Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 27 Agustus 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (14)




“Oh, bertapa di kamar pengantin? Kalau begitu dinda ucapkan selamat. Semoga selama tujuh hari menjadi hari-hari indah untuk Ayunda Dewi dan Kanda Kamandaka,” kata Mayangsari mewakili adik-adik Sang Dewi yang lain. Mereka tersenyum gembira setelah berhasil mengetahui rencana Sang Dewi dan Kamandaka. Kedua pengantin baru itu akan beristirahat total selama tuju hari di Puri Permatabiru. Puri yang dibangun tidak jauh dari Dalem Gedhe itu memang telah disulap jadi kamar pengantin bagi kedua mempelai yang sedang berbahagia.
Sementara itu di atas panggung adegan goro-goro sudah berakhir. Raden Panji Jayengkusuma berangkat ke alun-alun Kerajaan Gagelang, diikuti Ki Semar, Wirun, Kalang, dan Andaga. Di alun-alun Kerajaan Gagelang Raja Lasem dan Raja Pudak Setegal yang ingin menaklukkan Kerajaan Gagelang sedang menunggu jawaban dari Raja Gagelang. Ratusan prajurit musuh telah dipersiapkan di perbatasan Kerajaan Gagelang.
Sang Dewi sudah bisa menebak akhir dari Lakon Panji Semirang. Raden Panji Jayengkusuma dibantu keempat punakawannya, berhasil mengalahkan Raja Lasem yang bersekutu dengan Raja Pudak Sategal dalam perang tanding satu lawan satu adu kesaktian dan ketrampilan menggunakan senjata seperti tombak, tameng, pedang, dan keris. Ki Semar, Wirun, Kalang, dan Andaga ikut bertempur dengan duel melawan patih dan tumenggung kerajaan musuh. Raden Panji Jayengkusuma memenangkan peperangan. Akhirnya Sang Pahlawan Kerajaan Gagelang itu, Raden Inu Kertapati yang menyamar, bisa bertemu dengan Dyah Ayu Galuh Candra Kirana yang juga menyamar menjadi pemain gambuh. Pertemuan yang mengharukan antara Raden Inu Kertapati dengan Dyah Ayu Galuh Candra Kirana disaksikan dengan suka cita oleh Sang Raja Gagelang, paman mereka berdua.
Ceriteranya, setelah Raden Panji berhasil membebaskan Kerajaan Gagelang dari ancaman musuh, Sang Raja menyelenggarakan hiburan dengan memanggil pemain gambuh pimpinan Gambuh Asmara yang sedang naik daun itu. Sang Raja meminta rombongan gambuh itu menginap di Puri Karang Pesantren, untuk memudahkan akomodasi, karena pertunjukan dilakukan pada malam hari. Kebetulan Sang Raja Gagelang mengatur tempat penginapan rombongan pemain gambuh itu berdampingan dengan kamar Raden Panji Jayengkusuma.
Raden Panji Jayengkusuma, semakin yakin bahwa Gambuh Asmara tidak lain adalah Dyah Ayu Galuh Candra Kirana yang sedang menyamar. Keyakinan itu semakin kuat ketika di depan Sang Raja dan keluarganya, dipentaskan Kisah Panji Semirang yang menceriterakan pertemuan Raden Inu Kertapati dengan Raden Panji Semirang Asmarakanta.
Dyah Ayu Candra Kirana tidak bisa mengelak dari penyamarannya saat Sang Raja memanggil Gambuh Asmara. Sang Raja menunjukkan boneka emas buatan Raden Inu Kertapati yang berhasi ditemukan Wirun. Dia dengan menggunakan kunci rahasia berhasil masuk kamar penginapan rombongan gambuh yang sedang kosong. Kamar itu kosong karena penghuninya sedang pentas di hadapan Sang Raja. Wirun dengan mudah menemukan boneka emas buatan Raden Inu Kertapati yang dulu memang dihadiahkan kepada Sang Kekasih, Dyah Ayu Galuh Candra Kirana. Boneka emas menjadi pembuka tabir penyamaran mereka berdua.
Setelah pencarian dan perjalanan panjang akhirnya Sang Putri Galuh Candra Kirana bisa berjumpa dengan calon suaminya, Putra Mahkota Raja Jenggala, Raden Inu Kertapati. Akhirnya mereka hidup bahagia, Kerajaan Asmarakanta diturunkan menjadi sebuah kadipaten. Kedua kerajaan warisan Maharaja Erlangga itu, Janggala dan Daha akhirnya disatukan di bawah kendali Raja Inu Kertapati dan Permasisuri Candra Kirana. Kedua kerajaan yang berhasil disatukan itu di beri nama Kerajaan Kediri. Raden Inu Kertapati mengambil gelar abhiseka Prabu Jayabaya.
*
“Kanda, aku sudah mengantuk. Ayo pulang!” kata Sang Dewi sambil menjatuhkan kepalanya ke lengan kiri suaminya. Kamandaka segera berdiri sambil membimbing istrinya. Serentak semua adik-adik sepupunya dan adik ipar Sang Dewi ikut berdiri. Demikian pula Pendeta Muda Amenglayaran, Sekarmelati, Sekarcempaka, Tumenggung Maresi, dan Ki Patih. Mereka semua menyalami Sang Dewi dan Kamandaka.
Mayangsari memeluk Sang Dewi, sambil mengusap-usap sabuk hitam berperada benang emas yang meliliti pinggang Sang Dewi. Mayangsari membelai-belai bagian sabuk Sang Dewi tepat di bagian yang melindungi perut Sang Dewi, sambil berbisik menggoda, “Ayunda Dewi, selamat bertapa ya. Semoga berhasil. Cepat punya momongan.”
“Terima kasih doanya, Dinda Mayangsari. Kalau perempuan mudah-mudahan seperti Dinda Mayangsari, cantik, cerdas, dan pandai pula menyanyi,” jawab Sang Dewi sambil mencubit pipi adik sepupunya itu, karena gemas.
“Tumenggung Maresi dan Ki Patih, Kanda Kamandaka akan beristirahat total selama tujuh hari. Jangan diganggu. Urusan pemerintahan kadipaten sehari-hari silahkan ditangani seperti biasanya. Jika Kanda Amenglayaran, Dinda Wirapati, Dinda Arya Baribin, dan Dinda Silihwarna memerlukan sesuatu, bantulah. Ada program yang nanti akan dibicarakan dengan Ki Patih dan Tumenggung Maresi. Tumenggung Maresi, jangan lupa bingkisan ucapan terimakasih untuk Ki Dalang Sukmo Lelono. Berilah jumlah yang cukup memuaskan. Katakan kepadanya, aku dan Kanda Kamandaka, sangat puas dengan pementasan malam ini,” kata Sang Dewi meninggalkan sejumlah pesan penting kepada Ki Patih maupun Tumenggung Maresi.
Setelah Sang Dewi dan Kamandaka meninggalkan Pendapa, Tumenggung Maresi, Ki Patih, Pendeta Muda Amenglayaran, dan adik-adik sepupu maupun adik ipar Sang Dewi kembali duduk di tempatnya semula. Mereka terus menikmati pementasan wayang beber yang dibawakan Ki Dalang Sukmo Lelono, sampai akhir. Tancep kayon.
Wirapati, Silihwarna, dan Arya Baribin, segera mengantarkan Sekarmenur, Mayangsari dan Ratna Pamekas, menuju tempat peristirahatannya di Taman Kaputren. Pendeta Muda Amenglayaran ikut-ikutan mengantarkan Sekarmelati dan Sekarcempaka. Selesai mengantarkan gadis-gadis itu, Wirapati, Silihwarna, Arya Baribin, dan Pendeta Muda Amenglayaran, menuju tempat peristirahatannya di Taman Kaputran.
Sedangkan rombongan Ki Dalang Sukmo Lelono bermalam di pondokan ruang tamu khusus yang berada di bagian depan bangunan sayap kanan di samping Pendapa. Sinden Paijem, Juminem, dan Titisari, menempati satu kamar tersendiri. Ki Dalang dan ke empat niyaga menempati tiga kamar tersendiri pula. Pagelaran wayang beber memang biasa berakhir pada tengah malam. Tidak sampai terbit fajar.
Sementara itu Kamandaka membimbing istrinya menuruni Pendapa Kadipaten yang masih penuh sesak dengan penonton. Mereka belum mau beranjak dari tempatnya, sebelum pentas wayang beber itu usai. Kamandaka dan Sang Dewi terus melangkah melewati Dalem Gedhe diiringi Khandegwilis yang sudah kembali lagi setelah mengantarkan Kanjeng Ayu Adipati Sepuh. Bintang di langit semakin banyak bertaburan, dan udara malam semakin dingin. Dari pohon-pohon perdu di taman, bunyi belalang malam dengan suaranya yang melengking-lengking sering terdengar, seakan ikut meramaikan suara gamelan di Pendapa yang sayup-sayup masih terdengar dari kejauhan.
Dalam perjalanannya dari Pendapa menuju Puri Permatabiru, ingatan Kamandaka berkali-kali kembali kepada hari-hari yang tak akan pernah dilupakannya seumur hidup. Hari-hari sejak dia dinyatakan sebagai seorang suami dan Sang Dewi sebagi seorang istri melalui ritual suci yang bernama pernikahan. Hari pertama malam pertama, hari kedua malam kedua. Lalu hari ketiga disusul malam ketiga, hari keempat malam ke empat. Hari kelima malam kelima. Hari keenam malam keenam. Kini adalah hari ketujuh yang telah dilewati. Dan malam ketujuh yang sedang dan akan dilewati.
Manusia adalah mahkluk beradab dan berbudaya, pikir Kamandaka. Karenanya upacara perkawinan dikenal oleh agama dan keperyayaan apa saja. Hanya sekte agama dan kepercayaan menyimpang dengan ajaran pola hidup tidak normal, yang menolak upacara perkawinan. Hidup liar dan bebas di luar perkawinan adalah pola hidup yang akan merusak peradaban manusia.
Bagi Kamandaka, tujuan perkawinan bukanlah semata-mata kebebasan untuk berhubungan badan antara suami istri. Bukan pula sekedar untuk mencapai kepuasan nafsu birahi. Hubungan badan bukanlah tujuan. Hubungan badan antara pasangan suami istri adalah jalan atau proses yang harus dilewati untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan lebih bermartabat. Tujuan itu, bagi Kamandaka, adalah lahirnya keturunan yang baik, sehat, cerdas, dan unggul. Tujuan itu bukan hanya agar ras manusia di muka bumi dapat tetap dilestarikan. Tetapi juga agar dapat dilahirkan generasi emas yang akan mampu mengemban, melanjutkan, dan mengembangkan missi peradaban kemanusiaan di muka bumi.
Kamandaka ingat betul, Sang Dewi yang baru tujuh hari lalu menjadi istrinya itu, tidak pernah menyebut hubungan antara sepasang suami istri dengan sebutan hubungan badan. Tetapi istrinya itu menyebut dengan kosa kata bahasa Lembah Ciserayu, lambangsari. Sebab menurut istrinya lambangsari adalah aktivitas menyatunya jiwa dengan jiwa, raga dengan raga, dan keduanya manunggal menjadi satu. Manunggalnya dua cita-cita, dua energi cinta luhur, suci, murni dari dua raga, dan dua jiwa yang lebur menjadi satu sehingga akan lahir bunga-bunga kehidupan indah semerbak harum mewangi di muka bumi. Kamandaka ingat betul, hubungan  antara dirinya dengan istrinya, baru terjadi pada malam ke empat. Malam pertama bagi pasangan mempelai, bukanlah malam ketika sepasang mempelai pertama kali tidur bersama dan langsung melakukan hubungan badan.
Sang Dewi masih berpegangan pada lengan kiri Kamandaka ketika mereka berdua melewati teras ruang tamu Dalem Gedhe. Ruangan itu adalah tempat keluarga besar Kanjeng Adipati Kandhadaha pada sore hari atau hari-hari senggang biasa berkumpul, berbincang-bincang, dan melepas rindu. Keadaannya sepi, pintunya tertutup, dan lampu gantung berbentuk lampion dari kertas berwarna merah tergantung di atas daun pintu. Cahayanya berpendaran kian kemari.
Kamandaka dan Sang Dewi, diiringi Khandegwilis terus melangkah melewat Dalem Gedhe. Ingatan hari pertama setelah melewati prosesi perkawinan yang melelahkan sekaligus menggembirakan, satu persatu muncul kembali dalam benak Kamandaka. Ingatan dalam benaknya adalah ketika Kamandaka pertama kali memasuki kamar pengantin, di sela-sela waktu istitahat siang menjelang sore hari. Itulah ruangan dalam Puri Permatabiru. Puri Permatabiru adalah puri yang akan ditempatinya setelah dia menjalani hidup baru sebagai sepasang suami istri. Kamandaka harus meninggalkan Taman Kaputran yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Sang Dewi juga harus meninggalkan Taman Kaputren yang sebelumnya juga menjadi tempat tinggalnya. Sejak itu mereka menjalani hidup baru sebagai sepasang suami istri yang saling mencintai dan berbahagia. Ingatan hari pertama muncul berkali-kali. Bisa jadi hal itu karena Kamandaka telah melalui proses perjalanan panjang hampir delapan belas bulan untuk sampai pada hari pertama yang berbahagia, sehingga hari yang indah itu lama melekat dalam benaknya.
Puri Permatabiru merupakan bangunan di sayap kiri Dalem Gedhe Kadipaten. Bangunan itu hanyalah semacam ruangan khusus tidak jauh berbeda dengan ruangan-ruangan di Taman Kaputren. Hanya terasnya lebih luas dan menghadap taman yang indah. Ruangan dalam pun lebih luas. Puri Permatabiru dirancang khusus untuk menerima tamu-tamu setingkat Adipati. Pada hari-hari biasa jarang dipakai. Hanya dirawat dan dibersihkan saja oleh bujang yang khusus ditunjuk untuk merawatnya. Karena putri Sang Adipati Kandhadaha banyak, maka setiap ada acara menikahkan putrinya, puri itu langsung dihias dan disiapkan menjadi kamar pengantin. Sebelum upacara pernikahannya, Kamandaka belum pernah tinggal di dalamnya. Bahkan masuk pun belum pernah.
Kamandaka kagum juga saat melihat-lihat puri indah yang telah disulap jadi ruang pengantin itu. Sepasang kursi jati ukiran berlapis beludru merah sangat kontras dengan pelitur warna coklat kopi yang menghiasi teras depan. Dia ingat ketika dia langsung mencoba duduk. Sang Dewi hanya tersenyum berdiri di sampingnya. Dari kursi tempat duduknya, dia bisa menikmati taman indah di depan teras. Sejumlah tanaman bunga sedang bermekaran. Awan putih berarak-arakan tampak di langit menjelang sore hari.
“Ayo, lihat ke dalam,” ajak Sang Dewi kepadanya saat itu.
Kamandaka segera bangkit mengikuti istrinya. Di belakang mereka mengikuti Emban setianya, Khandegwilis. Ruangan dalam Puri Prematabiru diberi hiasan mewah dan menarik dengan sentuhan seni tinggi. Korden, taplak meja, kelambu, tilam, sarung bantal guling, selimut, sprei, handuk, dan lainnya lagi, semuanya serba baru, ditata dengan apik. Maklum istrinya adalah putri bungsu kesayangan ayah bundanya. Dan pesta perkawinan itu adalah pesta perkawinan terakhir yang diselenggarakan Adipati Kandhadaha. Andaikata tidak dihias pun kemewahan perabot di dalamnya tidak akan kalah dengan puri-puri mewah Istana Pakuan Pajajaran. Apalagi kalau diberi hiasan. Dijamin nyaman dipandang dan mengundang selera untuk tinggal di dalamnya.
Kamandaka masih ingat ketika dia dengan tak jemu-jemunya melihat-lihat rangka pintu, jendela, tiang penyangga, daun pintu, dan jendela. Semua terbuat dari kayu jati dipelitur warna coklat kopi berkilat memantulkan sinar. Lantai ruangan dari pualam putih agak kemerah-merahan. Di dalamnya ada seperangkat meja dan kursi tempat duduk, meja makan, lemari pakaian, lemari hias, meja rias, gantungan baju, ruang ganti pakaian, ruang dapur kecil, dan kamar mandi. Langit-langitnya cukup tinggi, kaso-kaso dan usuknya juga dari kayu jati yang dipelitur dengan warna senada. Lampu gantung buatan China yang bisa diatur tingkat pencahayaannya, ikut menambah tingkat artistik ruangan Puri Permatabiru.
Ranjang peraduan yang disulap jadi ranjang pengantin, juga terbuat dari kayu jati berukir mengkilap, berkelambu transparan warna hijau muda, dengan tilam ditutup sprei berwarna biru muda, lengkap dengan selimut berbahan wool buatan Persia, dan dua buah bantal dan guling yang dibungkus sarung katun halus merah muda. Aroma harum mewangi menyinggahi hidung terbit dari dalam ranjang pengantin. Begitu melihat ranjang pengantin Kamandaka langsung terbangunkan gairah asmaranya. Dia pun membisiki istrinya yang ada di sampingnya sambil menggoda.
“Sekarang, Diajeng?” bisiknya
“Ssst. Nanti malam saja, masih banyak tamu. Kasihan mereka,” jawab Sang Dewi sambil mencubit pangkal lengan suaminya. Dulu biasanya Sang Dewi sering mencubit pahanya. Walaupun sakit, entah mengapa Kamandaka merasa senang. Kini pun masih senang juga jika dicubit istrinya. Apa lagi cubitannya tidak terlalu keras. Hanya ala kadarnya.
Khandegwilis yang mendengar bisikan karena ada di belakang mereka, langsung menahan keinginan untuk tertawa. Tetapi Kamandaka tahu jika Emban itu sedang menahan diri agar tidak tertawa. Mungkin karena Khandegwilis masih ingat kejadian hampir setahun lalu. Kejadian ketika pada malam hari disuruh Sang Dewi menjemput Kamandaka yang sedang bersembunyi di bawah pohon jambu. Lalu Emban Kandhegwilis mengajaknya masuk ke dalam ruang tempat tinggal Sang Dewi di Taman Kaputren. Kamandaka tersenyum sendiri jika ingat kejadian itu. Bukan hanya Khandeg Wilis yang ingin tertawa. Dirinya pun ingin tertawa jika ingat itu semua. Ranjang pengantin itu telah membawa ingatannya mengembara ke masa lalu.
Sebenarnya Kamandaka ingin cepat-cepat menikmati ranjang pengantin berdua saja dengan istrinya tanpa diganggu siapa pun. Tapi jika ingat tamu masih terus berdatangan dari sejak pagi, siang, dan malam hari, keinginan untuk menikmari ranjang pengantin memang terpaksa harus ditundanya. Sebab, walapun sore hari acara sudah diatur oleh panitia sebagai waktu untuk istirahat dan tidak menerima tamu, ternyata tamu tetap saja masih banyak yang hadir.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar