Pagi hari masih
berkabut ketika Silihwarna dan Ki Patih Reksanata tiba di halaman Dalem
Kadipaten. Butiran-butiran embun bening pagi hari masih betah bergelantungan di
pucuk-pucuk pohon tanjung yang banyak tumbuh menghiasi halaman Dalem Kadipaten.
Sisa-sisa harum bunga tanjung yang menyebar semerbak semalam masih sempat
dihirup Silihwarna dan Ki Patih Reksanata. Demikian pula aroma bunga melati
yang banyak bermekaran di kaki-kaki pagar dinding tembok.
Silihwarna atau
Banyakngampar memandang dengan takjub sinar matahari pagi indah kemilau, yang
dengan susah payah mencoba menyibakkan kabut pagi. Pelan-pelan kabut pagi yang
pekat itu mulai menyingkir, sehingga cahaya matahari pagi keperak-perakan ada
yang sudah mulai menghangati rumput dan pohon perdu di pinggir halaman Dalem
Kadipaten.
Ki Patih Reksanata
mempercepat langkahnya, sehingga Silihwarna yang berjalan di belakang Ki Patih
terpaksa menyesuaikan diri mengikuti langkah-langkah Ki Patih. Mereka berdua
langsung berjalan menuju tempat tinggal Kanjeng Adipati Pasirluhur yang
terletak di belakang Pendapa Kadipaten. Betapa gembira Kanjeng Adipati
Kandhadaha menerima mereka berdua. Banyakngampar atau Silihwarna disambut
dengan perasaan suka cita. Lebih-lebih setelah Sang Adipati diberitahu, bahwa
maksud kedatangan Silihwarna ke Pasirluhur itu hendak membantu Ki Patih
Reksanata yang mengemban tugas berat dari Sang Adipati, yakni menangkap
Kamandaka.
Kanjeng Adipati
Kandhadaha berperawakan tinggi besar, berdada bidang, dan perkasa, sebagaimana
umumnya para ksatria dari lembah Ciserayu. Silihwarna menaksir usia Sang
Adipati itu sedikit di atas ayahandanya Sri Baginda Prabu Siliwangi. Pandangan
matanya tajam, dahinya lebar, alisnya tipis, demikian pula kumisnya. Hidungnya
mancung dan jarang tersenyum, namun tetap mempertahankan keramah-tamahannya sehingga
secara keseluruhan Kanjeng Adipati tampak berwibawa. Kanjeng Adipati memiliki
jaringan kekerabatan luas dengan sejumlah adipati, bukan hanya dengan para
adipati di sebelah timur Citanduy, tetapi juga dengan para adipati di sebelah
baratnya. Adipati Imbanegara dan Sukapura, masih kerabat dekat Sang Adipati.
Demikian pula Adipati Dayeuhluhur, Ayah, Kaleng, dan Patanahan.
Ketika Sri Baginda
Prabu Siliwangi naik tahta Kerajaan Pajajaran, Kadipaten Pasirluhur dijadikan
ujung tombak untuk membendung ekspansi Kadipaten Wirasaba yang berada di sisi
timur Sungai Ciserayu. Setelah Majapahit jatuh, Kadipaten Wirasaba mengakui
kekuasaan Kerajaan Hindu Kediri.
Sri Baginda Prabu
Siliwangi juga menunjuk Adipati Dayeuhluhur untuk membendung ekspansi Kerajaan
Nusakambangan yang mempunya ambisi teritorial untuk menguasai wilayah antara
muara Sungai Citanduy dan Sungai Ciserayu. Kerajaan Nusakambangan memang telah
berkembang menjadi kerajaan yang kuat di Lautan Selatan. Kadipaten Kalipucang
dan Kadipaten Banakeling telah jatuh ke tangan Kerajaan Nusakambangan, dan
telah dihapus sebagai sebuah kadipaten.Sementara itu,
Kadipaten Galuh ditetapkan oleh Sang Prabu Siliwangi sebagai kordinator semua
kadipaten yang ada di sebelah timur Sungai Citanduy. Itulah sebabnya Adipati
Pasirluhur jarang berhubungan langsung dengan Sri Baginda Prabu Siliwangi di
Pakuan. Hubungan yang bersifat langsung hanya dengan Kadipaten Galuh. Karena
itu kedatangan Silihwarna disambut dengan gembira oleh Sang Adipati Pasirluhur. Kicau burung yang berlompat-lompatan
dari dahan ke dahan pada pohon-pohon perindang di halaman Dalem Kadipaten masih
sering terdengar dari ruang tamu Dalem Gede Kadipaten. Silihwarna menikmati
pagi yang indah itu sambil berbincang bincang dengan Kanjeng Adipati dan Ki
Patih.
“Sungguh, Raden tiba
pada saat yang tepat. Saat ketika Kadipaten Pasirluhur sedang menghadapi
masalah rumit. Memang sempat terpikir melaporkan dan mohon bantuan secara
langsung kepada Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pajajaran, bila situasi
berkembang semakin pelik. Tetapi Ki Patih kemarin masih menyanggupi dan minta
waktu agar bisa secepatnya menangkap Si Kamandaka itu. Hidup atau mati,” kata
Kanjeng Adipati.
“Ya, ini yang namanya pucuk dicinta ulam tiba.
Betul begitu, Ki Patih?” kata Kanjeng Adipati sambil menengok Ki Patih. Tetapi
pikiran Ki Patih masih melayang-layang ingat kejadian kemarin. Kejadian ketika
Ki Patih beberapa kali dipojokkan Kanjeng Adipati. Tapi akhirnya Ki Patih
menjawab juga dengan anggukan dan senyuman tipis mengembang di bibir tuanya. Setidak-tidaknya
untuk sementara, beban berat yang dipikul pundaknya sudah ada yang meringankan.
Wajah Kanjeng Adipati pun tampak gembira. Jauh berbeda dengan pertemuan
kemarin.
“Sri Baginda Prabu
Siliwangi menyampaikan salam untuk Kanjeng Adipati,” kata Silihwarna dengan
nada suara merendah.
“Oh, terima kasih,
Raden. Salam kembali untuk Sri Baginda Raja. Sudah lama sebenarnya Uwa ingin menghadap Sri Baginda Prabu
Siliwangi di Pakuan, tetapi selalu tertunda-tunda terus,” kata Kanjeng Adipati
dengan nada suara bersahabat. ”Bagaimana keadaan Sri Baginda, Raden?”
“Ayahanda Sri Baginda
dalam keadaan sehat dan sejahtera, berada dalam lindungan para dewa,” jawab
Silihwarna. ”Hanya akhir-akhir ini sebenarnya Sri Baginda agak prihatin dengan
munculnya Kerajaan Islam Demak yang mengancam bandar-bandar kaya dan makmur Kerajaan Pajajaran di pantai utara, Kanjeng
Adipati.”
“Ya, salah satu sebab Uwa belum bisa menghadap Sri Baginda,
antara lain juga karena Uwa harus
terus mewaspadai Kadipaten Wirasaba. Untuk sementara waktu Wirasaba tidak akan
berani memperluas wilayah dengan menyeberangi Sungai Ciserayu, sebab Wirasaba
harus membantu memperkuat Kadipaten Pengging dari kemungkinan diserbu Demak,”
kata Kanjeng Adipati.
“Tetapi menurut
perkiraan Uwa, cepat atau lambat,
setelah Demak menguasai bandar-bandar di sebelah timur dan barat Demak, pastilah
Demak akan menyerang Kediri dan Pengging. Jika Pengging jatuh, Wirasaba juga
akan jatuh. Masih ada waktu bagi Kadipaten Pasirluhur untuk memperkuat
pertahanannya menghadapi kemungkinan terburuk konflik Demak dengan Kediri,”
kata Kanjeng Adipati menjelaskan posisi
Kadipaten Pasirluhur di tengah-tengah konflik antara Kerajaan Islam Demak dan
Kerajaan Hindu Kediri yang muncul setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit (1478 M).
Silihwarna
mendengarkan perbincangan dua tokoh utama Kadipaten Pasirluhur itu. Bagi
Silihwarna perbincangan itu cukup menarik. Sebab jika kelak Kanjeng Adipati
menyetujui usul Ki Patih mengangkat dirinya menjadi salah seorang
tumenggung Kadipaten Pasirluhur, semua pokok masalah yang diperbincangkan itu
akan memudahkan Silihwarna melaksanakan tugasnya.
Ki
Patih Reksanata mengangkat wajahnya bermaksud mengutarakan pendapatnya. Lalu terdengar
suara Ki Patih berkata merendah, ”Tetapi, Wirasaba juga harus berpikir beberapa
kali jika ingin melakukan ekspansi melintasi Sungai Ciserayu, Kanjeng Adipati. Wirasaba
pasti tahu, Kadipaten Pasirluhur memiliki kemampuan membuat alat-alat perang.”
“Benar
Ki Patih, tapi senjata juga tak banyak gunanya jika orang yang memegang senjata
itu tak dapat menggunakannya dengan baik. Aku melihat daya tempur prajurit
Kadipaten Pasirluhur sesungguhnya sedang menurun. Untungnya Wirasaba tidak
mengetahui. Lagi pula mereka sedang sibuk menghadapi Demak,” kata Kanjeng
Adipati dengan wajah sedikit murung.
“Kita
memerlukan ksatria yang cakap untuk melatih dan menggembleng prajurit-prajurit
kita, sehingga mereka memiliki semangat tempur yang tinggi. Kita harus ingat bahwa
kita menghadapi ancaman di masa depan dari dua arah,” Kanjeng Adipati
menjelaskan. “Ancaman pertama dari arah timur, dari Kadipaten Wirasaba. Ancaman
kedua dari arah selatan, dari Kerajaan Nusakambangan yang baru muncul.”
“Eh,
Raden mau minum apa?” tanya Kanjeng Adipati tiba-tiba, ketika muncul seorang
pelayan wanita membawa baki minuman dan makanan olahan dari ketela pohon
dicampur parutan kelapa muda. ”Ini minuman dari jahe rebus pakai gula
kelapa. Kalau Raden menghendaki, arak juga ada. Arak dari Sunda Kelapa, mau
Raden?”
“Cukup
minuman wedang jahe saja, Kanjeng Adipati. Tadi pagi sudah sarapan dengan
minuman air nira di Dalem Kepatihan. Hebat juga Kanjeng Adipati punya simpanan
arak Sunda Kelapa,” jawab Silihwarna.
“Kiriman
dari Adipati Imbanegara. Adipati Imbanegara itu masih kerabat dekat Uwa,” kata Kanjeng Adipati. ”Arak Sunda
Kelapa paling bagus kualitasnya. Kabarnya arak Sunda Kelapa banyak dicari
pedagang-pedagang dari China, India, Parsi, dan Arab yang singgah di Bandar
Sunda Kelapa.”
“Betul
sekali, Kanjeng Adipati. Bandar Sunda Kelapa semakin ramai saja. Semakin banyak
pedagang Asia singgah di Bandar Sunda Kelapa. Mereka gemar memborong arak dari
Sunda Kelapa. Manfaatnya banyak sekali. Berkhasiat sebagai obat. Di
Padepokan Megamendung digunakan untuk obat patah tulang dan terkilir. Tetapi
jika diminum bukan untuk obat, bisa membuat orang mabuk. Makanya Ayahanda Sri
Baginda melarang para prajurit Pajajaran minum arak. Hanya diijinkan diminum
jika untuk obat perut kembung, masuk angin, terkilir, atau patah tulang. Orang
China yang datang ke Sunda Kelapa pandai mengolah lebih lanjut arak Sunda
Kelapa itu menjadi anggur hitam,“ kata Silihwarna menjelaskan.
“Arak
Sunda Kelapa itu juga diolah dari air nira. Orang-orang China yang bermukim di sekitar
Bandar Banten dan Sunda Kelapa banyak yang punya kepandaian mengolah air nira
menjadi arak,” Silihwarna melanjutkan penjelasannya. Dulu Silihwarna sering
hilir mudik Pakuan-Sunda Kelapa bersama adik tirinya, Banyakbelabur.
“Di
sini air nira dibuat dari pohon kelapa dan aren,” kata Ki Patih Reksanata memotong
pembicaraan Banyakngampar, “Diolah menjadi gula kelapa dan gula aren. Gunanya
untuk penyedap sayuran, pemanis aneka jenis makanan olahan dari ketela, dan
keperluan lainnya lagi. Bisa juga untuk pemanis minuman, seperti pemanis
rebusan jahe ini, Raden.”
“Di
Pakuan Pajajaran juga ada orang yang mengolah nira. Di sana disebut lahang.
Tetapi tidak banyak. Untuk pemanis minuman lebih sering digunakan gula dari
batang tebu. Itu pun harus didatangkan dari Sunda Kelapa, karena kebanyakan
orang-orang China juga yang pandai mengolah air tebu menjadi gula merah dan
gula batu,” kata Silihwarna.
Perbincangan
terhenti ketika Kanjeng Adipati mengajak Ki Patih dan Silihwarna minum wedang
jahe. Mereka pun minum bersama-sama. Kanjeng Adipati juga mengajak mereka
menikmati makanan olahan dari ketela yang disebut kue ciwel, hasil olahan
juru masak Dalem Kadipaten Pasirluhur. Silihwarna sangat menikmati kue ciwel yang
disantap dengan parutan kelapa muda itu. Tiba-tiba muncul pikiran Silihwarna
kalau kelak kembali ke Pakuan akan membelikan oleh-oleh gula kelapa atau gula
aren yang bisa dijadikan bahan pemanis air rebusan jahe itu.
“Hem,
pastilah Dinda Ratna Pamekas senang sekali kalau kelak aku bawakan oleh-oleh
gula kelapa dan gula aren dari Kadipaten Pasirluhur,” bisiknya di dalam hati.
Sepintas bayangan wajah adik tirinya yang cantik jelita itu muncul di
depan pelupuk matanya.
“Kanjeng
Adipati, lezat benar minuman dengan pemanis gula kelapa. Adakah di pasar
Kadipaten Pasirluhur gula kelapa dan gula aren mudah didapat?” tanya
Silihwarna. Bayangan adik tirinya pun lenyap.
“Di
pasar Karanglewas dan pasar Pangebatan banyak dijual, Raden. Konon pemasoknya
adalah….” Tiba-tiba Ki Patih ingat Nyai Kertisara dan Kamandaka yang mengganti
namanya dengan Ki Sulap Pangebatan. Karena itu Ki Patih tidak melanjutkannya.
Tetapi Kanjeng Adipati mampu menangkap apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran
Ki Patih. Kanjeng Adipati segera berkata kepada Silihwarna.
“Itulah
Raden, betapa bahayanya Si Kamandaka yang telah mengubah namanya jadi Ki Sulap
Pangebatan,” kata Kanjeng Adipati. “Dengan kekayaan yang diperolehnya dari
gelanggang sabung ayam, dia mengajari Nyai Kertisara dan adiknya menjadi
pengusaha gula kelapa dan gula aren. Ratusan pohon kelapa dan aren yang tumbuh
di sepanjang tepi Sungai Ciserayu ke timur sampai Sungai Cingcinggoling telah disewanya.”
“Ratusan
penyadap dari grumbul di segitiga Sungai Ciserayu dan Sungai Cingcinggoling
dikerahkannya untuk menderes. Istri-istri mereka juga didorong untuk
mengolahnya di rumah masing-masing jadi gula. Hasilnya dibeli oleh Nyai
Kertisara dan dipasarkan bukan hanya ke pasar Pangebatan. Tetapi ke semua pasar
yang ada di Kadipaten Pasirluhur. Bahkan gula aren dan gula kelapa yang dijual
di pasar Karanglewas dan Pangebatan, sebagian besar dipasok Nyai Kertisara.”
Kanjeng Adipati melanjutkan dengan nada
suara mengandung kecemasan.
Silihwarna
langsung memotong, ”Apakah gula aren dan gula kelapa yang dibeli dari pasar
Karanglewas juga hasil olahan mereka?”
“Mungkin
saja! Bukankah tidak mudah membedakannya jika sudah berada di pasar?” jawab
Kanjeng Adipati.
“Menurut
juru masak kepatihan,” Ki Patih ikut menjelaskan, ”Gula kelapa pasokan Nyai
Kertisara kualitasnya baik, warnanya lebih menarik. Tidak coklat tua, tetapi
berwarna kuning seperti warna kuning kulit jahe, sehingga lebih menarik.”
“Kenapa
penyadap itu mudah sekali ditarik ke dalam bisnis Nyai Kertisara?” tanya
Silihwarna penasaran.
“Ya,
karena Kamandaka membagikan kepada mereka secara gratis semua peralatan untuk
menderes. Penduduk yang berminat sudah cukup kalau hanya memiliki keterampilan
memanjat pohon kelapa. Pongkor, sabit, sampai kain lancing, diberikan secara
gratis. Nyai Kertisara juga aktif mengajari istri para penyadap itu cara-cara
yang baik dan benar dalam mengolah air nira menjadi gula,” kata Ki Patih
menjawab pertanyaan Silihwarna.
“Apakah
Kamandaka pernah tinggal di sekitar Pakuan, Paman? Kalau Kamandaka belum
pernah, agak mengherankan. Kenapa cara-cara yang dilakukan Kamandaka mendorong
penduduk agar giat dalam usaha produksi, mirip dengan apa yang dilakukan Ayahanda
Sri Baginda? Sri Baginda saat itu mendorong para petani giat menanam lada dan
pala di ladang-ladang dan kebun mereka. Sri Baginda juga menampung dan membeli
hasil panen para petani. Demikian pula pemasarannya ditangani para petugas yang
ditunjuk Sri Baginda. Bedanya hanya jenis barang yang dihasilkannya.”
“Sepengetahuan
Paman Patih belum pernah. Memang pengakuannya sih berasal dari lereng Tangkuban
Perahu. Tetapi Paman yakin, Kamandaka berbohong. Menurut dugaan Paman,
Kamandaka itu pemuda berasal dari grumbul di sekitar Gunung Tugel, di sebelah
utara Sungai Ciserayu. Bukankah paman Kamandaka, Ki Kertisara, berasal dari
sana?” jawab Ki Patih meyakinkan Silihwarna.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar