Kalang, “Mudah-mudahan Kanjeng Ayu
Adipati akan sering mengundang kita untuk menghibur penduduk sekaligus juga
memberikan penerangan dan tuntunan, bagaimana caranya menjadi warga kadipaten
yang baik, guyub rukun, tolong menolong, dan bantu membantu dalam mewujudkan
kesejahteraan dan kemakmuran bersama.”
Ki Semar, “Lho
Kanjeng Ayu Adipati itu pecinta seni sudah sejak dari sononya. Misalnya saja
seni membatik, seni mengolah jamu, seni memasak, seni mendidik istri-istri para
punggawa dan anak-anak gadis, seni menjahit dan menenun, dan seni mendampingi
suami mengatur harta benda rumah tangga. Lho, hebat bukan?”
Wirun, “Ya,
Kanjeng Ayu Adipati juga pecinta seni pedalangan. Karena itu penduduknya akan
ikut mencintai seni juga. Itu yang namanya Ing Ngarsa Sung Tulada. Ada contoh
dari Sang Pemimpin.”
Ki Semar, “Betul
sekali Wirun, Kalang dan Andaga. Lihat saja para penonton pertunjukan malam
ini. Sunggguh luar bisa. Penonton masih meluber dari halaman Pendapa sampai
tepi jalan. Kursi sayap kiri dan sayap kanan di Pendapa masih penuh. Ini malah
ada pemberitahuan dari Ndara Tumenggung Maresi, Ndara Ayu Mayangsari nanti
ingin menyanyi berdua dengan Sinden Muda Titisari. Sungguh luar biasa. Ndara
Ayu Mayangsari adalah putri Adipati Dayeuhluhur. Sebulan lagi juga akan
menyelenggarakan pesta pernikahan dengan Ndara Silihwarna. Kita diundang juga
untuk pentas di sana. Ndara Silihwarna itu putra ke dua Sri Baginda Prabu
Siliwangi.”
Kalang, “Dengar-dengar kabarnya Ndara
Wirapati, kakak Ndara Ayu Mayangsari, juga akan melangsungkan pernikahan dengan
Ndara Ayu Sekarmenur, Putri Kanjeng Adipati Banakeling. Rencana pernikahan akan
dilaksanakan di Kadipaten Adireja, tidak jauh dari bekas Dalem Kadipaten
Banakeling.”
Andaga, “Kita
diundang juga untuk pentas di Kadipaten Adireja, Rama Semar?”
Ki Semar, “Nah,
itulah. Makanya kita harus berterimakasih pada Kanjeng Ayu Adipati. Di samping
diundang pentas di Kadipaten Dayeuhluhur, kita juga akan diundang pentas di
Adireja juga. Semua itu atas prakarsa dan saran Kanjeng Ayu Adipati.”
Kalang,
“Dengar-dengar masih ada satu kejutan lagi, berita yang menggembirakan juga,
Rama Semar.”
Andaga, “Heran
aku, Kang Kalang suka sekali mencuri dengar. Tapi tak apa. Pasti sebuah berita
menggembirakan.”
Ki Semar, “Iya
betul. Masih ada kabar menggembirakan. Ndara Ayu Ratna Pamekas, Putri Bungsu
Sri Baginda Prabu Siliwangi, juga akan segera melangsungkan pernikahan dengan
Ndara Arya Baribin. Sayang tempatnya jauh. Di Pakuan Pajajaran. Walapun begitu,
kita kelak akan diundang untuk pentas di Kadipaten Kalipucang. Jika kelak
menjadi kenyataan, tentu akan jadi riwayat tersendiri. Selama ini wayang beber
belum pernah pentas di sebelah barat Sungai Citanduy.”
Wirun, “Wirun
agak bingung, Rama Semar. Pesta Pernikahan Ndara Ayu Ratna Pamekas dengan Ndara
Arya Baribin akan dilaksanakan di Pakuan Pajajaran. Tapi undangan pentas wayang
beber kenapa di Kalipucang?”
Ki Semar, “Oh,
begini riwayatnya. Di Kalipucang dulu pernah ada sebuah Kadipaten yang
merupakan wilayah Kerajaan Galuh, kemudian menjadi wilayah Kerajaan Pajajaran,
setelah Kerajaan Galuh dipindahkan ke Pakuan Pajajaran. Tetapi Kadipaten
Kalipucang dan Kadipaten Banakeling pada akhirnya bubar karena diduduki
Kerajaan Nusakambangan. Setelah Kerajaan Nusakambangan berhasil ditaklukkan,
Sri Baginda Prabu Siliwangi setuju menghidupkan kembali dua kadipaten itu.
Kadipaten Adireja menjadi pelanjut Kadipaten Banakeling. Sedangkan Kadipaten
Kalipucang, dihidupkan kembali seperti semula. Sri Baginda Prabu Siliwangi juga
sudah menyetujui pengangkatan Ndara Wirapati menjadi calon Adipati Adireja dan
Ndara Arya Baribin menjadi calon Adipati Kalipucang. Makanya kita kelak akan
diundang untuk pentas di kedua kadipaten itu.
Andaga, “Wah,
banyak pundi-pundi tabungan Rama Semar, kalau sering-sering dapat tanggapan.
Apalagi yang nanggap Kanjeng Ayu Adipati Pasirluhur.”
Ki Semar, “Ya, soal itu kita syukuri
saja. Kan kamu semuanya, termasuk sinden dan nayogo juga kebagian. Kalau dapat
banyak ya syukur. Begitu pula kalau sedikit. Tapi kalau sedikit sepertinya
tidak mungkin. Hehehe….”
Wirun, “Hayo,
Rama Semar, mulai hitung-hitungan. Kalau yang nanggap Kanjeng Ayu Adipati, tak
usah khawatir. Dijamin banyak.Hehehe….”
Andaga, “Wah,
rusak semua. Yang nanggap bukannya Ndara Tumenggung Maresi?”
Kalang, “Kalau
Ndara Tumenggung Maresi itu Ketua Panitia. Ndara Tumenggung kalau perlu uang
juga mintanya kepada Kanjeng Ayu Adipati. Tentu ikut kebagian juga. Hehehe….”
Ki Semar, “Sudah,
sudah. Nanti keburu Ndara Panji Jayengkusuma tambah sedih. Ayo kita mulai.
Dimulai dari Sinden Paijem dari Kalikidang. Walapun tubuhnya seperti kueh
polimba, suaranya jangan dikira. Disusul Sinden Juminem, lalu Sinden Titi…,
Sari..! Gamelan masuk…!”
*
Di tengah langit malam, awan tipis
berarak-arakan dalam kawalan cahaya rembulan. Tengah malam memang telah tiba.
Awan tipis di langit bagaikan kumpulan gegunungan di jagad pakeliran. Disorot
lampu blencong, awan-awan itu seakan-akan pasukan yang sedang berbaris menuju
medan peperangan, menyambut adegan goro-goro. Memang pentas wayang beber di
Pendapa Kadipaten Pasirluhur itu, telah sampai pada adegan yang selalu
dinantikan itu.
Kata orang adegan
goro-goro adalah simbol dari tahap peralihan perjalanan busur kehidupan jiwa
manusia. Dari jiwa usia kanak-kanak menuju jiwa usia dewasa. Sering disebut
juga masa pancaroba bagi perjalanan usia manusia. Masa ketika seorang remaja
mulai berusaha mandiri lepas dari bayang-bayang pengaruh orang tuanya. Masa
ketika seorang remaja mulai mencari jati diri dan identitasnya. Dia mulai
tergoda pada lawan jenisnya. Untuk pertama kalinya dia merasakan jatuh cinta
pada seorang wanita atau seorang pria. Adegan goro-goro pun selalu merupakan
adegan yang menawan bagi para penonton jagad pakeliran wayang kulit maupun
wayang beber.
Sementara itu
bintang-bintang di langit semakin banyak bertaburan. Rasi Bimasakti tampak
lamat-lamat di kejauhan. Air Sungai Logawa tetap tak beriak, walapun jagad
pakeliran telah sampai pada acara goro-goro. Air Sungai Logawa tetap mengalir
dengan tenang. Mengalir menuju Sungai Ciserayu, lalu bermuara di Teluk Penyu.
Di permukaan air Sungai Logawa, cahaya kerlipan bintang, membentuk
bayang-bayang.
Di Pendapa
Kadipaten Pasirluhur tepuk tangan hingar bingar penonton terdengar
berkali-kali. Terutama setiap kali Sinden Paijem, Juminem, dan Titisari selesai
menyanyi membawakan lagu. Puncaknya ketika duet Sinden Titisari dengan
Mayangsari. Apalagi, keduanya menyanyi sambil menari.
Tepuk tangan
panjang dari penonton masih terus terdengar ketika Mayangsari kembali ke tempat
duduknya. Sang Dewi segera berdiri meyambutnya dengan menyalami dan menciumnya.
Demikian pula Kamandaka. Silihwarna malah memeluk dan mencium dengan perasaan
bangga kekasihnya yang memiliki bakat menyanyi itu.
“Luar biasa suara
Dinda Mayangsari,” puji Kamandaka.
“Padahal
latihannya hanya di kamar mandi,” puji Sang Dyah Ayu Dewi pula.
Mayangsari
tersenyum senang karena mendapat sanjungan dan pujian. Dia kembali duduk di
sebelah kiri Silihwarna. Ketika Kamandaka menengok ke kanan, Pendeta Muda
Amenglayaran sudah menghilang.
“Diajeng, kemana
Kanda Amenglayaran?” tanya Kamandaka pada istrinya.
“Lho, tadi kan
lewat di depan kita. Oh, itu sedang duduk diapit Dinda Sekarmelati dan
Sekarcempaka. Mungkin tadinya ingin lihat Sinden Titisari lebih dekat. Lalu dia
pindah tempat duduk ke sana,” kata Sang Dewi sambil menunjukkan ke arah tempat
duduk Pendeta Muda. Dia duduk di arah kiri Sang Dewi. Hanya terhalang Wirapati,
Sekarmenur, dan Sekarmelati. Kamandaka tersenyum menyaksikan Pendeta Muda yang
sedang asyik berbincang-bincang dengan Sekarmelati dan Sekarcempaka. Rupanya
mereka sudah saling mengenal dan semakin akrab.“Tumben, Kanda Amenglayaran mulai
berani berbincang-bincang dengan wanita,” kata Kamandaka dengan wajah senang.
“Biar saja,
Kanda. Bagaimanapun juga dia pernah jatuh cinta ,” kata Sang Dewi.
“Kelihatannya
Kanda Amenglayaran terpesona pada Sinden Titisari,” kata Kamandaka dengan suara
lirih nyaris berbisik yang hanya didengar oleh istrinya.
“Benar, Kanda.
Pendeta Muda agaknya jatuh cinta pada Sinden Titisari,” bisik Sang Dewi sambil
tersenyum.
“Ssst,” kata
Kamandaka, “Jangan keras-keras. Biarkan saja. Banyak juga sih pendeta yang
gagal menjadi seorang brahmacharin.”
Perbincangan Sang
Dewi terputus, ketika Wirapati yang duduk disamping kiri Sang Dewi bertanya,
“Ayunda Dewi, mau bulan madu kemana?”
“Belum
terpikirkan. Ingin sih pakai perahu mengarungi Sungai Ciserayu sampai muaranya
di Teluk Penyu. Lalu mengunjungi Nusakambangan. Ingin melihat sampai dimana
persiapan pembangunan Kadipaten Adireja,” jawab Sang Dewi.
“Dinda sanggup
menyediakan perahu cukup bagus, bila Ayunda Dewi mau dan bersungguh-sungguh.
Dinda Sekarmenur bisa mengusahakan lengkap dengan tukang sauhnya. Ada perahu
bagus yang bisa dibawa ke hulu Sungai Ciserayu,” kata Wirapati bersemangat. Dia
merasa gembira bila benar Sang Dewi mau berbulan madu ke Nusakambangan sambil
meninjau persiapan pembangunan Kadipaten Adireja.
“Kanda Kamandaka, Nyai Kertisara punya
berapa perahu baru?” tanya Sang Dewi kepada Kamandaka. Suaminya itu sedang
asyik menikmati suara gamelan yang mengiringi Sinden Paijem, Juminem, dan
Titisari yang sedang menyanyi bersama di atas pangggung. Tangan kanan Sang Dewi
terpaksa mengusap-usap dagu dan pipi kanan suaminya dengan manja supaya
perhatian suaminya kepada tiga sinden di atas panggung dihentikan sejenak.
“Tujuh perahu
baru. Hanya perlu tukang sauh berpengalaman jika perahu-perahu baru Nyai
Kertisara ingin diikutsertakan mengarungi Sungai Ciserayu sampai muaranya di
Teluk Penyu. Diajeng, Kanda setuju sekali dengan gagasan bulan madu mengarungi
Sungai Ciserayu. Sekaligus untuk mengenalkan perahu-perahu baru Nyai Kertisara
dan pangkalan barunya,” jawab Kamandaka. Dia ternyata mengikuti pembicaraan
Sang Dewi dengan Wirapati.
“Untuk kenyamanan
dan kelancaran biar saja semua tukang sauh Dinda Sekarmenur yang menyediakan.
Tukang sauh untuk mengoperasikan perahu bisa diusahakan, Dinda Sekarmenur?”
tanya Wirapati kepada Sekarmenur yang duduk di samping kirinya.
“Siap, Kanda
Wirapati. Aku memang sering membayangkan, kapan Ayunda Dewi dan Kanda Kamandaka
bisa meninjau pembangunan Kadipaten Adireja yang sudah hampir selesai. Sekalian
mengunjungi Nusakambangan. Karena itu aku menyambut gembira rencana Ayunda Dewi
yang sangat aku tunggu-tunggu ,” kata Sekarmenur bersemangat.
“Ya, dua bulan
lagi aku dan Kanda Kamandaka akan mengantarkan Dinda Ratna Pamekas dengan Dimas
Arya Baribin ke Pakuan Pajajaran,” kata Sang Dewi menjelaskan rencananya.
“Dinda Ratna
Pamekas dan Dimas Arya Baribin akan melangsungkan upacara dan resepsi
pernikahan di sana. Kesempatan bertemu dengan Sri Baginda Prabu Siliwangi bisa
dimanfaatkan Kanda Kamandaka. Misalnya, untuk melaporkan persiapan pembangunan Kadipaten
Adireja dan membicarakan masa depan Nusakambangan. Pulau itu kelak bisa
dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan wilayah Kerajaan
Pajajaran di muara Ciserayu dan Citanduy yang berbasis kelautan. Karena itu
mengunjungi Adireja dan Nusakambangan memang harus secepatnya dilakukan.”
“Kalau begitu, kapan sebaiknya rencana
bulan madu Ayunda Dewi dan Kanda Kamandaka ke Nusakambangan agar dinda bisa
segera mempersiapkannya?” tanya Wirapati.
Sang Dewi diam sebentar untuk
mengambil keputusan. Sang Dewi termasuk cepat dan cermat dalam mengambil
keputusan. Sekalipun begitu, dia selalu meminta persetujuan Sang Suami,
Kamandaka. Setelah berbisik-bisik sejenak dan suaminya mengangguk tanda setuju,
Sang Dewi berkata, “Aku mau istirahat total selama seminggu. Kasihan Kanda
Kamandaka sudah seminggu terus menerus menerima tamu, tidak bisa istirahat.
Silahkan Dinda Wirapati membicarakannya dengan Dinda Silihwarna dan Dimas Arya
Baribin. Jika memerlukan sesuatu bisa langsung berhubungan dengan Ki Patih dan
Tumenggung Maresi. Persiapan bulan madu harus sudah siap pada hari yang sama
minggu depan. Selama aku dan Kanda Kamandaka pergi bertapa, urusan pemerintahan
kadipaten ditangani Ki Patih dan Tumenggung Maresi.”
“Pergi bertapa?
Kemana Ayunda Dewi?” tanya Wirapati bingung.
“Ah, tidak
jauh-jauh. Juga tidak lama-lama. Hanya tujuh hari,” jawab Sang Dewi sambil
tersenyum.
“Hanya berdua
bersama Kanda Kamandaka? Lalu kemana Ayunda Dewi akan pergi bertapa?” desak
Wirapati penasaran.
“Iya, hanya
berdua saja. Masa ditemani orang lain?” jawab Sang Dewi sambil tersenyum
membuat penasaran Wirapati, Sekarmenur, Mayangsari, dan Silihwarna. Mereka
sempat mendengar perbincangan Sang Dewi dengan Wirapati.
“Ayolah Ayunda
Dewi, beritahu juga dinda , kemana Ayunda mau pergi bertapa?” Mayangsari yang
penasaran ikut mendesak dengan mengajukan pertanyaan.
Kembali Sang Dewi
tersenyum senang karena bisa menggoda adik sepupunya. “Tidak jauh. Hanya ke
kamar pengantin Puri Permatabiru di samping Dalem Gede Kadipaten,” jawab Sang Dewi
sambil tersenyum karena merasa senang berhasil membuat penasaran adik-adiknya .[bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar