Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 10 September 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (17)




Tiba-tiba Sang Dewi ingat kepada Emban Khandegwilis yang tadi diperintah, belum nampak batang hidungnya. “Mana Biyung Emban, disuruh dari tadi, belum datang juga?” kata Sang Dewi memutus pembicaraan soal Adipati Cirebon. Sang Dewi mulai merasa haus karena udara  musim kemarau sehingga debu berterbangan kian kemari ditiup angin, dan daun-daun kering banyak berjatuhan. Sang Dewi duduk di samping Kamandaka di teras depan puri. Kamandaka melihat daun-daun perdu yang tumbuh di dalam taman juga banyak yang luruh ditiup angin musim kemarau. Seorang juru taman sibuk memungut daun-daun yang rontok dan membawa air untuk menyirami tanaman-tanaman yang mengering.
“Apa tadi pesan minumannya?” tanya Kamandaka yang merasa haus juga.
“Teh poci dengan gula batu. Pocinya buatan Cirebon. Mungkin gula batunya habis,” jawab Sang Dewi mulai tidak sabar. Tetapi tak lama kemudian Khandegwilis muncul diiringi seorang bujang  membawa talam. Di atasnya ada poci coklat berisi teh dengan pemanis gula batu, dua cangkir kosong, dan satu piring kueh nagasari dibungkus daun pisang  baru saja direbus, tampak masih hangat.
“Maaf, Ndara Ayu, gula batu di dapur habis. Jadi harus cari dulu di gudang,” kata Khandegwilis. “Lagi pula menunggu supaya gula batunya larut dulu agar air teh dalam poci cepat dingin.”
Kamandaka melihat Sang Dewi hanya tersenyum mendengar laporan itu. Khandegwilis yang tadinya takut-takut akan dimarahi, setelah melihat Sang Dewi tersenyum, langsung ceria wajahnya.
”Wah, ditunggu dari tadi. Ya sudah, terima kasih, Biyung Emban. Jangan lupa nanti malam di meja makan puri sediakan wedang jahe kesukaan Kanda Kamandaka. Persediaan gula aren dan gula kelapa masih cukup? Rekajaya ke mana?”
“Kakang Rekajaya tadi pagi baru mengirim sepuluh keranjang gula aren dan gula kelapa. Persedian cukup, Ndara Ayu. Kakang Rekajaya siang tadi juga ikut sibuk potong kambing dan mencacah-cacah dagingnya,” jawab Khandegwilis.
“Syukur kalau begitu,” kata Sang Dewi tersenyum senang. Khandegwilis mengundurkan diri mengikuti bujang membawa talam kosong.
Kamandaka masih ingat ketika istrinya menuangkan teh poci ke dalam dua cangkir. Lalu mengambilkan satu untuk dirinya lebih dulu. “Ayo, Kanda,” Sang Dewi menyodorkan cangkir teh manis hangat untuk dirinya. Sikap melayani yang demikian itu belum pernah dialaminya. Kamandaka merasa senang juga. Dia langsung meneguknya. Demikian pula istrinya.
”Ternyata dari ceritera Kanda tadi, sudah banyak keluarga Kerajaan Pajajaran dan Galuh yang memeluk agama Islam,” kata Sang Dewi masih melanjutkan membicarakan Kadipaten Cirebon.
“Betul sekali, Diajeng. Bahkan keturunan Patih Bunisora, Sang Maha Patih Kerajaan Galuh yang terkenal itu, ada yang telah memeluk Islam. Barangkali dia adalah keluarga Kerajaan Galuh yang mula-mula memeluk Islam dan pergi menunaikan Ibadah Haji ke Makkah. Pulang dari sana, dikenal orang sebagai Haji Purwa. Maksudnya adalah orang dari tanah Sunda yang pertama kali menunaikan ibadah Haji ke Makkah.”
“Menurut Kanda, bagaimana kelanjutan hubungan Bandar Muarajati dengan Kadipaten Cirebon yang cenderung mencari perlindungan Kerajaan Islam Demak?” tanya Sang Dewi yang ternyata tertarik juga kepada soal-soal pemerintahan.
“Justru itulah yang membuat akhir-akhir ini aku agak gelisah, Diajeng. Terutama sejak aku mendengar kabar dari Kanda Amenglayaran, bahwa Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi sedang sakit keras. Bisa jadi karena memikirkaan aku, Dinda Silihwarna, dan Dinda Ratna Pamekas. Sekarang kendali pemerintahan Kerajaan Pajajaran ada ditangan Dinda Banyakbelabur. Dia menentang keras rencana pernikahan Dimas Arya Baribin dengan Dinda Ratna Pamekas. Padahal keduanya sudah tidak mungkin bisa dipisahkan,” Kamandaka menjelaskan problem berat yang tengah dihadapi keluarganya.
“Menjadi sangat berbahaya,” kata Kamandaka melanjutkan “bila Dinda Banyakbelabur bermain api kembali memusuhi Cirebon. Kadipaten Cirebon pasti akan mencari perlindungan lagi dari Kerajaan Islam Demak. Itu pasti akan dilakukan jika Kadipaten Cirebon merasa terancam oleh Kerajaan Pajajaran. Peta pertarungan menjadi tambah rumit bila Dinda Banyakbelabur juga memusuhi Kadipaten Pasirluhur dan mendorong Kediri menyerang Pasirluhur dengan menggunakan tangan Kadipaten Wirasaba,” kata Kamandaka saat itu dengan nada mengeluh.
“Yah, mudah-mudahan kelak ada jalan keluar untuk mengatasi kerumitan-kerumitan itu. Kanda memang harus secepatnya bertemu dengan Dinda Banyakbelabur. Semoga pula Ayahnda Sri Baginda Silihwangi cepat diberi kesembuhan,” kata Sang Dewi mencoba menghibur Kamandaka.
“Ya, Ayahanda Sri Baginda Silihwangi ingin sekali berjumpa dengan Diajeng. Ada perasaan menyesal pada Ayahanda sebenarnya, ketika mahkota Pajajaran tidak jatuh kepadaku.”
“Kanda, lupakan saja soal itu. Ada hikmahnya, bukan? Justru karena itu maka Kanda mempunya kesempatan luas memajukan Kadipaten Pasirluhur. Mudah-mudahan pada waktu pernikahan Dinda Ratna Pamekas kelak, aku bisa berjumpa dengan Ayahanda Sri Baginda Raja Siliwangi. Aku sudah sampaikan pada Kanjeng Ibu, supaya membuatkan ramuan jamu untuk memulihkan dan menjaga kesehatan Sri Baginda Prabu Siliwangi.” Kamandaka tersenyum mendengar pendapat dan saran istrinya itu. Lebih senang lagi ketika istrinya itu begitu peduli kepada kondisi kesehatan Ayahandanya Sri Baginda Prabu Siliwangi yang sedang sakit.
“Terimakasih, Diajeng. Semoga ramuan jamu buatan Kanjeng Ibu kelak bisa memulihkan kesehatan Ayahanda,” kata Kamandaka ketika itu.
Tiba-tiba datang juru rias yang akan merubah riasan Sang Dewi dan Kamandaka untuk acara  malam hari. Sore hari itu pun segera dilewati. Dia dan istrinya harus siap-siap menyambut tamu yang sudah berdatangan untuk menyampaikan ucapan selamat sambil menikmati hidangan santap malam di Pendapa Kadipaten.
Kamandaka masih ingat, hari pertama pesta perkawinan tujuh hari yang lalu itu dilewati  sampai tengah malam. Tamu terus datang padahal di Pendapa hanya digelar kesenian lengger saja. Kamandaka masih ingat pula, dia dan istrinya melewati malam pertama dalam keadaan capai. Sehingga begitu ganti pakaian tidur, langsung naik ranjang pengantin dan tidur pulas. Dia dan istrinya pada malam pertama tidur berdua di atas ranjang pengantin sudah cukup puas dengan hanya saling berciuman, saling berpelukan, dan tidak lebih dari itu. Selanjutnya Kamandaka tidur terlelap dalam pelukan istrinya. Dibuai mimpi indah sampai pagi hari.
Perasaan aneh justru dirasakan saat Kamandaka bangun di pagi hari. Istrinya sudah tidak ada di sampingnya. Udara dingin pagi hari masih sangat terasa. Tiba-tiba Kamandaka merasakan badannya hangat kembali. Ternyata ada seseorang telah menghamparkan selimut di atas tubuhnya. Padahal biasanya bila dia terbangun di pagi hari dan mata masih mengantuk, untuk melindungi udara dingin dia harus mencari-cari sendiri selimut yang biasanya sudah tidak lagi melindungi dirinya. Tentu saja Kamandaka tahu bahwa yang telah menyelimuti dirinya itu istri tercintanya, Sang Dewi.
Perasaan aneh kedua terjadi ketika Kamandaka bangun hendak ke kamar mandi, istrinya sudah berhias cantik sekali. Handuk dan perlengkapan mandi sudah disediakan, demikian pula baju untuk dikenakan hari itu. Istrinya menemani ke kamar mandi sambil menyerahkan handuk tebal dan perlengkapan mandi lainnya, lalu memberi petunjuk cara menggunakan air dingin maupun air panas. Menunjukkan alat-alat pembersih badan dan pengharum badan. Diberitahu juga cara menggunakan ramuan penyegar yang harus dilarutkan ke dalam air dalam bak mandi. Setelah merasa cukup memberikan petunjuk, istrinya itu baru beranjak keluar. Kamandaka tidak pernah lupa semua kejadian pagi itu. Diantarkan istrinya ke kamar mandi, dibawakan handuk, dan diberitahu cara mandi berendam dalam bak air hangat yang menebarkan aroma segar. Konon aroma segar juga punya efek meningkatkan kekebalan dan daya tahan tubuh.
Persaan aneh lain, tapi juga menyenangkan berikutnya adalah ketika di meja makan telah terhidang sarapan pagi, lengkap dengan lauknya, lengkap dengan air minum. Dan istrinya itu dengan sabar sudah menantinya di meja makan. Ternyata ada perasaan nyaman, senang, dan bahagia, ketika di meja makan biasa bersantap sendiri, tiba-tiba sekarang ada yang menemani dan melayani. Jika air minum kosong, langsung ada yang mengisinya kembali. Usai sarapan pagi, masih ada yang mengajak berbincang-bincang. Pengalaman menyenangkan  pagi itu sayangnya cepat berakhir karena tiba-tiba juru rias datang. Lalu menyusul Khandegwilis dengan membawa dua bujang dan seorang punggawa Kadipaten.
“Ndara Kanjeng Adipati, pesan dari Tumenggung Maresi, tamu-tamu sudah mulai berdatangan di Pendapa,” kata punggawa itu memberitahu. Kamandaka hanya mengangguk. Dan punggawa itu pun kembali ke Pendapa. Juru rias datang hanya untuk merapihkan penampilan Sang Dewi dan Kamandaka pada hari kedua menerima tamu. Kamandaka tersentak dari lamunan panjangnya, ketika tiba-tiba tangan kanan Sang Dewi mencubit lengan kirinya sambil berkata.
“Hayo, Ngantuk, ya? Kalau jatuh di jalan, Biyung Emban yang akan menggendongnya.”
“Habis Diajeng tadi bilang ngantuk. Jadinya aku ikut-ikutan,” jawab Kamandaka berbohong. Sang Dewi tidak tahu sehingga mengira dirinya mengantuk. Padahal Kamandaka sedang asyik mencoba mengingat kembali perjalanan hari pertama sampai hari kedua setelah upacara pernikahan yang mengasyikkan.
“Siap menggendong, Ndara,” kata Khandegwilis yang berjalan di belakang kedua bendaranya, berkelakar sehingga Kamandaka dan Sang Dewi langsung tertawa. Udara semakin malam semakin dingin. Di langit semakin banyak bintang bertaburan. Khandegwilis masih berjalan di belakang Sang Dewi. Mereka bertiga terus berjalan melewati sayap kiri Dalem Gedhe Kadipaten sebelum tiba di Puri Permatabiru. Kamandaka teringat kembali hari-hari yang telah lewat sejak memasuki hidup baru membangun sebuah rumah tangga dengan istri tercintanya.
Hari kedua dan malam kedua, lewat. Lalu hari ketiga dan malam ketiga pun lewat. Hari-hari itu dan malam-malam itu, hanya mengulangi kesibukan hari pertama dengan kadar tamu yang mulai berkurang. Malamnya menjelang tidur dan paginya saat bangun tidur sebenarnya mengulangi hal-hal yang menyenangkan. Tetapi kegiatan siang hari sampai sore dan malam hari yang berlangsung di Pendapa bagi Kamandaka mulai membosankan. Ada perasaan aneh yang muncul dalam dirinya. Perasaan gelisah menunggu sesuatu yang sedang ditunggu. Tetapi apakah itu? Kamandaka tidak mengerti dan sama sekali tidak memahami. Sebuah perasaan yang membuat dirinya resah dan gelisah. Dia sama sekali tidak tahu mengapa ada perasaan seperti itu? Perasaan yang membuat dirinya gelisah dan membuat dirinya murung. Untuk sementara waktu Kamandaka masih mampu menyembunyikan perasaan bosan yang mulai melanda dirinya. Bisa jadi tradisi merayakan pesta pernikahan yang berlangsung berhari-hari itu, lama kelamaan bukan hanya membuat dirinya bosan . Tetapi juga membuat dirinya cepat lunglai dan capai.
Anehnya ketika melihat dirinya gelisah Sang Dewi hanya tersenyum seakan sedang mentertawakan dirinya. Istrinya hanya berkata jika pagi-pagi dia merasa malas untuk pergi ke Pendapa mengikuti acara yang sudah sangat membosankan, sebaiknya segera istirahat secara total. Ya, itu terjadi pada hari keempat. Dan Kamandaka masih ingat ketika istrinya berbisik kepadanya dalam perjalanan ke Pendapa.
“Kanda harus istirahat total, setelah acara terakhir hari ke tujuh. Hanya dengan istrirahat secara total dan melupakan semua masalah dan pekerjaan, Kanda akan menemukan kegirangan kembali.”
Hanya itu yang dikatakan istrinya. Kemudian di tengah-tengah tamu yang berdatangan pagi itu, dia melihat istrinya memanggil Tumenggung Maresi dan memberikan perintah. Kamandaka sendiri tidak mengetahui apa yang sedang dibicarakan istrinya dengan Tumenggung Maresi. Yang jelas malam itu, acara penyambutan tamu selesai lebih cepat dari biasanya. Tetapi pentas kesenian lengger dan tari-tarian untuk menghibur penduduk di Pendapa masih terus berlangsung.
Kamandaka merasa gembira ketika Tumenggung Maresi melaporkan bahwa semua tamu yang diundang, sudah mulai berkurang. Hari ke lima dan keenam telah diatur acara akan selesai sampai tengah hari saja. Sedang hari ke tujuh, tak ada acara penerimaan tamu pada siang hari. Tapi pada malam harinya akan ada puncak acara, yakni pagelaran wayang beber.
Kamandaka ingat malam keempat. Pada malam keempat itu Kamandaka merasakan sesuatu yang ringan, ketika menyusul istrinya naik ke atas ranjang pengantin. Dia masih ingat ketika  berbaring di samping istrinya, kemudian berkata, “Benar, Diajeng. Aku harus istirahat. Begitu mendengar besok acara menyambut tamu hanya sampai siang hari, ada perasaan ringan dalam diriku. Demikian pula ketika mendengar pada hari keenam dan ketujuh sudah tidak ada lagi acara menyambut tamu.” Setelah berkata demikian, seperti malam-malam sebelumnya Kamandaka langsung memeluk dan mencium istrinya.
“Beristirahat dengan cara melepaskan diri dari rutinitas kesibukan sehari-hari yang melelahkan adalah cara paling baik memulihkan sekaligus juga menghimpun energi dan daya kreasi,” kata istrinya seraya membalas pelukan dan ciuman Kamandaka.
Kamandaka merasa aneh. Biasanya istrinya dimana saja paling sering bicara, paling sering bertanya apa saja, dan paling sering meminta tolong kepadanya sebagai penghalus dari memerintah dirinya, walapun dia sendiri sering merasa senang diperintah istrinya. Dia berpendapat jika dapat memenuhi perintah istrinya sama saja dengan memenuhi keinginan orang yang dicintainya. Dan sering-sering dia merasakan ada sebuah kepuasan tersendiri yang sulit dilukiskan bila bisa memenuhi keinginan orang yang dicintainya itu.
Bagi Kamandaka agak mengherankan, ketika begitu naik ke atas ranjang pengantin, istrinya lebih banyak bungkam. Tetapi bukan berarti acuh kepadanya. Sikap Sang Dewi kepadanya seakan-akan menyerahkan kepada dirinya untuk lebih banyak mengambil prakarsa. Istrinya lebih banyak pasrah, tetapi tidak pasif. Istrinya baru akan memberikan jawaban, bila ada pertanyaan, akan memperikan respon, bila ada tantangan, akan memberikan reaksi positip, bila ada aksi. Ibarat gitar, tidak akan berbunyi sendiri. Harus ada inisiatip dari dirinya untuk memetiknya, membunyikannya, dan memainkannya sehingga muncul nada-nada lagu indah yang akan mengantarkan ke puncak keindahan surgawi. Diam-diam Kamandaka mengagumi kemampuan istrinya mengendalikan diri, mengendalikan energi cinta, dan mengendalikan emosinya. Bisa jadi, inilah yang membuat Kamandaka selalu didera perasaan gelisah yang dia sendiri tidak tahu mengapa perasaan gelisah itu selalu muncul dalam dirinya.
Tiba-tiba Kamandaka merasakan alangkah bodohnya dirinya, dicekam persaan aneh yang menggelisahkan. Tetapi perasaan itu lenyap seketika, jika dia mencium istrinya, memeluk istrinya, atau tangannya secara tidak sengaja menyentuh bagian mana saja dari tubuh istrinya.
Lalu Kamandaka ingat ketika sore hari pada hari pertama, begitu melihat ranjang pengantin, dia membisikkan sesuatu ke telinga istrinya dan Khandegwilis mentertawakannya. “Diajeng, ingat  tidak malam-malam ketika aku mengendap-endap masuk kamar Diajeng diantarkan Emban Khandeg Willis?” tanya Kamandaka tiba-tiba.
“Aku malah sudah lupa,” jawab Sang Dewi sambil tersenyum. Tapi Kamandaka tahu, istrinya  hanya pura-pura lupa.
“Malam pertama yang mengasyikkan, tetapi juga mendebarkan,” kata Kamandaka mengenang peristiwa ketika malam itu dia berbuat seperti pencuri, masuk kamar larangan di Taman Kaputren.
“Kanda, apakah Kanda tidak ingin, ketika bangun pada pagi hari ada perasaan riang, gembira, dan perasaan aneh lainnya, karena Kanda sebelum tidur sudah melaksanakan kewajibann Kanda sebagai seorang suami?” tanya istrinya dengan nada suara lembut.
Sungguh aneh, pertanyaan istrinya itu tiba-tiba dirasakan seperti sebuah cambuk yang melecuti dirinya, menghangatkan tubuhnya, membuka seluruh saluran pembuluh darahnya. Tiba-tiba Kamandaka merasakan gairah cintanya untuk bermain asmara muncul mendesak-desak di kedalaman jiwanya. Ibarat orang akan berlayar, Kamandaka kini mempunya energi cukup untuk menggerakkan sauh. Ibarat orang akan mendaki puncak bukit, Kamandaka kini punya cadangan energi yang memadai untuk mendaki sampai ke puncak bukit.
“Tentu ingin sekali, Diajeng sayang,” bisik Kamandaka sambil mendaratkan ciuman di leher tepat di bawah telinga istrinya. Istrinya menggelinjang senang.
“Kanda, apakah Kanda tidak ingin secepatnya memiliki anak-anak yang cerdas, cantik, tampan, cakap, dan lucu yang akan lahir dari rahimku?” tanya Istrinya pula. Kembali pertanyaan itu dirasakan seperti mendera dirinya. Aneh, gairah asmaranya kini berkobar-kobar menyala-nyala menyemangati dirinya. Sebuah keinginan aneh kembali semakin mendesak-desak di kedalam jiwanya.
“Alangkah bahagianya aku, Diajeng. Bila aku membayangkan Diajeng sedang mengandung anak-anak buah cinta kita,” bisik Kamandaka. Dipeluknya istrinya seraya meraba-raba punggung istrinya. Istrinya tersenyum senang. Dan Istrinya membalas memeluk dirinya.
 “Kanda,” terdengar istinya membisiki dirinya hampir-hambir bibir istinya yang lembut dan mungil itu menyentuh daun telinganya. “Jika kita ingin berlayar, berlayarlah ketika ombak lautan sedang pasang. Jika Kanda berlayar saat ombak sedang surut, pastilah Kanda akan kandas dan terdampar. Masih beruntung jika Kanda terdampar di pasir yang lembut. Tentu akan sangat menyakitkan bila Kanda terdampar di atas batu karang.”  
Kembali kata-kata yang dulu pernah didengar Kamandaka di ranjang kamar Taman Kaputren Sang Dewi terdengar seperti sebuah cemeti dicambukkan pada dirinya. Dicambukkan kepada seorang ksatria penunggang kuda yang ingin memacu kudanya agar cepat meloncat mengarungi padang ilalang luas tak bertepi.
“Ayohlah, Diajeng sayang,” kata Kamandaka. Kamandaka masih ingat malam keempat yang indah itu. Dia langsung memeluk istrinya sambil berbisik di dekat telinga istrinya.(bersambung)

1 komentar:

  1. https://tafsirjitu.org/tafsir-mimpi/tafsir-mimpi-menikah
    Tafsir Mimpi Menikah adalah fitrah manusia sekaligus sebuah ibadah. Dalam Islam, setiap orang yang telah memasuki usia dewasa memang disunahkan untuk menunaikannya.
    WA : +628122222995
    Line: cs_bolavita

    BalasHapus