Terdengar suara Ki Dalang ketika
membawakan suara Raden Inu Kertapati yang sedang bertemu Mahadewi di Istana
Asmarakanta. “Kanjeng Bibi Mahadewi, kemana gerangan sahabat ananda Panji
Semirang pergi?”
Ki Dalang Sukmo
Lelono ganti membawakan suara Mahadewi. “Oh, Ananda Raden Inu Kertapati? Putra
Raja Jenggala, Kakanda Kanjeng Bibi? Sang Panji Semirang itu adalah Dyah Ayu
Galuh Candrakirana. Yang menyamar sebagai pria. Mendirikan Kerajaan
Asmarakanta. Dia diusir dari Kerajaan Daha. Gara-gara berebut boneka emas
buatan Ananda. Galuh Ajeng memintanya. Dyah Candra Kirana mempertahankannya.
Akhirnya Sang Baginda murka. Dyah Ayu Candra Kirana diusirnya. Setelah
sebelumnya. Dipotong rambut panjang hitam legam, mahkota kebanggaannya”
Ki Dalang kembali
membawakan suara Raden Inu Kertapati. “Oh, Kanjeng Bibi Mahadewi, menyesal
ananda karena baru bertemu Kanjeng Bibi pada hari ini. Apa saran Kanjeng Bibi?
Kemana ananda harus mencari? Dinda Candra Kirana tercinta?”
Ganti Ki Dalang
Sukmo Lelono membawakan suara Mahadewi. “Kanjeng Bibi juga tidak tahu. Kemana
Dyah Ayu Candra Kirana menuju. Dia hanya berpesan agar Kanjeng Bibi menunggu.
Mewakilinya mengendalikan Kerajaan Asmarakanta. Konon, kelak akan diserahkan
kepada Kerajaan Jenggala saja. Saran Kanjeng Bibi. Ananda pergilah ke Kerajaan
Gagelang. Raja Gagelang adalah paman Ananda juga. Menyamarlah dengan
menggunakan nama Panji. Kanjeng Bibi usulkan, gantilah nama Ananda dengan nama
Raden Panji Jayengkusuma. Dengan menggunakan nama Panji, semoga Dyah Ayu Galuh
Candra Kirana akan tahu. Bahwa Ananda adalah Putra Mahkota Jenggala. Yang
pantang menyerah dan berusaha mencari kekasih tercinta Ananda. Sebagai bukti
cinta Ananda kepadanya.”
Kembali terdengar
suara Ki Dalang membawakan Raden Inu Kertapati. “Baiklah Kanjeng Bibi. Akan
ananda ikuti saran Kanjeng Bibi Mahadewi. Kalau begitu mohon doa restu. Ananda
akan secepatnya undur diri dari hadapan Kanjeng Bibi Mahadewi.”
Cek…crek….cek…cek..cek…..Ki
Dalang membunyikan kecrek sebelum mengawali kata-katanya melukiskan Raden Inu
Kertapati meninggalkan Maha Dewi. “Raden Inu Kertapati pulang kembali ke
Jenggala. Dari sana dengan menyamar sebagai Ksatria Raden Panji Jayengkusuma,
memulai pengembaraannya. Ditemai empat orang punakawannya. Keempat punakawan
setia Raden Inu Kertapati itu adalah Jerude, Punta, Kartala dan Persanta. Raden
Inu Kertapati merubah nama punakawannya itu menjadi Semar, Wirun, Kalang dan
Andaga. Dengan demikian lengkaplah penyamaran Raden Inu Kertapati sebagai
Satria Pengelana, Raden Panji Jayengkusuma.”
Kembali terdengar
suara gending mengiringi perjalanan Raden Inu Kertapati mengawali penyamarannya
ke Kerajaan Gagelang. Ki Dalang membalik menghadap layar. Dicabutnya pasak
kanan. Tergulunglah gambar di layar ke sebelah kiri. Kini yang tampak adalah
gambar Sang Dyah Ayu Galuh Candra Kirana sedang dipeluk bibinya, Biksuni
Gandasari dari pertapaan Arga Belah. Sang Dyah Ayu Galuh Candra Kirana ditemani
enam pengiringnya, yaitu Ken Sanggit, Ken Bayan, Puspa Juita, Puspa Sari, Ken
Pamonang, dan Ken Pasirian.
Ki Dalang
membunyikan kecreknya, suara gamelan pengiring berhenti. Terdengar suara Ki
Dalang dalam nada normal biasa. “Alangkah sedihnya Dyah Ayu Candra Kirana
ketika ditinggalkan Raden Inu Kertapati. Sang Putri sengaja membiarkan Raden
Inu Kertapati meninggalkannya hanya diantarkan Kuda Perwira dan Kuda Peranca
sampai perbatasan. Sang Dyah Ayu Candra Kirana tidak kuasa menahan rasa sedih
yang mendalam. Sebab dia tahu, kekasihnya itu akan pergi ke Daha untuk
melangsungkan upacara pernikahan dengan Galuh Ajeng yang dikira dirinya.
“Dyah Ayu Candra
Kirana terus berurai air mata duka nestapa setiap saat jika membayangkan Raden
Inu Kertapati sedang duduk dipelaminan bersanding dengan Galuh Ajeng. Setiap
kali membayangkan, setiap itu pula butiran-butiran bening embun air mata muncul
di ujung pelupuk matanya. Lalu turun satu demi satu melintasi dinding pipinya
yang halus bak sutra dewangga.”
“Akhirnya Sang
Putri Candra Kirana mengajak Ken Sanggit, Ken Bayan, Puspa Sari, Puspa Juita,
Ken Pamonang dan Ken Pasirian menemui bibinya Biksuni Gandasari di Pertapaan
Arga Belah. Kerajaan Asmarakanta untuk sementara waktu dititipkan dan diurus
Ibunda Mahadewi dengan para punggawa pembantunya. Sang Putri Candra Kirana
ingin mendapat petunjuk bagaimana caranya agar Raden Inu Kertapati bisa kembali
kepadanya.”
Ki Dalang
membunyikan kecrek. Terdengar alunan gamelan dengan irama sedang, mengiringi
perjalanan Sang Dyah Ayu Candra Kirana dan ke enam pengiringnya meninggalkan
Istana Asmarakanta. Mereka bagaikan ksatria gagah perkasa menunggang kuda
menuju pertapaan Arga Belah.
Terdengar suara
Ki Dalang dalam iringan gamelan yang lamat-lamat melukiskan perjalan rombongan
Sang Putri Candra Kirana. “Mereka memacu kudanya melewati semak belukar,
menembus hutan, menyeberangi padang ilalang, menuruni jalan terjal, mendaki
lereng bukit. Akhirnya tibalah mereka di pertapaan Yang Suci Biksuni Gandasari.
Sang Biksuni adalah bibi Sang Dyah Ayu Candra Kirana. Betapa gembiranya Yang Suci
Biksuni Gandasari. Dipeluknya dengan kasih sayang kemenakan kesayangannya itu.
Diciumnya ubun-ubun Candra Kirana. Mereka semua sungkem kepada Sang Pertapa
Putri Raja Erlangga itu.”
Ki Dalang
membawakan suara Biksuni Gandasari. “Selamat datang Anakku Candra Kirana.
Sudahlah tidak usah bersedih. Simpanlah air mata yang bening dan berharga itu.
Kanjeng Bibi sudah tahu semua derita apa yang menimpa Ananda Candra Kirana.
Apalagi kalau bukan Galuh Ajeng yang merebut kekasihmu itu, bukan? Buanglah
rasa dendam dalam dirimu. Serahkan saja pada para Dewa. Dialah yang akan
menghukum mereka yang curang, culas, pendengki, dan iri hati. Jika engkau sabar
dalam penderitaan dan terus berjuang dengan gigih untuk meraih apa yang ingin
engkau dapatkan, pasti kelak Dewa akan mengabulkan apa yang engkau dambakan.”
Ki Dalang ganti membawakan suara
Candra Kirana. “Kanjeng Bibi, lalu usaha apa yang seharusnya ananda lakukan?”
Ki Dalang kembali
membawakan suara Biksuni Gandasari. “Menyamarlah kamu sebagai pemain gambuh.
Kuberi nama engkau Gambuh Warga Asmara. Sedang nama baru pembantu-pembatumu
berturut-turut ke belakang. Ken Sanggit jadi Gambuh Melangi, Ken Bayan jadi
Gambuh Sekarsari. Ken Pamonang jadi Gambuh Dingga Pangrasa, Ken Pasirian jadi
Gambuh Asmaradanta. Dan itu dua yang paling belakang putri Mentawan. Puspa
Juita jadi Gambuh Melari. Dan Puspa Sari, jadi Gambuh Melati. Gambuh Warga
Asmara pergilah kamu ke Kerajaan Gagelang. Raja Gagelang itu masih Pamanmu
juga. Menyamarlah di sana kamu semua menjadi pemain gambuh. Mudah-mudahan
itulah jalan yang akan mempertemukan kamu kembali dengan kekasihmu, Raden Inu
Kertapati. Ayo Puspa Sari, Puspa Juita, Ken Pamonang, dan Ken Pasirian, potong
sendiri rambutmu seperti Candra Kirana, Ken Sanggit, dan Ke Bayan. Nanti aku
sendiri yang akan merapihkannya agar kamu semua tambah cantik dan menawan.”
Crek…crek..crek….Ki Dalang membunyikan kecreknya.
Terdengar Ki
Dalang membawakan suara biasa. “Dengan sentuhan tangan halus Yang Suci
Gandasari yang dulu bernama Dyah Ayu Killi Suci, penampilan Dyah Ayu Candra
Kirana dan pengiringnya bagaikan ksatria tampan dan perkasa. Yang Suci nampak
puas melihat penampilan baru keponakannya dan para pengiringnya. Mereka tampil
sebagai pemain gambuh yang berwajah cakap, tampan dan menawan. Setelah meminta
doa restu kepada Yang Suci Biksuni Gandasari, Gambuh Warga Asmara dengan
pengiringnya undur diri.”
“Mereka berangkat
menuju Kerajaan Gagelang. Dimulailah pengembaraannya yang baru. Disertai tekad
kuat yang menggebu-gebu. Dilewatinya hutan, sungai, dan padang ilalang. Sungguh
pengorbanan Gambuh Warga Asmara dengan pengiringnya, tidaklah sia-sia. Ternyata
sambutan masyarakat sangat luar biasa.
“Penampilan para
pemain gambuh pimpinan Gambuh Warga Asmara memukau penonton di setiap kota
tempat rombongan gambuh itu mementaskan permainannya. Mereka terpesona bukan
hanya pada kecantikan Gambuh Asmara. Tetapi juga pada ketrampilannya. Para
pemain gambuh itu cendekia dalam menunjukkan tariannya, lagu-lagunya dan
penghayatan tokoh-tokohnya dari lakon yang ditampilkannya.
“Penonton menilai
para pemain gambuh yang masih muda-muda memang ahli dalam seni peran bermain
sandiwara. Setelah mengunjungi sejumlah kota. Akhirnya tibalah rombongan pemain
gambuh di Ibu Kota Kerajaan Gagelang. Kehadiran rombongan pemain gambuh membuat
penduduk senang.
“Seperti halnya
di kota-kota lainnya yang pernah dikunjunginya, segera saja Gambuh Warga Asmara
menjadi buah bibir hampir setiap orang. Setiap hari undangan untuk mementaskan
permainan gambuh datang bertubi-tubi dan silih berganti. Satu hari bisa pentas sampai
tiga kali, bahkan kadang-kadang empat kali. Lakon-lakon yang banyak digemari
penonton antara lain lakon Ken Sila Brangti, Cekel Wenengpati, Ken Tambunan,
dan Ken Semipuri.”
“Tapi lakon yang
paling disukai adalah lakon Raden Panji Semirang. Gambuh Asmara biasanya
berperan sebagai Raden Inu Kertapati. Sedangkan Raden Panji Semirang diperankan
Gambuh Melari. Selama di Ibu Kota Kerajaan Gagelang, rombongan mendapatkan
rumah sewaan untuk pemondokan. Pada malam hari, mereka bisa istirahat untuk
bermimpi. Atau menatap langit larut malam yang bertaburan bintang gemintang,
sambil merenung dan berharap, kapankah Sang Kekasih akan datang menjelang.”
“Pada suatu
ketika, datanglah Raja Lasem. Dia tidak berani datang sendiri. Dia bersekutu
dengan Raja Pudak Setegal. Padahal masing-masing membawa ratusan prajurit.
Kerajaan Gagelang hendak ditaklukan. Mereka sudah berkumpul diperbatasan.
Setiap saat perang bisa saja secepatnya dikobarkan. Untunglah pada saat genting
dan mencemaskan, datanglah Raden Inu Kertapati yang menyamar sebagai Raden
Panji Jayengkusuma. Dia diiringi keempat punakawannya yaitu Semar, Wirun,
Kalang, dan Andaga. Raden Panji Jayeng Kusuma siap membantu Sang Raja menghalau
musuh yang ingin menduduki kerajaan pamannya. Di Puri Karang Pesantren, mereka
tinggal untuk sementara,” kata Ki Dalang Sukmo Lelono.
*
Ki Dalang membalikkan badannya. Di
layar ditampilkan gambar Raden Panji Jayengkusuma sedang ditemani ke empat
punakawannya. Semar, Wirun, Kalang dan Andaga. Raden Panji Jayengkusuma tampak
cakap dan tampan dengan wajahnya yang bersinar cemerlang. Namun begitu sinar
matanya nampak sedang menyembunyikan duka yang amat mendalam. Itulah babak
adegan goro-goro wayang beber yang ditunggu-tunggu para penonton. Terdengar
suara kecrek, diiringi gamelan mengiringi adegan Raden Panji Jayengkusumo
tengah dikelilingi punakawannya, yang mencoba menghibur bendaranya yang tengah
berduka cita. Menanggung rindu pada Sang Kekasih pujaannya.
Terdengar suluk
Ki Dalang mengawali adegan goro-goro . Miyat langen neng kalang yar agelar
pandamuncar tinon ler keko nang o..., surem sorote tan padang kasor lan
panjaring..., ee…, ooo…,
Sang Ksatria
Raden Panji Jayengkusuma tengah bersedih karena setelah berkelana kian kemari
mencari Sang Kekasih, Dyah Ayu Candra Kirana, ternyata belum bersua juga.
Akhirnya pengembaraan Raden Panji Jayengkusuma tiba di Kerajaan Gagelang.
Kepada Sang Raja yang masih pamannya sendiri, Raden Panji Jayengkusuma
menjelaskan penderitaan yang tengah dialami sehingga terpaksa dia melakukan
penyamaran dan pengembaraan sebagai upaya terus mencari Sang Kekasih. Kebetulan
Kekasih Sang Dyah Ayu Candra Kirana itu bagi Sang Raja adalah juga kemenakan.
Tetapi Sang Raja hanya bisa menasehatinya agar bersabar, sambil terus berupaya
mencarinya dan berikhtiar. Raden Panji Jayengkusuma tinggal sementara di Kraton
Gagelang. Mereka ditempatkan di Puri Karang Pesantren bersama ke empat
punakawan. Agar mereka semua merasa tenteram dan senang.
Terdengar suara
Ki Dalang memainkan suara para punakawan, mulai dari Ki Semar, Wirun, Kalang,
dan Andaga. Penonton sering tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya.
Ki Semar, ”Wirun, Kalang, dan Andaga.
Bendaramu sedang sedih memikirkan kekasihnya Sang Dyah Ayu Candra Kirana yang
telah lama meninggalkan Kraton Daha. Ayo kita hibur Ndara Panji Jayeng Kusuma
agar melupakan sejenak segala kesedihan yang menimpanya. Mudah-mudahan apa yang
menjadi dambaan Bendaramu bisa segera terwujud. Dipertemukan dengan Sang Dyah
Ayu Galuh Candra Kirana. Wirun, Ndara Panji Jayengkusuma dengan penampilan
baru, malah tambah tampan, bukan?”
Wirun, “Benar
sekali, Rama Semar. Bagaimana sih ceriteranya kenapa Raden Inu mau ditipu dan
dikawinkan dengan Galuh Ajeng?”
Ki Semar, “Huss,
jangan sebut Raden Inu di sini. Dia ditipu. Bendaramu mengira Galuh Ajeng itu
Sang Putri Galuh Candra Kirana. Ternyata bukan. Karena itu Bendaramu marah
sekali. Dia merasa dikhianati. Maka dia pun dengan perasaan kecewa dan sedih,
segera meninggalkan Kraton Daha untuk mencari kekasih yang sebenarnya, Sang
Putri Galuh Candra Kirana. Galuh Ajeng sudah diceraikannya.”
Wirun, “Kasihan
juga ya. Bagaimana Ndara Inu, eh, lupa lagi. Bisa tahu kalau istrinya itu bukan
Dyah Ayu Candra Kirana? Kabarnya Galuh Ajeng cantik juga lho.”
Kalang, “Hahaha…,
Kang Wirun padahal mau juga tuh kalau Galuh Ajeng diserahkan kepadanya.”
Andaga, “Mana tahan? Bendara saja
hampir pingsan. Hampir-hampir tidak kuat melayani Galuh Ajeng. Untung Bendara
punya mantra Asmaragama.
Kalang, “Kang Wirun juga punya mantra
warisan dari Rama Semar, mantra Jaran Guyang. Hahaha…,”
Ki Semar, “Ndara
Inu, eh, lupa juga. Ndara Panji Jayengkusuma baru tahu kalau istri yang baru
dinikahinya itu adalah Galuh Ajeng, setelah Bendaramu berhasil menemukan boneka
perak buatannya di lemari Galuh Ajeng. Dulu Bendaramu itu sempat membuatkan dua
boneka dari emas dan perak. Boneka dari emas untuk Sang Kekasih, Dyah Ayu
Candra Kirana. Boneka perak untuk Galuh Ajeng. Galuh Ajeng berusaha mendapatkan
boneka emas Sang Dyah Ayu Candra Kirana, tapi usahanya selalu sia-sia. Sang
Raja Daha juga berusaha memaksa agar boneka emas diserahkan kepada Galuh Ajeng.
Usaha ini juga gagal. Tentu saja tindakan Sang Raja karena dihasut Permaisuri
Paduka Liku. Karena Dyah Ayu Galuh Candra Kirana menolak permintaan Sang Raja.
Maka murkalah Sang Raja. Dyah Ayu Galuh Candra Kirana diusirnya dari Kraton
Daha, setelah sebelumnya rambut Dyah Ayu Galuh Candra Kirana yang indah
bagaikan mayang terurai itu dipotong Sang Raja. Sejak itu Sang Dyah Ayu Galuh
Candra Kirana menghilang dari Kraton Daha.”
Wirun, “Bagaimana
posisi Galuh Ajeng sekarang? Dicerai Ndara Inu? Eh, lupa lagi.”
Kalang, “Betul
kan? Kang Wirun berminat. Mau uji coba mantra Jaran Guyang.Hahaha.... Rama
Semar bilang tadi Galuh Ajeng sudah dicerai. Jadi kini ada janda muda masih
menganggur. Cantik pula.”
Andaga, “Aku juga
mau koq, hehehe….”
Ki Semar, “Sudah
jangan ribut, betul sekali. Galuh Ajeng sudah dicerai Bendaramu. Bendaramu itu
kan Putra Mahkota Kerajaan Jenggala. Yang Suci Biksuni Gandasari yakin, jika
kelak Raden Inu Kertapati bisa membangun rumah tangga dengan Dyah Ayu Galuh
Candra Kirana, Jenggala dan Daha akan kembali bersatu menjadi satu Kerajaan,
seperti Kerajaan Kahuripan dulu. Perkawinan mereka berdua akan menyatukan dua
wilayah yang terpisah, yakni wilayah sebelah timur dengan wilayah di sebelah
barat Sungai Brantas. Kedua kerajaan bisa bersatu kembali seperti Kerajaan
Kanjeng Eyang Erlangga sebelum dibagi dua oleh Mpu Baradah. Sebenarnya dulu,
bila Biksuni Gandasari yang saat itu bernama Dyah Ayu Killi Suci, mau
menggantikan ayahnya Sang Raja Erlangga, Kerajaan Kahuripan tak perlu dipecah
jadi dua. Dengan melalui pernikahan Bendaramu dengan Dyah Ayu Candra Kirana
itu, diharapkan kelak akan bisa menyatukan kembali dua kerajaan itu. Itulah
sebabnya pernikahan keduanya sangat penting bagi kelangsungan kerajaan warisan Sang
Raja Erlangga.”
Wirun, “Di bawah
Empu Baradah, Sungai Brantas jadi alat pemisah Kerajaan Jenggala dan Daha. Di
bawah Raden Inu Kertapati dan Dyah Ayu Candra Kirana, Sungai Brantas kelak akan
jadi alat menyatukan Kerajaan Janggala dan Daha.”
Ki Semar, “Betul sekali Wirun. Bersatu
akan teguh. Bercerai akan runtuh. Sungai bukan alat pemisah dan pemecah belah.
Tetapi alat perekat bagi yang terceraiberai dan terpisah.”
Ki Kalang, “Sdah
jangan lama-lama, Rama Semar dan Kang Wirun. Ayo cepat, Ndara Panji Jayengkusuma
segera dihibur.”
Andaga, “Setuju.
Usul, Sinden Paijem dulu supaya menunjukkan suara emasnya. Disusul Sinden
Juminem. Baru terakir Sinden Muda lagi cantik, Sinden Titisari, dari grumbul
Jatisari.”
Ki Semar, “ Ya
betul, Wirun, Kalang, dan Andaga. Ayo sekarang kita hibur, Bendaramu Raden
Panji Jayengkusuma. Tapi karena suara Rama sedang bermasalah. Maka kita minta
tolong Sinden Paijem dari Kalikidang. Dilanjutkan Sinden Juminem juga dari
Kalikidang. Ayo Ibu Sinden lagunya. Diiringi gending. Suara gending masuuuuk!
Eh, berhenti dulu.”
Wirun, “Sinden
Titisari, kapan Rama?”
Ki Semar, “Ya,
Sinden Titisari dari grumbul Jatisari, masih kinyis-kinyis akan membawakan lagu
setelah Sinden Paijem dan Juminem. Wirun, Kalang, dan Andaga, ayo matur dulu
kepada Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati. Rombongan Dalang Ki Semar Sukmo
Lelono dari Kadipaten Ayah, mengucapkan selamat dan ikut bergembira. Ayo Wirun
yang matur.”
Wirun, “Kanjeng
Ayu Adipati Pasirluhur dan Kanjeng Adipati, beserta segenap punggawa Kadipaten
Pasirluhur dan penonton pagelaran wayang beber. Ki Dalang Semar Sukmo Lelono
beserta rombangan ikut mangayu bagya dalam acara syukuran pernikahan agung Sang
Dyah Ayu Dewi Ciptarasa dengan Raden Kamandaka Banyakcatra. Sekaligus juga
syukuran penobatannya menjadi Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati Kadipaten
Pasirluhur. Semoga kedua mempelai yang sedang berbahagia segera dikaruniai
putra dan putri yang tampan dan cerdas seperti ayahandanya. Atau cantik dan
cerdas juga seperti Ibunya, Kanjeng Ayu Adipati. Semoga Kanjeng Ayu Adipati dan
Kanjeng Adipati mendapatkan anugerah dari Sang Hyang Widhi, menjadi sepasang
bintang kejora di langit Kadipaten Pasirluhur, yang akan bisa memberikan
pencerahan kepada para kawula Kadipaten Pasirluhur, mendatangkan kemakmuran,
keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh penduduk Kadipaten Pasirluhur.”(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar