Dan mereka rela menunggu, sekalipun
Kamandaka dengan istrinya sedang istirahat. Kesempatan istirahat menjelang sore
hari itulah yang dimanfaatkan dengan sebaik-baiknnya untuk melihat-lihat puri
yang akan ditempatinya.
Kemudian
sampailah Kamandaka di depan kamar mandi puri. Ketika pintu kamar mandi dibuka,
harum semerbak kamar mandi segera menyergapnya. Hem, alangkah segar terasa di
dadanya. Dilihatnya bak mandi porselin buatan Tiongkok yang memanjang. Cukup
kira-kira jika untuk berendam berdua dengan istrinya.
Di dinding kamar
mandi terpasang cermin besar berbingkai perak berukir. Ada pula dua pancuran
menempel pada dinding yang airnya bisa dialirkan setiap saat. Dari kedua
pancuran itu dapat dialirkan air dingin dan panas, karena pancuran itu
dihubungkan dengan dua bak penampungan air yang berada di luar puri. Seorang
bujang telah ditugaskan untuk menjaga agar bak-bak penampung air khusus untuk
puri itu selalu penuh. Bak yang berisi air panas dibuat dari semacam periuk
besar yang ditaruh di atas tungku dengan bara api yang selalu menyala. Konon
periuk besar berbentuk kubus itu diperoleh dari Cirebon, karya seorang
pendatang dari Baghdad yang bernama Pangeran Panjunan. Dia datang ke Bandar
Muarajati (1420 M), bersama Syekh Datuk Kahfi.
“Syekh Datuk
Kahfi mendirikan pesantren di Muarajati,” kata Sang Dewi. Kamandaka berdiri
disamping istrinya mendengarkan dengan sabar apa saja yang dikatakan istrinya.
Dia memang selalu mengagumi pengetahuan istrinya. “Itulah pesantren kedua di
wilayah Kerajaan Pajajaran. Sahabat Syekh Datuk Kahfi, Pangeran Panjunan
memiliki kepandaian membuat alat-alat dapur dari tanah liat. Dia memproduksi
dan menjual gerabah dari tanah liat. Pangeran Panjunan juga mengajari penduduk
membuat barang-barang keperluan dapur, keperluan kamar mandi dan keperluan
taman dengan menggunakan tanah lihat yang dibakar. Demikian menurut ceritera
Kanjeng Rama.”
Sambil
mendengarkan kata-kata istrinya, Kamandaka masih sempat mengagumi ornamen kamar
mandi yang dipenuhi hiasan dinding keramik buatan Tiongkok. Lantai kamar mandi
dari pualam bersih mengkilap. Hiasan motif burung merak pada lempengan keramik
penghias dinding itu tak dimiliki Kerajaan Pakuan Pajajaran.
“Biyung Emban,
cari bujang suruh menyediakan teh dengan pemanis gula batu dan makanan kecil.
Taruh di meja, ya,” Sang Dewi memberi perintah kepada Khandegwilis.
“Baik, Ndara
Ayu,” jawab Khandegwilis sigap. Lalu Emban
yang sangat setia itu berbalik pergi meninggalkan Sang Dewi dan suaminya.
“Dari mana pula
Kanjeng Rama bisa mendapatkan barang-barang keramik berwarna biru buatan Tiongkok,
Diajeng ?” tanya Kamandaka kepada Sang Dewi setelah puas melihat-lihat kamar
mandi puri yang luas dan mewah.
“Sama seperti
periuk pemanas yang didatangkan dari Cirebon. Bak mandi porselin dan keramik
penghias dinding, maupun lantai pualam semua didapat dari Cirebon. Jika periuk
pemanas air buatan anak buah Pangeran Panjunan, benda-benda poselin dan keramik
adalah buatan Tiongkok. Kanjeng Rama memperoleh semuanya dari Cirebon,” jelas Sang
Dewi saat itu.
“Hm, Diajeng.
Rupanya Kanjeng Rama memiliki jaringan persahabatan yang luas. Sungguh pantas
diacungi jempol,” kata Kamandaka memuji mertuanya.
“Kanjeng Rama
sebenarnya sering pergi ke Cirebon. Setahun paling tidak sekali. Keperluannya
apa lagi kalau bukan untuk berbelanja barang-barang aneh dan baru yang dibawa
kapal-kapal besar yang berdatangan dari Bandar Malaka,” kata Sang Dewi. “Begitu
Kanda melamar aku empat bulan lalu, Rama dan Kanjeng Ibu langsung pergi ke
Cirebon untuk berbelanja dan berburu barang aneh, khususnya yang dibawa
pedagang dari Tiongkok, India, Arab, dan Persia. Lampu gantung, korden, selimut,
karpet, barang-barang porselin, cermin, dan barang pecah belah, semua dibeli
Kanjeng Rama dari Cirebon. Jarak Pasirluhur-Cirebon tidak terlalu jauh. Bagi
Kanjeng Rama Cirebon merupakan Kota Pelabuhan yang menarik. Banyak kapal-kapal
besar berlabuh. Hasilnya Kanda bisa lihat sendiri perabotan dan barang-barang
yang ada di puri ini yang telah disulap jadi puri pengantin.”
“Ya, perjuangan
keras Kanjeng Rama demi putri tercintanya.” kembali Kamandaka memuji mertuanya.
“Karena itu Kanda
harus menghargai jerih payah Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu. Antara lain dengan
cara mencintai aku sepenuh hati, jangan sakiti aku, jangan mengkhianati cinta
suci kita, dan jangan cari seorang selir!”
“Disambar petir
pun aku mau, kalau sampai aku kelak cari selir!” kata Kamandaka meyakinkan
istrinya sambil tersenyum dengan maksud agar tak ada lagi keragu-raguan pada
istrinya.
“Oh, jangan. Aku tidak mau jadi janda!”
kata Sang Dewi sambil tertawa. Kamandaka pun ikut tertawa. Sebab dia tahu istrinya
memang suka berkelakar dan menggodanya.
“Diajeng tadi
mengatakan bahwa Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu, sering ke Cirebon. Kalau ke
Cirebon Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu menginap di mana?” tanya Kamandaka
penasaran. Perbincangan Kamandaka kembali ke Bandar Cirebon yang sedang
mengalami perkembangan pesat, melampaui Bandar Muarajati yang jauh lebih lama.
“Kanjeng Rama kan
bersahabat dengan Adipati Cirebon, Sri Mangana Cakrabuwana maupun menantu
sekaligus keponakannya, Syekh Jati. Tentu saja Kanjeng Rama menginap di Dalem
Kadipaten Cirebon. Sri Mangana Cakrabuwana adalah seorang adipati beragama
Islam yang mendapat gelar Sri Mangana dari Raja Pajajaran. Kata Kanjeng Rama,
Sri Mangana maupun menantunya masih punya ikatan kekerabatan dengan Ayah
Mertua, Sri Baginda Prabu Siliwangi,” jawab Sang Dewi.
“Benar sekali apa
yang dikatakan Kanjeng Rama, Diajeng. Sri Mangana Cakrabuwana waktu muda
bernama Raden Walangsungsang. Dia tiga bersaudara, putra putri Sang Raja Dewa
Niskala dengan seorang wanita dari Muarajati. Raden Walangsungsang adalah putra
sulung. Adiknya berturut-turut adalah Rara Santang dan Raden Kian Santang.
Dengan demikian mereka sebenarnya adalah kakak tiri Ayahnda, Sri Baginda Prabu
Siliwangi. Sri Mangana mempunyai satu-satunya putri kesayangan, yaitu Dyah Ayu
Pakungwati yang menikah dengan Syeh Jati. Mereka berdua sebenarnya saudara
sepupu, karena Ibu Syekh Jati, adalah adik Sri Mangana, yakni Rara Santang,”
kata Kamandaka menceriterakan hubungan kekerabatan Adipati Cirebon Sri Mangana
Cakrabuwana dengan Raja Pajajaran, Sri Baginda Prabu Siliwangi.
“Kalau begitu,
Syekh Jati menikah dengan kakak sepupu?” tanya Sang Dewi.
“Benar sekali,
Diajeng. Syekh Jati adalah ulama besar keturunan seorang raja dari seberang
lautan. Dia bahkan sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah. Pulang dari sana,
Syekh Jati membangun sebuah pesantren di kaki bukit Sembung yang diberi nama
Pesantren Gunungjati. Pesantren Gunungjati cepat berkembang pesat hingga
mengalahkan pesantren yang lebih lama, Pesantren Datuk Kahfi, pesantren
saudara-saudaranya ibunya yang lain, yaitu Raden Kian Santang. Bahkan Pesantren
Gunungjati, mampu menyamai ketenaran Pesantren Raden Rahmat di Surabaya,” jawab
Kamandaka. “Karena sukses membangun Pesantren besar, menantu dan keponakan Sri
Mangana itu dikenal oleh masyarakat muslim di Cirebon dan pulau Jawa sebagai
Syekh Gunungjati. Syekh Jati dari jalur ibunya jelas adalah trah Pajajaran.
Sebab Syekh Jati adalah cucu Raden Anggalarang.
“Siapa itu Raden
Anggalarang?” tanya Sang Dewi ingin tahu.
“Raden Anggalarang
adalah nama kakeku waktu masih remaja. Dia adalah Putra Mahkota Kerajaan Galuh,
namanya setelah naik tahta adalah Rahyang Dewa Niskala. Dari pernikahannya
dengan Permaisuri, lahirlah Ayahandaku, Sri Baginda Prabu Siliwangi. Saat Raden
Anggalarang masih remaja, dia sering mengunjungi Muarajati. Ketika itu Kerajaan
Galuh belum pindah ke Pakuan Pajajaran. Raden Anggalarang sebenarnya punya dua
istri gadis pantai, yaitu Rara Ambet Kasih dan Rara Subanglarang. Rara Ambet
Kasih adalah Putri Adipati Surantaka, Ki Gedeng Sedhang Kasih. Sedangkan Rara
Subanglarang adalah Putri Syahbandar Muarajati, Ki Gedeng Tapa. Ki Gedeng Tapa,
selain menjabat sebagai Syahbandar Muarajati, juga merangkap jabatan sebagai
Mangkubumi Kadipaten Singapura. Pernikahan Raden Anggaarang dengan Putri Ambet
Kasih, tidak memberikan keturunan. Tetapi dengan Rara Subanglarang, Raden Anggalarang
punya tiga putra-putri, yaitu Raden Walangsungsang, Rara Santang, dan Raden
Kian Santang,” kata Kamandaka menceriterakan perjalanan cinta kakeknya, Raden Anggalarang.
“Bagaimana
ceriteranya Raden Anggalarang, Putra Mahkota Kerajaan Galuh tetapi bisa
terpikat pada dua gadis pantai sekaligus? Bukankah jarak Galuh-Cirebon cukup
jauh? Jangan-jangan kelak Kanda meniru kelakuan Raden Anggalarang, mudah jatuh
cinta pada setiap gadis cantik yang dilihatnya?” tanya Sang Dewi sambil
tersenyum sekaligus menggoda suaminya.
“Aku kan bukan
lagi Putra Mahkota. Lagi pula istriku cantik lahir batin. Buat apa terpikat
pada wanita lain?” jawab Kamandaka dengan cerdik.
“Terima kasih,
Kanda,” kata Sang Dewi sambil mendaratkan bibirnya di pipi suaminya. ”Aku ingin
mendengar kisah cinta Putra Mahkota Kerajaan Galuh, Raden Anggalarang dengan
dua gadis Pantai, Rara Ambetkasih dan Rara Subanglarang.”
“Aku pun hanya
mendengarkan kisah Raden Anggalarang dari Ayahku, Sri Baginda Prabu Siliwangi.
Sebab perisitiwa itu terjadi ketika Raden Anggalarang masih tinggal di Galuh
Kawali. Sedangkan ketika aku dan adik-adikku lahir, Raden Anggalarang sudah
menjadi raja dengan mengambil gelar Rahyang Dewa Niskala. Pusat Kerajaan pun
sudah dipindahkan dari Galuh Kawali ke Pakuan Pajajaran,” kata Kamandaka yang
mulai menceriterakan kisah cinta kakeknya, Raden Anggalarang dengan dua gadis
pantai yang cantik.
Pada saat itu di
sekitar Bandar Muarajati, kata Kamandaka menjelaskan, terdapat sekitar enam
kadipaten yang semuanya merupakan kadipaten bawahan Kerajaan Galuh Kawali, sama
dengan Kadipaten Pasirluhur, Dayeuhluhur, dan kadipaten lainya yang
dikendalikan Kerajaan Galuh. Ke enam kadipaten itu adalah Surantaka, Singapura,
Japura, Wanagiri, Rajagaluh, dan Talaga. Ke enamnya merupakan kadipaten makmur.
Tetapi paling makmur adalah Kadipaten Surantaka karena mempunyai bandar besar
Muarajati. Sedangkan Singapura dan Japura juga mempunya bandar tidak jauh dari
Bandar Muarajati. Hanya lebih kecil. Para adipati pesisir itu rata-rata masih
punya hubungan kekerabatan dengan Raja Galuh Niskala Wastukancana. Misalnya, Ki
Gedeng Sedhang Kasih, Ki Gedeng Surawijaya, dan Ki Gedeng Kasmaya. Mereka
bertiga berturut-turut adalah Adipati Surantaka, Adipati Singapura, dan Adipati
Wanagiri.
Raja Galuh
Niskala Wastukancana adalah seorang raja yang sangat toleran, sekalipun sempat
mengeluarkan Pamali yang berupa larangan trah Galuh menikah dengan trah
Majapahit. Karena Bandar Muarajati berkembang menjadi bandar besar dan ramai
yang banyak dikunjungi para pedagang muslim, akhirnya banyak pula para kerabat
adipati pesisir itu yang menjadi pemeluk muslim. Banyak hal yang menyebabkan
para adipati pesisir itu beralih menjadi muslim. Misalnya, karena ada putrinya
yang menikah dengan para pedagang pendatang pemukim yang kebanyakan berasal
dari Pasai, Malaka, Patani, dan Campa. Tetapi sekalipun para adipati itu
menjadi muslim, mereka tetap tunduk dan patuh kepada Kerajaan Galuh dengan cara
mengirimkan upeti secara rutin. Namun demikian, ada juga adipati yang menjadi
muslim karena persahaban semata-mata dengan para pemukim muslim. Misalnya,
Syahbandar Muarajati menjadi muslim karena pengaruh seorang ulama pendatang
dari Campa yang bernama Syekh Hasanudin alias Syekh Quro. Syekh Quro lalu
mendirikan pesantren di Krawang yang dikenal sebagai Pesantren Syekh Quro. Di
Pesantren Syekh Quro yang terletak di Desa Talagasari, Krawang itulah Putri
Syahbandar Muarajati yang cantik jelita, Rara Subanglarang pernah mondok
beberapa bulan.
“Berbeda dengan
Kerajaan Jawa yang mewajibkan para adipati bawahan mengirim upeti dan sowan
menghadap Raja Jawa setiap tahun,” kata Kamandaka melanjutkan, “Kerajaan Galuh
dan Kerajaan Pajajaran hanya mewajibkan adipati bawahan mengirimkan upeti dan
tidak mewajibkan sowan. Mungkin karena para adipati pesisir tetap tunduk dan
setia kepada Kerajaan Galuh, Sang Raja Niskala Wastukancana tidak pernah
mempersoalkan perpindahan agama para adipati pesisir itu. Namun secara rutin,
Raja Niskala Wastukancana sering menugaskan putranya, Raden Anggalarang untuk
mengunjungi keenam kadipaten itu. Jika ke Muarajati, Raden Anggalarang sering
bermalam di rumah Adipati Surantaka. Kebetulan Adipati Surantaka punya anak
gadis yang cantik, Rara Ambet Kasih.”
“Raden Anggalarang
langsung jatuh cinta dan terjadilah pernikahan di antara mereka berdua. Dengan
pernikahan itu Raden Anggalarang menjadi menantu Adipati Surantaka. Suatu
ketika, Adipati Japura yang bersaing dengan Adipati Singapura, membangkang, dan
tidak mau membayar upeti kepada Kerajaan Galuh. Akibatnya Raja Galuh Niskala
Wastukancana, menugaskan putranya Raden Anggalarang untuk menduduki Kadipaten
Japura. Perang pun pecah. Tetapi dengan mudah Raden Anggalarang yang dibantu
mertuanya, Adipati Surantaka dan Mangkubumi Singapura, berhasil menaklukkan
Kadipaten Japura. Kabupaten Japura pun dilebur menjadi satu dengan Kadipaten
Singapura.”
“Tak lama
kemudian Adipati Surantaka meninggal dunia tanpa memiliki seorang putra yang
dapat menggantikannya. Akhirnya Raden Anggalarang mendapat perintah dari
Ayahnya, Raja Niskala Wastukancana, agar kadipaten Surantaka dilebur ke dalam
Kadipaten Singapura dan menunjuk Raden Anggalarang menjadi Adipati Kadipaten
Singapura. Demikianlah, Kadipaten Singapura menjadi kadipaten yang semakin luas
wilayahnya dan tentu saja menjadi semakin makmur, karena menerima penggabungan
wilayah Japura dan Surantaka. Raja Galuh Niskala Wastukanca juga menunjuk
Mangkubumi Singapura, Ki Gede Tapa, menjadi Syahbandar Muarajati yang dulu
dirangkap Adipati Surantaka. Tentu saja hubungan Raden Anggalarang yang
menjabat menjadi Adipati Singapura dengan Syahbandar Muarajati semakin erat,
karena Ki Gede Tapa merangkap dua jabatan sekaligus, yakni Mangkubumi Singapura
dan Syahbandar Muarajati. Sedangkan Raden Anggalarang, menduduki kursi Adipati
Singapura. Apalagi, Syahbandar Muarajati, Ki Gede Tapa, memiliki gadis cantik
jelita, Rara Subanglarang,” kata Kamandaka.
“Kalau begitu
sering terjadi cinta lokasi? Raden Anggalarang jatuh cinta lagi kepada Putri Ki
Gede Tapa yang menjabat Syahbandar Muarajati?” tanya Sang Dewi.
“Tampaknya
begitu, Diajeng. Pada awalnya Rara Subanglarang dan ayahnya berharap agar Raden
Anggalarang mau mengikuti agama calon isrinya, menjadi muslim. Tetapi mereka
tidak berani mengutarakannya, sebab bagaimanapun juga Raden Anggalarang adalah
Putra Mahkota Kerajaan Galuh yang memeluk agama Hindu. Kalau toh Raden Anggalarang
mau, belum tentu ayahnya, Sang Raja Niskala Wastukancana menyetujuinya.
Akhirnya Syahbandar Muarajati mencari akal. Diselenggarakanlah sebuah
sayembara, barang siapa yang memenangkan adu ketangkasan berkelahai dengan
menggunakan senjata tajam, akan dinikahkan dengan putrinya, Rara Subanglarang
yang baru saja pulang dari Pesantren Syekh Quro.”
“Raden Anggalarang
yang sudah lama tertarik pada kecantikan Rara Subanglarang, segera melepas
jabatannya sebagai Adipati untuk sementara agar bisa mengikuti sayembara.
Ternyata Raden Anggalarang memiliki ilmu bela diri tingkat tinggi. Dia memang
pernah satu perguruan dengan Ki Ajar Wirangrong, pendiri Padepokan Sangkuriang
di lereng Gunung Tangkuban Perahu. Tentu saja Raden Anggalarang dengan mudah
menaklukkan lawan-lawanya di arena pertandingan. Rara Subanglarang pun berhasil
dipersunting Raden Anggalarang. Untuk menjaga perasaan istri tuanya, Raden Anggalarang
memboyong Rara Subanglarang ke Galuh. Tetapi Sang Raja Niskala Wastukancana
kurang berkenan dengan menantunya, karena menantunya itu tetap menganut agama
Islam. Padahal undang-undang Kerajaan Galuh, menetapkan bahwa Permaisuri Putra
Mahkota haruslah menganut agama Hindu. Akhirnya memang tak ada pilihan lain
bagi Raden Anggalarang. Dia harus menikah dengan gadis pilihan ayahnya. Dari
gadis Kadipaten Pakuan pilihan orang tuanya itulah lahir Ayahku, Raden
Pamanahrasa. Setelah naik tahta, mengambil gelar, Sri Baginda Prabu Siliwangi.”
“Dengan Gadis Pantai Rara
Subanglarang, Raden Anggalarang menurunkan tiga putra-putri seperti sudah aku
sebutkan di depan, yaitu Raden Walangsungsang, Rara Santang, dan Raden Kian
Santang,” kata Kamandaka masih melanjutkan menceriterakan kisah cinta Raden Anggalarang
dengan Gadis Pantai.
”Ketika Raden Anggalarang
memindahkan dan menduduki tahta Kerajaan Pakuan Pajajaran, karena Raja Niskala
Wastukancana mangkat (1433 M), Putri Subanglarang menolak dibawa pindah ke Pakuan
Pajajaran. Akhirnya Putri Subanglarang memilih kembali ke Muarajati dengan
membawa ketiga putra dan putrinya. Putra-putrinya itu besar dalam asuhan
kakeknya, Ki Gede Tapa, yang saat itu sudah menjabat Adipati Singapura yang
kosong karena ditinggal Raden Anggalarang yang kembali ke Galuh. Sekalipun
sudah menjabat sebagai Adipati Singapura, jabatan Syahbandar Muarajati masih
dirangkap Ki Gede Tapa, dan belum dilepaskan. Pada saat itu di Muarajati sudah
berdiri Pesantren Syekh Datuk Kahfi, sebuah pesantren yang didirikan oleh
seorang ulama pendatang dari Baghdad. Di Pesantren Syekh Datuk Kahfi itulah
Adipati Singapura dan Syahbandar Muarajati, Ki Gede Tapa, memasukkan ketiga
cucunya, buah cinta Raden Anggalarang dengan Putri Subanglarang untuk mendalami
agama Islam.”
“Menarik juga
kisah petulangan cinta Raden Anggalarang dengan Gadis Pantai. Apakah Kanda pernah betemu putra-putri Raden Anggalarang
Rahyang Dewa Niskala dengan Gadis Pantai?” tanya Sang Dewi sambil mengajak
suaminya duduk di teras depan Puri Permatabiru.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar