Semua bangsa-bangsa
dengan peradaban besar itu adalah bangsa yang menjadikan tanah-daratan sebagai pangkalan
untuk menguasai air sungai dan lautan. Itulah yang namanya tanah dan air. Ya,
tanah-air! Gunakan tanah untuk menguasai air, sungai, ombak, gelombang, dan
lautan. Bangsa besar adalah bangsa yang bukan hanya bisa membuat pedati,
gerobag, sado, dokar, dan alat-alat sarana perhubungan darat lainnya. Tetapi
mereka juga harus bisa membuat sampan, perahu, jung, kapal, dan alat sarana
perhubungan laut lainnya.
Rake Sanjaya, putra
Kerajaan Galuh, tidak keliru ketika dia mendirikan Kerajaan Mataram Hindu di
kaki selatan Gunung Dieng, di hulu tiga sungai besar. Semua sungai itu mengalir
ke Lautan Selatan atau Lautan Nusantara. Sungai-sungai besar itu adalah Sungai
Ciserayu, Bhagalin, dan Progo. Rake Sanjaya membangun kerajaannya menghadap ke
arah selatan, yakni ke arah Lautan Nusantara. Dia menghadapkan wajahnya ke
Lautan Selatan, karena dia memang putra sungai, penakluk gelombang samudra.
Rake Sanjaya menjadikan muara ke tiga sungai itu sebagai pangkalan untuk
menaklukan Lautan Nusantara.
Para nelayan dan pelaut
Mataram Kuno itu dengan gagah berani menjadi penakluk-penakluk gelombang yang
perkasa. Mereka tak gentar menangkap ikan di samudra raya yang luas. Bahkan
konon, pelayaran mereka, putra-putra sungai itu, keturunan Bangsa Galuh itu,
ada yang berlayar sampai pulau Madagaskar dan pantai timur Benua Hitam lainnya.
Mereka keturunan bangsa Galuh itu menjadi penakluk ombak besar Lautan
Nusantara, mendahului ekspedisi muhibah besar-besaran kapal-kapal Dinasti Ming,
pimpinan Laksamana Cheng Ho.
“Laksamana Cheng Ho,”
kata Kamandaka melanjutkan, ”Menurut Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi
pernah singgah di Pelabuhan Kerajaan Galuh, Muara Jati di pantai utara. Dari
Muara Jati mereka meneruskan perjalanannya menyusuri pantai utara Pulau Jawa ke
arah timur. Setelah singgah di Gresik dan Blambangan, lewat Selat Bali muhibah
pelayaran besar-besaran pelaut China pimpinan Laksamana Cheng Ho itu tiba di
Lautan Nusantara yang maha luas. Ekspedisi Cheng Ho itu mengikuti jejak-jekak
pelaut Mataram Hindu yang lebih dulu menjadi penakluk gelombang besar Lautan
Nusantara. Seperti juga pelaut-pelaut Mataram Hindu, muhibah pelayaran Cheng Ho
mencapai pantai Afrika Timur juga.”
“Bisa jadi dulu pada
jaman Rake Sanjaya, muara Sungai Ciserayu di Teluk Penyu dijadikan bandar besar
dan pangkalan utama bagi pelaut-pelaut dan nelayan yang akan mengarungi Lautan
Nusantara yang maha luas itu,“ kata Kamandaka.
“Sayang sepeninggal
Rake Sanjaya, Kerajaan Galuh di Kawali tidak lagi menghadapkan wajahnya ke
selatan. Padahal Sungai Citanduy mengalir ke Lautan Nusantara di selatan. Kerajaan
Galuh memilih mengikuti jejak Erlangga yang lebih suka menghadapkan wajah
kerajaannya, Kahuripan, ke utara, ke wilayah dengan daratan luas.”
“Kerajaan Galuh Kawali
lupa bahwa Erlangga yang membangun kerajaannya di tepi Sungai Porong dan Sungai
Mas itu bukan pemeluk agama Syiwa. Mereka adalah pemeluk agama Wisnu yang lebih
memuliakan daratan. Kerajaan Galuh di Kawali pada abad ke-11 M mengkuti jejak
Erlangga menghadapkan wajahnya ke arah utara mengikuti aliran Sungai Cimanuk,
dan memunggungi Sungai Citanduy yang mengalir ke selatan.”
“Sejak itu keturunan
bangsa Galuh kehilangan jati dirinya sebagai putra-putra sungai, ombak,
gelombang, dan lautan. Sejak itu kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa lebih suka
menghadapkan wajahnya ke laut utara yang sempit dan tenang permukaannya, tidak
memiliki gelombang dahsyat seperti Lautan Nusantara di selatan. Sejak itu
mereka lebih suka menatap daratan yang luas di utara sana. Sejak itu keturunan
bangsa Galuh, lebih memuliakan daratan, gunung, gua, dan hutan. Ya, putra-putra
sungai dan lautan yang tidak lagi memuliakan sungai, arus, gelombang, laut, dan
samudra.”
“Ya, seperti Kerajaan
Galuh di Kawali, Kerajaan Kediri Kuno, menghadapkan wajahnya ke utara.
Singasari ke utara, Majapahit ke utara, Pajajaran ke utara, Kediri Baru ke
utara, dan Kerajaan Islam Demak juga ke utara.”
“Kakang Rekajaya, aku berharap
kelak akan ada putra keturunan Kadipaten Pasirluhur yang akan membuat Sungai
Ciserayu kembali menjadi sarana angkutan air yang ramai. Ramai dan maju seperti
pada masa Rake Sanjaya, putra Kerajaan Galuh pendiri Dinasti Mataram di hulu
Sungai Ciserayu,” kata Kamandaka melanjutkan. “Aku berharap ada keturunan
Kadipaten Pasirluhur yang akan membangun bandar besar di muara Sungai Ciserayu
di pantai Lautan Nusantara di selatan. Dari muara Sungai Ciserayu itu,
keturunan bangsa Galuh, putra-putra sungai akan menjadi pembangun peradaban
agung dengan cara menaklukan ganasnya gelombang Lautan Selatan yang maha
dahsyat.”
“Mereka bukan hanya
cakap menangkap ikan di lautan luas itu. Tetapi juga harus cakap mengirimkan
beras, singkong, gula kelapa, gula aren, dan peuyem atau tape produksi petani di sekitar Sungai Ciserayu ke
daerah seberang lautan,” kata Kamandaka menggambarkan mimpi-mimpinya kepada
Rekajaya.
“Belum banyak penduduk
di sini yang pandai membuat tape singkong, Raden.”
“Ya, memang harus ada
yang merintisnya dan membuatnya sebagai bagian untuk mendapatkan tambahan
penghasilan bagi penduduk,” kata Kamandaka.
“Dulu Sri Baginda Prabu
Siliwangi pernah menyuruh penduduk menanam singkong di ladang-ladang penduduk,”
katanya melanjutkan. ”Pembelinya pedagang China dari Sunda Kelapa. China Sunda
Kelapa itu pandai mengolah singkong menjadi tape. Sri Baginda kemudian
memerintahkan salah seorang China di Sunda Kelapa supaya mengajari penduduk
membuat tape dari singkong. Keterampilan itu akhirnya menyebar di kalangan penduduk
di sekitar Sungai Ciliwung sampai penduduk yang tinggal di kaki Gunung Salak,
Gunung Gede, dan Pangrango. Ternyata tape buatan kawula Kerajaan Pajajaran kualitasnya
tidak kalah dengan tape buatan China Sunda Kelapa. Penduduk menamakan tape buatannya
itu peuyem,” kata Kamandaka kepada Rekajaya.
“Kelak di sini juga
harus ada orang yang bisa mengajari cara membuat tape yang bagus, Raden,” ujar
Rekajaya.
“Lho, masa Kakang tidak
tahu kalau Nyai Kertisara sudah bisa membuat tape. Hanya kualitasnya masih
harus ditingkatkan. Terutama kebersihan dalam proses pembuatan peuyem harus
dijaga benar. Tapi bila terus menerus dicoba, aku yakin Nyai Kertisara bisa
membuat peuyem berkualitas.” Mendengar pujian itu, Rekajaya tersenyum bangga,
karena kakaknya, Nyai Kertisara, ternyata seorang wanita terampil dan cekatan.
“Kakang Rekajaya, aku
juga berharap kelak dari trah
Kadipaten Pasirluhur yang bermukim di sepanjang Sungai Ciserayu ini ada yang
selalu ingat, bahwa mereka adalah turunan bangsa Galuh. Yaitu bangsa yang
memuliakan sungai, ombak, gelombang, dan lautan sebagai sesuatu yang memiliki
nilai tinggi. Yaitu bangsa yang mengetahui, bahwa air, sungai, ombak, gelombang,
dan lautan itu adalah sesuatu yang nilainya setara dengan sindai, sunda, atau
emas. Ya, penduduk di sepanjang Lembah Ciserayu ini lebih tepat disebut sebagai
penduduk Cai Sindai, Cisindai atau Ciemas. Tahukah Kakang Rekajaya, apa itu Cai
Sindai?”
“Aduh, hamba hanya
bergetar bangga mendapat penjelasan dari Raden asal usul nenek moyang kita
bangsa Galuh yang gagah perkasa itu, putra-putra sungai penakluk ombak,
gelombang, dan lautan, Raden. Apa arti Cisindai, Raden?”
“Kata galuh itu dari kata-kata
saka luh, kemudian berubah jadi kata-kata saga luh, akhirnya berubah jadi kata
galuh. Luh itu artinya air, cai, atau ci. Jadi saka luh artinya dari air. Orang
Kadipaten Wirasaba bilang cai itu banyu. Sagaluh, Sakaluh, atau dari air, berarti
bangsa putra dari air yang memuliakan sungai, ombak, gelombang, dan lautan.
Bangsa, suku bangsa, dan penduduk Cai Sindai, berarti bangsa, suku bangsa, atau
penduduk keturunan bangsa Galuh yang memuliakan air, sungai, ombak, gelombang,
dan lautan sebagai sesuatu yang bernilai tinggi, setinggi nilai sindai atau
emas. Itulah makna dari Caisindai, Ciseindai atau Banyumas. Caisindai, Caimas, atau
Banyumas, bisa juga berarti sebuah kawasan di sepanjang Lembah Sungai
Ciserayu tempat bermukim keturunan bangsa Galuh yang memuliakan air, sungai,
gelombang, dan lautan,” kata Kamandaka menjelaskan arti Cisindai, Cimas atau
Banyumas.
“Jika kita memuliakan
air bukan berarti kita memuja atau menyembah air. Bangsa yang memuliakan air,
berarti bangsa itu memanfaatkan air, sungai, danau, gelombang, ombak, dan lautan
yang merupakan anugerah alam semesta sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan
dan kemakmuran bersama,” jelas Kamandaka melanjutkan.
“Menarik sekali, Raden,
hamba baru mendengarnya. Semoga gagasan mulia Raden bisa terwujud kelak. Tentu
harapan Raden itu hanya akan terwujud jika Raden cepat-cepat menyunting Sang
Dewi. Makin cepat makin baik, Raden. Hanya Raden yang akan bisa mencegah
kemerosotan Kadipaten Pasirluhur, karena para punggawanya tidak mengerti bahwa
mereka sebenarnya keturunan bangsa Galuh yang gagah perkasa itu,” kata Rekajaya
mengingatkan Kamandaka pada gadis pujaannya, Sang Dewi.
Tiba-tiba
Kamandaka diam. Bayangan wajah Sang Dewi sekelebatan muncul dalam pikirannya.
Kemudian cepat menghilang. Hal itu membuat wajah Kamandaka menjadi sedikit
murung. Melihat Kamandaka diam saja dan tampak sedih, seketika Rekajaya menjadi
cemas. Jangan-jangan gara-gara dia mengingatkan kepada Sang Dewi itulah yang
membuat Kamandaka menjadi sedih. Tetapi akhirnya Rekajaya bisa bernapas lega,
lebih-lebih setelah Kamandaka berkata lagi.
“Kakang Rekajaya,
sebenarnya aku ingin ketemu Dimas Arya Baribin di Kademangan Kejawar. Tetapi ya,
sudahlah. Kakang betul. Sejak seminggu yang lalu, sudah terpikirkan olehku
Dinda Dewi. Juga Emban Khandegwilis kan?“ tanya Kamandaka sambil tersenyum.
Rekajaya tersenyum tersipu-sipu.
“Kapan kita ke Desa Pangebatan
lagi, Raden?” tanya Rekajaya.
Memang sejak si Mercu mengalahkan si Burik di
gelanggang sabung ayam Desa Pangebatan, mereka berdua belum mengunjungi
Pangebatan lagi. Rekajaya masih ingat,
Kamandaka pernah akan mengajak dirinya ke pasar Pangebatan. Dari sana Rekajaya
akan disuruh menemui Khandegwilis untuk menyampaikan pesan kepada Sang Dewi.
Sedangkan Kamandaka akan menyamar sebagai Ki Sulap Pangebatan dan menunggunya
di Pasar Pangebatan sambil menggali kabar keadaan Sang Dewi dari apa yang biasa diperbincangkan
penduduk. Pada saat itu pasar memang merupakan tempat sumber berita yang sering
dapat dipercaya, walaupun kadang-kadang banyak juga kabar miring berseliweran.
“Aku rasa sebaiknya
tunggu beberapa hari lagi, sampai aku yakin benar penduduk Pangebatan tidak ada
yang tahu penyamaranku. Karena itu, Kakang Rekajaya sebenarnya bisa berangkat
sendiri saja ke Pangebatan, sambil mendengarkan apa pendapat orang-orang di
pasar Pangebatan mengenai hasil akhir adu sabung ayam antara si Mercu dan si
Burik. Adakah di antara mereka yang curiga kepada penampilanku sebagai Ki Sulap
Pangebatan?” Kamandaka menyampaikan saran kepada Rekajaya.
“Baiklah kalau begitu,
Raden. Besok hamba akan berangkat ke Pasar Pangebatan. Hamba akan cari keterangan
apa pendapat mereka mengenai Ki Sulap Pangebatan.” Matahari hampir
mencapai puncak langit, cahayanya semakin gemerlapan ketika jatuh di permukaan
air Sungai Ciserayu.
“He, Kakang Rekajaya,
bagaimana keadaan si Mercu? Sudah beberapa hari ini aku tidak menengoknya.
Masih banyak penduduk yang datang membawa babon?”
“Masih, Raden. Malah
makin hari makin banyak penduduk yang membawa babon minta supaya dikawinkan
dengan si Mercu.”
“Wah, jadi Arjuna, si
Mercu. Tetapi jangan terlalu banyak babon yang harus dilayani setiap hari.
Nanti bisa loyo si Mercu,” kata Kamandaka sambil tersenyum.
“Tapi, Raden kalau ada
yang menantang si Mercu, bagaimana?” tanya Rekajaya.
“Tolak saja, kita sudah
sepakat, Si Mercu harus pensiun. Kecuali…,” Kamandaka berpikir sejenak.
“Ada yang berani 1-2,
layani saja. Kita masih perlu sawah untuk menambah armada perahu angkutan
Sungai Ciserayu. Kalau tak ada yang berani ya sudah. Memang si Mercu sudah
saatnya beristirahat. Tetapi dengan mematok nilai tinggi, si Mercu berhak
menyandang Jawara Besar di gelanggang sabung ayam Pangebatan,” kata Kamandaka
sambil tertawa. Rekajaya pun ikut tertawa. Mereka berdua bangga dengan prestasi
si Mercu. Belum selesai
berbincang tiba-tiba datang dua orang tamu diantarkan bujang dari rumah Nyai
Kertisara. Mereka berdua mengaku datang dari Kadipaten Pasirluhur, diutus
Tumenggung Silihwarna.
“Ki Sulap, hamba berdua
diutus Tumenggung Silihwarna dari Kadipaten Pasirluhur,” kata salah satu utusan
itu setelah dipersilahkan duduk oleh Kamandaka.
“Ada perlu apa
Tumenggung Silihwarna menyuruh kalian berdua menemui aku? Dari mana Tumenggung
Silihwarna tahu namaku?” Kamandaka mencoba menyelidiki maksud kedatangan kedua
utusan itu.
“Tumenggung Silihwarna
ingin mengajak bertaruh dengan Ki Sulap Pangebatan di gelanggang sabung ayam
Desa Pangebatan,” utusan itu menjelaskan maksud kedatangannya.
“Dari mana Tumenggung
Silihwarna tahu namaku?” tanya Kamandaka.
“Tentu saja Tumenggung
Silihwarna tahu nama Ki Sulap, dari Ngabehi Nitipraja. Lagi pula penggemar adu
sabung ayam mana yang tidak kenal nama Ki Sulap Pangebatan?”
“Kakang Rekajaya, tolong
sampaikan syarat-syaratnya,” Kamandaka menunjuk Rekajaya sebagai juru runding.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar