Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Minggu, 30 Juli 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (29)





Semua bangsa-bangsa dengan peradaban besar itu adalah bangsa yang menjadikan tanah-daratan sebagai pangkalan untuk menguasai air sungai dan lautan. Itulah yang namanya tanah dan air. Ya, tanah-air! Gunakan tanah untuk menguasai air, sungai, ombak, gelombang, dan lautan. Bangsa besar adalah bangsa yang bukan hanya bisa membuat pedati, gerobag, sado, dokar, dan alat-alat sarana perhubungan darat lainnya. Tetapi mereka juga harus bisa membuat sampan, perahu, jung, kapal, dan alat sarana perhubungan laut lainnya. 

Rake Sanjaya, putra Kerajaan Galuh, tidak keliru ketika dia mendirikan Kerajaan Mataram Hindu di kaki selatan Gunung Dieng, di hulu tiga sungai besar. Semua sungai itu mengalir ke Lautan Selatan atau Lautan Nusantara. Sungai-sungai besar itu adalah Sungai Ciserayu, Bhagalin, dan Progo. Rake Sanjaya membangun kerajaannya menghadap ke arah selatan, yakni ke arah Lautan Nusantara. Dia menghadapkan wajahnya ke Lautan Selatan, karena dia memang putra sungai, penakluk gelombang samudra. Rake Sanjaya menjadikan muara ke tiga sungai itu sebagai pangkalan untuk menaklukan Lautan Nusantara.

Para nelayan dan pelaut Mataram Kuno itu dengan gagah berani menjadi penakluk-penakluk gelombang yang perkasa. Mereka tak gentar menangkap ikan di samudra raya yang luas. Bahkan konon, pelayaran mereka, putra-putra sungai itu, keturunan Bangsa Galuh itu, ada yang berlayar sampai pulau Madagaskar dan pantai timur Benua Hitam lainnya. Mereka keturunan bangsa Galuh itu menjadi penakluk ombak besar Lautan Nusantara, mendahului ekspedisi muhibah besar-besaran kapal-kapal Dinasti Ming, pimpinan Laksamana Cheng Ho.

“Laksamana Cheng Ho,” kata Kamandaka melanjutkan, ”Menurut Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi pernah singgah di Pelabuhan Kerajaan Galuh, Muara Jati di pantai utara. Dari Muara Jati mereka meneruskan perjalanannya menyusuri pantai utara Pulau Jawa ke arah timur. Setelah singgah di Gresik dan Blambangan, lewat Selat Bali muhibah pelayaran besar-besaran pelaut China pimpinan Laksamana Cheng Ho itu tiba di Lautan Nusantara yang maha luas. Ekspedisi Cheng Ho itu mengikuti jejak-jekak pelaut Mataram Hindu yang lebih dulu menjadi penakluk gelombang besar Lautan Nusantara. Seperti juga pelaut-pelaut Mataram Hindu, muhibah pelayaran Cheng Ho mencapai pantai Afrika Timur juga.”

“Bisa jadi dulu pada jaman Rake Sanjaya, muara Sungai Ciserayu di Teluk Penyu dijadikan bandar besar dan pangkalan utama bagi pelaut-pelaut dan nelayan yang akan mengarungi Lautan Nusantara yang maha luas itu,“ kata Kamandaka. 

“Sayang sepeninggal Rake Sanjaya, Kerajaan Galuh di Kawali tidak lagi menghadapkan wajahnya ke selatan. Padahal Sungai Citanduy mengalir ke Lautan Nusantara di selatan. Kerajaan Galuh memilih mengikuti jejak Erlangga yang lebih suka menghadapkan wajah kerajaannya, Kahuripan, ke utara, ke wilayah dengan daratan luas.” 

“Kerajaan Galuh Kawali lupa bahwa Erlangga yang membangun kerajaannya di tepi Sungai Porong dan Sungai Mas itu bukan pemeluk agama Syiwa. Mereka adalah pemeluk agama Wisnu yang lebih memuliakan daratan. Kerajaan Galuh di Kawali pada abad ke-11 M mengkuti jejak Erlangga menghadapkan wajahnya ke arah utara mengikuti aliran Sungai Cimanuk, dan memunggungi Sungai Citanduy yang mengalir ke selatan.”

“Sejak itu keturunan bangsa Galuh kehilangan jati dirinya sebagai putra-putra sungai, ombak, gelombang, dan lautan. Sejak itu kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa lebih suka menghadapkan wajahnya ke laut utara yang sempit dan tenang permukaannya, tidak memiliki gelombang dahsyat seperti Lautan Nusantara di selatan. Sejak itu mereka lebih suka menatap daratan yang luas di utara sana. Sejak itu keturunan bangsa Galuh, lebih memuliakan daratan, gunung, gua, dan hutan. Ya, putra-putra sungai dan lautan yang tidak lagi memuliakan sungai, arus, gelombang, laut, dan samudra.”

“Ya, seperti Kerajaan Galuh di Kawali, Kerajaan Kediri Kuno, menghadapkan wajahnya ke utara. Singasari ke utara, Majapahit ke utara, Pajajaran ke utara, Kediri Baru ke utara, dan Kerajaan Islam Demak juga ke utara.”

“Kakang Rekajaya, aku berharap kelak akan ada putra keturunan Kadipaten Pasirluhur yang akan membuat Sungai Ciserayu kembali menjadi sarana angkutan air yang ramai. Ramai dan maju seperti pada masa Rake Sanjaya, putra Kerajaan Galuh pendiri Dinasti Mataram di hulu Sungai Ciserayu,” kata Kamandaka melanjutkan. “Aku berharap ada keturunan Kadipaten Pasirluhur yang akan membangun bandar besar di muara Sungai Ciserayu di pantai Lautan Nusantara di selatan. Dari muara Sungai Ciserayu itu, keturunan bangsa Galuh, putra-putra sungai akan menjadi pembangun peradaban agung dengan cara menaklukan ganasnya gelombang Lautan Selatan yang maha dahsyat.”

“Mereka bukan hanya cakap menangkap ikan di lautan luas itu. Tetapi juga harus cakap mengirimkan beras, singkong, gula kelapa, gula aren, dan peuyem atau tape  produksi petani di sekitar Sungai Ciserayu ke daerah seberang lautan,” kata Kamandaka menggambarkan mimpi-mimpinya kepada Rekajaya.

“Belum banyak penduduk di sini yang pandai membuat tape singkong, Raden.”

“Ya, memang harus ada yang merintisnya dan membuatnya sebagai bagian untuk mendapatkan tambahan penghasilan bagi penduduk,” kata Kamandaka.

“Dulu Sri Baginda Prabu Siliwangi pernah menyuruh penduduk menanam singkong di ladang-ladang penduduk,” katanya melanjutkan. ”Pembelinya pedagang China dari Sunda Kelapa. China Sunda Kelapa itu pandai mengolah singkong menjadi tape. Sri Baginda kemudian memerintahkan salah seorang China di Sunda Kelapa supaya mengajari penduduk membuat tape dari singkong. Keterampilan itu akhirnya menyebar di kalangan penduduk di sekitar Sungai Ciliwung sampai penduduk yang tinggal di kaki Gunung Salak, Gunung Gede, dan Pangrango. Ternyata tape buatan kawula Kerajaan Pajajaran kualitasnya tidak kalah dengan tape buatan China Sunda Kelapa. Penduduk menamakan tape buatannya itu peuyem,” kata Kamandaka kepada Rekajaya.

“Kelak di sini juga harus ada orang yang bisa mengajari cara membuat tape yang bagus, Raden,” ujar Rekajaya.

“Lho, masa Kakang tidak tahu kalau Nyai Kertisara sudah bisa membuat tape. Hanya kualitasnya masih harus ditingkatkan. Terutama kebersihan dalam proses pembuatan peuyem harus dijaga benar. Tapi bila terus menerus dicoba, aku yakin Nyai Kertisara bisa membuat peuyem berkualitas.” Mendengar pujian itu, Rekajaya tersenyum bangga, karena kakaknya, Nyai Kertisara, ternyata seorang wanita terampil dan cekatan.

“Kakang Rekajaya, aku juga berharap kelak dari trah Kadipaten Pasirluhur yang bermukim di sepanjang Sungai Ciserayu ini ada yang selalu ingat, bahwa mereka adalah turunan bangsa Galuh. Yaitu bangsa yang memuliakan sungai, ombak, gelombang, dan lautan sebagai sesuatu yang memiliki nilai tinggi. Yaitu bangsa yang mengetahui, bahwa air, sungai, ombak, gelombang, dan lautan itu adalah sesuatu yang nilainya setara dengan sindai, sunda, atau emas. Ya, penduduk di sepanjang Lembah Ciserayu ini lebih tepat disebut sebagai penduduk Cai Sindai, Cisindai atau Ciemas. Tahukah Kakang Rekajaya, apa itu Cai Sindai?”

“Aduh, hamba hanya bergetar bangga mendapat penjelasan dari Raden asal usul nenek moyang kita bangsa Galuh yang gagah perkasa itu, putra-putra sungai penakluk ombak, gelombang, dan lautan, Raden. Apa arti Cisindai, Raden?”

“Kata galuh itu dari kata-kata saka luh, kemudian berubah jadi kata-kata saga luh, akhirnya berubah jadi kata galuh. Luh itu artinya air, cai, atau ci. Jadi saka luh artinya dari air. Orang Kadipaten Wirasaba bilang cai itu banyu. Sagaluh, Sakaluh, atau dari air, berarti bangsa putra dari air yang memuliakan sungai, ombak, gelombang, dan lautan. Bangsa, suku bangsa, dan penduduk Cai Sindai, berarti bangsa, suku bangsa, atau penduduk keturunan bangsa Galuh yang memuliakan air, sungai, ombak, gelombang, dan lautan sebagai sesuatu yang bernilai tinggi, setinggi nilai sindai atau emas. Itulah makna dari Caisindai, Ciseindai atau Banyumas. Caisindai, Caimas, atau Banyumas,  bisa juga berarti  sebuah kawasan di sepanjang Lembah Sungai Ciserayu tempat bermukim keturunan bangsa Galuh yang memuliakan air, sungai, gelombang, dan lautan,” kata Kamandaka menjelaskan arti Cisindai, Cimas atau Banyumas. 

“Jika kita memuliakan air bukan berarti kita memuja atau menyembah air. Bangsa yang memuliakan air, berarti bangsa itu memanfaatkan air, sungai, danau, gelombang, ombak, dan lautan yang merupakan anugerah alam semesta sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama,” jelas Kamandaka melanjutkan.

“Menarik sekali, Raden, hamba baru mendengarnya. Semoga gagasan mulia Raden bisa terwujud kelak. Tentu harapan Raden itu hanya akan terwujud jika Raden cepat-cepat menyunting Sang Dewi. Makin cepat makin baik, Raden. Hanya Raden yang akan bisa mencegah kemerosotan Kadipaten Pasirluhur, karena para punggawanya tidak mengerti bahwa mereka sebenarnya keturunan bangsa Galuh yang gagah perkasa itu,” kata Rekajaya mengingatkan Kamandaka pada gadis pujaannya, Sang Dewi.

Tiba-tiba Kamandaka diam. Bayangan wajah Sang Dewi sekelebatan muncul dalam pikirannya. Kemudian cepat menghilang. Hal itu membuat wajah Kamandaka menjadi sedikit murung. Melihat Kamandaka diam saja dan tampak sedih, seketika Rekajaya menjadi cemas. Jangan-jangan gara-gara dia mengingatkan kepada Sang Dewi itulah yang membuat Kamandaka menjadi sedih. Tetapi akhirnya Rekajaya bisa bernapas lega, lebih-lebih setelah Kamandaka berkata lagi.

“Kakang Rekajaya, sebenarnya aku ingin ketemu Dimas Arya Baribin di Kademangan Kejawar. Tetapi ya, sudahlah. Kakang betul. Sejak seminggu yang lalu, sudah terpikirkan olehku Dinda Dewi. Juga Emban Khandegwilis kan?“ tanya Kamandaka sambil tersenyum. Rekajaya tersenyum tersipu-sipu.

“Kapan kita ke Desa Pangebatan lagi, Raden?” tanya Rekajaya. 

Memang sejak si Mercu mengalahkan si Burik di gelanggang sabung ayam Desa Pangebatan, mereka berdua belum mengunjungi Pangebatan lagi. Rekajaya masih ingat, Kamandaka pernah akan mengajak dirinya ke pasar Pangebatan. Dari sana Rekajaya akan disuruh menemui Khandegwilis untuk menyampaikan pesan kepada Sang Dewi. Sedangkan Kamandaka akan menyamar sebagai Ki Sulap Pangebatan dan menunggunya di Pasar Pangebatan sambil menggali kabar keadaan  Sang Dewi dari apa yang biasa diperbincangkan penduduk. Pada saat itu pasar memang merupakan tempat sumber berita yang sering dapat dipercaya, walaupun kadang-kadang banyak juga kabar miring berseliweran.

“Aku rasa sebaiknya tunggu beberapa hari lagi, sampai aku yakin benar penduduk Pangebatan tidak ada yang tahu penyamaranku. Karena itu, Kakang Rekajaya sebenarnya bisa berangkat sendiri saja ke Pangebatan, sambil mendengarkan apa pendapat orang-orang di pasar Pangebatan mengenai hasil akhir adu sabung ayam antara si Mercu dan si Burik. Adakah di antara mereka yang curiga kepada penampilanku sebagai Ki Sulap Pangebatan?” Kamandaka menyampaikan saran kepada Rekajaya.

“Baiklah kalau begitu, Raden. Besok hamba akan berangkat ke Pasar Pangebatan. Hamba akan cari keterangan apa pendapat mereka mengenai Ki Sulap Pangebatan.” Matahari hampir mencapai puncak langit, cahayanya semakin gemerlapan ketika jatuh di permukaan air Sungai Ciserayu. 

“He, Kakang Rekajaya, bagaimana keadaan si Mercu? Sudah beberapa hari ini aku tidak menengoknya. Masih banyak penduduk yang datang membawa babon?” 

“Masih, Raden. Malah makin hari makin banyak penduduk yang membawa babon minta supaya dikawinkan dengan si Mercu.”

“Wah, jadi Arjuna, si Mercu. Tetapi jangan terlalu banyak babon yang harus dilayani setiap hari. Nanti bisa loyo si Mercu,” kata Kamandaka sambil tersenyum.

“Tapi, Raden kalau ada yang menantang si Mercu, bagaimana?” tanya Rekajaya.

“Tolak saja, kita sudah sepakat, Si Mercu harus pensiun. Kecuali…,” Kamandaka berpikir sejenak. 

“Ada yang berani 1-2, layani saja. Kita masih perlu sawah untuk menambah armada perahu angkutan Sungai Ciserayu. Kalau tak ada yang berani ya sudah. Memang si Mercu sudah saatnya beristirahat. Tetapi dengan mematok nilai tinggi, si Mercu berhak menyandang Jawara Besar di gelanggang sabung ayam Pangebatan,” kata Kamandaka sambil tertawa. Rekajaya pun ikut tertawa. Mereka berdua bangga dengan prestasi si Mercu. Belum selesai berbincang tiba-tiba datang dua orang tamu diantarkan bujang dari rumah Nyai Kertisara. Mereka berdua mengaku datang dari Kadipaten Pasirluhur, diutus Tumenggung Silihwarna. 

“Ki Sulap, hamba berdua diutus Tumenggung Silihwarna dari Kadipaten Pasirluhur,” kata salah satu utusan itu setelah dipersilahkan duduk oleh Kamandaka. 

“Ada perlu apa Tumenggung Silihwarna menyuruh kalian berdua menemui aku? Dari mana Tumenggung Silihwarna tahu namaku?” Kamandaka mencoba menyelidiki maksud kedatangan kedua utusan itu.

“Tumenggung Silihwarna ingin mengajak bertaruh dengan Ki Sulap Pangebatan di gelanggang sabung ayam Desa Pangebatan,” utusan itu menjelaskan maksud kedatangannya.

“Dari mana Tumenggung Silihwarna tahu namaku?” tanya Kamandaka.

“Tentu saja Tumenggung Silihwarna tahu nama Ki Sulap, dari Ngabehi Nitipraja. Lagi pula penggemar adu sabung ayam mana yang tidak kenal nama Ki Sulap Pangebatan?”

“Kakang Rekajaya, tolong sampaikan syarat-syaratnya,” Kamandaka menunjuk Rekajaya sebagai juru runding.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar