”

“Aduh, Raden. Sungguh berterima kasih sekali Paman, bila benar Raden akan membantu menangkap Kamandaka. Paman akan sediakan 200 prajurit pilihan Kadipaten Pasirluhur. Besok Raden akan Paman ajak menghadap Kanjeng Adipati. Agar memudahkan Raden mengendalikan prajurit Kadipaten Pasirluhur, Paman akan usulkan kepada Kanjeng Adipati supaya Raden bisa ditetapkan menjadi seorang tumenggung. Apakah Raden tidak keberatan?”

“Gagasan yang bagus, Paman. Itulah memang yang ingin ananda usulkan,” kata Banyakngampar dengan wajah berseri-seri. “Supaya tidak mencurigakan Kamandaka, ananda akan mengganti nama dengan Silihwarna, Paman. Itulah nama samaran ananda selama ananda berada di Pasirluhur. Usahakan hanya Paman dan Kanjeng Adipati yang tahu bahwa ananda putra Sri Baginda Prabu Siliwangi. Sebab jika sampai Kamandaka tahu ada bantuan dari Pajajaran,  ananda khawatir Kamandaka akan minta bantuan Kadipaten Wirasaba. Jika itu terjadi, tentu akan membuka konflik dengan Kadipaten Wirasaba. Apalagi bila Kamandaka menghasut Wirasaba untuk melakukan ekspansi ke wilayah barat Lembah Sungai Ciserayu, keadaan akan tambah rumit.”

“Baiklah, Raden. Sebuah nama yang indah, Silihwarna. Apakah perlu dibuatkan bubur merah-putih Raden? Bila perlu besok Paman minta juru masak untuk membuatnya,” kata Ki Patih berkelakar. Banyakngampar hanya tersenyum dan menjawab, bahwa semua itu tidak perlu.

“Itu nama ananda waktu di Padepokan Megamendung, Paman Patih,”  kata Banyakngampar.Ki Patih malam itu merasa senang, karena beban tugas yang dipikulnya kini ada yang bersedia membantu.

 “Raden, malam sudah larut. Barangkali Raden hendak istirahat. Besok kita menghadap Kanjeng Adipati. Kita mantapkan lagi rencana penangkapan Kamandaka,”  kata Ki Patih Reksanata menyampaikan saran. Banyakngampar menyetujui saran Ki Patih. Mereka berdua bangkit dari tempat duduknya. 

Ki Patih mengantarkan Banyakngampar sampai di depan pintu serambi ruang tamu Dalem Kepatihan. Kemudian membiarkan Banyakngampar melangkah sendiri menghilang ke dalam gelapnya malam. Banyakngampar kembali ke kamar tamu yang berada di sisi kanan Pendapa Kepatihan, tidak jauh dari pintu gerbang. Ketika melintasi halaman pendapa menuju ruang tamu tempatnya beristirahat, dilihatnya langit sedang bertaburan kerlipan cahaya bintang. Cahaya bulan tampak agak meredup, tertutup mega-mega tipis.

“Pasti bulan itu juga tampak jelas malam ini jika dilihat dari Keraton Pajajaran di Pakuan,” kata Banyakngampar sambil menatap langit ke arah barat, ke arah Kerajaan Pajajaran.  

“Alangkah jauhnya Kanda Banyakcatra harus melintasi jalan yang terbentang antara Kadipaten Pasirluhur dan Pakuan Pajajaran. Bila memang benar Kanda Banyakcatra pernah mengunjungi Pasirluhur. Sudah lima tahun aku tidak pernah bertemu Kanda Banyakcatra. Hem, seperti apakah dia sekarang ini, tambah gemukkah? Tambah kuruskah? Demi sekeping cinta pada wanita, Kanda Banyakcatra rela bersusah payah meninggalkan Pakuan.” 

Tak terasa mata Banyakngampar basah oleh air mata. Dia teringat akan masa-masa penuh bahagia ketika mereka masih berkumpul bersama-sama di Keraton Pakuan Pajajaran. Banyakngampar menghentikan langkahnya di halaman serambi ruang tamu tempatnya bermalam. Tidak jauh dari situ, di bawah pohon kecik terletak tempat duduk dari kayu mahoni nampak samar-samar dalam keremangan cahaya bulan. Banyakngampar segera melangkah, kemudian duduk di situ.

Dia ingin sekali walaupun barang sejenak menyaksikan awan putih yang berarak-arakan berjalan pelan melintasi langit malam Kadipaten Pasirluhur. Awan bergerak pelan, hanya sejenak menutupi cahaya bulan, disaksikan bintang-bintang berkerlap-kerlip di kejauhan. Alangkah indah langit yang dilihatnya malam itu. Pada saat seperti itu, tentu saja dia teringat saat-saat indah bersama kakaknya Banyakcatra dan adik tirinya Banyakbelabur. Mereka bertiga tinggal bersama di Taman Kaputran Keraton Pajajaran. Mereka bertiga walaupun berbeda ibu sangat akrab. 

Sering kali adiknya, Ratna Pamekas yang tinggal di tempat terpisah agak jauh di Taman Kaputren mendatangi mereka, kakak-kakaknya. Di mata kakak-kakaknya itu, Ratna Pamekas memang agak bandel. Aturan rumah tangga istana, anak perempuan tidak boleh mendatangi tempat tinggal saudara-saudara laki-lakinya yang tinggal di Taman Kaputran. Tetapi anak laki-laki boleh mengunjungi saudara-saudara perempuannya yang tinggal di Taman Kaputren. Namun aturan itu sering dilanggar Ratna Pamekas. Banyakbelabur sering marah-marah melihat kebandelan adiknya itu. Dia sering menyuruhnya kembali ke Taman Kaputren, bila tahu adik perempuannya itu datang. Sebaliknya, Banyakcatra dan Banyakngampar malah sering membela adik tirinya itu. Tentu saja Ratna Pamekas merasa senang karena ada jagoan yang melindunginya. 

Yang terjadi kemudian mereka bertiga, Banyakcatra, Banyakngampar, dan Ratna Pamekas, mengembangkan hubungan menjadi lebih akrab, saling sayang menyayangi dan saling kasih mengasihi dalam hubungan kakak dan adik. Sementara hubungan Ratna Pamekas dengan kakak kandungnya sendiri, malah semakin hambar. Tentu saja Banyakbelabur sering iri melihat keakraban hubungan adik kandungnya dengan kakak tirinya itu. Lebih-lebih Banyakbelabur sering tahu jika Banyakcatra atau Banyakngampar datang menemui adiknya, Ratna Pamekas nampak gembira dan menyambutnya dengan wajah ceria. Sering adiknya itu dengan suka rela mau memijit Banyakcatra atau Banyakngampar yang mendatangi kamarnya, sekedar untuk menggoda dengan pura-pura mengatakan lelah karena baru pulang dari latihan dasar keprajuritan.

Tetapi terhadap Banyakbelabur, kakak kandungnya sendiri, jika kakak kandungnya itu minta dipijit, Ratna Pamekas segera menyuruh salah seorang pengasuhnya yang biasa memijat dirinya. Jika ingat semua itu, Banyakngampar sering tertawa sendiri. 

”Siapa sih pria yang tidak senang dipijit gadis cantik seperti Dinda Ratna Pamekas?” kata Banyakngampar saat mengenang adik tirinya yang ada di Taman Kaputren Keraton Pajajaran. 

Memang pada saat seseorang sedang dalam kesendiriannya, angan-angannya dapat dipastikan akan melayang-layang ke mana saja. Mengenang apa yang dapat dikenang, dan mengingat apa yang dapat diingat. Dan paling menyenangkan tentu saja mengingat saat-saat indah bersama orang yang dirindukannya. Hubungan yang indah dan mesra antara mereka bertiga sebenarnya berkembang menjadi rumit setelah ibu Banyakcatra dan Banyakngampar meninggal. Mereka berdua kehilangan kasih sayang dan cinta sejati seorang ibu kepada anaknya. Sementara itu  Ratna Pamekas, tumbuh menjadi gadis yang semakin cantik. Anehnya, kecantikan dan kejelitaan Ratna Pamekas malah mirip mendiang ibu Banyakcatra dan Banyakngampar, dari pada kecantikan ibunya sendiri.

Akibatnya Banyakcatra dan Banyakngampar seperti menemukan kasih sayang dari ibu yang hilang pada diri adiknya yang tumbuh semakin jelita itu. Kasih sayang dan keakraban antara Banyakcatra dan Banyakngampar dengan adiknya itu di luar kesadaran mereka, ternyata pelan-pelan telah menebarkan benih-benih cinta yang mencemaskan. Mereka sering tidak bisa menolak rasa rindu yang selalu muncul di kedalaman jiwa mereka. 

Sesungguhnya mereka takut kehilangan benih-benih cinta indah, yang pelan-pelan tumbuh tanpa mereka sadari. Alam bawah sadar memang sering mencuri kesadaran manusia. Dan itulah yang terjadi pada mereka bertiga. Selalu saja muncul kerinduan di antara mereka yang sulit ditolak. Banyakcatra, Banyakngampar, dan Ratna Pamekas, tanpa sadar terjebak dalam jaring-jaring cinta yang rawan dan berbahaya. Kemudian datanglah nasib malang menimpa Ratna Pamekas. Dia oleh adat dan tradisi Keraton, harus masuk pingitan. Tentu saja kemalangan yang dirasakan adik tirinya nya itu adalah juga kemalangan Banyakcatra dan Banyakngampar.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar