Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 24 Agustus 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (13)




Kalang, “Mudah-mudahan Kanjeng Ayu Adipati akan sering mengundang kita untuk menghibur penduduk sekaligus juga memberikan penerangan dan tuntunan, bagaimana caranya menjadi warga kadipaten yang baik, guyub rukun, tolong menolong, dan bantu membantu dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama.”
Ki Semar, “Lho Kanjeng Ayu Adipati itu pecinta seni sudah sejak dari sononya. Misalnya saja seni membatik, seni mengolah jamu, seni memasak, seni mendidik istri-istri para punggawa dan anak-anak gadis, seni menjahit dan menenun, dan seni mendampingi suami mengatur harta benda rumah tangga. Lho, hebat bukan?”
Wirun, “Ya, Kanjeng Ayu Adipati juga pecinta seni pedalangan. Karena itu penduduknya akan ikut mencintai seni juga. Itu yang namanya Ing Ngarsa Sung Tulada. Ada contoh dari Sang Pemimpin.”
Ki Semar, “Betul sekali Wirun, Kalang dan Andaga. Lihat saja para penonton pertunjukan malam ini. Sunggguh luar bisa. Penonton masih meluber dari halaman Pendapa sampai tepi jalan. Kursi sayap kiri dan sayap kanan di Pendapa masih penuh. Ini malah ada pemberitahuan dari Ndara Tumenggung Maresi, Ndara Ayu Mayangsari nanti ingin menyanyi berdua dengan Sinden Muda Titisari. Sungguh luar biasa. Ndara Ayu Mayangsari adalah putri Adipati Dayeuhluhur. Sebulan lagi juga akan menyelenggarakan pesta pernikahan dengan Ndara Silihwarna. Kita diundang juga untuk pentas di sana. Ndara Silihwarna itu putra ke dua Sri Baginda Prabu Siliwangi.”
Kalang, “Dengar-dengar kabarnya Ndara Wirapati, kakak Ndara Ayu Mayangsari, juga akan melangsungkan pernikahan dengan Ndara Ayu Sekarmenur, Putri Kanjeng Adipati Banakeling. Rencana pernikahan akan dilaksanakan di Kadipaten Adireja, tidak jauh dari bekas Dalem Kadipaten Banakeling.”
Andaga, “Kita diundang juga untuk pentas di Kadipaten Adireja, Rama Semar?”
Ki Semar, “Nah, itulah. Makanya kita harus berterimakasih pada Kanjeng Ayu Adipati. Di samping diundang pentas di Kadipaten Dayeuhluhur, kita juga akan diundang pentas di Adireja juga. Semua itu atas prakarsa dan saran Kanjeng Ayu Adipati.”
Kalang, “Dengar-dengar masih ada satu kejutan lagi, berita yang menggembirakan juga, Rama Semar.”
Andaga, “Heran aku, Kang Kalang suka sekali mencuri dengar. Tapi tak apa. Pasti sebuah berita menggembirakan.”
Ki Semar, “Iya betul. Masih ada kabar menggembirakan. Ndara Ayu Ratna Pamekas, Putri Bungsu Sri Baginda Prabu Siliwangi, juga akan segera melangsungkan pernikahan dengan Ndara Arya Baribin. Sayang tempatnya jauh. Di Pakuan Pajajaran. Walapun begitu, kita kelak akan diundang untuk pentas di Kadipaten Kalipucang. Jika kelak menjadi kenyataan, tentu akan jadi riwayat tersendiri. Selama ini wayang beber belum pernah pentas di sebelah barat Sungai Citanduy.”
Wirun, “Wirun agak bingung, Rama Semar. Pesta Pernikahan Ndara Ayu Ratna Pamekas dengan Ndara Arya Baribin akan dilaksanakan di Pakuan Pajajaran. Tapi undangan pentas wayang beber kenapa di Kalipucang?”
Ki Semar, “Oh, begini riwayatnya. Di Kalipucang dulu pernah ada sebuah Kadipaten yang merupakan wilayah Kerajaan Galuh, kemudian menjadi wilayah Kerajaan Pajajaran, setelah Kerajaan Galuh dipindahkan ke Pakuan Pajajaran. Tetapi Kadipaten Kalipucang dan Kadipaten Banakeling pada akhirnya bubar karena diduduki Kerajaan Nusakambangan. Setelah Kerajaan Nusakambangan berhasil ditaklukkan, Sri Baginda Prabu Siliwangi setuju menghidupkan kembali dua kadipaten itu. Kadipaten Adireja menjadi pelanjut Kadipaten Banakeling. Sedangkan Kadipaten Kalipucang, dihidupkan kembali seperti semula. Sri Baginda Prabu Siliwangi juga sudah menyetujui pengangkatan Ndara Wirapati menjadi calon Adipati Adireja dan Ndara Arya Baribin menjadi calon Adipati Kalipucang. Makanya kita kelak akan diundang untuk pentas di kedua kadipaten itu.
Andaga, “Wah, banyak pundi-pundi tabungan Rama Semar, kalau sering-sering dapat tanggapan. Apalagi yang nanggap Kanjeng Ayu Adipati Pasirluhur.”
Ki Semar, “Ya, soal itu kita syukuri saja. Kan kamu semuanya, termasuk sinden dan nayogo juga kebagian. Kalau dapat banyak ya syukur. Begitu pula kalau sedikit. Tapi kalau sedikit sepertinya tidak mungkin. Hehehe….”
Wirun, “Hayo, Rama Semar, mulai hitung-hitungan. Kalau yang nanggap Kanjeng Ayu Adipati, tak usah khawatir. Dijamin banyak.Hehehe….”
Andaga, “Wah, rusak semua. Yang nanggap bukannya Ndara Tumenggung Maresi?”
Kalang, “Kalau Ndara Tumenggung Maresi itu Ketua Panitia. Ndara Tumenggung kalau perlu uang juga mintanya kepada Kanjeng Ayu Adipati. Tentu ikut kebagian juga. Hehehe….”
Ki Semar, “Sudah, sudah. Nanti keburu Ndara Panji Jayengkusuma tambah sedih. Ayo kita mulai. Dimulai dari Sinden Paijem dari Kalikidang. Walapun tubuhnya seperti kueh polimba, suaranya jangan dikira. Disusul Sinden Juminem, lalu Sinden Titi…, Sari..! Gamelan masuk…!”
*
Di tengah langit malam, awan tipis berarak-arakan dalam kawalan cahaya rembulan. Tengah malam memang telah tiba. Awan tipis di langit bagaikan kumpulan gegunungan di jagad pakeliran. Disorot lampu blencong, awan-awan itu seakan-akan pasukan yang sedang berbaris menuju medan peperangan, menyambut adegan goro-goro. Memang pentas wayang beber di Pendapa Kadipaten Pasirluhur itu, telah sampai pada adegan yang selalu dinantikan itu.
Kata orang adegan goro-goro adalah simbol dari tahap peralihan perjalanan busur kehidupan jiwa manusia. Dari jiwa usia kanak-kanak menuju jiwa usia dewasa. Sering disebut juga masa pancaroba bagi perjalanan usia manusia. Masa ketika seorang remaja mulai berusaha mandiri lepas dari bayang-bayang pengaruh orang tuanya. Masa ketika seorang remaja mulai mencari jati diri dan identitasnya. Dia mulai tergoda pada lawan jenisnya. Untuk pertama kalinya dia merasakan jatuh cinta pada seorang wanita atau seorang pria. Adegan goro-goro pun selalu merupakan adegan yang menawan bagi para penonton jagad pakeliran wayang kulit maupun wayang beber.
Sementara itu bintang-bintang di langit semakin banyak bertaburan. Rasi Bimasakti tampak lamat-lamat di kejauhan. Air Sungai Logawa tetap tak beriak, walapun jagad pakeliran telah sampai pada acara goro-goro. Air Sungai Logawa tetap mengalir dengan tenang. Mengalir menuju Sungai Ciserayu, lalu bermuara di Teluk Penyu. Di permukaan air Sungai Logawa, cahaya kerlipan bintang, membentuk bayang-bayang.
Di Pendapa Kadipaten Pasirluhur tepuk tangan hingar bingar penonton terdengar berkali-kali. Terutama setiap kali Sinden Paijem, Juminem, dan Titisari selesai menyanyi membawakan lagu. Puncaknya ketika duet Sinden Titisari dengan Mayangsari. Apalagi, keduanya menyanyi sambil menari.
Tepuk tangan panjang dari penonton masih terus terdengar ketika Mayangsari kembali ke tempat duduknya. Sang Dewi segera berdiri meyambutnya dengan menyalami dan menciumnya. Demikian pula Kamandaka. Silihwarna malah memeluk dan mencium dengan perasaan bangga kekasihnya yang memiliki bakat menyanyi itu.
“Luar biasa suara Dinda Mayangsari,” puji Kamandaka.
“Padahal latihannya hanya di kamar mandi,” puji Sang Dyah Ayu Dewi pula.
Mayangsari tersenyum senang karena mendapat sanjungan dan pujian. Dia kembali duduk di sebelah kiri Silihwarna. Ketika Kamandaka menengok ke kanan, Pendeta Muda Amenglayaran sudah menghilang.
“Diajeng, kemana Kanda Amenglayaran?” tanya Kamandaka pada istrinya.
“Lho, tadi kan lewat di depan kita. Oh, itu sedang duduk diapit Dinda Sekarmelati dan Sekarcempaka. Mungkin tadinya ingin lihat Sinden Titisari lebih dekat. Lalu dia pindah tempat duduk ke sana,” kata Sang Dewi sambil menunjukkan ke arah tempat duduk Pendeta Muda. Dia duduk di arah kiri Sang Dewi. Hanya terhalang Wirapati, Sekarmenur, dan Sekarmelati. Kamandaka tersenyum menyaksikan Pendeta Muda yang sedang asyik berbincang-bincang dengan Sekarmelati dan Sekarcempaka. Rupanya mereka sudah saling mengenal dan semakin akrab.“Tumben, Kanda Amenglayaran mulai berani berbincang-bincang dengan wanita,” kata Kamandaka dengan wajah senang.
“Biar saja, Kanda. Bagaimanapun juga dia pernah jatuh cinta ,” kata Sang Dewi.
“Kelihatannya Kanda Amenglayaran terpesona pada Sinden Titisari,” kata Kamandaka dengan suara lirih nyaris berbisik yang hanya didengar oleh istrinya.
“Benar, Kanda. Pendeta Muda agaknya jatuh cinta pada Sinden Titisari,” bisik Sang Dewi sambil tersenyum.
“Ssst,” kata Kamandaka, “Jangan keras-keras. Biarkan saja. Banyak juga sih pendeta yang gagal menjadi seorang brahmacharin.”
Perbincangan Sang Dewi terputus, ketika Wirapati yang duduk disamping kiri Sang Dewi bertanya, “Ayunda Dewi, mau bulan madu kemana?”
“Belum terpikirkan. Ingin sih pakai perahu mengarungi Sungai Ciserayu sampai muaranya di Teluk Penyu. Lalu mengunjungi Nusakambangan. Ingin melihat sampai dimana persiapan pembangunan Kadipaten Adireja,” jawab Sang Dewi.
“Dinda sanggup menyediakan perahu cukup bagus, bila Ayunda Dewi mau dan bersungguh-sungguh. Dinda Sekarmenur bisa mengusahakan lengkap dengan tukang sauhnya. Ada perahu bagus yang bisa dibawa ke hulu Sungai Ciserayu,” kata Wirapati bersemangat. Dia merasa gembira bila benar Sang Dewi mau berbulan madu ke Nusakambangan sambil meninjau persiapan pembangunan Kadipaten Adireja.
“Kanda Kamandaka, Nyai Kertisara punya berapa perahu baru?” tanya Sang Dewi kepada Kamandaka. Suaminya itu sedang asyik menikmati suara gamelan yang mengiringi Sinden Paijem, Juminem, dan Titisari yang sedang menyanyi bersama di atas pangggung. Tangan kanan Sang Dewi terpaksa mengusap-usap dagu dan pipi kanan suaminya dengan manja supaya perhatian suaminya kepada tiga sinden di atas panggung dihentikan sejenak.
“Tujuh perahu baru. Hanya perlu tukang sauh berpengalaman jika perahu-perahu baru Nyai Kertisara ingin diikutsertakan mengarungi Sungai Ciserayu sampai muaranya di Teluk Penyu. Diajeng, Kanda setuju sekali dengan gagasan bulan madu mengarungi Sungai Ciserayu. Sekaligus untuk mengenalkan perahu-perahu baru Nyai Kertisara dan pangkalan barunya,” jawab Kamandaka. Dia ternyata mengikuti pembicaraan Sang Dewi dengan Wirapati.
“Untuk kenyamanan dan kelancaran biar saja semua tukang sauh Dinda Sekarmenur yang menyediakan. Tukang sauh untuk mengoperasikan perahu bisa diusahakan, Dinda Sekarmenur?” tanya Wirapati kepada Sekarmenur yang duduk di samping kirinya.
“Siap, Kanda Wirapati. Aku memang sering membayangkan, kapan Ayunda Dewi dan Kanda Kamandaka bisa meninjau pembangunan Kadipaten Adireja yang sudah hampir selesai. Sekalian mengunjungi Nusakambangan. Karena itu aku menyambut gembira rencana Ayunda Dewi yang sangat aku tunggu-tunggu ,” kata Sekarmenur bersemangat.
“Ya, dua bulan lagi aku dan Kanda Kamandaka akan mengantarkan Dinda Ratna Pamekas dengan Dimas Arya Baribin ke Pakuan Pajajaran,” kata Sang Dewi menjelaskan rencananya.
“Dinda Ratna Pamekas dan Dimas Arya Baribin akan melangsungkan upacara dan resepsi pernikahan di sana. Kesempatan bertemu dengan Sri Baginda Prabu Siliwangi bisa dimanfaatkan Kanda Kamandaka. Misalnya, untuk melaporkan persiapan pembangunan Kadipaten Adireja dan membicarakan masa depan Nusakambangan. Pulau itu kelak bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan wilayah Kerajaan Pajajaran di muara Ciserayu dan Citanduy yang berbasis kelautan. Karena itu mengunjungi Adireja dan Nusakambangan memang harus secepatnya dilakukan.”
“Kalau begitu, kapan sebaiknya rencana bulan madu Ayunda Dewi dan Kanda Kamandaka ke Nusakambangan agar dinda bisa segera mempersiapkannya?” tanya Wirapati.

Sang Dewi diam sebentar untuk mengambil keputusan. Sang Dewi termasuk cepat dan cermat dalam mengambil keputusan. Sekalipun begitu, dia selalu meminta persetujuan Sang Suami, Kamandaka. Setelah berbisik-bisik sejenak dan suaminya mengangguk tanda setuju, Sang Dewi berkata, “Aku mau istirahat total selama seminggu. Kasihan Kanda Kamandaka sudah seminggu terus menerus menerima tamu, tidak bisa istirahat. Silahkan Dinda Wirapati membicarakannya dengan Dinda Silihwarna dan Dimas Arya Baribin. Jika memerlukan sesuatu bisa langsung berhubungan dengan Ki Patih dan Tumenggung Maresi. Persiapan bulan madu harus sudah siap pada hari yang sama minggu depan. Selama aku dan Kanda Kamandaka pergi bertapa, urusan pemerintahan kadipaten ditangani Ki Patih dan Tumenggung Maresi.”
“Pergi bertapa? Kemana Ayunda Dewi?” tanya Wirapati bingung.
“Ah, tidak jauh-jauh. Juga tidak lama-lama. Hanya tujuh hari,” jawab Sang Dewi sambil tersenyum.
“Hanya berdua bersama Kanda Kamandaka? Lalu kemana Ayunda Dewi akan pergi bertapa?” desak Wirapati penasaran.
“Iya, hanya berdua saja. Masa ditemani orang lain?” jawab Sang Dewi sambil tersenyum membuat penasaran Wirapati, Sekarmenur, Mayangsari, dan Silihwarna. Mereka sempat mendengar perbincangan Sang Dewi dengan Wirapati.
“Ayolah Ayunda Dewi, beritahu juga dinda , kemana Ayunda mau pergi bertapa?” Mayangsari yang penasaran ikut mendesak dengan mengajukan pertanyaan.
Kembali Sang Dewi tersenyum senang karena bisa menggoda adik sepupunya. “Tidak jauh. Hanya ke kamar pengantin Puri Permatabiru di samping Dalem Gede Kadipaten,” jawab Sang Dewi sambil tersenyum karena merasa senang berhasil membuat penasaran adik-adiknya .[bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar