Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 28 Agustus 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (16)




“Belum pernah, Diajeng,” jawab Kamandaka singkat sambil berjalan berdampingan.  

Kamandaka sudah cukup puas setelah melihat-lihat ruangan dalam Puri Permatabiru. Di teras Puri Permatabiru Sang Dewi dan Kamandaka duduk bersanding melanjutkan perbincangan kisah petualangan cinta Raden Anggalarang. Bagi Sang Dewi, kisah itu sangat menarik. Sang Dewi dan Kamandaka masih asyik melanjutkan perbincangan sambil menunggu minuman yang sudah dipesan. Angin menjelang sore hari berhembus pelan. Matahari tampak sudah menggelincir ke barat tetapi masih jauh di atas cakrawala.
“Sayang sekali memang, aku belum pernah berjumpa dengan kakak tiri Sri Baginda Prabu Siliwangi, demikian pula Dinda Silihwarna dan Dinda Ratna Pamekas. Hanya Dinda Banyakbelabur yang sempat bertemu, karena dia memang mendapat tugas dari Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi untuk mengawasi Bandar Muarajati dan Cirebon. Dinda Banyakbelabur pernah berkunjung ke sana. Dari Dinda Banyakbelabur, aku mendapatkan kabar perkembangan Bandar Muarajati dan Cirebon,” kata Kamandaka melanjutkan perbincangan kelanjutan keturunan Raden Anggalarang dengan Gadis Pantai.
Setelah Walangsungsang dewasa, demikian Kamandaka melanjutkan ceriteranya, menikah dengan gadis Galuh. Rara Santang dipersunting seorang ulama dari tanah seberang keturunan seorang raja, Kian Santang mengembara ke Limbangan, menjadi seorang dai dan ulama yang mengembangkan agama Islam di daerah Limbangan dan sekitranya.
Sementara itu, Syahbandar Muarajati menugaskan cucunya,  Walangsungsang agar membuka daerah pemukiman baru di Lemahwungkuk, kira-kira arah selatan dan timur Bandar Muarajati. Dengan mendapatkan bantuan Ki Gede Alang-Alang, Walangsungsang berhasil membangun pemukiman baru dengan cara membuka ladang, tegalan, dan sawah. Lama-lama banyak orang datang dan ikut bermukim sehingga daerah Lemahwungkuk yang semula sepi mulai berkembang. Ki Gede Alang-Alang yang beragama Hindu itu diangkat menjadi kuwu. Sedang Walangsungsang yang beragama Islam diangkat jadi wakil kuwu. Walangsungsang mengubah namanya menjadi Ki Cakrabumi. Ketika Ki Gede Alang-Alang meninggal, Ki Cakrabumi diangkat mejadi kuwu menggantikan Ki Gede Alang-Alang. Setelah menjadi kuwu, namanya diubah lagi menjadi Ki Cakrabuwana.
Sebenarnya Ki Cakrabuwana, demikian Kamandaka masih mlanjutkan ceriteranya, adalah seorang ksatria yang  ulet, pekerja keras, pantang menyerah, dan seorang yang memiliki jiwa wirausaha. Dia tidak hanya pandai berladang dan bertani dengan membuka ladang dan sawah baru. Tetapi Ki Cakrabuwana juga memelopori pembuatan makanan dengan bahan dasar udang, yakni petis, terasi, dan krupuk. Udang hasil tangkapan para nelayan di pantai Laut Jawa dibeli oleh Ki Cakrabuwana. Kemudian dengan dibantu istrinya dan para pekerja, udang-udang itu ditumbuk di atas lumpang batu. Ternyata petis dan terasi buatan Ki Cakrabuwana sangat digemari penduduk, sehingga petis dan terasi itu berkembang menjadi barang dagangan yang sangat laris. Produksi petis dan trasi Ki Cakrabuwana sampai bisa dikirimkan ke daerah lain.
“Konon dari kata air udang, atau air rebon, atau cai rebon sebagai bahan baku pembuat petis yang sangat lezat itulah terbentuk kata Cairebon. Lama-lama kata Cairebon berubah menjadi Cirebon. Tetapi dari riwayat lain menyebutkan, bahwa kata Cirebon berasal dari kata caruban yang berarti campuran. Disebut caruban atau campuran, karena dibawah kepemimpinan Ki Cakrabuwana, daerah baru Cirebon terus berkembang dan banyak penduduk pendatang  berasal dari aneka macam suku bangsa, mulai dari Sunda, Jawa, Bugis, Arab, Keling, Pasai, Tiongkok, dan lainnya lagi. Mereka terus bercampur, terjadi proses perkawinan silang, dan terbentuklah sebuah wilayah dengan ciri budaya kota yang lebih bebas dan toleran. Kota Cirebon juga merupakan tempat nyaman untuk berlindung bagi para pengungsi yang melarikan diri dari Kerajaan Jawa saat terjadi perang perebutan tahta. Sebagian besar mereka berasal daerah Kediri dan Majapahit. Misalnya, ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena serangan Kadipaten Keling yang memberontak. Banyak pengikut Raja Majapahit terakhir yang melarikan diri ke Cirebon, termasuk Resi Bungsu, sahabat Ayah Dimas Arya Baribin.”
“Ketika Cirebon semakin berkembang, Raja Pajajaran Rahyang Dewa Niskala menugaskan salah seorang utusan untuk meninjau daerah baru itu. Betapa terkejutnya Sang Raja Rahyang Dewa Niskala, saat mengetahui bahwa penguasa daerah yang sedang berkembang itu adalah putranya sendiri, Raden Walangsungsang. Sang Raja segera mengesahkan Kadipaten Cirebon dan mengangkat putranya Raden Walangsungsang atau Ki Cakrabuana sebagai Adipati Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Nama anugerah ayahnya itu melengkapi nama barunya setelah disahkan jadi Adipati Kadipaten Cirebon, sehingga gelar lengkapnya adalah Sri Mangana Cakrabuwana,” kata Kamandaka.
“Oh, pantas, Kanjeng Rama setiap habis pulang dari Cirebon tidak lupa membawa oleh-oleh petis, trasi, dan krupuk udang Cirebon,” kata Sang Dewi setelah mendapatkan penjelasan dari suaminya. “Adipati Cirebon Ki Cakrabuwana mengirimkan salam untuk Kanda. Pasti Kanjeng Rama lupa menyampaikan. Kanjeng Adipati Cirebon tidak bisa datang ke Pasirluhur menghadiri pernikahan kita, karena istrinya sedang sakit.”
“Oh, ya? Terimakasih atas salamnya. Semoga istrinya cepat sembuh. Aku tidak mengira kalau Kanjeng Rama mengundang Adipati Cirebon. Apakah Kanjeng Rama atau Kanjeng Ibu mempunyai hubungan kekerabatan dengan Adipati Cirebon, sehingga hubungannya begitu erat dan tampak akrab?” tanya Kamandaka.
“Hubungan kekerabatan tidak ada,” jawab Sang Dewi. “Tetapi setelah Adipati Cirebon tahu Kanjeng Rama berbesanan dengan Sri Baginda Prabu Siliwangi, tentu saja Adipati Cirebon itu menganggap Kanjeng Rama sebagai adiknya juga.”
“Ketika Sang Raja Rahyang Dewa Niskala masih bertahta apakan Adipati Cirebon pernah datang menghadap Ayahnya di Pakuan Pajajaran?” tanya Sang Dewi ingi tahu lebih banyak hubungan Kadipaten Cirebon dengan Kerajaan Pajajaran.
“Sayang sekali, hubungan Kadipaten Cirebon dengan Kerajaan Pajajaran di Pakuan, sempat memburuk. Permasalahannya sebenarnya sangat sederhana,” jawab Kamandaka. Kemudian Kamandaka menceriterakan kisah terjadinya konflik Kadipaten Cirebon dengan Kerajaan Pajajaran.
Setelah diangkat oleh Sang Raja Dewa Niskala sebagai Adipati Cirebon, demikian kata Kamandaka, praktis Cirebon mengakui kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Adipati Cirebon juga berjanji akan mengirimkan upeti ke Pakuan Pajajaran. Janji itu sempat dipenuhi beberapa kali. Namun pengiriman upeti lalu tertunda dan Cirebon tidak lagi mengirimkan upeti ke Pajajaran. Sang Raja Dewa Niskala menjadi murka ketika mengetahui Cirebon tidak mengirim upeti ke Pajajaran, tetapi malah membangun sebuah Pasanggrahan megah untuk satu-satunya putri tercinta Adipati Cirebon, Dyah Ayu Pakungwati. Pasanggrahan itu pun diberi nama dengan nama putri tercintanya, menjadi Pasanggrahan Pakungwati. Setelah putrinya menikah dengan Syekh Jati, Pasanggarahan Pakungwati dibangun lagi menjadi pusat pemerintahan atau Keraton Kadipaten Cirebon. Sri Mangana Cakrabuwana memang sedang mempersiapkan suami putrinya, Syekh Jati, agar kelak bisa meneruskan jabatannya sebagai Adipati Cirebon.
Pembangunan Keraton Kadipaten Cirebon pun selesai. Kemudian Syekh Jati mengusulkan agar di samping Keraton Pakungwati juga dibangunkan sebuah masjid. Ki Cakrabuwana menyetujui usul menantu dan keponakannya itu. Untuk membangun sebuah masjid, Syekh Jati menghubungi Kerajaan Demak, dan mohon bantuan agar dikirimkan ahli bangunan dari Kerajaan Demak yang memiliki kemampuan khusus membanguan masjid dengan menggunakan Masjid Demak sebagai pola dasar. Tentu saja permohonan Syekh Jati dan Adipati Cirebon disambut dengan suka cita oleh Sultan Demak, Abdul Fattah.
Dikirimkanlah sejumlah ahli bangunan pimpinan Raden Sepat. Raden Sepat adalah seorang ahli bangunan dari Kraton Majapahit yang melarikan diri ketika Majapahit runtuh. Dia melarikan diri ke Demak dan meminta perlindungan kepada Sultan Demak. Dengan senang Sultan Demak menerima Raden Sepat dan anak buahnya. Mereka lalu dimanfaatkan Sultan Demak untuk menyempurnakan bangunan Keraton Demak dan bangunan Masjid Demak. Ketika ada permintaan dari Cirebon, Sultan Demak mengirimkan Raden Sepat dan anak buahnya untuk membangun Masjid Agung Cirebon dan Pasanggrahan Pakungwati menjadi Dalem Keraton Kadipaten Cirebon.
Ketika mendengar laporan dari Tumenggung Jagabaya, bahwa Kadipaten Cirebon telah meminta bantuan Kerajaan Islam Demak, Raja Dewa Niskala menilai bahwa Adipati Cirebon Sri Mangana telah melakukan pembangkangan terhadap Kerajaan Pajajaran. Maka diutuslah Tumenggung Jagabaya disertai ratusan prajuritnya untuk menduduki Cirebon. Tetapi Sang Raja Rahyang Dewa Niskala lupa, bahwa Kadipaten Cirebon bisa meminta perlindungan Kerajaan Islam Demak. Dan itulah yang terjadi. Maka meletuslah perang antara Kerajaan Pajajaran dengan Kerajaan Islam Demak, memperebutkan Kadipaten Cirebon. Pasukan Tumenggung Jagabaya dengan mudah dikalahkan tentara Kerajaan Islam Demak yang jauh berpengalaman. Bahkan Tumenggung Jagabaya menyerah, kemudian malah memeluk Islam dan mengabdi kepada Adipati Cirebon. Mendengar kekalahan Pajajaran dalam perang memperebutkan Cirebon, bahkan Tumenggung Jagabaya yang merupakan tumenggung andalan Sang Raja membelot, berita itu langsung mengakibatkan duka cita yang mendalam bagi Sang Raja Rahyang Dewa Niskala. Berhari-hari Sang Raja terus murung, akhirnya jatuh sakit.
“Padahal sebelumnya Ayahanda yang saat itu masih menjadi Putra Mahkota sempat mengingatkan Sang Raja agar Kerajaan Pajajaran jangan menggunakan kekerasan senjata untuk menaklukan Cirebon,”kata Kamandaka, masih melanjutkan ceriteranya. “Sebab Putra Mahkota tahu Adipati Cirebon bukannya tidak mau membayar upeti tetapi hanya minta penundaan sementara karena banyaknya pengeluaran untuk menyelesaikan bangunan pusat pemerintahan Kadipaten Cirebon dengan masjidnya. Sang Putra Mahkota juga berpendapat, andaikata Adipati Cirebon dan menantunya minta bantuan kepada Raja Pajajaran mencarikan ahli bangunan untuk membangun masjid, tidak mungkin Kerajaan Pajajaran yang memeluk agama Hindu mampu memenuhi permintaan Kadipaten Cirebon. Tetapi apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Hubungan ayah dengan anak dan cucu langsung retak dan putus kembali. Mungkin karena menyesali langkahnya yang keliru, Sang Raja Rahyang Dewa Niskala tidak lama kemudian mangkat. Putra Mahkota pun naik tahta Kerajaan Pajajajaran. Dialah Ayahanda, Sri Baginda Prabu Siliwangi.”
“Sayang sekali, ya, hubungan ayah, anak, dan cucu putus hanya gara-gara upeti,” kata Sang Dewi yang langsung disambung dengan pertanyaan kepada suaminya, ”Jadi, sekarang bagaimana posisi Kadipaten Cirebon? Apakah sudah lepas dari Kerajaan Pajajaran?”
“Hubungannya masih sulit diramalkan. Kadipaten Cirebon tidak pernah secara formal menyatakan mengakui Kerajaan Demak sebagai pelindungnya. Tetapi juga tidak pernah menyatakan melepaskan dari Kerajaan Pajajaran. Sri Baginda Prabu Siliwangi tampak hati-hati menghadapi kakak tirinya itu. Bagi Pajajaran paling jauh yang bisa dilakukan adalah menjaga agar Kadipaten Singapura dengan Bandar Muarajatinya, Wanagiri, Rajagaluh, dan Talaga, tetap setia kepada Kerajaan Pajajaran, sekalipun seandainya mereka berubah menjadi Kadipaten Islam. Suatu kenyataan bahwa Dinda Banyakbelabur pernah diterima dengan baik ketika mengunjungi Kadipaten Cirebon, tentu merupakan pertanda baik. Ada harapan akan bisa dipulihkan hubungan yang sudah retak itu. Tetapi jika Dinda Banyakbelabur mendorong Ayahanda Sri Baginda Siliwangi mengulangi kembali kesalahan Sang Raja Rahyang Dewa Niskala, perang Demak dan Pajaran pasti akan pecah kembali. Dan hasilnya mudah diramalkan. Bandar Muarajati dan kadipaten-kadipaten sekitar Cirebon, pasti akan lepas dari Kerajaan Pajajaran,” kata Kamandaka meramalkan.
“Ternyata pengetahuan Kanda perihal Kadipaten Cirebon, mendalam juga. Tetapi, tahukah Kanda, apa nama Masjid Kadipaten Cirebon? Dan apa hubungannya dengan sakitnya Dyah Ayu Pakungwati setelah Dalem Keraton Pakungwati dan Masjid Cirebon selesai?” tanya Sang Dewi yang dijawab Kamandaka dengan menggelengkan kepalanya.
“Kanjeng Ibu berceritera padaku, bahwa setelah bangunan Dalem Keraton dan Masjid  Cirebon selesai, Dyah Ayu Pakungwati sakit berminggu-minggu,” kata Sang Dewi menceriterakan putri kesayangan Adipati Cirebon.
“Segala obat dan tabib telah didatangkan untuk mengobati, tapi belum ada hasilnya. Suaminya, Syekh Jati, juga ikut bingung dan sibuk mencarikan tabib dan obat ke mana-mana. Tapi hasilnya tetap nihil. Kanjeng Ibu yang mendengar Putri Adipati Cirebon sakit, mencoba membuatkan racikan jamu penyembuh dengan maksud menolong putri kesayangan sahabatnya itu. Setelah racikan jamu selesai, berangkatlah Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu ke Cirebon. Tentu saja Adipati Cirebon dan istrinya senang ketika putri kesayangannya ditengok Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu. Apalagi ketika Kanjeng Ibu memberikan racikan jamu penyembuh buatannya yang tinggal diminum saja. Ketika Kanjeng Ibu menengok di tempat tidurnya, tampak Putri Adipati Cirebon itu wajahnya pucat, tubunnya lemah, dan sulit diajak bicara. Dengan sabar selama tiga hari, Kanjeng Ibu melakukan perawatan dengan memberikan jamu racikannya secara teratur, disertai dengan pijitan-pijitan di bagian punggung, telapak kaki, dan  tangan. Ternyata setelah tiga hari dirawat Kanjeng Ibu, Dyah Ayu Pakungwati menunjukkan gejala ke arah kesembuhan. Sebelum pulang kembali ke Pasirluhur, Kanjeng Ibu berpesan agar pengobatan dengan jamu racikan buatannya diminum sampai habis. Bilamana ada kemajuan, agar Kanjeng Ibu diberitahu. Perlunya Kanjeng Ibu akan membuatkan jamu racikan lagi untuk melanjutkan proses penyembuhan.”
“Aku sama sekali belum pernah mendengar ceritera itu. Hebat juga ilmu meracik jamu Kanjeng Ibu,” kata Kamandaka yang tiba-tiban ingat selendang kuning berisi ramuan penyembuh luka buatan Kanjeng Ayu Adipati Sepuh. Racikan penyembuh luka itu pernah menyelamatkan nyawanya dari racun maut yang mematikan. Yakni racun Pusaka Kujang Kancana Shakti yang sempat melukai dirinya.
“Tidak lama kemudian, datanglah utusan dari Kadipaten Cirebon,” kata Sang Dewi. “Ternyata utusan itu memberitahu, bahwa Putri Adipati Cirebon setelah dirawat Kanjeng Ibu  tiga hari dan minum jamu racikan Kanjeng Ibu, berangsur-angsur memperlihatkan  kesembuhan. Tentu saja Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama gembira sekali. Utusan dari Kadipaten Cirebon itu diminta menginap dua malam, untuk menunggu racikan jamu yang harus disiapkan Kanjeng Ibu. Setelah racikan jamu selesai, utusan dari Cirebon pulang kembali dengan membawa racikan jamu. Kanjeng Ibu masih berpesan jika jamu racikan habis agar datang lagi ke Pasirluhur sambil memberi tahukan perkembangan kesehatan Putri Adipati Cirebon.”
“Kurang lebih sampai tiga kali utusan dari Cirebon datang menemui Kanjeng Ibu untuk minta jamu racikan lanjutan. Kanjeng Ibu dengan senang hati memenuhi pesanan itu. Pada kunjungan ke empat utusan memberitahu, bahwa Putri Sang Adipati telah sembuh total. Adipati Cirebon menyampaikan ucapan terima kasih dan berharap Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama berkenan datang ke Cirebon untuk menghadiri acara syukuran Sang Putri Adipati Cirebon yang telah sembuh dari sakitnya. Dengan senang hati Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama memenuhi undangan Adipati Cirebon,” kata Sang Dewi.
“Kehadiran Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu disambut dengan suka cita oleh seluruh keluarga Adipati Cirebon,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Selesai acara syukuran Adipati Cirebon didampingi istrinya dan menantunya, Syekh Jati, memberi tahu bahwa Adipati Cirebon sempat berujar, jika Putri kesayangan Sang Adipati benar-benar sembuh dari sakitnya, maka Masjid Kadipaten Cirebon yang telah selesai dibangun itu akan diberi nama dengan nama orang yang berhasil menyembuhkan Putri Sang Adipati. Mendengar permintaan itu, Ibu menjadi gugup dan bingung. Entah mengapa, Ibu tiba-tiba ingat namaku. Setelah berunding dengan Kanjeng Rama, akhirnya Ibu menawarkan namaku, Ciptarasa, untuk dipakai sebagai nama Masjid Kadipaten Cirebon. Ternyata usul Ibu diterima dengan senang hati oleh Adipati Cirebon dan menantunya Syekh Jati. Demikianlah Masjid Ciptarasa menjadi nama masjid Kadipaten Cirebon yang berdampingan dengan Keraton Pakungwati Kadipaten Cirebon.”
“Anehnya, pada malam harinya Ibu bermimpi, ada seorang ksatria yang mengaku Putra Mahkota Kerajaan Pajajaran mendatangi Ibu dan mengajak aku jalan-jalan. Ketika paginya Kanjeng Ibu menceriterakan kepada Kanjeng Rama, Kanjeng Rama hanya tertawa sambil mengatakan mimpi itu hanyalah bunga orang tidur. Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu sama sekali tidak menduga, bahwa kurang dari dua tahun setelah mimpi itu, aku benar-benar dilamar Kanda. Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu akhirnya benar-benar berbesanan dengan Sri Baginda Prabu Siliwangi. Bukankah Syekh Jati dan Dyah Ayu Pakungwati adalah cucu Sang Raja Dewa Niskala, sama dengan Kanda dan aku setelah aku jadi Istri Kanda?” kata Sang Dewi mengakhiri kisah yang baru pertama kali diceriterakan kepada suaminya.
“Hem, kisah yang menarik dan unik. Tapi aku percaya pada mimpi Kanjeng Ibu. Sebab aku jadi ingat, suatu ketika aku seperti mendapat petunjuk gaib. Tiba-tiba saja aku pun sering mimpi bertemu dengan seorang gadis yang selalu mendatangi aku. Tetapi aku tidak pernah tahu, di mana gadis itu berada dan siapa pula namanya, sampai suatu saat aku bertemu Ki Ajar Wirangrong. Ki Ajar Wirangrong memberitahu aku, bahwa gadis yang selalu datang ke dalam mimpiku dengan wajah mirip Ibuku itu tidak lain adalah Putri Kanjeng Adipati Pasirluhur. Ki Ajar Wirangrong mengatakan, bahwa gadis itu memang telah ditakdirkan menjadi jodohku. Hanya jalan untuk mendapatkannya tidaklah mudah,” kata Kamandaka yang membuat Sang Dewi terheran-heran.
“Sayang memang Kanjeng Adipati Cirebon tidak bisa menghadiri acara pernikahan kita,” kata Sang Dewi pula. “Tetapi kirimannya berupa seperangkat barang-barang porselin dan guci buatan Tiongkok yang indah sekali sampai juga. Bahkan beberapa keranjang terasi Cirebon dan krupuk udang yang lezat itu, sudah sampai jauh-jauh hari sebelum resepsi pernikahan kita.”
“Oh, iya? Sayang sekali Diajeng baru ceritera sekarang. Kalau aku tahu sebelumnya, pasti akan aku balas dengan mengirimkan gula kelapa dan gula aren buatan Nyai Kertisara.”
“Itu gagasan bagus, Kanda. Tidak ada kata terlambat. Jika kelak Kanda bermaksud mengenalkan produksi gula kelapa dan gula aren ke Kadipaten Cirebon, Tumenggung Maresi bisa ditugaskan. Silaturahmi menjaga hubungan kekerabatan perlu terus kita pelihara dan kita tingkatkan. Sekalipun kita beda agama, bukan halangan untuk menjalin persahabatan. Bukankan Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu, juga bisa bersahabat dengan Adipati Cirebon, sekalipun beda agama? Apalagi Kadipaten Cirebon dan Kadipaten Pasirluhur ternyata masih ada ikatan kekerabatan,” kata Sang Dewi.
“Iya, aku setuju. Apalagi nama Diajeng ternyata telah diabadikan jadi nama Masjid Kadipaten Cirebon. Sebuah masjid dengan nama indah, Masjid Ciptarasa,” kata Kamandaka yang tidak menduga nama istrinya diabadikan sebagai nama masjid  Kadipaten Cirebon.
“Ada baiknya kelak jika Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu berkunjung ke Cirebon, kita ikut mendampingi. Bukankah Kanda belum pernah bertemu Kanjeng Adipati Cirebon Srimangana Cakrabuwana yang merupakan Kakak Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi, sekalipun beda Ibu?” tanya Sang Dewi.
“Iya, benar. Nanti hal itu bisa kita pikirkan lagi,” jawab Kamandaka mendukung rencana istrinya.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar