Tiba-tiba Sang Dewi ingat kepada Emban
Khandegwilis yang tadi diperintah, belum nampak batang hidungnya. “Mana Biyung
Emban, disuruh dari tadi, belum datang juga?” kata Sang Dewi memutus
pembicaraan soal Adipati Cirebon. Sang Dewi mulai merasa haus karena udara musim kemarau sehingga debu berterbangan kian
kemari ditiup angin, dan daun-daun kering banyak berjatuhan. Sang Dewi duduk di
samping Kamandaka di teras depan puri. Kamandaka melihat daun-daun perdu yang
tumbuh di dalam taman juga banyak yang luruh ditiup angin musim kemarau.
Seorang juru taman sibuk memungut daun-daun yang rontok dan membawa air untuk
menyirami tanaman-tanaman yang mengering.
“Apa tadi pesan minumannya?”
tanya Kamandaka yang merasa haus juga.
“Teh poci dengan
gula batu. Pocinya buatan Cirebon. Mungkin gula batunya habis,” jawab Sang Dewi
mulai tidak sabar. Tetapi tak lama kemudian Khandegwilis muncul diiringi seorang
bujang membawa talam. Di atasnya ada
poci coklat berisi teh dengan pemanis gula batu, dua cangkir kosong, dan satu
piring kueh nagasari dibungkus daun pisang baru saja direbus, tampak masih hangat.
“Maaf, Ndara Ayu,
gula batu di dapur habis. Jadi harus cari dulu di gudang,” kata Khandegwilis.
“Lagi pula menunggu supaya gula batunya larut dulu agar air teh dalam poci
cepat dingin.”
Kamandaka melihat Sang Dewi hanya tersenyum
mendengar laporan itu. Khandegwilis yang tadinya takut-takut akan dimarahi,
setelah melihat Sang Dewi tersenyum, langsung ceria wajahnya.
”Wah, ditunggu
dari tadi. Ya sudah, terima kasih, Biyung Emban. Jangan lupa nanti malam di
meja makan puri sediakan wedang jahe kesukaan Kanda Kamandaka. Persediaan gula
aren dan gula kelapa masih cukup? Rekajaya ke mana?”
“Kakang Rekajaya
tadi pagi baru mengirim sepuluh keranjang gula aren dan gula kelapa. Persedian
cukup, Ndara Ayu. Kakang Rekajaya siang tadi juga ikut sibuk potong kambing dan
mencacah-cacah dagingnya,” jawab Khandegwilis.
“Syukur kalau
begitu,” kata Sang Dewi tersenyum senang. Khandegwilis mengundurkan diri
mengikuti bujang membawa talam kosong.
Kamandaka masih
ingat ketika istrinya menuangkan teh poci ke dalam dua cangkir. Lalu
mengambilkan satu untuk dirinya lebih dulu. “Ayo, Kanda,” Sang Dewi menyodorkan
cangkir teh manis hangat untuk dirinya. Sikap melayani yang demikian itu belum
pernah dialaminya. Kamandaka merasa senang juga. Dia langsung meneguknya.
Demikian pula istrinya.
”Ternyata dari
ceritera Kanda tadi, sudah banyak keluarga Kerajaan Pajajaran dan Galuh yang
memeluk agama Islam,” kata Sang Dewi masih melanjutkan membicarakan Kadipaten
Cirebon.
“Betul sekali,
Diajeng. Bahkan keturunan Patih Bunisora, Sang Maha Patih Kerajaan Galuh yang
terkenal itu, ada yang telah memeluk Islam. Barangkali dia adalah keluarga
Kerajaan Galuh yang mula-mula memeluk Islam dan pergi menunaikan Ibadah Haji ke
Makkah. Pulang dari sana, dikenal orang sebagai Haji Purwa. Maksudnya adalah
orang dari tanah Sunda yang pertama kali menunaikan ibadah Haji ke Makkah.”
“Menurut Kanda,
bagaimana kelanjutan hubungan Bandar Muarajati dengan Kadipaten Cirebon yang
cenderung mencari perlindungan Kerajaan Islam Demak?” tanya Sang Dewi yang
ternyata tertarik juga kepada soal-soal pemerintahan.
“Justru itulah
yang membuat akhir-akhir ini aku agak gelisah, Diajeng. Terutama sejak aku
mendengar kabar dari Kanda Amenglayaran, bahwa Ayahanda Sri Baginda Prabu
Siliwangi sedang sakit keras. Bisa jadi karena memikirkaan aku, Dinda
Silihwarna, dan Dinda Ratna Pamekas. Sekarang kendali pemerintahan Kerajaan
Pajajaran ada ditangan Dinda Banyakbelabur. Dia menentang keras rencana
pernikahan Dimas Arya Baribin dengan Dinda Ratna Pamekas. Padahal keduanya
sudah tidak mungkin bisa dipisahkan,” Kamandaka menjelaskan problem berat yang
tengah dihadapi keluarganya.
“Menjadi sangat
berbahaya,” kata Kamandaka melanjutkan “bila Dinda Banyakbelabur bermain api
kembali memusuhi Cirebon. Kadipaten Cirebon pasti akan mencari perlindungan
lagi dari Kerajaan Islam Demak. Itu pasti akan dilakukan jika Kadipaten Cirebon
merasa terancam oleh Kerajaan Pajajaran. Peta pertarungan menjadi tambah rumit
bila Dinda Banyakbelabur juga memusuhi Kadipaten Pasirluhur dan mendorong
Kediri menyerang Pasirluhur dengan menggunakan tangan Kadipaten Wirasaba,” kata
Kamandaka saat itu dengan nada mengeluh.
“Yah,
mudah-mudahan kelak ada jalan keluar untuk mengatasi kerumitan-kerumitan itu.
Kanda memang harus secepatnya bertemu dengan Dinda Banyakbelabur. Semoga pula
Ayahnda Sri Baginda Silihwangi cepat diberi kesembuhan,” kata Sang Dewi mencoba
menghibur Kamandaka.
“Ya, Ayahanda Sri
Baginda Silihwangi ingin sekali berjumpa dengan Diajeng. Ada perasaan menyesal
pada Ayahanda sebenarnya, ketika mahkota Pajajaran tidak jatuh kepadaku.”
“Kanda, lupakan
saja soal itu. Ada hikmahnya, bukan? Justru karena itu maka Kanda mempunya
kesempatan luas memajukan Kadipaten Pasirluhur. Mudah-mudahan pada waktu
pernikahan Dinda Ratna Pamekas kelak, aku bisa berjumpa dengan Ayahanda Sri
Baginda Raja Siliwangi. Aku sudah sampaikan pada Kanjeng Ibu, supaya membuatkan
ramuan jamu untuk memulihkan dan menjaga kesehatan Sri Baginda Prabu
Siliwangi.” Kamandaka tersenyum mendengar pendapat dan saran istrinya itu.
Lebih senang lagi ketika istrinya itu begitu peduli kepada kondisi kesehatan
Ayahandanya Sri Baginda Prabu Siliwangi yang sedang sakit.
“Terimakasih,
Diajeng. Semoga ramuan jamu buatan Kanjeng Ibu kelak bisa memulihkan kesehatan
Ayahanda,” kata Kamandaka ketika itu.
Tiba-tiba datang
juru rias yang akan merubah riasan Sang Dewi dan Kamandaka untuk acara malam hari. Sore hari itu pun segera dilewati.
Dia dan istrinya harus siap-siap menyambut tamu yang sudah berdatangan untuk
menyampaikan ucapan selamat sambil menikmati hidangan santap malam di Pendapa
Kadipaten.
Kamandaka masih
ingat, hari pertama pesta perkawinan tujuh hari yang lalu itu dilewati sampai tengah malam. Tamu terus datang padahal
di Pendapa hanya digelar kesenian lengger saja. Kamandaka masih ingat pula, dia
dan istrinya melewati malam pertama dalam keadaan capai. Sehingga begitu ganti
pakaian tidur, langsung naik ranjang pengantin dan tidur pulas. Dia dan
istrinya pada malam pertama tidur berdua di atas ranjang pengantin sudah cukup
puas dengan hanya saling berciuman, saling berpelukan, dan tidak lebih dari
itu. Selanjutnya Kamandaka tidur terlelap dalam pelukan istrinya. Dibuai mimpi
indah sampai pagi hari.
Perasaan aneh
justru dirasakan saat Kamandaka bangun di pagi hari. Istrinya sudah tidak ada
di sampingnya. Udara dingin pagi hari masih sangat terasa. Tiba-tiba Kamandaka
merasakan badannya hangat kembali. Ternyata ada seseorang telah menghamparkan
selimut di atas tubuhnya. Padahal biasanya bila dia terbangun di pagi hari dan
mata masih mengantuk, untuk melindungi udara dingin dia harus mencari-cari
sendiri selimut yang biasanya sudah tidak lagi melindungi dirinya. Tentu saja
Kamandaka tahu bahwa yang telah menyelimuti dirinya itu istri tercintanya, Sang
Dewi.
Perasaan aneh
kedua terjadi ketika Kamandaka bangun hendak ke kamar mandi, istrinya sudah
berhias cantik sekali. Handuk dan perlengkapan mandi sudah disediakan, demikian
pula baju untuk dikenakan hari itu. Istrinya menemani ke kamar mandi sambil
menyerahkan handuk tebal dan perlengkapan mandi lainnya, lalu memberi petunjuk cara
menggunakan air dingin maupun air panas. Menunjukkan alat-alat pembersih badan
dan pengharum badan. Diberitahu juga cara menggunakan ramuan penyegar yang
harus dilarutkan ke dalam air dalam bak mandi. Setelah merasa cukup memberikan
petunjuk, istrinya itu baru beranjak keluar. Kamandaka tidak pernah lupa semua
kejadian pagi itu. Diantarkan istrinya ke kamar mandi, dibawakan handuk, dan
diberitahu cara mandi berendam dalam bak air hangat yang menebarkan aroma
segar. Konon aroma segar juga punya efek meningkatkan kekebalan dan daya tahan
tubuh.
Persaan aneh lain,
tapi juga menyenangkan berikutnya adalah ketika di meja makan telah terhidang
sarapan pagi, lengkap dengan lauknya, lengkap dengan air minum. Dan istrinya
itu dengan sabar sudah menantinya di meja makan. Ternyata ada perasaan nyaman,
senang, dan bahagia, ketika di meja makan biasa bersantap sendiri, tiba-tiba sekarang
ada yang menemani dan melayani. Jika air minum kosong, langsung ada yang
mengisinya kembali. Usai sarapan pagi, masih ada yang mengajak
berbincang-bincang. Pengalaman menyenangkan pagi itu sayangnya cepat berakhir karena
tiba-tiba juru rias datang. Lalu menyusul Khandegwilis dengan membawa dua
bujang dan seorang punggawa Kadipaten.
“Ndara Kanjeng
Adipati, pesan dari Tumenggung Maresi, tamu-tamu sudah mulai berdatangan di
Pendapa,” kata punggawa itu memberitahu. Kamandaka hanya mengangguk. Dan
punggawa itu pun kembali ke Pendapa. Juru rias datang hanya untuk merapihkan
penampilan Sang Dewi dan Kamandaka pada hari kedua menerima tamu. Kamandaka
tersentak dari lamunan panjangnya, ketika tiba-tiba tangan kanan Sang Dewi
mencubit lengan kirinya sambil berkata.
“Hayo, Ngantuk,
ya? Kalau jatuh di jalan, Biyung Emban yang akan menggendongnya.”
“Habis Diajeng
tadi bilang ngantuk. Jadinya aku ikut-ikutan,” jawab Kamandaka berbohong. Sang
Dewi tidak tahu sehingga mengira dirinya mengantuk. Padahal Kamandaka sedang
asyik mencoba mengingat kembali perjalanan hari pertama sampai hari kedua
setelah upacara pernikahan yang mengasyikkan.
“Siap
menggendong, Ndara,” kata Khandegwilis yang berjalan di belakang kedua bendaranya,
berkelakar sehingga Kamandaka dan Sang Dewi langsung tertawa. Udara semakin
malam semakin dingin. Di langit semakin banyak bintang bertaburan. Khandegwilis
masih berjalan di belakang Sang Dewi. Mereka bertiga terus berjalan melewati
sayap kiri Dalem Gedhe Kadipaten sebelum tiba di Puri Permatabiru. Kamandaka
teringat kembali hari-hari yang telah lewat sejak memasuki hidup baru membangun
sebuah rumah tangga dengan istri tercintanya.
Hari kedua dan
malam kedua, lewat. Lalu hari ketiga dan malam ketiga pun lewat. Hari-hari itu
dan malam-malam itu, hanya mengulangi kesibukan hari pertama dengan kadar tamu
yang mulai berkurang. Malamnya menjelang tidur dan paginya saat bangun tidur
sebenarnya mengulangi hal-hal yang menyenangkan. Tetapi kegiatan siang hari
sampai sore dan malam hari yang berlangsung di Pendapa bagi Kamandaka mulai
membosankan. Ada perasaan aneh yang muncul dalam dirinya. Perasaan gelisah
menunggu sesuatu yang sedang ditunggu. Tetapi apakah itu? Kamandaka tidak
mengerti dan sama sekali tidak memahami. Sebuah perasaan yang membuat dirinya
resah dan gelisah. Dia sama sekali tidak tahu mengapa ada perasaan seperti itu?
Perasaan yang membuat dirinya gelisah dan membuat dirinya murung. Untuk
sementara waktu Kamandaka masih mampu menyembunyikan perasaan bosan yang mulai
melanda dirinya. Bisa jadi tradisi merayakan pesta pernikahan yang berlangsung
berhari-hari itu, lama kelamaan bukan hanya membuat dirinya bosan . Tetapi juga
membuat dirinya cepat lunglai dan capai.
Anehnya ketika
melihat dirinya gelisah Sang Dewi hanya tersenyum seakan sedang mentertawakan
dirinya. Istrinya hanya berkata jika pagi-pagi dia merasa malas untuk pergi ke
Pendapa mengikuti acara yang sudah sangat membosankan, sebaiknya segera
istirahat secara total. Ya, itu terjadi pada hari keempat. Dan Kamandaka masih
ingat ketika istrinya berbisik kepadanya dalam perjalanan ke Pendapa.
“Kanda harus
istirahat total, setelah acara terakhir hari ke tujuh. Hanya dengan istrirahat
secara total dan melupakan semua masalah dan pekerjaan, Kanda akan menemukan
kegirangan kembali.”
Hanya itu yang
dikatakan istrinya. Kemudian di tengah-tengah tamu yang berdatangan pagi itu,
dia melihat istrinya memanggil Tumenggung Maresi dan memberikan perintah.
Kamandaka sendiri tidak mengetahui apa yang sedang dibicarakan istrinya dengan
Tumenggung Maresi. Yang jelas malam itu, acara penyambutan tamu selesai lebih
cepat dari biasanya. Tetapi pentas kesenian lengger dan tari-tarian untuk
menghibur penduduk di Pendapa masih terus berlangsung.
Kamandaka merasa
gembira ketika Tumenggung Maresi melaporkan bahwa semua tamu yang diundang,
sudah mulai berkurang. Hari ke lima dan keenam telah diatur acara akan selesai
sampai tengah hari saja. Sedang hari ke tujuh, tak ada acara penerimaan tamu
pada siang hari. Tapi pada malam harinya akan ada puncak acara, yakni pagelaran
wayang beber.
Kamandaka ingat
malam keempat. Pada malam keempat itu Kamandaka merasakan sesuatu yang ringan,
ketika menyusul istrinya naik ke atas ranjang pengantin. Dia masih ingat ketika
berbaring di samping istrinya, kemudian
berkata, “Benar, Diajeng. Aku harus istirahat. Begitu mendengar besok acara
menyambut tamu hanya sampai siang hari, ada perasaan ringan dalam diriku.
Demikian pula ketika mendengar pada hari keenam dan ketujuh sudah tidak ada
lagi acara menyambut tamu.” Setelah berkata demikian, seperti malam-malam
sebelumnya Kamandaka langsung memeluk dan mencium istrinya.
“Beristirahat
dengan cara melepaskan diri dari rutinitas kesibukan sehari-hari yang melelahkan
adalah cara paling baik memulihkan sekaligus juga menghimpun energi dan daya
kreasi,” kata istrinya seraya membalas pelukan dan ciuman Kamandaka.
Kamandaka merasa
aneh. Biasanya istrinya dimana saja paling sering bicara, paling sering
bertanya apa saja, dan paling sering meminta tolong kepadanya sebagai penghalus
dari memerintah dirinya, walapun dia sendiri sering merasa senang diperintah
istrinya. Dia berpendapat jika dapat memenuhi perintah istrinya sama saja
dengan memenuhi keinginan orang yang dicintainya. Dan sering-sering dia
merasakan ada sebuah kepuasan tersendiri yang sulit dilukiskan bila bisa
memenuhi keinginan orang yang dicintainya itu.
Bagi Kamandaka
agak mengherankan, ketika begitu naik ke atas ranjang pengantin, istrinya lebih
banyak bungkam. Tetapi bukan berarti acuh kepadanya. Sikap Sang Dewi kepadanya
seakan-akan menyerahkan kepada dirinya untuk lebih banyak mengambil prakarsa.
Istrinya lebih banyak pasrah, tetapi tidak pasif. Istrinya baru akan memberikan
jawaban, bila ada pertanyaan, akan memperikan respon, bila ada tantangan, akan
memberikan reaksi positip, bila ada aksi. Ibarat gitar, tidak akan berbunyi
sendiri. Harus ada inisiatip dari dirinya untuk memetiknya, membunyikannya, dan
memainkannya sehingga muncul nada-nada lagu indah yang akan mengantarkan ke
puncak keindahan surgawi. Diam-diam Kamandaka mengagumi kemampuan istrinya mengendalikan
diri, mengendalikan energi cinta, dan mengendalikan emosinya. Bisa jadi, inilah
yang membuat Kamandaka selalu didera perasaan gelisah yang dia sendiri tidak
tahu mengapa perasaan gelisah itu selalu muncul dalam dirinya.
Tiba-tiba
Kamandaka merasakan alangkah bodohnya dirinya, dicekam persaan aneh yang
menggelisahkan. Tetapi perasaan itu lenyap seketika, jika dia mencium istrinya,
memeluk istrinya, atau tangannya secara tidak sengaja menyentuh bagian mana
saja dari tubuh istrinya.
Lalu Kamandaka
ingat ketika sore hari pada hari pertama, begitu melihat ranjang pengantin, dia
membisikkan sesuatu ke telinga istrinya dan Khandegwilis mentertawakannya. “Diajeng,
ingat tidak malam-malam ketika aku
mengendap-endap masuk kamar Diajeng diantarkan Emban Khandeg Willis?” tanya
Kamandaka tiba-tiba.
“Aku malah sudah
lupa,” jawab Sang Dewi sambil tersenyum. Tapi Kamandaka tahu, istrinya hanya pura-pura lupa.
“Malam pertama
yang mengasyikkan, tetapi juga mendebarkan,” kata Kamandaka mengenang peristiwa
ketika malam itu dia berbuat seperti pencuri, masuk kamar larangan di Taman
Kaputren.
“Kanda, apakah
Kanda tidak ingin, ketika bangun pada pagi hari ada perasaan riang, gembira,
dan perasaan aneh lainnya, karena Kanda sebelum tidur sudah melaksanakan
kewajibann Kanda sebagai seorang suami?” tanya istrinya dengan nada suara
lembut.
Sungguh aneh,
pertanyaan istrinya itu tiba-tiba dirasakan seperti sebuah cambuk yang melecuti
dirinya, menghangatkan tubuhnya, membuka seluruh saluran pembuluh darahnya.
Tiba-tiba Kamandaka merasakan gairah cintanya untuk bermain asmara muncul
mendesak-desak di kedalaman jiwanya. Ibarat orang akan berlayar, Kamandaka kini
mempunya energi cukup untuk menggerakkan sauh. Ibarat orang akan mendaki puncak
bukit, Kamandaka kini punya cadangan energi yang memadai untuk mendaki sampai
ke puncak bukit.
“Tentu ingin
sekali, Diajeng sayang,” bisik Kamandaka sambil mendaratkan ciuman di leher
tepat di bawah telinga istrinya. Istrinya menggelinjang senang.
“Kanda, apakah
Kanda tidak ingin secepatnya memiliki anak-anak yang cerdas, cantik, tampan,
cakap, dan lucu yang akan lahir dari rahimku?” tanya Istrinya pula. Kembali
pertanyaan itu dirasakan seperti mendera dirinya. Aneh, gairah asmaranya kini
berkobar-kobar menyala-nyala menyemangati dirinya. Sebuah keinginan aneh
kembali semakin mendesak-desak di kedalam jiwanya.
“Alangkah
bahagianya aku, Diajeng. Bila aku membayangkan Diajeng sedang mengandung
anak-anak buah cinta kita,” bisik Kamandaka. Dipeluknya istrinya seraya
meraba-raba punggung istrinya. Istrinya tersenyum senang. Dan Istrinya membalas
memeluk dirinya.
“Kanda,”
terdengar istinya membisiki dirinya hampir-hambir bibir istinya yang lembut dan
mungil itu menyentuh daun telinganya. “Jika kita ingin berlayar, berlayarlah
ketika ombak lautan sedang pasang. Jika Kanda berlayar saat ombak sedang surut,
pastilah Kanda akan kandas dan terdampar. Masih beruntung jika Kanda terdampar
di pasir yang lembut. Tentu akan sangat menyakitkan bila Kanda terdampar di
atas batu karang.”
Kembali kata-kata
yang dulu pernah didengar Kamandaka di ranjang kamar Taman Kaputren Sang Dewi terdengar
seperti sebuah cemeti dicambukkan pada dirinya. Dicambukkan kepada seorang
ksatria penunggang kuda yang ingin memacu kudanya agar cepat meloncat
mengarungi padang ilalang luas tak bertepi.
“Ayohlah, Diajeng
sayang,” kata Kamandaka. Kamandaka masih ingat malam keempat yang indah itu.
Dia langsung memeluk istrinya sambil berbisik di dekat telinga istrinya.(bersambung)
https://tafsirjitu.org/tafsir-mimpi/tafsir-mimpi-menikah
BalasHapusTafsir Mimpi Menikah adalah fitrah manusia sekaligus sebuah ibadah. Dalam Islam, setiap orang yang telah memasuki usia dewasa memang disunahkan untuk menunaikannya.
WA : +628122222995
Line: cs_bolavita