Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 14 Juli 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (26)



Pagi hari masih berkabut ketika Silihwarna dan Ki Patih Reksanata tiba di halaman Dalem Kadipaten. Butiran-butiran embun bening pagi hari masih betah bergelantungan di pucuk-pucuk pohon tanjung yang banyak tumbuh menghiasi halaman Dalem Kadipaten. Sisa-sisa harum bunga tanjung yang menyebar semerbak semalam masih sempat dihirup Silihwarna dan Ki Patih Reksanata. Demikian pula aroma bunga melati yang banyak bermekaran di kaki-kaki pagar dinding tembok.

Silihwarna atau Banyakngampar memandang dengan takjub sinar matahari pagi indah kemilau, yang dengan susah payah mencoba menyibakkan kabut pagi. Pelan-pelan kabut pagi yang pekat itu mulai menyingkir, sehingga cahaya matahari pagi keperak-perakan ada yang sudah mulai menghangati rumput dan pohon perdu di pinggir halaman Dalem Kadipaten.

Ki Patih Reksanata mempercepat langkahnya, sehingga Silihwarna yang berjalan di belakang Ki Patih terpaksa menyesuaikan diri mengikuti langkah-langkah Ki Patih. Mereka berdua langsung berjalan menuju tempat tinggal Kanjeng Adipati Pasirluhur yang terletak di belakang Pendapa Kadipaten. Betapa gembira Kanjeng Adipati Kandhadaha menerima mereka berdua. Banyakngampar atau Silihwarna disambut dengan perasaan suka cita. Lebih-lebih setelah Sang Adipati diberitahu, bahwa maksud kedatangan Silihwarna ke Pasirluhur itu hendak membantu Ki Patih Reksanata yang mengemban tugas berat dari Sang Adipati, yakni menangkap Kamandaka. 

Kanjeng Adipati Kandhadaha berperawakan tinggi besar, berdada bidang, dan perkasa, sebagaimana umumnya para ksatria dari lembah Ciserayu. Silihwarna menaksir usia Sang Adipati itu sedikit di atas ayahandanya Sri Baginda Prabu Siliwangi. Pandangan matanya tajam, dahinya lebar, alisnya tipis, demikian pula kumisnya. Hidungnya mancung dan jarang tersenyum, namun tetap mempertahankan keramah-tamahannya sehingga secara keseluruhan Kanjeng Adipati tampak berwibawa. Kanjeng Adipati memiliki jaringan kekerabatan luas dengan sejumlah adipati, bukan hanya dengan para adipati di sebelah timur Citanduy, tetapi juga dengan para adipati di sebelah baratnya. Adipati Imbanegara dan Sukapura, masih kerabat dekat Sang Adipati. Demikian pula Adipati Dayeuhluhur, Ayah, Kaleng, dan Patanahan. 

Ketika Sri Baginda Prabu Siliwangi naik tahta Kerajaan Pajajaran, Kadipaten Pasirluhur dijadikan ujung tombak untuk membendung ekspansi Kadipaten Wirasaba yang berada di sisi timur Sungai Ciserayu. Setelah Majapahit jatuh, Kadipaten Wirasaba mengakui kekuasaan Kerajaan Hindu Kediri.

Sri Baginda Prabu Siliwangi juga menunjuk Adipati Dayeuhluhur untuk membendung ekspansi Kerajaan Nusakambangan yang mempunya ambisi teritorial untuk menguasai wilayah antara muara Sungai Citanduy dan Sungai Ciserayu. Kerajaan Nusakambangan memang telah berkembang menjadi kerajaan yang kuat di Lautan Selatan. Kadipaten Kalipucang dan Kadipaten Banakeling telah jatuh ke tangan Kerajaan Nusakambangan, dan telah dihapus sebagai sebuah kadipaten.Sementara itu, Kadipaten Galuh ditetapkan oleh Sang Prabu Siliwangi sebagai kordinator semua kadipaten yang ada di sebelah timur Sungai Citanduy. Itulah sebabnya Adipati Pasirluhur jarang berhubungan langsung dengan Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pakuan. Hubungan yang bersifat langsung hanya dengan Kadipaten Galuh. Karena itu kedatangan Silihwarna disambut dengan gembira oleh Sang Adipati Pasirluhur. Kicau burung yang berlompat-lompatan dari dahan ke dahan pada pohon-pohon perindang di halaman Dalem Kadipaten masih sering terdengar dari ruang tamu Dalem Gede Kadipaten. Silihwarna menikmati pagi yang indah itu sambil berbincang bincang dengan Kanjeng Adipati dan Ki Patih. 

“Sungguh, Raden tiba pada saat yang tepat. Saat ketika Kadipaten Pasirluhur sedang menghadapi masalah rumit. Memang sempat terpikir melaporkan dan mohon bantuan secara langsung kepada Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pajajaran, bila situasi berkembang semakin pelik. Tetapi Ki Patih kemarin masih menyanggupi dan minta waktu agar bisa secepatnya menangkap Si Kamandaka itu. Hidup atau mati,” kata Kanjeng  Adipati.

 “Ya, ini yang namanya pucuk dicinta ulam tiba. Betul begitu, Ki Patih?” kata Kanjeng Adipati sambil menengok Ki Patih. Tetapi pikiran Ki Patih masih melayang-layang ingat kejadian kemarin. Kejadian ketika Ki Patih beberapa kali dipojokkan Kanjeng Adipati. Tapi akhirnya Ki Patih menjawab juga dengan anggukan dan senyuman tipis mengembang di bibir tuanya. Setidak-tidaknya untuk sementara, beban berat yang dipikul pundaknya sudah ada yang meringankan. Wajah Kanjeng Adipati pun tampak gembira. Jauh berbeda dengan pertemuan kemarin.

“Sri Baginda Prabu Siliwangi menyampaikan salam untuk Kanjeng Adipati,” kata Silihwarna dengan nada suara merendah.

“Oh, terima kasih, Raden. Salam kembali untuk Sri Baginda Raja. Sudah lama sebenarnya Uwa ingin menghadap Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pakuan, tetapi selalu tertunda-tunda terus,” kata Kanjeng Adipati dengan nada suara bersahabat. ”Bagaimana keadaan Sri Baginda, Raden?”

“Ayahanda Sri Baginda dalam keadaan sehat dan sejahtera, berada dalam lindungan para dewa,” jawab Silihwarna. ”Hanya akhir-akhir ini sebenarnya Sri Baginda agak prihatin dengan munculnya Kerajaan Islam Demak yang mengancam bandar-bandar kaya dan makmur  Kerajaan Pajajaran di pantai utara, Kanjeng Adipati.”

“Ya, salah satu sebab Uwa belum bisa menghadap Sri Baginda, antara lain juga karena Uwa harus terus mewaspadai Kadipaten Wirasaba. Untuk sementara waktu Wirasaba tidak akan berani memperluas wilayah dengan menyeberangi Sungai Ciserayu, sebab Wirasaba harus membantu memperkuat Kadipaten Pengging dari kemungkinan diserbu Demak,” kata Kanjeng Adipati.

“Tetapi menurut perkiraan Uwa, cepat atau lambat, setelah Demak menguasai bandar-bandar di sebelah timur dan barat Demak, pastilah Demak akan menyerang Kediri dan Pengging. Jika Pengging jatuh, Wirasaba juga akan jatuh. Masih ada waktu bagi Kadipaten Pasirluhur untuk memperkuat pertahanannya menghadapi kemungkinan terburuk konflik Demak dengan Kediri,” kata Kanjeng Adipati menjelaskan posisi Kadipaten Pasirluhur di tengah-tengah konflik antara Kerajaan Islam Demak dan Kerajaan Hindu Kediri yang muncul setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit (1478 M).

Silihwarna mendengarkan perbincangan dua tokoh utama Kadipaten Pasirluhur itu. Bagi Silihwarna perbincangan itu cukup menarik. Sebab jika kelak Kanjeng Adipati menyetujui usul Ki Patih mengangkat dirinya menjadi salah seorang tumenggung Kadipaten Pasirluhur, semua pokok masalah yang diperbincangkan itu akan memudahkan Silihwarna melaksanakan tugasnya.

Ki Patih Reksanata mengangkat wajahnya bermaksud mengutarakan pendapatnya. Lalu terdengar suara Ki Patih berkata merendah, ”Tetapi, Wirasaba juga harus berpikir beberapa kali jika ingin melakukan ekspansi melintasi Sungai Ciserayu, Kanjeng Adipati. Wirasaba pasti tahu, Kadipaten Pasirluhur memiliki kemampuan membuat alat-alat perang.”

“Benar Ki Patih, tapi senjata juga tak banyak gunanya jika orang yang memegang senjata itu tak dapat menggunakannya dengan baik. Aku melihat daya tempur prajurit Kadipaten Pasirluhur sesungguhnya sedang menurun. Untungnya Wirasaba tidak mengetahui. Lagi pula mereka sedang sibuk menghadapi Demak,” kata Kanjeng Adipati dengan wajah sedikit murung.

“Kita memerlukan ksatria yang cakap untuk melatih dan menggembleng prajurit-prajurit kita, sehingga mereka memiliki semangat tempur yang tinggi. Kita harus ingat bahwa kita menghadapi ancaman di masa depan dari dua arah,”  Kanjeng Adipati menjelaskan. “Ancaman pertama dari arah timur, dari Kadipaten Wirasaba. Ancaman kedua dari arah selatan, dari Kerajaan Nusakambangan yang baru muncul.”

“Eh, Raden mau minum apa?” tanya Kanjeng Adipati tiba-tiba, ketika muncul seorang pelayan wanita membawa baki minuman dan makanan olahan dari ketela pohon dicampur parutan kelapa muda. ”Ini minuman dari  jahe rebus pakai gula kelapa. Kalau Raden menghendaki, arak juga ada. Arak dari Sunda Kelapa, mau Raden?”

“Cukup minuman wedang jahe saja, Kanjeng Adipati. Tadi pagi sudah sarapan dengan minuman air nira di Dalem Kepatihan. Hebat juga Kanjeng Adipati punya simpanan arak Sunda Kelapa,”  jawab Silihwarna.

“Kiriman dari Adipati Imbanegara. Adipati Imbanegara itu masih kerabat dekat Uwa,” kata Kanjeng Adipati. ”Arak Sunda Kelapa paling bagus kualitasnya. Kabarnya arak Sunda Kelapa banyak dicari pedagang-pedagang dari China, India, Parsi, dan Arab yang singgah di Bandar Sunda Kelapa.” 

“Betul sekali, Kanjeng Adipati. Bandar Sunda Kelapa semakin ramai saja. Semakin banyak pedagang Asia singgah di Bandar Sunda Kelapa. Mereka gemar memborong arak dari Sunda Kelapa. Manfaatnya banyak sekali. Berkhasiat sebagai obat. Di Padepokan Megamendung digunakan untuk obat patah tulang dan terkilir. Tetapi jika diminum bukan untuk obat, bisa membuat orang mabuk. Makanya Ayahanda Sri Baginda melarang para prajurit Pajajaran minum arak. Hanya diijinkan diminum jika untuk obat perut kembung, masuk angin, terkilir, atau patah tulang. Orang China yang datang ke Sunda Kelapa pandai mengolah lebih lanjut arak Sunda Kelapa itu menjadi anggur hitam,“  kata Silihwarna menjelaskan.

“Arak Sunda Kelapa itu juga diolah dari air nira. Orang-orang China yang bermukim di sekitar Bandar Banten dan Sunda Kelapa banyak yang punya kepandaian mengolah air nira menjadi arak,” Silihwarna melanjutkan penjelasannya. Dulu Silihwarna sering hilir mudik Pakuan-Sunda Kelapa bersama adik tirinya, Banyakbelabur.

“Di sini air nira dibuat dari pohon kelapa dan aren,” kata Ki Patih Reksanata memotong pembicaraan Banyakngampar, “Diolah menjadi gula kelapa dan gula aren. Gunanya untuk penyedap sayuran, pemanis aneka jenis makanan olahan dari ketela, dan keperluan lainnya lagi. Bisa juga untuk pemanis minuman, seperti pemanis rebusan jahe ini, Raden.”

“Di Pakuan Pajajaran juga ada orang yang mengolah nira. Di sana disebut lahang. Tetapi tidak banyak. Untuk pemanis minuman lebih sering digunakan gula dari batang tebu. Itu pun harus didatangkan dari Sunda Kelapa, karena kebanyakan orang-orang China juga yang pandai mengolah air tebu menjadi gula merah dan gula batu,” kata Silihwarna.

Perbincangan terhenti ketika Kanjeng Adipati mengajak Ki Patih dan Silihwarna minum wedang jahe. Mereka pun minum bersama-sama. Kanjeng Adipati juga mengajak mereka menikmati makanan olahan dari ketela yang disebut kue ciwel, hasil olahan juru masak Dalem Kadipaten Pasirluhur. Silihwarna sangat menikmati kue ciwel yang disantap dengan parutan kelapa muda itu. Tiba-tiba muncul pikiran Silihwarna kalau kelak kembali ke Pakuan akan membelikan oleh-oleh gula kelapa atau gula aren yang bisa dijadikan bahan pemanis air rebusan jahe itu.

“Hem, pastilah Dinda Ratna Pamekas senang sekali kalau kelak aku bawakan oleh-oleh gula kelapa dan gula aren dari Kadipaten Pasirluhur,” bisiknya di dalam hati. Sepintas bayangan wajah adik tirinya yang cantik jelita itu muncul di depan pelupuk matanya.

“Kanjeng Adipati, lezat benar minuman dengan pemanis gula kelapa. Adakah di pasar Kadipaten Pasirluhur gula kelapa dan gula aren mudah didapat?” tanya Silihwarna. Bayangan adik tirinya pun lenyap.

“Di pasar Karanglewas dan pasar Pangebatan banyak dijual, Raden. Konon pemasoknya adalah….” Tiba-tiba Ki Patih ingat Nyai Kertisara dan Kamandaka yang mengganti namanya dengan Ki Sulap Pangebatan. Karena itu Ki Patih tidak melanjutkannya. Tetapi Kanjeng Adipati mampu menangkap apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran Ki Patih. Kanjeng Adipati segera berkata kepada Silihwarna.

“Itulah Raden, betapa bahayanya Si Kamandaka yang telah mengubah namanya jadi Ki Sulap Pangebatan,” kata Kanjeng Adipati. “Dengan kekayaan yang diperolehnya dari gelanggang sabung ayam, dia mengajari Nyai Kertisara dan adiknya menjadi pengusaha gula kelapa dan gula aren. Ratusan pohon kelapa dan aren yang tumbuh di sepanjang tepi Sungai Ciserayu ke timur sampai Sungai Cingcinggoling telah disewanya.”

“Ratusan penyadap dari grumbul di segitiga Sungai Ciserayu dan Sungai Cingcinggoling dikerahkannya untuk menderes. Istri-istri mereka juga didorong untuk mengolahnya di rumah masing-masing jadi gula. Hasilnya dibeli oleh Nyai Kertisara dan dipasarkan bukan hanya ke pasar Pangebatan. Tetapi ke semua pasar yang ada di Kadipaten Pasirluhur. Bahkan gula aren dan gula kelapa yang dijual di pasar Karanglewas dan Pangebatan, sebagian besar dipasok Nyai Kertisara.” Kanjeng Adipati melanjutkan  dengan nada suara mengandung kecemasan.

Silihwarna langsung memotong, ”Apakah gula aren dan gula kelapa yang dibeli dari pasar Karanglewas juga hasil olahan mereka?”

“Mungkin saja! Bukankah tidak mudah membedakannya jika sudah berada di pasar?” jawab Kanjeng Adipati.

“Menurut juru masak kepatihan,” Ki Patih ikut menjelaskan, ”Gula kelapa pasokan Nyai Kertisara kualitasnya baik, warnanya lebih menarik. Tidak coklat tua, tetapi berwarna kuning seperti warna kuning kulit jahe, sehingga lebih menarik.”

“Kenapa penyadap itu mudah sekali ditarik ke dalam bisnis Nyai Kertisara?” tanya Silihwarna penasaran.
“Ya, karena Kamandaka membagikan kepada mereka secara gratis semua peralatan untuk menderes. Penduduk yang berminat sudah cukup kalau hanya memiliki keterampilan memanjat pohon kelapa. Pongkor, sabit, sampai kain lancing, diberikan secara gratis. Nyai Kertisara juga aktif mengajari istri para penyadap itu cara-cara yang baik dan benar dalam mengolah air nira menjadi gula,” kata Ki Patih menjawab pertanyaan Silihwarna.

“Apakah Kamandaka pernah tinggal di sekitar Pakuan, Paman? Kalau Kamandaka belum pernah, agak mengherankan. Kenapa cara-cara yang dilakukan Kamandaka mendorong penduduk agar giat dalam usaha produksi, mirip dengan apa yang dilakukan Ayahanda Sri Baginda? Sri Baginda saat itu mendorong para petani giat menanam lada dan pala di ladang-ladang dan kebun mereka. Sri Baginda juga menampung dan membeli hasil panen para petani. Demikian pula pemasarannya ditangani para petugas yang ditunjuk Sri Baginda. Bedanya hanya jenis barang yang dihasilkannya.”

“Sepengetahuan Paman Patih belum pernah. Memang pengakuannya sih berasal dari lereng Tangkuban Perahu. Tetapi Paman yakin, Kamandaka berbohong. Menurut dugaan Paman, Kamandaka itu pemuda berasal dari grumbul di sekitar Gunung Tugel, di sebelah utara Sungai Ciserayu. Bukankah paman Kamandaka, Ki Kertisara, berasal dari sana?”  jawab Ki Patih meyakinkan Silihwarna.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar