“Kalau begitu, tentu
saja Kamandaka cepat kaya,” kata Banyakngampar. “Tetapi kesalahan terbesar
tentulah pada para punggawa yang gemar bertaruh dalam permainan judi sabung
ayam. Coba seandainya Kadipaten melarang kebiasaan yang buruk itu. Kebiasaan
yang hanya menjual mimpi, dan merusak semangat kerja masyarakat. Orang-orang
yang meraih kekayaan dengan cara gampang seperti Kamandaka dan Kertisara, tidak
mungkin akan bermunculan di Kadipaten Pasirluhur. Orang-orang seperti Ki Sulap
Pangebatan dan pamannya Ki Kertisara bisa menjadi botoh handal, karena memang
ada orang-orang yang gemar membeli mimpi. Para botoh itulah yang menjual mimpi.”
“Dan di mana-mana para
penjual yang meraup keuntungan, bukan para pembeli. Dalam permainan judi,
pembeli sudah puas hanya dengan mimpi-mimpinya. Karena itulah Ayahanda Sri
Baginda Prabu Siliwangi sudah lama melarang berbagai bentuk perjudian seperti
permainan judi sabung ayam. Bahkan jika ada punggawa kerajaan yang ketahuan
main judi sabung ayam, langsung dipecat. Mestinya kebijakan Sri Baginda itu
diikuti di sini,” kata Banyakngampar. Ki Patih sepenuhnya sependapat dengan apa
yang dikatakan Banyakngampar itu.
“Sebaiknya Paman segera
mengusulkan kepada Kanjeng Adipati untuk melarang permainan sabung ayam dengan
taruhan. Para punggawa, lurah, dan seluruh aparat kadipaten harus menjadi
contoh. Pastilah penduduk akan mematuhinya. Paman juga sebaiknya cepat
mengerahkan pasukan untuk menangkap Kamandaka, sebelum dia menghilang” kata
Banyakngampar memberikan saran.
“Justru itulah yang
membuat pusing Paman. Menangkap Kamandaka bukan perkara mudah. Dia ternyata memiliki
ilmu tinggi. Waktu di Taman Kaputren, Kamandaka
dikepung dua puluh orang, dengan mudah dia bisa lolos. Bahkan lima orang
pengepungnya mengalami luka berat. Untuk mengirimkan pasukan ke Kaliwedi, belum
tentu berhasil. Kini Kamandaka punya pengikut yang banyak. Puluhan penyadap
yang dibantu Nyai Kertisara, tentu akan membela Kamandaka. Lagi pula Paman
tidak punya perwira cakap yang dapat diandalkan untuk melawan Kamandaka. Padahal
Kamandaka benar-benar menimbulkan ancaman serius. Jika Kamandaka menjalin kerja
sama dengan Kadipaten Wirasaba di sisi selatan Sungai Ciserayu dan sebelah
timur Sungai Cingcinggoling, dengan mudah Kamandaka bisa mengobarkan
pemberontakan melawan Kadipaten Pasirluhur. Apakah Raden akan membiarkan
Kadipaten Pasirluhur lepas dari Kerajaan Pakuan Pajajaran?”
Mendengar keluhan Ki
Patih, Banyakngampar termenung sejenak. Kesadarannya sebagai seorang Ksatria
Pajajaran tiba-tiba bangkit. Dia segera melihat, Kadipaten Pasirluhur sebagai
kadipaten ujung tombak wilayah timur Kerajaan Pajajaran berada dalam kondisi
mencemaskan. Jika Kerajaan Pajajaran tidak segera turun tangan, niscaya wilayah
Kerajaan Pajajaran di timur Citanduy akan lepas, mengikuti Kadipaten
Nusakambangan dan wilayah-wilayah lain di timur Sungai Ciserayu.
Banyakngampar
sebenarnya sudah pernah mendengar dari ayahnya yang menjelaskan riwayat wilayah
di sebelah timur Sungai Ciserayu. Wilayah itu pada mulanya merupakan wilayah
Kerajaan Galuh. Tetapi menjadi agak terbengkalai setelah Patih Bunisora
meninggal. Sedangkan Raja Galuh saat itu, Rahyang Niskala Wastu Kancana lebih
memperhatikan wilayah barat Kerajaan Galuh. Kondisi wilayah timur Lembah
Ciserayu yang agak terbengkalai itulah yang dimanfaatkan Kerajaan Majapahit
untuk melakukan ekspansi ke barat, menerobos Sungai Bhagalin sampai sisi timur
Sungai Ciserayu. Tak lama kemudian di wilayah sebelah timur Sungai Ciserayu berdiri sejumlah
kadipaten yang tunduk pada Kerajaan Majapahit.
Kadipaten Wirasaba
(1413 M) berhasil didirikan oleh para kentol,
yakni ksatria tingkat rendah tetapi memiliki kesaktian dan ahli ilmu bela diri,
yang dikirim dari Kadipaten Pengging. Salah seorang bekas kentol yang berhasil mendirikan sebuah kadipaten di sebelah timur
Sungai Cingcinggoling dan Ciserayu adalah Ki Gede Paguhan. Dia kemudian
diangkat oleh Raja Majapahit Wikramawardhana (1389-1429 M) menjadi Adipati
Wirasaba ke-1 dengan menyandang gelar Kanjeng Adipati Wira Utama.
“Benar demikian, Paman
Patih?” Banyakngampar menanyakan kepada Ki Patih Reksanata kebenaran riwayat
Kadipaten Wirasaba yang pernah disampaikan Sri Baginda Prabu Siliwangi
kepadanya. Banyakngampar sayup-sayup masih ingat penjelasan itu.
“Benar sekali, Raden,”
jawab Ki Patih. “Rupanya Sri Baginda Prabu Siliwangi masih terus mengikuti
perkembangan wilayah Kerajaan Pajajaran di Lembah Ciserayu. Kadipaten Wirasaba
memang harus kita waspadai. Terutama ambisinya untuk mengembangkan wilayah ke
sebelah barat Sungai Cingcinggoling dan Ciserayu. Sekarang ini penguasa
Kadipaten Wirasaba adalah Kanjeng Adipati Wirasaba V.”
“Penaklukan
wilayah-wilayah di lembah sebelah timur Ciserayu dilakukan dari Kadipaten
Pengging. Tidak mengherankan bahwa para penguasa kadipaten-kadipaten yang
muncul di sisi timur Lembah Ciserayu itu sebagian besar punya ikatan
kekerabatan dengan para penguasa Pengging. Ekspansi para kentol Pengging ke Lembah Ciserayu terhenti karena di sisi barat
Sungai Cingcinggoling dan Ciserayu ada Kadipaten Pasirluhur yang relatif kuat.”
“Kadipaten Pasirluhur memiliki
kemampuan memproduksi alat-alat perang, sehingga Kadipaten Wirasaba harus
berpikir masak-masak bila ingin melakukan ekspansi ke wilayah Kadipaten
Pasirluhur,” kata Ki Patih Reksanata membuat Banyakngampar semakin paham potensi
konflik yang tengah berkembang di Lembah Ciserayu yang subur itu.
“Keberadaan Kamandaka
dan aktivitasnya di Kaliwedi sebenarnya membingungkan,” kata Ki Patih kembali
menyinggung kegiatan Kamandaka.
“Pada satu sisi dia
meningkatkan kesejahteraan penduduk di sekitar wilayah segitiga Sungai
Cingcinggoling dan Ciserayu. Di lain pihak aktivitas Kamandaka bisa berbahaya
bila dia menjalin hubungan rahasia dengan Kadipaten Wirasaba. Itulah sebabnya,
Kanjeng Adipati menugaskan Ngabehi Nitipraja untuk terus mengawasi aktivitas
Kamandaka. Memang sejak ditugaskan, Ngabehi Nitipraja terus menyebar mata-mata
di Kaliwedi untuk mengawasi Kamandaka.”
“Tampaknya jika ananda
perhatikan situasinya sangat mengkhawatirkan, Paman,” kata Banyakngampar
setelah mendapat penjelasan panjang
lebar dari Ki Patih Reksanata.
”Jika Kanjeng Adipati
tidak keberatan, ananda sanggup menangkap Kamandaka. Tujuan ananda datang ke
Pasirluhur ini untuk mencari Kanda Banyakcatra. Tetapi selama ada Kamandaka
yang bisa menjadi sumber ancaman dan gangguan keamanan, tentu tidak mudah bagi
ananda untuk mencari Kanda Banyakcatra di seluruh wilayah Kadipaten
Pasirluhur.”
“Aduh, Raden. Sungguh
berterima kasih sekali Paman, bila benar Raden akan membantu menangkap
Kamandaka. Paman akan sediakan 200 prajurit pilihan Kadipaten Pasirluhur. Besok
Raden akan Paman ajak menghadap Kanjeng Adipati. Agar memudahkan Raden
mengendalikan prajurit Kadipaten Pasirluhur, Paman akan usulkan kepada Kanjeng
Adipati supaya Raden bisa ditetapkan menjadi seorang tumenggung. Apakah Raden
tidak keberatan?”
“Gagasan yang bagus,
Paman. Itulah memang yang ingin ananda usulkan,” kata Banyakngampar dengan
wajah berseri-seri. “Supaya tidak mencurigakan Kamandaka, ananda akan mengganti
nama dengan Silihwarna, Paman. Itulah nama samaran ananda selama ananda berada
di Pasirluhur. Usahakan hanya Paman dan Kanjeng Adipati yang tahu bahwa ananda
putra Sri Baginda Prabu Siliwangi. Sebab jika sampai Kamandaka tahu ada bantuan
dari Pajajaran, ananda khawatir
Kamandaka akan minta bantuan Kadipaten Wirasaba. Jika itu terjadi, tentu akan
membuka konflik dengan Kadipaten Wirasaba. Apalagi bila Kamandaka menghasut
Wirasaba untuk melakukan ekspansi ke wilayah barat Lembah Sungai Ciserayu,
keadaan akan tambah rumit.”
“Baiklah, Raden. Sebuah
nama yang indah, Silihwarna. Apakah perlu dibuatkan bubur merah-putih Raden?
Bila perlu besok Paman minta juru masak untuk membuatnya,” kata Ki Patih
berkelakar. Banyakngampar hanya tersenyum dan menjawab, bahwa semua itu tidak
perlu.
“Itu nama ananda waktu
di Padepokan Megamendung, Paman Patih,” kata Banyakngampar.Ki Patih malam itu
merasa senang, karena beban tugas yang dipikulnya kini ada yang bersedia
membantu.
“Raden, malam sudah larut. Barangkali Raden hendak istirahat. Besok
kita menghadap Kanjeng Adipati. Kita mantapkan lagi rencana penangkapan
Kamandaka,” kata Ki Patih Reksanata
menyampaikan saran. Banyakngampar menyetujui saran Ki Patih. Mereka berdua
bangkit dari tempat duduknya.
Ki Patih mengantarkan
Banyakngampar sampai di depan pintu serambi ruang tamu Dalem Kepatihan.
Kemudian membiarkan Banyakngampar melangkah sendiri menghilang ke dalam
gelapnya malam. Banyakngampar kembali ke kamar tamu yang berada di sisi kanan
Pendapa Kepatihan, tidak jauh dari pintu gerbang. Ketika melintasi halaman
pendapa menuju ruang tamu tempatnya beristirahat, dilihatnya langit sedang
bertaburan kerlipan cahaya bintang. Cahaya bulan tampak agak meredup, tertutup
mega-mega tipis.
“Pasti bulan itu juga tampak
jelas malam ini jika dilihat dari Keraton Pajajaran di Pakuan,” kata
Banyakngampar sambil menatap langit ke arah barat, ke arah Kerajaan
Pajajaran.
“Alangkah jauhnya Kanda
Banyakcatra harus melintasi jalan yang terbentang antara Kadipaten Pasirluhur
dan Pakuan Pajajaran. Bila memang benar Kanda Banyakcatra pernah mengunjungi
Pasirluhur. Sudah lima tahun aku tidak pernah bertemu Kanda Banyakcatra. Hem,
seperti apakah dia sekarang ini, tambah gemukkah? Tambah kuruskah? Demi
sekeping cinta pada wanita, Kanda Banyakcatra rela bersusah payah meninggalkan
Pakuan.”
Tak terasa mata
Banyakngampar basah oleh air mata. Dia teringat akan masa-masa penuh bahagia ketika
mereka masih berkumpul bersama-sama di Keraton Pakuan Pajajaran. Banyakngampar
menghentikan langkahnya di halaman serambi ruang tamu tempatnya bermalam. Tidak
jauh dari situ, di bawah pohon kecik terletak tempat duduk dari kayu mahoni
nampak samar-samar dalam keremangan cahaya bulan. Banyakngampar segera
melangkah, kemudian duduk di situ.
Dia ingin sekali
walaupun barang sejenak menyaksikan awan putih yang berarak-arakan berjalan
pelan melintasi langit malam Kadipaten Pasirluhur. Awan bergerak pelan, hanya sejenak
menutupi cahaya bulan, disaksikan bintang-bintang berkerlap-kerlip di kejauhan.
Alangkah indah langit yang dilihatnya malam itu. Pada saat seperti itu, tentu
saja dia teringat saat-saat indah bersama kakaknya Banyakcatra dan adik tirinya
Banyakbelabur. Mereka bertiga tinggal bersama di Taman Kaputran Keraton
Pajajaran. Mereka bertiga walaupun berbeda ibu sangat akrab.
Sering kali adiknya,
Ratna Pamekas yang tinggal di tempat terpisah agak jauh di Taman Kaputren mendatangi
mereka, kakak-kakaknya. Di mata kakak-kakaknya itu, Ratna Pamekas memang agak
bandel. Aturan rumah tangga istana, anak perempuan tidak boleh mendatangi tempat
tinggal saudara-saudara laki-lakinya yang tinggal di Taman Kaputran. Tetapi
anak laki-laki boleh mengunjungi saudara-saudara perempuannya yang tinggal di
Taman Kaputren. Namun aturan itu sering dilanggar Ratna Pamekas. Banyakbelabur
sering marah-marah melihat kebandelan adiknya itu. Dia sering menyuruhnya
kembali ke Taman Kaputren, bila tahu adik perempuannya itu datang. Sebaliknya,
Banyakcatra dan Banyakngampar malah sering membela adik tirinya itu. Tentu saja
Ratna Pamekas merasa senang karena ada jagoan yang melindunginya.
Yang terjadi kemudian
mereka bertiga, Banyakcatra, Banyakngampar, dan Ratna Pamekas, mengembangkan hubungan
menjadi lebih akrab, saling sayang menyayangi dan saling kasih mengasihi dalam
hubungan kakak dan adik. Sementara hubungan Ratna Pamekas dengan kakak
kandungnya sendiri, malah semakin hambar. Tentu saja Banyakbelabur sering iri
melihat keakraban hubungan adik kandungnya dengan kakak tirinya itu. Lebih-lebih
Banyakbelabur sering tahu jika Banyakcatra atau Banyakngampar datang menemui
adiknya, Ratna Pamekas nampak gembira dan menyambutnya dengan wajah ceria.
Sering adiknya itu dengan suka rela mau memijit Banyakcatra atau Banyakngampar
yang mendatangi kamarnya, sekedar untuk menggoda dengan pura-pura mengatakan
lelah karena baru pulang dari latihan dasar keprajuritan.
Tetapi terhadap
Banyakbelabur, kakak kandungnya sendiri, jika kakak kandungnya itu minta
dipijit, Ratna Pamekas segera menyuruh salah seorang pengasuhnya yang biasa
memijat dirinya. Jika ingat semua itu, Banyakngampar sering tertawa sendiri.
”Siapa sih pria yang
tidak senang dipijit gadis cantik seperti Dinda Ratna Pamekas?” kata
Banyakngampar saat mengenang adik tirinya yang ada di Taman Kaputren Keraton
Pajajaran.
Memang pada saat
seseorang sedang dalam kesendiriannya, angan-angannya dapat dipastikan akan melayang-layang
ke mana saja. Mengenang apa yang dapat dikenang, dan mengingat apa yang dapat
diingat. Dan paling menyenangkan tentu saja mengingat saat-saat indah bersama
orang yang dirindukannya. Hubungan yang indah dan mesra antara mereka bertiga sebenarnya
berkembang menjadi rumit setelah ibu Banyakcatra dan Banyakngampar meninggal.
Mereka berdua kehilangan kasih sayang dan cinta sejati seorang ibu kepada
anaknya. Sementara itu Ratna Pamekas,
tumbuh menjadi gadis yang semakin cantik. Anehnya, kecantikan dan kejelitaan
Ratna Pamekas malah mirip mendiang ibu Banyakcatra dan Banyakngampar, dari pada
kecantikan ibunya sendiri.
Akibatnya Banyakcatra
dan Banyakngampar seperti menemukan kasih sayang dari ibu yang hilang pada diri
adiknya yang tumbuh semakin jelita itu. Kasih sayang dan keakraban antara
Banyakcatra dan Banyakngampar dengan adiknya itu di luar kesadaran mereka, ternyata
pelan-pelan telah menebarkan benih-benih cinta yang mencemaskan. Mereka sering
tidak bisa menolak rasa rindu yang selalu muncul di kedalaman jiwa mereka.
Sesungguhnya mereka
takut kehilangan benih-benih cinta indah, yang pelan-pelan tumbuh tanpa mereka
sadari. Alam bawah sadar memang sering mencuri kesadaran manusia. Dan itulah yang
terjadi pada mereka bertiga. Selalu saja muncul kerinduan di antara mereka yang
sulit ditolak. Banyakcatra, Banyakngampar, dan Ratna Pamekas, tanpa sadar terjebak
dalam jaring-jaring cinta yang rawan dan berbahaya. Kemudian datanglah nasib
malang menimpa Ratna Pamekas. Dia oleh adat dan tradisi Keraton, harus masuk
pingitan. Tentu saja kemalangan yang dirasakan adik tirinya nya itu adalah juga
kemalangan Banyakcatra dan Banyakngampar.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar