“Siapa nama jawara
Tumenggung Silihwarna yang akan melawan si Mercu?“ tanya Rekajaya pada kedua
tamunya itu.
“Gelapngampar.”
“Oh, Gelapngampar,
bagus namanya. Si Mercu adalah Sang Juara, bukan? Dia hanya mau melayani
Gelapngampar dengan syarat 2-1. Dua bau sawah untuk si Mercu dan 1 bau sawah
untuk si Gelapngampar.”
Kedua utusan itu saling
berpandangan. Syarat itu bukan saja tidak lazim. Tetapi sebenarnya satu bentuk
penghinaan kepada Tumenggung Silihwarna. Karena jika si Mercu kalah, hanya
cukup menyerahkan satu bau sawah. Sebaliknya jika si Gelapngampar yang kalah,
harus menyerahkan dua bau sawah.
“Apakah tidak bisa ditawar?
Itu permainan tidak adil dan tidak lazim,” salah seorang utusan itu mencoba
menawar.
“Sudah harga mati. Saya
tunggu sampai besok. Bila besok tidak ada berita, berarti Tumenggung Silihwarna
sudah kalah dengan sendirinya oleh Ki Sulap Pangebatan,” jawab Rekajaya.
Dengan bersungut-sungut
kedua utusan itu tak bisa berkutik. ”Kami berdua hanya utusan. Pesan Ki Sulap
Pangebatan akan kami sampaikan kepada Tumenggung Silihwarna. Kalau Tumenggung Silihwarna
bersedia, besok kami akan datang lagi untuk memberitahukan keputusannya,” kata
salah satu utusan itu sambil siap-siap hendak berdiri dan berpamitan.
“Katakan pada
Tumenggung Silihwarna, jika tidak berani menerima tantangan Ki Sulap
Pangebatan, lebih baik pensiun saja dan jabatannya serahkan kepada Ngabehi
Nitipraja,” kata Rekajaya sedikit memperolok Tumenggung Silihwarna. Kamandaka
hanya tersenyum mendengarkan ejekan Rekajaya.
“Sampaikan salamku,
dari Ki Sulap Pangebatan kepada Tumenggung Silihwarna,” kata Kamandaka dengan
nada suara ramah dengan maksud meredakan rasa tidak enak kedua utusan itu,
akibat olok-olok Rekajaya. Kedua utusan segera bangkit sambil tersenyum dan
mohon diri. Mereka berjanji besok akan datang membawa kabar kelanjutan dari tantangan
Tumenggung Silihwarna kepada Ki Sulap Pangebatan.
“Pernah dengar nama
Tumenggung Silihwarna, Kakang Rekajaya?” tanya Kamandaka setelah kedua utusan
itu pergi.
“Rasa-rasanya belum,
Raden. Hamba lupa tidak tanyakan hal itu tadi kepada kedua utusan itu,” jawab
Rekajaya menyesali dirinya.
“Sudah, tidak apa-apa.
Aku pun lupa. Suatu pelajaran berharga, jika kita bertemu orang atau mendengar
nama orang, kita harus berusaha sesegera mungkin mengetahui sebanyak-banyaknya
orang yang baru kita kenal itu atau pun nama orang-orang penting. Dengan cara
demikian kita akan cepat tahu apakah dia itu bisa dijadikan sahabat atau tidak.
Tetapi jelas pula kedua orang utusan itu tidak mengenal diriku dengan baik,”
kata Kamandaka.
“Benar, Raden. Kedua
orang utusan itu mengenal Raden sebagai Ki Sulap Pangebatan,” kata Rekajaya.
“Tetapi Tumenggung
Silihwarna,” kata Kamandaka melanjutkan, ”dia jelas orang penting di lingkungan
Kadipaten. Orang sepenting itu masih tergoda untuk bermain judi di gelanggang
sabung ayam. Apakah perbuatan Tumenggung Silihwarna yang tercela itu diketahui
Kanjeng Adipati dan Ki Patih apa tidak? Kalau permainan judi sabung ayam
dilakukan oleh para punggawa di bawah Tumenggung, seperti para lurah dan
Ngabehi Nitipraja, mungkin masih dianggap wajar, walapun perilaku itu tetap
saja tercela. Tapi ini dilakukan oleh seorang tumenggung?”
“Betul sekali, Raden.
Kalau begitu, apakah sebaiknya besok hamba ke pasar Pangebatan, sekalian
mencari keterangan lebih lanjut, siapakah Tumenggung Silihwarna itu? Bagaimana,
Raden?”
“Kita lihat besok saja.
Kedua utusan itu berjanji untuk memberi tahu kepada kita. Besok bisa ditanyakan
kepada kedua utusan itu,” kata Kamandaka mengambil keputusan.
Kamandaka melihat para pekerja
sudah mulai capai. Waktu istirahat dan makan siang memang sudah tiba.
Tubuh-tubuh para pekerja itu berkilat basah oleh keringat yang berlelehan di sekujur
tubuhnya. Cahaya sinar matahari musim kemarau semakin tajam memanggang apa saja
yang ada di lembah itu. Tetapi Sungai Ciserayu tak pernah lelah mengalirkan
airnya menuju muaranya yang jauh, sekalipun terik matahari terus menerus
menderanya. Kamandaka dan Rekajaya segera bangkit meninggalkan pondok di tepi
Sungai Ciserayu. Semua pekerja diperintahnya berhenti dan mereka semua diajaknya
ke rumah Nyai Kertisara untuk istirahat dan menikmati hidangan makan siang.
Pekerjaan akan dilanjutkan setelah istirahat. Mereka akan bekerja sampai sore
hari.
Esok pagi harinya,
ketika Kamandaka sedang melihat Rekajaya memandikan si Mercu, seorang bujang
memberi tahu Kamandaka bahwa dua orang utusan Tumenggung Silihwarna sudah datang
dan menunggu di ruang tamu rumah Nyai Kertisara.
“Tumenggung Silihwarna bersedia
menerima tantangan dan syarat-syarat Ki Sulap Pangebatan di arena sabung ayam
lapangan Desa Pangebatan. Waktunya lusa, siang hari. Sebelum matahari
tergelincir ke barat, Ki Sulap Pangebatan harus sudah tiba di lapangan Desa
Pangebatan,” kata utusan itu, lalu diam sejenak. “Selanjutnya Tumenggung
Silihwarna juga menyampaikan terima kasih dan menerima salam dari Ki Sulap
Pangebatan kemarin,” utusan itu berkata dengan suara merendah kepada Ki Sulap
Pangebatan yang didampingi Rekajaya.
“Baik, besok lusa si
Mercu sudah siap berlaga melawan si Gelapngampar. Eh, bisa aku tahu sudah
berapa lama Tumenggung Silihwarna bertugas di Kadipaten Pasirluhur?” tanya
Kamandaka.
“Aduh, Raden, kami
berdua hanyalah utusan Ngabehi Nitipraja. Tidak banyak mengetahui soal itu. Hal
itu bisa ditanyakan esok lusa kepada Ngabehi Nitipraja,” jawab utusan itu sambil
bangkit dari tempat duduknya dan bergegas mohon diri. Tentu saja Kamandaka
dapat mengerti sepenuhnya jawaban utusan yang tidak banyak tahu siapakah Tumenggung
Silihwarna itu.
“Kakang, masih ada
waktu dua hari. Pusatkan perhatian Kakang pada si Mercu. Esok lusa, si Mercu
harus dalam keadaan siap tempur. Dua hari jangan diberi babon, supaya esok lusa
tenaganya cukup. Lawannya sepertinya lebih hebat dari si Burik.”
“Betul Raden, namanya
si Gelapngampar,” kata Rekajaya sambil berdiri minta ijin pada Kamandaka. Dia akan
melanjutkan mengurus si Mercu untuk menghadapi pertandingan besar melawan si
Gelapngampar.
Setelah Rekajaya pergi,
Kamandaka seakan-akan diingatkan kepada sesuatu. Kata-kata Gelapngampar yang
diucapkan Rekajaya tadi entah mengapa terus menerus berdengung di telinganya. Tiba-tiba
Kamandaka ingat kepada adik kandung satu-satunya yang dicintainya,
Banyakngampar.
“Sebuah nama yang aneh,
Gelapngampar. Kenapa namanya Gelapngampar? Kenapa nama itu mirip-mirip
Banyakngampar? Hem, Silihwarna, engkau tidak sadar telah menghina Putra Raja
Pajajaran. Nama belakang adikku, telah engkau pakai sebagai nama ayam jago
aduan! Sungguh keterlaluan engkau Silihwarna. Jika engkau tidak sengaja, karena
tidak tahu, semoga Dewa mengampunimu. Tetapi jika engkau sengaja akan menghina
adikku, aku sungguh tidak rela. Semoga besok lusa di gelanggang sabung ayam,
jagomu itu akan tewas oleh si Mercu hanya dalam satu kali sabetan!” Kamandaka
meradang seketika. Tetapi ingatannya kembali kepada adiknya, Banyakngampar.
Ruang tamu rumah Nyai
Kertisara pagi itu sepi. Nyai Kertisara seperti biasa setelah sarapan pagi
bertiga dan berbincang kian kemari, tenggelam dalam kesibukannya sehari-hari.
Mengirimkan barang dagangan, menerima setoran barang dagangan dari istri para
penyadap, dan melayani para pedagang dari pasar-pasar yang sengaja datang untuk
mengambil barang dagangan. Sementara itu Rekajaya masih terus sibuk mengurus si
Mercu di belakang rumah.
Tadinya Kamandaka mempunya rencana menemui sahabatnya, Arya
Baribin di Kademangan Kejawar. Tetapi ingatannya kepada adik kandungnya yang
sudah lama berpisah itu, tiba-tiba saja mengganggu pikirannya. Rasa rindu
kepadanya semakin mendesak-desak dalam dirinya, dan dia tidak pernah tahu,
entah mengapa.
Dalam suasana demikian,
Kamandaka memilih duduk di ruang tamu yang sepi itu, menikmati kesendiriannya.
Dia mencoba mengumpulkan daya imajinasinya, untuk mengingat-ingat kembali
bayang-bayang adiknya yang dia anggap telah memilih jalan keliru. Adiknya itu,
memutuskan pergi ke Padepokan Megamendung untuk menjadi seorang brahmacharin.
Brahmacharin adalah brahmana yang tidak
akan nikah seumur hidup.
“Hem, seperti apa kau,
Dinda Banyakngampar sekarang ini?” tanya Kamandaka di dalam hati. “Saat aku
meninggalkan Pajajaran tahun lalu, aku tidak sempat mengunjungimu di Padepokan
Megamendung. Beberapa tahun sebelumnya, kamu bilang padaku ingin menjadi
seorang brahmacharin. Aku dan Dinda Ratna Pamekas saat itu amat sedih. Sebab
kamu adalah adik kandungku satu-satunya. Saat itu aku dan Dinda Ratna Pamekas,
sungguh tidak rela kehilangan kamu. Bukan hanya Dinda Ratna Pamekas yang
menangis meratapi keputusanmu yang bodoh itu. Aku pun merasa amat sedih. Hanya
karena aku seorang ksatria, aku tidak meneteskan air mata.”
“Semuda itu, kamu
berani mengorbankan dirimu berpaling dari dunia menjauhi harta, tahta, dan
cinta wanita guna mencari jalan kembali kepada Sang Maha Pencipta. Kamu katakan
kepadaku ingin mencari hidup yang abadi. Hidup tanpa lahir kembali. Tanpa
inkarnasi. Hem, aku malah tak pernah peduli, apa itu inkarnasi. Yang penting
aku jalani hidup ini sesuai dengan kodratku saja. Aku lahir sebagai seorang
ksatria. Maka aku laksanakan dengan sebaik-baiknya apa yang menjadi darma dan
kewajiban seorang ksatria,” kata Kamandaka pula.
“Pastilah kamu sekarang
sudah banyak menghafal ribuan lembar rontal ajaran suci. Pastilah kamu sekarang
sudah diwisuda menjadi seorang brahmacharin. Kepalamu plontos, hilang wajah
ksatriamu yang tampan, mengenakan jubah kuning, di tanganmu tergantung kalung rangkaian
biji pendoa. Kalau kita ketemu di jalan, pasti aku tidak akan bisa mengenalimu
lagi. Dinda Ratna Pamekas juga tak akan mengenalmu lagi. Ayahanda Sri Baginda
juga tidak akan mengenalmu lagi. Adinda Banyakbelabur juga tidak akan
mengenalmu lagi,” kata Kamandaka. Kata demi kata terus berkecamuk di dalam
hatinya. Kamandaka masih terus
berbincang bincang dengan dirinya sendiri.
“Aku sudah
mengingatkanmu pada saat itu. Bahkan mencegahmu. Kukatakan padamu, kamu bukan
putra brahmana. Dalam tubuhmu mengalir darah ksatria. Tetapi kamu tetap keras kepala.
Padahal aku tahu, kamu hanya takut jatuh cinta pada adik tirimu yang cantik
jelita itu, bukan? Kamu telah melawan kodratmu sendiri. Cinta pada wanita itu
tidak bisa dihindari. Yang diperlukan hanya kepandaian untuk menyikapi dan
menghadapinya, bukan dengan menghindarinya. Kuncinya hanya satu tetap mencintainya,
tanpa harus memilikinya, tanpa harus menyakitinya. Sebab adik tirimu adalah
milik calon suaminya. Dan calon suami Dinda Ratna Pamekas, siapa pun dia,
tetaplah bukan kamu dan bukan pula aku,” benak Kamandaka masih terus
berkecamuk.
“Hem, Banyakngampar,
Adindaku, betapa aku sangat menyayangimu, karena kamu satu-satunya adik
kandungku di dunia ini. Kenapa kamu tidak mengikuti jejakku, mencari wanita
cantik yang mirip adikmu itu. Karena barang siapa yang mencari cinta seorang
wanita pasti dia akan memperolehnya. Dan barang siapa yang menghindar. Apa yang
akan dia dapatkan? Kamu pasti akan terus merana dikejar-kejar oleh bayang-bayang
cinta. Cinta itu rahasia kehidupan, wahai Adindaku. Kamu tidak mungkin bisa
melawan kodratmu sendiri,” kata Kamandaka pula.
Kamandaka merasa gagal
mengingat kembali seperti apa wajah adiknya itu kini, setelah lima tahun
berpisah. Usia dengan adiknya itu tidak terlalu jauh, hanya terpaut dua tahun. Bayang-bayang
adiknya lenyap ketika Rekajaya muncul di ruang tamu sambil membawa si Mercu
yang sudah dimandikan.
“Raden, hamba lupa
lagi, bagaimana sih doanya supaya si Mercu besok lusa menang dalam duel maut
itu?
Sim salabim…. Puhpuhpuh….,” kata Rekajaya mencoba meniup kepala si Mercu
tiga kali. Tidak lupa jengger dan pial dipegangnya, persis meniru apa yang
pernah dilakukan Raden Kamandaka dulu. Kamandaka tertawa melihatnya.
”Doanya kan dulu sudah,
Kakang. Ya, itu sudah cukup.”
Tetapi rupanya Rekajaya
tidak puas. Untuk menyenangkan Rekajaya, Kamandaka meminta Si Mercu diserahkan
kepadanya, kemudian ditimang-timangnya. Mulut Kamandaka komat-kamit, ditiupnya
telinga si Mercu tiga kali, sambil memegang pial dan paruh si Mercu. Lalu kedua
kaki dan taji si Mercu diusapnya beberapa kali.
“Mercu, menang kamu
besok ya. Lawan si Gelapngampar. Lumpuhkan dalam sekali terjangan,” kata
Kamandaka mantap, sambil menyerahkan kembali si Mercu pada Rekajaya. Wajah Rekajaya
terlihat puas dan dibawanya kembali si Mercu
keluar dari ruang tamu.
Dua hari menjelang
pertandingan sabung ayam di Pangebatan, Kamandaka selalu gelisah. Bayang-bayang
adiknya selalu muncul di pelupuk matanya, gara-gara nama jawara calon lawan si
Mercu, si Gelapngampar. Dalam angan-angan Kamandaka, adiknya itu sudah menjadi
pendeta muda agama Syiwa, dengan rambut plontos, jubah kuning, sabuk hijau
berlapis benang emas melilit pinggangnya, memakai trumpah berwarna hitam, tidak
lupa tangannya menenteng kalung rangkaian biji kenari berwarna hitam mengkilat
untuk berdoa. Malam itu Kamandaka
sengaja cepat-cepat tidur, dengan harapan besok pagi tubuhnya cukup segar
menghadapi Tumenggung Silihwarna di arena sabung ayam Desa Pangebatan, suatu
desa yang tidak jauh dari Kadipaten Pasirluhur.[bersambung]