“Oh, bertapa di kamar pengantin? Kalau
begitu dinda ucapkan selamat. Semoga selama tujuh hari menjadi hari-hari indah
untuk Ayunda Dewi dan Kanda Kamandaka,” kata Mayangsari mewakili adik-adik Sang
Dewi yang lain. Mereka tersenyum gembira setelah berhasil mengetahui rencana
Sang Dewi dan Kamandaka. Kedua pengantin baru itu akan beristirahat total
selama tuju hari di Puri Permatabiru. Puri yang dibangun tidak jauh dari Dalem
Gedhe itu memang telah disulap jadi kamar pengantin bagi kedua mempelai yang
sedang berbahagia.
Sementara itu di
atas panggung adegan goro-goro sudah berakhir. Raden Panji Jayengkusuma
berangkat ke alun-alun Kerajaan Gagelang, diikuti Ki Semar, Wirun, Kalang, dan
Andaga. Di alun-alun Kerajaan Gagelang Raja Lasem dan Raja Pudak Setegal yang
ingin menaklukkan Kerajaan Gagelang sedang menunggu jawaban dari Raja Gagelang.
Ratusan prajurit musuh telah dipersiapkan di perbatasan Kerajaan Gagelang.
Sang Dewi sudah
bisa menebak akhir dari Lakon Panji Semirang. Raden Panji Jayengkusuma dibantu
keempat punakawannya, berhasil mengalahkan Raja Lasem yang bersekutu dengan
Raja Pudak Sategal dalam perang tanding satu lawan satu adu kesaktian dan
ketrampilan menggunakan senjata seperti tombak, tameng, pedang, dan keris. Ki
Semar, Wirun, Kalang, dan Andaga ikut bertempur dengan duel melawan patih dan
tumenggung kerajaan musuh. Raden Panji Jayengkusuma memenangkan peperangan.
Akhirnya Sang Pahlawan Kerajaan Gagelang itu, Raden Inu Kertapati yang
menyamar, bisa bertemu dengan Dyah Ayu Galuh Candra Kirana yang juga menyamar
menjadi pemain gambuh. Pertemuan yang mengharukan antara Raden Inu Kertapati
dengan Dyah Ayu Galuh Candra Kirana disaksikan dengan suka cita oleh Sang Raja
Gagelang, paman mereka berdua.
Ceriteranya,
setelah Raden Panji berhasil membebaskan Kerajaan Gagelang dari ancaman musuh,
Sang Raja menyelenggarakan hiburan dengan memanggil pemain gambuh pimpinan
Gambuh Asmara yang sedang naik daun itu. Sang Raja meminta rombongan gambuh itu
menginap di Puri Karang Pesantren, untuk memudahkan akomodasi, karena
pertunjukan dilakukan pada malam hari. Kebetulan Sang Raja Gagelang mengatur
tempat penginapan rombongan pemain gambuh itu berdampingan dengan kamar Raden
Panji Jayengkusuma.
Raden Panji
Jayengkusuma, semakin yakin bahwa Gambuh Asmara tidak lain adalah Dyah Ayu
Galuh Candra Kirana yang sedang menyamar. Keyakinan itu semakin kuat ketika di
depan Sang Raja dan keluarganya, dipentaskan Kisah Panji Semirang yang
menceriterakan pertemuan Raden Inu Kertapati dengan Raden Panji Semirang
Asmarakanta.
Dyah Ayu Candra
Kirana tidak bisa mengelak dari penyamarannya saat Sang Raja memanggil Gambuh
Asmara. Sang Raja menunjukkan boneka emas buatan Raden Inu Kertapati yang
berhasi ditemukan Wirun. Dia dengan menggunakan kunci rahasia berhasil masuk
kamar penginapan rombongan gambuh yang sedang kosong. Kamar itu kosong karena
penghuninya sedang pentas di hadapan Sang Raja. Wirun dengan mudah menemukan
boneka emas buatan Raden Inu Kertapati yang dulu memang dihadiahkan kepada Sang
Kekasih, Dyah Ayu Galuh Candra Kirana. Boneka emas menjadi pembuka tabir
penyamaran mereka berdua.
Setelah pencarian
dan perjalanan panjang akhirnya Sang Putri Galuh Candra Kirana bisa berjumpa
dengan calon suaminya, Putra Mahkota Raja Jenggala, Raden Inu Kertapati. Akhirnya
mereka hidup bahagia, Kerajaan Asmarakanta diturunkan menjadi sebuah kadipaten.
Kedua kerajaan warisan Maharaja Erlangga itu, Janggala dan Daha akhirnya
disatukan di bawah kendali Raja Inu Kertapati dan Permasisuri Candra Kirana.
Kedua kerajaan yang berhasil disatukan itu di beri nama Kerajaan Kediri. Raden
Inu Kertapati mengambil gelar abhiseka Prabu Jayabaya.
*
“Kanda, aku sudah mengantuk. Ayo
pulang!” kata Sang Dewi sambil menjatuhkan kepalanya ke lengan kiri suaminya. Kamandaka
segera berdiri sambil membimbing istrinya. Serentak semua adik-adik sepupunya
dan adik ipar Sang Dewi ikut berdiri. Demikian pula Pendeta Muda Amenglayaran,
Sekarmelati, Sekarcempaka, Tumenggung Maresi, dan Ki Patih. Mereka semua
menyalami Sang Dewi dan Kamandaka.
Mayangsari
memeluk Sang Dewi, sambil mengusap-usap sabuk hitam berperada benang emas yang
meliliti pinggang Sang Dewi. Mayangsari membelai-belai bagian sabuk Sang Dewi
tepat di bagian yang melindungi perut Sang Dewi, sambil berbisik menggoda,
“Ayunda Dewi, selamat bertapa ya. Semoga berhasil. Cepat punya momongan.”
“Terima kasih
doanya, Dinda Mayangsari. Kalau perempuan mudah-mudahan seperti Dinda
Mayangsari, cantik, cerdas, dan pandai pula menyanyi,” jawab Sang Dewi sambil
mencubit pipi adik sepupunya itu, karena gemas.
“Tumenggung
Maresi dan Ki Patih, Kanda Kamandaka akan beristirahat total selama tujuh hari.
Jangan diganggu. Urusan pemerintahan kadipaten sehari-hari silahkan ditangani
seperti biasanya. Jika Kanda Amenglayaran, Dinda Wirapati, Dinda Arya Baribin,
dan Dinda Silihwarna memerlukan sesuatu, bantulah. Ada program yang nanti akan
dibicarakan dengan Ki Patih dan Tumenggung Maresi. Tumenggung Maresi, jangan
lupa bingkisan ucapan terimakasih untuk Ki Dalang Sukmo Lelono. Berilah jumlah
yang cukup memuaskan. Katakan kepadanya, aku dan Kanda Kamandaka, sangat puas
dengan pementasan malam ini,” kata Sang Dewi meninggalkan sejumlah pesan
penting kepada Ki Patih maupun Tumenggung Maresi.
Setelah Sang Dewi
dan Kamandaka meninggalkan Pendapa, Tumenggung Maresi, Ki Patih, Pendeta Muda
Amenglayaran, dan adik-adik sepupu maupun adik ipar Sang Dewi kembali duduk di
tempatnya semula. Mereka terus menikmati pementasan wayang beber yang dibawakan
Ki Dalang Sukmo Lelono, sampai akhir. Tancep kayon.
Wirapati,
Silihwarna, dan Arya Baribin, segera mengantarkan Sekarmenur, Mayangsari dan
Ratna Pamekas, menuju tempat peristirahatannya di Taman Kaputren. Pendeta Muda
Amenglayaran ikut-ikutan mengantarkan Sekarmelati dan Sekarcempaka. Selesai
mengantarkan gadis-gadis itu, Wirapati, Silihwarna, Arya Baribin, dan Pendeta
Muda Amenglayaran, menuju tempat peristirahatannya di Taman Kaputran.
Sedangkan
rombongan Ki Dalang Sukmo Lelono bermalam di pondokan ruang tamu khusus yang
berada di bagian depan bangunan sayap kanan di samping Pendapa. Sinden Paijem,
Juminem, dan Titisari, menempati satu kamar tersendiri. Ki Dalang dan ke empat
niyaga menempati tiga kamar tersendiri pula. Pagelaran wayang beber memang
biasa berakhir pada tengah malam. Tidak sampai terbit fajar.
Sementara itu
Kamandaka membimbing istrinya menuruni Pendapa Kadipaten yang masih penuh sesak
dengan penonton. Mereka belum mau beranjak dari tempatnya, sebelum pentas
wayang beber itu usai. Kamandaka dan Sang Dewi terus melangkah melewati Dalem
Gedhe diiringi Khandegwilis yang sudah kembali lagi setelah mengantarkan
Kanjeng Ayu Adipati Sepuh. Bintang di langit semakin banyak bertaburan, dan
udara malam semakin dingin. Dari pohon-pohon perdu di taman, bunyi belalang
malam dengan suaranya yang melengking-lengking sering terdengar, seakan ikut
meramaikan suara gamelan di Pendapa yang sayup-sayup masih terdengar dari
kejauhan.
Dalam
perjalanannya dari Pendapa menuju Puri Permatabiru, ingatan Kamandaka
berkali-kali kembali kepada hari-hari yang tak akan pernah dilupakannya seumur hidup.
Hari-hari sejak dia dinyatakan sebagai seorang suami dan Sang Dewi sebagi
seorang istri melalui ritual suci yang bernama pernikahan. Hari pertama malam
pertama, hari kedua malam kedua. Lalu hari ketiga disusul malam ketiga, hari
keempat malam ke empat. Hari kelima malam kelima. Hari keenam malam keenam.
Kini adalah hari ketujuh yang telah dilewati. Dan malam ketujuh yang sedang dan
akan dilewati.
Manusia adalah
mahkluk beradab dan berbudaya, pikir Kamandaka. Karenanya upacara perkawinan
dikenal oleh agama dan keperyayaan apa saja. Hanya sekte agama dan kepercayaan
menyimpang dengan ajaran pola hidup tidak normal, yang menolak upacara
perkawinan. Hidup liar dan bebas di luar perkawinan adalah pola hidup yang akan
merusak peradaban manusia.
Bagi Kamandaka, tujuan perkawinan
bukanlah semata-mata kebebasan untuk berhubungan badan antara suami istri.
Bukan pula sekedar untuk mencapai kepuasan nafsu birahi. Hubungan badan
bukanlah tujuan. Hubungan badan antara pasangan suami istri adalah jalan atau
proses yang harus dilewati untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan lebih
bermartabat. Tujuan itu, bagi Kamandaka, adalah lahirnya keturunan yang baik,
sehat, cerdas, dan unggul. Tujuan itu bukan hanya agar ras manusia di muka bumi
dapat tetap dilestarikan. Tetapi juga agar dapat dilahirkan generasi emas yang
akan mampu mengemban, melanjutkan, dan mengembangkan missi peradaban
kemanusiaan di muka bumi.
Kamandaka ingat
betul, Sang Dewi yang baru tujuh hari lalu menjadi istrinya itu, tidak pernah
menyebut hubungan antara sepasang suami istri dengan sebutan hubungan badan.
Tetapi istrinya itu menyebut dengan kosa kata bahasa Lembah Ciserayu,
lambangsari. Sebab menurut istrinya lambangsari adalah aktivitas menyatunya
jiwa dengan jiwa, raga dengan raga, dan keduanya manunggal menjadi satu.
Manunggalnya dua cita-cita, dua energi cinta luhur, suci, murni dari dua raga,
dan dua jiwa yang lebur menjadi satu sehingga akan lahir bunga-bunga kehidupan
indah semerbak harum mewangi di muka bumi. Kamandaka ingat betul, hubungan antara dirinya dengan istrinya, baru terjadi
pada malam ke empat. Malam pertama bagi pasangan mempelai, bukanlah malam
ketika sepasang mempelai pertama kali tidur bersama dan langsung melakukan
hubungan badan.
Sang Dewi masih
berpegangan pada lengan kiri Kamandaka ketika mereka berdua melewati teras
ruang tamu Dalem Gedhe. Ruangan itu adalah tempat keluarga besar Kanjeng
Adipati Kandhadaha pada sore hari atau hari-hari senggang biasa berkumpul,
berbincang-bincang, dan melepas rindu. Keadaannya sepi, pintunya tertutup, dan
lampu gantung berbentuk lampion dari kertas berwarna merah tergantung di atas
daun pintu. Cahayanya berpendaran kian kemari.
Kamandaka dan
Sang Dewi, diiringi Khandegwilis terus melangkah melewat Dalem Gedhe. Ingatan
hari pertama setelah melewati prosesi perkawinan yang melelahkan sekaligus
menggembirakan, satu persatu muncul kembali dalam benak Kamandaka. Ingatan
dalam benaknya adalah ketika Kamandaka pertama kali memasuki kamar pengantin,
di sela-sela waktu istitahat siang menjelang sore hari. Itulah ruangan dalam
Puri Permatabiru. Puri Permatabiru adalah puri yang akan ditempatinya setelah
dia menjalani hidup baru sebagai sepasang suami istri. Kamandaka harus
meninggalkan Taman Kaputran yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Sang Dewi
juga harus meninggalkan Taman Kaputren yang sebelumnya juga menjadi tempat
tinggalnya. Sejak itu mereka menjalani hidup baru sebagai sepasang suami istri
yang saling mencintai dan berbahagia. Ingatan hari pertama muncul berkali-kali.
Bisa jadi hal itu karena Kamandaka telah melalui proses perjalanan panjang
hampir delapan belas bulan untuk sampai pada hari pertama yang berbahagia,
sehingga hari yang indah itu lama melekat dalam benaknya.
Puri Permatabiru
merupakan bangunan di sayap kiri Dalem Gedhe Kadipaten. Bangunan itu hanyalah
semacam ruangan khusus tidak jauh berbeda dengan ruangan-ruangan di Taman
Kaputren. Hanya terasnya lebih luas dan menghadap taman yang indah. Ruangan
dalam pun lebih luas. Puri Permatabiru dirancang khusus untuk menerima
tamu-tamu setingkat Adipati. Pada hari-hari biasa jarang dipakai. Hanya dirawat
dan dibersihkan saja oleh bujang yang khusus ditunjuk untuk merawatnya. Karena
putri Sang Adipati Kandhadaha banyak, maka setiap ada acara menikahkan
putrinya, puri itu langsung dihias dan disiapkan menjadi kamar pengantin.
Sebelum upacara pernikahannya, Kamandaka belum pernah tinggal di dalamnya.
Bahkan masuk pun belum pernah.
Kamandaka kagum
juga saat melihat-lihat puri indah yang telah disulap jadi ruang pengantin itu.
Sepasang kursi jati ukiran berlapis beludru merah sangat kontras dengan pelitur
warna coklat kopi yang menghiasi teras depan. Dia ingat ketika dia langsung
mencoba duduk. Sang Dewi hanya tersenyum berdiri di sampingnya. Dari kursi
tempat duduknya, dia bisa menikmati taman indah di depan teras. Sejumlah
tanaman bunga sedang bermekaran. Awan putih berarak-arakan tampak di langit
menjelang sore hari.
“Ayo, lihat ke
dalam,” ajak Sang Dewi kepadanya saat itu.
Kamandaka segera
bangkit mengikuti istrinya. Di belakang mereka mengikuti Emban setianya,
Khandegwilis. Ruangan dalam Puri Prematabiru diberi hiasan mewah dan menarik
dengan sentuhan seni tinggi. Korden, taplak meja, kelambu, tilam, sarung bantal
guling, selimut, sprei, handuk, dan lainnya lagi, semuanya serba baru, ditata
dengan apik. Maklum istrinya adalah putri bungsu kesayangan ayah bundanya. Dan
pesta perkawinan itu adalah pesta perkawinan terakhir yang diselenggarakan
Adipati Kandhadaha. Andaikata tidak dihias pun kemewahan perabot di dalamnya
tidak akan kalah dengan puri-puri mewah Istana Pakuan Pajajaran. Apalagi kalau
diberi hiasan. Dijamin nyaman dipandang dan mengundang selera untuk tinggal di
dalamnya.
Kamandaka masih
ingat ketika dia dengan tak jemu-jemunya melihat-lihat rangka pintu, jendela,
tiang penyangga, daun pintu, dan jendela. Semua terbuat dari kayu jati
dipelitur warna coklat kopi berkilat memantulkan sinar. Lantai ruangan dari
pualam putih agak kemerah-merahan. Di dalamnya ada seperangkat meja dan kursi
tempat duduk, meja makan, lemari pakaian, lemari hias, meja rias, gantungan
baju, ruang ganti pakaian, ruang dapur kecil, dan kamar mandi. Langit-langitnya
cukup tinggi, kaso-kaso dan usuknya juga dari kayu jati yang dipelitur dengan
warna senada. Lampu gantung buatan China yang bisa diatur tingkat pencahayaannya,
ikut menambah tingkat artistik ruangan Puri Permatabiru.
Ranjang peraduan
yang disulap jadi ranjang pengantin, juga terbuat dari kayu jati berukir
mengkilap, berkelambu transparan warna hijau muda, dengan tilam ditutup sprei
berwarna biru muda, lengkap dengan selimut berbahan wool buatan Persia, dan dua
buah bantal dan guling yang dibungkus sarung katun halus merah muda. Aroma
harum mewangi menyinggahi hidung terbit dari dalam ranjang pengantin. Begitu
melihat ranjang pengantin Kamandaka langsung terbangunkan gairah asmaranya. Dia
pun membisiki istrinya yang ada di sampingnya sambil menggoda.
“Sekarang,
Diajeng?” bisiknya
“Ssst. Nanti
malam saja, masih banyak tamu. Kasihan mereka,” jawab Sang Dewi sambil mencubit
pangkal lengan suaminya. Dulu biasanya Sang Dewi sering mencubit pahanya.
Walaupun sakit, entah mengapa Kamandaka merasa senang. Kini pun masih senang
juga jika dicubit istrinya. Apa lagi cubitannya tidak terlalu keras. Hanya ala
kadarnya.
Khandegwilis yang
mendengar bisikan karena ada di belakang mereka, langsung menahan keinginan
untuk tertawa. Tetapi Kamandaka tahu jika Emban itu sedang menahan diri agar
tidak tertawa. Mungkin karena Khandegwilis masih ingat kejadian hampir setahun
lalu. Kejadian ketika pada malam hari disuruh Sang Dewi menjemput Kamandaka
yang sedang bersembunyi di bawah pohon jambu. Lalu Emban Kandhegwilis
mengajaknya masuk ke dalam ruang tempat tinggal Sang Dewi di Taman Kaputren.
Kamandaka tersenyum sendiri jika ingat kejadian itu. Bukan hanya Khandeg Wilis
yang ingin tertawa. Dirinya pun ingin tertawa jika ingat itu semua. Ranjang
pengantin itu telah membawa ingatannya mengembara ke masa lalu.
Sebenarnya
Kamandaka ingin cepat-cepat menikmati ranjang pengantin berdua saja dengan
istrinya tanpa diganggu siapa pun. Tapi jika ingat tamu masih terus berdatangan
dari sejak pagi, siang, dan malam hari, keinginan untuk menikmari ranjang
pengantin memang terpaksa harus ditundanya. Sebab, walapun sore hari acara
sudah diatur oleh panitia sebagai waktu untuk istirahat dan tidak menerima
tamu, ternyata tamu tetap saja masih banyak yang hadir.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar