Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 23 Agustus 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijakakusuma (12)




Terdengar suara Ki Dalang ketika membawakan suara Raden Inu Kertapati yang sedang bertemu Mahadewi di Istana Asmarakanta. “Kanjeng Bibi Mahadewi, kemana gerangan sahabat ananda Panji Semirang pergi?”
Ki Dalang Sukmo Lelono ganti membawakan suara Mahadewi. “Oh, Ananda Raden Inu Kertapati? Putra Raja Jenggala, Kakanda Kanjeng Bibi? Sang Panji Semirang itu adalah Dyah Ayu Galuh Candrakirana. Yang menyamar sebagai pria. Mendirikan Kerajaan Asmarakanta. Dia diusir dari Kerajaan Daha. Gara-gara berebut boneka emas buatan Ananda. Galuh Ajeng memintanya. Dyah Candra Kirana mempertahankannya. Akhirnya Sang Baginda murka. Dyah Ayu Candra Kirana diusirnya. Setelah sebelumnya. Dipotong rambut panjang hitam legam, mahkota kebanggaannya”
Ki Dalang kembali membawakan suara Raden Inu Kertapati. “Oh, Kanjeng Bibi Mahadewi, menyesal ananda karena baru bertemu Kanjeng Bibi pada hari ini. Apa saran Kanjeng Bibi? Kemana ananda harus mencari? Dinda Candra Kirana tercinta?”
Ganti Ki Dalang Sukmo Lelono membawakan suara Mahadewi. “Kanjeng Bibi juga tidak tahu. Kemana Dyah Ayu Candra Kirana menuju. Dia hanya berpesan agar Kanjeng Bibi menunggu. Mewakilinya mengendalikan Kerajaan Asmarakanta. Konon, kelak akan diserahkan kepada Kerajaan Jenggala saja. Saran Kanjeng Bibi. Ananda pergilah ke Kerajaan Gagelang. Raja Gagelang adalah paman Ananda juga. Menyamarlah dengan menggunakan nama Panji. Kanjeng Bibi usulkan, gantilah nama Ananda dengan nama Raden Panji Jayengkusuma. Dengan menggunakan nama Panji, semoga Dyah Ayu Galuh Candra Kirana akan tahu. Bahwa Ananda adalah Putra Mahkota Jenggala. Yang pantang menyerah dan berusaha mencari kekasih tercinta Ananda. Sebagai bukti cinta Ananda kepadanya.”
Kembali terdengar suara Ki Dalang membawakan Raden Inu Kertapati. “Baiklah Kanjeng Bibi. Akan ananda ikuti saran Kanjeng Bibi Mahadewi. Kalau begitu mohon doa restu. Ananda akan secepatnya undur diri dari hadapan Kanjeng Bibi Mahadewi.”
Cek…crek….cek…cek..cek…..Ki Dalang membunyikan kecrek sebelum mengawali kata-katanya melukiskan Raden Inu Kertapati meninggalkan Maha Dewi. “Raden Inu Kertapati pulang kembali ke Jenggala. Dari sana dengan menyamar sebagai Ksatria Raden Panji Jayengkusuma, memulai pengembaraannya. Ditemai empat orang punakawannya. Keempat punakawan setia Raden Inu Kertapati itu adalah Jerude, Punta, Kartala dan Persanta. Raden Inu Kertapati merubah nama punakawannya itu menjadi Semar, Wirun, Kalang dan Andaga. Dengan demikian lengkaplah penyamaran Raden Inu Kertapati sebagai Satria Pengelana, Raden Panji Jayengkusuma.”
Kembali terdengar suara gending mengiringi perjalanan Raden Inu Kertapati mengawali penyamarannya ke Kerajaan Gagelang. Ki Dalang membalik menghadap layar. Dicabutnya pasak kanan. Tergulunglah gambar di layar ke sebelah kiri. Kini yang tampak adalah gambar Sang Dyah Ayu Galuh Candra Kirana sedang dipeluk bibinya, Biksuni Gandasari dari pertapaan Arga Belah. Sang Dyah Ayu Galuh Candra Kirana ditemani enam pengiringnya, yaitu Ken Sanggit, Ken Bayan, Puspa Juita, Puspa Sari, Ken Pamonang, dan Ken Pasirian.
Ki Dalang membunyikan kecreknya, suara gamelan pengiring berhenti. Terdengar suara Ki Dalang dalam nada normal biasa. “Alangkah sedihnya Dyah Ayu Candra Kirana ketika ditinggalkan Raden Inu Kertapati. Sang Putri sengaja membiarkan Raden Inu Kertapati meninggalkannya hanya diantarkan Kuda Perwira dan Kuda Peranca sampai perbatasan. Sang Dyah Ayu Candra Kirana tidak kuasa menahan rasa sedih yang mendalam. Sebab dia tahu, kekasihnya itu akan pergi ke Daha untuk melangsungkan upacara pernikahan dengan Galuh Ajeng yang dikira dirinya.
“Dyah Ayu Candra Kirana terus berurai air mata duka nestapa setiap saat jika membayangkan Raden Inu Kertapati sedang duduk dipelaminan bersanding dengan Galuh Ajeng. Setiap kali membayangkan, setiap itu pula butiran-butiran bening embun air mata muncul di ujung pelupuk matanya. Lalu turun satu demi satu melintasi dinding pipinya yang halus bak sutra dewangga.”
“Akhirnya Sang Putri Candra Kirana mengajak Ken Sanggit, Ken Bayan, Puspa Sari, Puspa Juita, Ken Pamonang dan Ken Pasirian menemui bibinya Biksuni Gandasari di Pertapaan Arga Belah. Kerajaan Asmarakanta untuk sementara waktu dititipkan dan diurus Ibunda Mahadewi dengan para punggawa pembantunya. Sang Putri Candra Kirana ingin mendapat petunjuk bagaimana caranya agar Raden Inu Kertapati bisa kembali kepadanya.”
Ki Dalang membunyikan kecrek. Terdengar alunan gamelan dengan irama sedang, mengiringi perjalanan Sang Dyah Ayu Candra Kirana dan ke enam pengiringnya meninggalkan Istana Asmarakanta. Mereka bagaikan ksatria gagah perkasa menunggang kuda menuju pertapaan Arga Belah.
Terdengar suara Ki Dalang dalam iringan gamelan yang lamat-lamat melukiskan perjalan rombongan Sang Putri Candra Kirana. “Mereka memacu kudanya melewati semak belukar, menembus hutan, menyeberangi padang ilalang, menuruni jalan terjal, mendaki lereng bukit. Akhirnya tibalah mereka di pertapaan Yang Suci Biksuni Gandasari. Sang Biksuni adalah bibi Sang Dyah Ayu Candra Kirana. Betapa gembiranya Yang Suci Biksuni Gandasari. Dipeluknya dengan kasih sayang kemenakan kesayangannya itu. Diciumnya ubun-ubun Candra Kirana. Mereka semua sungkem kepada Sang Pertapa Putri Raja Erlangga itu.”
Ki Dalang membawakan suara Biksuni Gandasari. “Selamat datang Anakku Candra Kirana. Sudahlah tidak usah bersedih. Simpanlah air mata yang bening dan berharga itu. Kanjeng Bibi sudah tahu semua derita apa yang menimpa Ananda Candra Kirana. Apalagi kalau bukan Galuh Ajeng yang merebut kekasihmu itu, bukan? Buanglah rasa dendam dalam dirimu. Serahkan saja pada para Dewa. Dialah yang akan menghukum mereka yang curang, culas, pendengki, dan iri hati. Jika engkau sabar dalam penderitaan dan terus berjuang dengan gigih untuk meraih apa yang ingin engkau dapatkan, pasti kelak Dewa akan mengabulkan apa yang engkau dambakan.”
Ki Dalang ganti membawakan suara Candra Kirana. “Kanjeng Bibi, lalu usaha apa yang seharusnya ananda lakukan?”
Ki Dalang kembali membawakan suara Biksuni Gandasari. “Menyamarlah kamu sebagai pemain gambuh. Kuberi nama engkau Gambuh Warga Asmara. Sedang nama baru pembantu-pembatumu berturut-turut ke belakang. Ken Sanggit jadi Gambuh Melangi, Ken Bayan jadi Gambuh Sekarsari. Ken Pamonang jadi Gambuh Dingga Pangrasa, Ken Pasirian jadi Gambuh Asmaradanta. Dan itu dua yang paling belakang putri Mentawan. Puspa Juita jadi Gambuh Melari. Dan Puspa Sari, jadi Gambuh Melati. Gambuh Warga Asmara pergilah kamu ke Kerajaan Gagelang. Raja Gagelang itu masih Pamanmu juga. Menyamarlah di sana kamu semua menjadi pemain gambuh. Mudah-mudahan itulah jalan yang akan mempertemukan kamu kembali dengan kekasihmu, Raden Inu Kertapati. Ayo Puspa Sari, Puspa Juita, Ken Pamonang, dan Ken Pasirian, potong sendiri rambutmu seperti Candra Kirana, Ken Sanggit, dan Ke Bayan. Nanti aku sendiri yang akan merapihkannya agar kamu semua tambah cantik dan menawan.” Crek…crek..crek….Ki Dalang membunyikan kecreknya.
Terdengar Ki Dalang membawakan suara biasa. “Dengan sentuhan tangan halus Yang Suci Gandasari yang dulu bernama Dyah Ayu Killi Suci, penampilan Dyah Ayu Candra Kirana dan pengiringnya bagaikan ksatria tampan dan perkasa. Yang Suci nampak puas melihat penampilan baru keponakannya dan para pengiringnya. Mereka tampil sebagai pemain gambuh yang berwajah cakap, tampan dan menawan. Setelah meminta doa restu kepada Yang Suci Biksuni Gandasari, Gambuh Warga Asmara dengan pengiringnya undur diri.”
“Mereka berangkat menuju Kerajaan Gagelang. Dimulailah pengembaraannya yang baru. Disertai tekad kuat yang menggebu-gebu. Dilewatinya hutan, sungai, dan padang ilalang. Sungguh pengorbanan Gambuh Warga Asmara dengan pengiringnya, tidaklah sia-sia. Ternyata sambutan masyarakat sangat luar biasa.
“Penampilan para pemain gambuh pimpinan Gambuh Warga Asmara memukau penonton di setiap kota tempat rombongan gambuh itu mementaskan permainannya. Mereka terpesona bukan hanya pada kecantikan Gambuh Asmara. Tetapi juga pada ketrampilannya. Para pemain gambuh itu cendekia dalam menunjukkan tariannya, lagu-lagunya dan penghayatan tokoh-tokohnya dari lakon yang ditampilkannya.
“Penonton menilai para pemain gambuh yang masih muda-muda memang ahli dalam seni peran bermain sandiwara. Setelah mengunjungi sejumlah kota. Akhirnya tibalah rombongan pemain gambuh di Ibu Kota Kerajaan Gagelang. Kehadiran rombongan pemain gambuh membuat penduduk senang.
“Seperti halnya di kota-kota lainnya yang pernah dikunjunginya, segera saja Gambuh Warga Asmara menjadi buah bibir hampir setiap orang. Setiap hari undangan untuk mementaskan permainan gambuh datang bertubi-tubi dan silih berganti. Satu hari bisa pentas sampai tiga kali, bahkan kadang-kadang empat kali. Lakon-lakon yang banyak digemari penonton antara lain lakon Ken Sila Brangti, Cekel Wenengpati, Ken Tambunan, dan Ken Semipuri.”
“Tapi lakon yang paling disukai adalah lakon Raden Panji Semirang. Gambuh Asmara biasanya berperan sebagai Raden Inu Kertapati. Sedangkan Raden Panji Semirang diperankan Gambuh Melari. Selama di Ibu Kota Kerajaan Gagelang, rombongan mendapatkan rumah sewaan untuk pemondokan. Pada malam hari, mereka bisa istirahat untuk bermimpi. Atau menatap langit larut malam yang bertaburan bintang gemintang, sambil merenung dan berharap, kapankah Sang Kekasih akan datang menjelang.”
“Pada suatu ketika, datanglah Raja Lasem. Dia tidak berani datang sendiri. Dia bersekutu dengan Raja Pudak Setegal. Padahal masing-masing membawa ratusan prajurit. Kerajaan Gagelang hendak ditaklukan. Mereka sudah berkumpul diperbatasan. Setiap saat perang bisa saja secepatnya dikobarkan. Untunglah pada saat genting dan mencemaskan, datanglah Raden Inu Kertapati yang menyamar sebagai Raden Panji Jayengkusuma. Dia diiringi keempat punakawannya yaitu Semar, Wirun, Kalang, dan Andaga. Raden Panji Jayeng Kusuma siap membantu Sang Raja menghalau musuh yang ingin menduduki kerajaan pamannya. Di Puri Karang Pesantren, mereka tinggal untuk sementara,” kata Ki Dalang Sukmo Lelono.
*
Ki Dalang membalikkan badannya. Di layar ditampilkan gambar Raden Panji Jayengkusuma sedang ditemani ke empat punakawannya. Semar, Wirun, Kalang dan Andaga. Raden Panji Jayengkusuma tampak cakap dan tampan dengan wajahnya yang bersinar cemerlang. Namun begitu sinar matanya nampak sedang menyembunyikan duka yang amat mendalam. Itulah babak adegan goro-goro wayang beber yang ditunggu-tunggu para penonton. Terdengar suara kecrek, diiringi gamelan mengiringi adegan Raden Panji Jayengkusumo tengah dikelilingi punakawannya, yang mencoba menghibur bendaranya yang tengah berduka cita. Menanggung rindu pada Sang Kekasih pujaannya.
Terdengar suluk Ki Dalang mengawali adegan goro-goro . Miyat langen neng kalang yar agelar pandamuncar tinon ler keko nang o..., surem sorote tan padang kasor lan panjaring..., ee…, ooo…,
Sang Ksatria Raden Panji Jayengkusuma tengah bersedih karena setelah berkelana kian kemari mencari Sang Kekasih, Dyah Ayu Candra Kirana, ternyata belum bersua juga. Akhirnya pengembaraan Raden Panji Jayengkusuma tiba di Kerajaan Gagelang. Kepada Sang Raja yang masih pamannya sendiri, Raden Panji Jayengkusuma menjelaskan penderitaan yang tengah dialami sehingga terpaksa dia melakukan penyamaran dan pengembaraan sebagai upaya terus mencari Sang Kekasih. Kebetulan Kekasih Sang Dyah Ayu Candra Kirana itu bagi Sang Raja adalah juga kemenakan. Tetapi Sang Raja hanya bisa menasehatinya agar bersabar, sambil terus berupaya mencarinya dan berikhtiar. Raden Panji Jayengkusuma tinggal sementara di Kraton Gagelang. Mereka ditempatkan di Puri Karang Pesantren bersama ke empat punakawan. Agar mereka semua merasa tenteram dan senang.
Terdengar suara Ki Dalang memainkan suara para punakawan, mulai dari Ki Semar, Wirun, Kalang, dan Andaga. Penonton sering tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya.
Ki Semar, ”Wirun, Kalang, dan Andaga. Bendaramu sedang sedih memikirkan kekasihnya Sang Dyah Ayu Candra Kirana yang telah lama meninggalkan Kraton Daha. Ayo kita hibur Ndara Panji Jayeng Kusuma agar melupakan sejenak segala kesedihan yang menimpanya. Mudah-mudahan apa yang menjadi dambaan Bendaramu bisa segera terwujud. Dipertemukan dengan Sang Dyah Ayu Galuh Candra Kirana. Wirun, Ndara Panji Jayengkusuma dengan penampilan baru, malah tambah tampan, bukan?”
Wirun, “Benar sekali, Rama Semar. Bagaimana sih ceriteranya kenapa Raden Inu mau ditipu dan dikawinkan dengan Galuh Ajeng?”
Ki Semar, “Huss, jangan sebut Raden Inu di sini. Dia ditipu. Bendaramu mengira Galuh Ajeng itu Sang Putri Galuh Candra Kirana. Ternyata bukan. Karena itu Bendaramu marah sekali. Dia merasa dikhianati. Maka dia pun dengan perasaan kecewa dan sedih, segera meninggalkan Kraton Daha untuk mencari kekasih yang sebenarnya, Sang Putri Galuh Candra Kirana. Galuh Ajeng sudah diceraikannya.”
Wirun, “Kasihan juga ya. Bagaimana Ndara Inu, eh, lupa lagi. Bisa tahu kalau istrinya itu bukan Dyah Ayu Candra Kirana? Kabarnya Galuh Ajeng cantik juga lho.”
Kalang, “Hahaha…, Kang Wirun padahal mau juga tuh kalau Galuh Ajeng diserahkan kepadanya.”
Andaga, “Mana tahan? Bendara saja hampir pingsan. Hampir-hampir tidak kuat melayani Galuh Ajeng. Untung Bendara punya mantra Asmaragama.
Kalang, “Kang Wirun juga punya mantra warisan dari Rama Semar, mantra Jaran Guyang. Hahaha…,”
Ki Semar, “Ndara Inu, eh, lupa juga. Ndara Panji Jayengkusuma baru tahu kalau istri yang baru dinikahinya itu adalah Galuh Ajeng, setelah Bendaramu berhasil menemukan boneka perak buatannya di lemari Galuh Ajeng. Dulu Bendaramu itu sempat membuatkan dua boneka dari emas dan perak. Boneka dari emas untuk Sang Kekasih, Dyah Ayu Candra Kirana. Boneka perak untuk Galuh Ajeng. Galuh Ajeng berusaha mendapatkan boneka emas Sang Dyah Ayu Candra Kirana, tapi usahanya selalu sia-sia. Sang Raja Daha juga berusaha memaksa agar boneka emas diserahkan kepada Galuh Ajeng. Usaha ini juga gagal. Tentu saja tindakan Sang Raja karena dihasut Permaisuri Paduka Liku. Karena Dyah Ayu Galuh Candra Kirana menolak permintaan Sang Raja. Maka murkalah Sang Raja. Dyah Ayu Galuh Candra Kirana diusirnya dari Kraton Daha, setelah sebelumnya rambut Dyah Ayu Galuh Candra Kirana yang indah bagaikan mayang terurai itu dipotong Sang Raja. Sejak itu Sang Dyah Ayu Galuh Candra Kirana menghilang dari Kraton Daha.”
Wirun, “Bagaimana posisi Galuh Ajeng sekarang? Dicerai Ndara Inu? Eh, lupa lagi.”
Kalang, “Betul kan? Kang Wirun berminat. Mau uji coba mantra Jaran Guyang.Hahaha.... Rama Semar bilang tadi Galuh Ajeng sudah dicerai. Jadi kini ada janda muda masih menganggur. Cantik pula.”
Andaga, “Aku juga mau koq, hehehe….”
Ki Semar, “Sudah jangan ribut, betul sekali. Galuh Ajeng sudah dicerai Bendaramu. Bendaramu itu kan Putra Mahkota Kerajaan Jenggala. Yang Suci Biksuni Gandasari yakin, jika kelak Raden Inu Kertapati bisa membangun rumah tangga dengan Dyah Ayu Galuh Candra Kirana, Jenggala dan Daha akan kembali bersatu menjadi satu Kerajaan, seperti Kerajaan Kahuripan dulu. Perkawinan mereka berdua akan menyatukan dua wilayah yang terpisah, yakni wilayah sebelah timur dengan wilayah di sebelah barat Sungai Brantas. Kedua kerajaan bisa bersatu kembali seperti Kerajaan Kanjeng Eyang Erlangga sebelum dibagi dua oleh Mpu Baradah. Sebenarnya dulu, bila Biksuni Gandasari yang saat itu bernama Dyah Ayu Killi Suci, mau menggantikan ayahnya Sang Raja Erlangga, Kerajaan Kahuripan tak perlu dipecah jadi dua. Dengan melalui pernikahan Bendaramu dengan Dyah Ayu Candra Kirana itu, diharapkan kelak akan bisa menyatukan kembali dua kerajaan itu. Itulah sebabnya pernikahan keduanya sangat penting bagi kelangsungan kerajaan warisan Sang Raja Erlangga.”
Wirun, “Di bawah Empu Baradah, Sungai Brantas jadi alat pemisah Kerajaan Jenggala dan Daha. Di bawah Raden Inu Kertapati dan Dyah Ayu Candra Kirana, Sungai Brantas kelak akan jadi alat menyatukan Kerajaan Janggala dan Daha.”
Ki Semar, “Betul sekali Wirun. Bersatu akan teguh. Bercerai akan runtuh. Sungai bukan alat pemisah dan pemecah belah. Tetapi alat perekat bagi yang terceraiberai dan terpisah.”
Ki Kalang, “Sdah jangan lama-lama, Rama Semar dan Kang Wirun. Ayo cepat, Ndara Panji Jayengkusuma segera dihibur.”
Andaga, “Setuju. Usul, Sinden Paijem dulu supaya menunjukkan suara emasnya. Disusul Sinden Juminem. Baru terakir Sinden Muda lagi cantik, Sinden Titisari, dari grumbul Jatisari.”
Ki Semar, “ Ya betul, Wirun, Kalang, dan Andaga. Ayo sekarang kita hibur, Bendaramu Raden Panji Jayengkusuma. Tapi karena suara Rama sedang bermasalah. Maka kita minta tolong Sinden Paijem dari Kalikidang. Dilanjutkan Sinden Juminem juga dari Kalikidang. Ayo Ibu Sinden lagunya. Diiringi gending. Suara gending masuuuuk! Eh, berhenti dulu.”
Wirun, “Sinden Titisari, kapan Rama?”
Ki Semar, “Ya, Sinden Titisari dari grumbul Jatisari, masih kinyis-kinyis akan membawakan lagu setelah Sinden Paijem dan Juminem. Wirun, Kalang, dan Andaga, ayo matur dulu kepada Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati. Rombongan Dalang Ki Semar Sukmo Lelono dari Kadipaten Ayah, mengucapkan selamat dan ikut bergembira. Ayo Wirun yang matur.”
Wirun, “Kanjeng Ayu Adipati Pasirluhur dan Kanjeng Adipati, beserta segenap punggawa Kadipaten Pasirluhur dan penonton pagelaran wayang beber. Ki Dalang Semar Sukmo Lelono beserta rombangan ikut mangayu bagya dalam acara syukuran pernikahan agung Sang Dyah Ayu Dewi Ciptarasa dengan Raden Kamandaka Banyakcatra. Sekaligus juga syukuran penobatannya menjadi Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati Kadipaten Pasirluhur. Semoga kedua mempelai yang sedang berbahagia segera dikaruniai putra dan putri yang tampan dan cerdas seperti ayahandanya. Atau cantik dan cerdas juga seperti Ibunya, Kanjeng Ayu Adipati. Semoga Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati mendapatkan anugerah dari Sang Hyang Widhi, menjadi sepasang bintang kejora di langit Kadipaten Pasirluhur, yang akan bisa memberikan pencerahan kepada para kawula Kadipaten Pasirluhur, mendatangkan kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh penduduk Kadipaten Pasirluhur.”(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar