Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 27 Agustus 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (15)




Dan mereka rela menunggu, sekalipun Kamandaka dengan istrinya sedang istirahat. Kesempatan istirahat menjelang sore hari itulah yang dimanfaatkan dengan sebaik-baiknnya untuk melihat-lihat puri yang akan ditempatinya.
Kemudian sampailah Kamandaka di depan kamar mandi puri. Ketika pintu kamar mandi dibuka, harum semerbak kamar mandi segera menyergapnya. Hem, alangkah segar terasa di dadanya. Dilihatnya bak mandi porselin buatan Tiongkok yang memanjang. Cukup kira-kira jika untuk berendam berdua dengan istrinya.
Di dinding kamar mandi terpasang cermin besar berbingkai perak berukir. Ada pula dua pancuran menempel pada dinding yang airnya bisa dialirkan setiap saat. Dari kedua pancuran itu dapat dialirkan air dingin dan panas, karena pancuran itu dihubungkan dengan dua bak penampungan air yang berada di luar puri. Seorang bujang telah ditugaskan untuk menjaga agar bak-bak penampung air khusus untuk puri itu selalu penuh. Bak yang berisi air panas dibuat dari semacam periuk besar yang ditaruh di atas tungku dengan bara api yang selalu menyala. Konon periuk besar berbentuk kubus itu diperoleh dari Cirebon, karya seorang pendatang dari Baghdad yang bernama Pangeran Panjunan. Dia datang ke Bandar Muarajati (1420 M), bersama Syekh Datuk Kahfi.
“Syekh Datuk Kahfi mendirikan pesantren di Muarajati,” kata Sang Dewi. Kamandaka berdiri disamping istrinya mendengarkan dengan sabar apa saja yang dikatakan istrinya. Dia memang selalu mengagumi pengetahuan istrinya. “Itulah pesantren kedua di wilayah Kerajaan Pajajaran. Sahabat Syekh Datuk Kahfi, Pangeran Panjunan memiliki kepandaian membuat alat-alat dapur dari tanah liat. Dia memproduksi dan menjual gerabah dari tanah liat. Pangeran Panjunan juga mengajari penduduk membuat barang-barang keperluan dapur, keperluan kamar mandi dan keperluan taman dengan menggunakan tanah lihat yang dibakar. Demikian menurut ceritera Kanjeng Rama.”
Sambil mendengarkan kata-kata istrinya, Kamandaka masih sempat mengagumi ornamen kamar mandi yang dipenuhi hiasan dinding keramik buatan Tiongkok. Lantai kamar mandi dari pualam bersih mengkilap. Hiasan motif burung merak pada lempengan keramik penghias dinding itu tak dimiliki Kerajaan Pakuan Pajajaran.
“Biyung Emban, cari bujang suruh menyediakan teh dengan pemanis gula batu dan makanan kecil. Taruh di meja, ya,” Sang Dewi memberi perintah kepada Khandegwilis.
“Baik, Ndara Ayu,” jawab Khandegwilis sigap. Lalu Emban yang sangat setia itu berbalik pergi meninggalkan Sang Dewi dan suaminya.
“Dari mana pula Kanjeng Rama bisa mendapatkan barang-barang keramik berwarna biru buatan Tiongkok, Diajeng ?” tanya Kamandaka kepada Sang Dewi setelah puas melihat-lihat kamar mandi puri yang luas dan mewah.
“Sama seperti periuk pemanas yang didatangkan dari Cirebon. Bak mandi porselin dan keramik penghias dinding, maupun lantai pualam semua didapat dari Cirebon. Jika periuk pemanas air buatan anak buah Pangeran Panjunan, benda-benda poselin dan keramik adalah buatan Tiongkok. Kanjeng Rama memperoleh semuanya dari Cirebon,” jelas Sang Dewi saat itu.
“Hm, Diajeng. Rupanya Kanjeng Rama memiliki jaringan persahabatan yang luas. Sungguh pantas diacungi jempol,” kata Kamandaka memuji mertuanya.
“Kanjeng Rama sebenarnya sering pergi ke Cirebon. Setahun paling tidak sekali. Keperluannya apa lagi kalau bukan untuk berbelanja barang-barang aneh dan baru yang dibawa kapal-kapal besar yang berdatangan dari Bandar Malaka,” kata Sang Dewi. “Begitu Kanda melamar aku empat bulan lalu, Rama dan Kanjeng Ibu langsung pergi ke Cirebon untuk berbelanja dan berburu barang aneh, khususnya yang dibawa pedagang dari Tiongkok, India, Arab, dan Persia. Lampu gantung, korden, selimut, karpet, barang-barang porselin, cermin, dan barang pecah belah, semua dibeli Kanjeng Rama dari Cirebon. Jarak Pasirluhur-Cirebon tidak terlalu jauh. Bagi Kanjeng Rama Cirebon merupakan Kota Pelabuhan yang menarik. Banyak kapal-kapal besar berlabuh. Hasilnya Kanda bisa lihat sendiri perabotan dan barang-barang yang ada di puri ini yang telah disulap jadi puri pengantin.”
“Ya, perjuangan keras Kanjeng Rama demi putri tercintanya.” kembali Kamandaka memuji mertuanya.
“Karena itu Kanda harus menghargai jerih payah Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu. Antara lain dengan cara mencintai aku sepenuh hati, jangan sakiti aku, jangan mengkhianati cinta suci kita, dan jangan cari seorang selir!”
“Disambar petir pun aku mau, kalau sampai aku kelak cari selir!” kata Kamandaka meyakinkan istrinya sambil tersenyum dengan maksud agar tak ada lagi keragu-raguan pada istrinya. 
“Oh, jangan. Aku tidak mau jadi janda!” kata Sang Dewi sambil tertawa. Kamandaka pun ikut tertawa. Sebab dia tahu istrinya memang suka berkelakar dan menggodanya.
“Diajeng tadi mengatakan bahwa Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu, sering ke Cirebon. Kalau ke Cirebon Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu menginap di mana?” tanya Kamandaka penasaran. Perbincangan Kamandaka kembali ke Bandar Cirebon yang sedang mengalami perkembangan pesat, melampaui Bandar Muarajati yang jauh lebih lama.
“Kanjeng Rama kan bersahabat dengan Adipati Cirebon, Sri Mangana Cakrabuwana maupun menantu sekaligus keponakannya, Syekh Jati. Tentu saja Kanjeng Rama menginap di Dalem Kadipaten Cirebon. Sri Mangana Cakrabuwana adalah seorang adipati beragama Islam yang mendapat gelar Sri Mangana dari Raja Pajajaran. Kata Kanjeng Rama, Sri Mangana maupun menantunya masih punya ikatan kekerabatan dengan Ayah Mertua, Sri Baginda Prabu Siliwangi,” jawab Sang Dewi.
“Benar sekali apa yang dikatakan Kanjeng Rama, Diajeng. Sri Mangana Cakrabuwana waktu muda bernama Raden Walangsungsang. Dia tiga bersaudara, putra putri Sang Raja Dewa Niskala dengan seorang wanita dari Muarajati. Raden Walangsungsang adalah putra sulung. Adiknya berturut-turut adalah Rara Santang dan Raden Kian Santang. Dengan demikian mereka sebenarnya adalah kakak tiri Ayahnda, Sri Baginda Prabu Siliwangi. Sri Mangana mempunyai satu-satunya putri kesayangan, yaitu Dyah Ayu Pakungwati yang menikah dengan Syeh Jati. Mereka berdua sebenarnya saudara sepupu, karena Ibu Syekh Jati, adalah adik Sri Mangana, yakni Rara Santang,” kata Kamandaka menceriterakan hubungan kekerabatan Adipati Cirebon Sri Mangana Cakrabuwana dengan Raja Pajajaran, Sri Baginda Prabu Siliwangi.
“Kalau begitu, Syekh Jati menikah dengan kakak sepupu?” tanya Sang Dewi.
“Benar sekali, Diajeng. Syekh Jati adalah ulama besar keturunan seorang raja dari seberang lautan. Dia bahkan sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah. Pulang dari sana, Syekh Jati membangun sebuah pesantren di kaki bukit Sembung yang diberi nama Pesantren Gunungjati. Pesantren Gunungjati cepat berkembang pesat hingga mengalahkan pesantren yang lebih lama, Pesantren Datuk Kahfi, pesantren saudara-saudaranya ibunya yang lain, yaitu Raden Kian Santang. Bahkan Pesantren Gunungjati, mampu menyamai ketenaran Pesantren Raden Rahmat di Surabaya,” jawab Kamandaka. “Karena sukses membangun Pesantren besar, menantu dan keponakan Sri Mangana itu dikenal oleh masyarakat muslim di Cirebon dan pulau Jawa sebagai Syekh Gunungjati. Syekh Jati dari jalur ibunya jelas adalah trah Pajajaran. Sebab Syekh Jati adalah cucu Raden Anggalarang.
“Siapa itu Raden Anggalarang?” tanya Sang Dewi ingin tahu.
“Raden Anggalarang adalah nama kakeku waktu masih remaja. Dia adalah Putra Mahkota Kerajaan Galuh, namanya setelah naik tahta adalah Rahyang Dewa Niskala. Dari pernikahannya dengan Permaisuri, lahirlah Ayahandaku, Sri Baginda Prabu Siliwangi. Saat Raden Anggalarang masih remaja, dia sering mengunjungi Muarajati. Ketika itu Kerajaan Galuh belum pindah ke Pakuan Pajajaran. Raden Anggalarang sebenarnya punya dua istri gadis pantai, yaitu Rara Ambet Kasih dan Rara Subanglarang. Rara Ambet Kasih adalah Putri Adipati Surantaka, Ki Gedeng Sedhang Kasih. Sedangkan Rara Subanglarang adalah Putri Syahbandar Muarajati, Ki Gedeng Tapa. Ki Gedeng Tapa, selain menjabat sebagai Syahbandar Muarajati, juga merangkap jabatan sebagai Mangkubumi Kadipaten Singapura. Pernikahan Raden Anggaarang dengan Putri Ambet Kasih, tidak memberikan keturunan. Tetapi dengan Rara Subanglarang, Raden Anggalarang punya tiga putra-putri, yaitu Raden Walangsungsang, Rara Santang, dan Raden Kian Santang,” kata Kamandaka menceriterakan perjalanan cinta kakeknya, Raden Anggalarang.
“Bagaimana ceriteranya Raden Anggalarang, Putra Mahkota Kerajaan Galuh tetapi bisa terpikat pada dua gadis pantai sekaligus? Bukankah jarak Galuh-Cirebon cukup jauh? Jangan-jangan kelak Kanda meniru kelakuan Raden Anggalarang, mudah jatuh cinta pada setiap gadis cantik yang dilihatnya?” tanya Sang Dewi sambil tersenyum sekaligus menggoda suaminya.
“Aku kan bukan lagi Putra Mahkota. Lagi pula istriku cantik lahir batin. Buat apa terpikat pada wanita lain?” jawab Kamandaka dengan cerdik.
“Terima kasih, Kanda,” kata Sang Dewi sambil mendaratkan bibirnya di pipi suaminya. ”Aku ingin mendengar kisah cinta Putra Mahkota Kerajaan Galuh, Raden Anggalarang dengan dua gadis Pantai, Rara Ambetkasih dan Rara Subanglarang.”
“Aku pun hanya mendengarkan kisah Raden Anggalarang dari Ayahku, Sri Baginda Prabu Siliwangi. Sebab perisitiwa itu terjadi ketika Raden Anggalarang masih tinggal di Galuh Kawali. Sedangkan ketika aku dan adik-adikku lahir, Raden Anggalarang sudah menjadi raja dengan mengambil gelar Rahyang Dewa Niskala. Pusat Kerajaan pun sudah dipindahkan dari Galuh Kawali ke Pakuan Pajajaran,” kata Kamandaka yang mulai menceriterakan kisah cinta kakeknya, Raden Anggalarang dengan dua gadis pantai yang cantik.
Pada saat itu di sekitar Bandar Muarajati, kata Kamandaka menjelaskan, terdapat sekitar enam kadipaten yang semuanya merupakan kadipaten bawahan Kerajaan Galuh Kawali, sama dengan Kadipaten Pasirluhur, Dayeuhluhur, dan kadipaten lainya yang dikendalikan Kerajaan Galuh. Ke enam kadipaten itu adalah Surantaka, Singapura, Japura, Wanagiri, Rajagaluh, dan Talaga. Ke enamnya merupakan kadipaten makmur. Tetapi paling makmur adalah Kadipaten Surantaka karena mempunyai bandar besar Muarajati. Sedangkan Singapura dan Japura juga mempunya bandar tidak jauh dari Bandar Muarajati. Hanya lebih kecil. Para adipati pesisir itu rata-rata masih punya hubungan kekerabatan dengan Raja Galuh Niskala Wastukancana. Misalnya, Ki Gedeng Sedhang Kasih, Ki Gedeng Surawijaya, dan Ki Gedeng Kasmaya. Mereka bertiga berturut-turut adalah Adipati Surantaka, Adipati Singapura, dan Adipati Wanagiri.
Raja Galuh Niskala Wastukancana adalah seorang raja yang sangat toleran, sekalipun sempat mengeluarkan Pamali yang berupa larangan trah Galuh menikah dengan trah Majapahit. Karena Bandar Muarajati berkembang menjadi bandar besar dan ramai yang banyak dikunjungi para pedagang muslim, akhirnya banyak pula para kerabat adipati pesisir itu yang menjadi pemeluk muslim. Banyak hal yang menyebabkan para adipati pesisir itu beralih menjadi muslim. Misalnya, karena ada putrinya yang menikah dengan para pedagang pendatang pemukim yang kebanyakan berasal dari Pasai, Malaka, Patani, dan Campa. Tetapi sekalipun para adipati itu menjadi muslim, mereka tetap tunduk dan patuh kepada Kerajaan Galuh dengan cara mengirimkan upeti secara rutin. Namun demikian, ada juga adipati yang menjadi muslim karena persahaban semata-mata dengan para pemukim muslim. Misalnya, Syahbandar Muarajati menjadi muslim karena pengaruh seorang ulama pendatang dari Campa yang bernama Syekh Hasanudin alias Syekh Quro. Syekh Quro lalu mendirikan pesantren di Krawang yang dikenal sebagai Pesantren Syekh Quro. Di Pesantren Syekh Quro yang terletak di Desa Talagasari, Krawang itulah Putri Syahbandar Muarajati yang cantik jelita, Rara Subanglarang pernah mondok beberapa bulan.
“Berbeda dengan Kerajaan Jawa yang mewajibkan para adipati bawahan mengirim upeti dan sowan menghadap Raja Jawa setiap tahun,” kata Kamandaka melanjutkan, “Kerajaan Galuh dan Kerajaan Pajajaran hanya mewajibkan adipati bawahan mengirimkan upeti dan tidak mewajibkan sowan. Mungkin karena para adipati pesisir tetap tunduk dan setia kepada Kerajaan Galuh, Sang Raja Niskala Wastukancana tidak pernah mempersoalkan perpindahan agama para adipati pesisir itu. Namun secara rutin, Raja Niskala Wastukancana sering menugaskan putranya, Raden Anggalarang untuk mengunjungi keenam kadipaten itu. Jika ke Muarajati, Raden Anggalarang sering bermalam di rumah Adipati Surantaka. Kebetulan Adipati Surantaka punya anak gadis yang cantik, Rara Ambet Kasih.”
“Raden Anggalarang langsung jatuh cinta dan terjadilah pernikahan di antara mereka berdua. Dengan pernikahan itu Raden Anggalarang menjadi menantu Adipati Surantaka. Suatu ketika, Adipati Japura yang bersaing dengan Adipati Singapura, membangkang, dan tidak mau membayar upeti kepada Kerajaan Galuh. Akibatnya Raja Galuh Niskala Wastukancana, menugaskan putranya Raden Anggalarang untuk menduduki Kadipaten Japura. Perang pun pecah. Tetapi dengan mudah Raden Anggalarang yang dibantu mertuanya, Adipati Surantaka dan Mangkubumi Singapura, berhasil menaklukkan Kadipaten Japura. Kabupaten Japura pun dilebur menjadi satu dengan Kadipaten Singapura.”
“Tak lama kemudian Adipati Surantaka meninggal dunia tanpa memiliki seorang putra yang dapat menggantikannya. Akhirnya Raden Anggalarang mendapat perintah dari Ayahnya, Raja Niskala Wastukancana, agar kadipaten Surantaka dilebur ke dalam Kadipaten Singapura dan menunjuk Raden Anggalarang menjadi Adipati Kadipaten Singapura. Demikianlah, Kadipaten Singapura menjadi kadipaten yang semakin luas wilayahnya dan tentu saja menjadi semakin makmur, karena menerima penggabungan wilayah Japura dan Surantaka. Raja Galuh Niskala Wastukanca juga menunjuk Mangkubumi Singapura, Ki Gede Tapa, menjadi Syahbandar Muarajati yang dulu dirangkap Adipati Surantaka. Tentu saja hubungan Raden Anggalarang yang menjabat menjadi Adipati Singapura dengan Syahbandar Muarajati semakin erat, karena Ki Gede Tapa merangkap dua jabatan sekaligus, yakni Mangkubumi Singapura dan Syahbandar Muarajati. Sedangkan Raden Anggalarang, menduduki kursi Adipati Singapura. Apalagi, Syahbandar Muarajati, Ki Gede Tapa, memiliki gadis cantik jelita, Rara Subanglarang,” kata Kamandaka.
“Kalau begitu sering terjadi cinta lokasi? Raden Anggalarang jatuh cinta lagi kepada Putri Ki Gede Tapa yang menjabat Syahbandar Muarajati?” tanya Sang Dewi.
“Tampaknya begitu, Diajeng. Pada awalnya Rara Subanglarang dan ayahnya berharap agar Raden Anggalarang mau mengikuti agama calon isrinya, menjadi muslim. Tetapi mereka tidak berani mengutarakannya, sebab bagaimanapun juga Raden Anggalarang adalah Putra Mahkota Kerajaan Galuh yang memeluk agama Hindu. Kalau toh Raden Anggalarang mau, belum tentu ayahnya, Sang Raja Niskala Wastukancana menyetujuinya. Akhirnya Syahbandar Muarajati mencari akal. Diselenggarakanlah sebuah sayembara, barang siapa yang memenangkan adu ketangkasan berkelahai dengan menggunakan senjata tajam, akan dinikahkan dengan putrinya, Rara Subanglarang yang baru saja pulang dari Pesantren Syekh Quro.”
“Raden Anggalarang yang sudah lama tertarik pada kecantikan Rara Subanglarang, segera melepas jabatannya sebagai Adipati untuk sementara agar bisa mengikuti sayembara. Ternyata Raden Anggalarang memiliki ilmu bela diri tingkat tinggi. Dia memang pernah satu perguruan dengan Ki Ajar Wirangrong, pendiri Padepokan Sangkuriang di lereng Gunung Tangkuban Perahu. Tentu saja Raden Anggalarang dengan mudah menaklukkan lawan-lawanya di arena pertandingan. Rara Subanglarang pun berhasil dipersunting Raden Anggalarang. Untuk menjaga perasaan istri tuanya, Raden Anggalarang memboyong Rara Subanglarang ke Galuh. Tetapi Sang Raja Niskala Wastukancana kurang berkenan dengan menantunya, karena menantunya itu tetap menganut agama Islam. Padahal undang-undang Kerajaan Galuh, menetapkan bahwa Permaisuri Putra Mahkota haruslah menganut agama Hindu. Akhirnya memang tak ada pilihan lain bagi Raden Anggalarang. Dia harus menikah dengan gadis pilihan ayahnya. Dari gadis Kadipaten Pakuan pilihan orang tuanya itulah lahir Ayahku, Raden Pamanahrasa. Setelah naik tahta, mengambil gelar, Sri Baginda Prabu Siliwangi.”

“Dengan Gadis Pantai Rara Subanglarang, Raden Anggalarang menurunkan tiga putra-putri seperti sudah aku sebutkan di depan, yaitu Raden Walangsungsang, Rara Santang, dan Raden Kian Santang,” kata Kamandaka masih melanjutkan menceriterakan kisah cinta Raden Anggalarang dengan Gadis Pantai.
”Ketika Raden Anggalarang memindahkan dan menduduki tahta Kerajaan Pakuan Pajajaran, karena Raja Niskala Wastukancana mangkat (1433 M), Putri Subanglarang menolak dibawa pindah ke Pakuan Pajajaran. Akhirnya Putri Subanglarang memilih kembali ke Muarajati dengan membawa ketiga putra dan putrinya. Putra-putrinya itu besar dalam asuhan kakeknya, Ki Gede Tapa, yang saat itu sudah menjabat Adipati Singapura yang kosong karena ditinggal Raden Anggalarang yang kembali ke Galuh. Sekalipun sudah menjabat sebagai Adipati Singapura, jabatan Syahbandar Muarajati masih dirangkap Ki Gede Tapa, dan belum dilepaskan. Pada saat itu di Muarajati sudah berdiri Pesantren Syekh Datuk Kahfi, sebuah pesantren yang didirikan oleh seorang ulama pendatang dari Baghdad. Di Pesantren Syekh Datuk Kahfi itulah Adipati Singapura dan Syahbandar Muarajati, Ki Gede Tapa, memasukkan ketiga cucunya, buah cinta Raden Anggalarang dengan Putri Subanglarang untuk mendalami agama Islam.”
“Menarik juga kisah petulangan cinta Raden Anggalarang dengan Gadis Pantai. Apakah Kanda  pernah betemu putra-putri Raden Anggalarang Rahyang Dewa Niskala dengan Gadis Pantai?” tanya Sang Dewi sambil mengajak suaminya duduk di teras depan Puri Permatabiru.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar