Kamandaka sudah cukup puas setelah
melihat-lihat ruangan dalam Puri Permatabiru. Di teras Puri Permatabiru Sang
Dewi dan Kamandaka duduk bersanding melanjutkan perbincangan kisah petualangan
cinta Raden Anggalarang. Bagi Sang Dewi, kisah itu sangat menarik. Sang Dewi
dan Kamandaka masih asyik melanjutkan perbincangan sambil menunggu minuman yang
sudah dipesan. Angin menjelang sore hari berhembus pelan. Matahari tampak sudah
menggelincir ke barat tetapi masih jauh di atas cakrawala.
“Sayang sekali
memang, aku belum pernah berjumpa dengan kakak tiri Sri Baginda Prabu
Siliwangi, demikian pula Dinda Silihwarna dan Dinda Ratna Pamekas. Hanya Dinda
Banyakbelabur yang sempat bertemu, karena dia memang mendapat tugas dari
Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi untuk mengawasi Bandar Muarajati dan
Cirebon. Dinda Banyakbelabur pernah berkunjung ke sana. Dari Dinda
Banyakbelabur, aku mendapatkan kabar perkembangan Bandar Muarajati dan
Cirebon,” kata Kamandaka melanjutkan perbincangan kelanjutan keturunan Raden
Anggalarang dengan Gadis Pantai.
Setelah
Walangsungsang dewasa, demikian Kamandaka melanjutkan ceriteranya, menikah
dengan gadis Galuh. Rara Santang dipersunting seorang ulama dari tanah seberang
keturunan seorang raja, Kian Santang mengembara ke Limbangan, menjadi seorang
dai dan ulama yang mengembangkan agama Islam di daerah Limbangan dan
sekitranya.
Sementara itu,
Syahbandar Muarajati menugaskan cucunya, Walangsungsang agar membuka daerah pemukiman
baru di Lemahwungkuk, kira-kira arah selatan dan timur Bandar Muarajati. Dengan
mendapatkan bantuan Ki Gede Alang-Alang, Walangsungsang berhasil membangun
pemukiman baru dengan cara membuka ladang, tegalan, dan sawah. Lama-lama banyak
orang datang dan ikut bermukim sehingga daerah Lemahwungkuk yang semula sepi
mulai berkembang. Ki Gede Alang-Alang yang beragama Hindu itu diangkat menjadi
kuwu. Sedang Walangsungsang yang beragama Islam diangkat jadi wakil kuwu.
Walangsungsang mengubah namanya menjadi Ki Cakrabumi. Ketika Ki Gede
Alang-Alang meninggal, Ki Cakrabumi diangkat mejadi kuwu menggantikan Ki Gede
Alang-Alang. Setelah menjadi kuwu, namanya diubah lagi menjadi Ki Cakrabuwana.
Sebenarnya Ki
Cakrabuwana, demikian Kamandaka masih mlanjutkan ceriteranya, adalah seorang
ksatria yang ulet, pekerja keras,
pantang menyerah, dan seorang yang memiliki jiwa wirausaha. Dia tidak hanya
pandai berladang dan bertani dengan membuka ladang dan sawah baru. Tetapi Ki
Cakrabuwana juga memelopori pembuatan makanan dengan bahan dasar udang, yakni
petis, terasi, dan krupuk. Udang hasil tangkapan para nelayan di pantai Laut
Jawa dibeli oleh Ki Cakrabuwana. Kemudian dengan dibantu istrinya dan para
pekerja, udang-udang itu ditumbuk di atas lumpang batu. Ternyata petis dan
terasi buatan Ki Cakrabuwana sangat digemari penduduk, sehingga petis dan
terasi itu berkembang menjadi barang dagangan yang sangat laris. Produksi petis
dan trasi Ki Cakrabuwana sampai bisa dikirimkan ke daerah lain.
“Konon dari kata
air udang, atau air rebon, atau cai rebon sebagai bahan baku pembuat petis yang
sangat lezat itulah terbentuk kata Cairebon. Lama-lama kata Cairebon berubah
menjadi Cirebon. Tetapi dari riwayat lain menyebutkan, bahwa kata Cirebon
berasal dari kata caruban yang berarti campuran. Disebut caruban atau campuran,
karena dibawah kepemimpinan Ki Cakrabuwana, daerah baru Cirebon terus
berkembang dan banyak penduduk pendatang berasal dari aneka macam suku bangsa, mulai
dari Sunda, Jawa, Bugis, Arab, Keling, Pasai, Tiongkok, dan lainnya lagi.
Mereka terus bercampur, terjadi proses perkawinan silang, dan terbentuklah
sebuah wilayah dengan ciri budaya kota yang lebih bebas dan toleran. Kota
Cirebon juga merupakan tempat nyaman untuk berlindung bagi para pengungsi yang
melarikan diri dari Kerajaan Jawa saat terjadi perang perebutan tahta. Sebagian
besar mereka berasal daerah Kediri dan Majapahit. Misalnya, ketika Kerajaan
Majapahit runtuh karena serangan Kadipaten Keling yang memberontak. Banyak
pengikut Raja Majapahit terakhir yang melarikan diri ke Cirebon, termasuk Resi
Bungsu, sahabat Ayah Dimas Arya Baribin.”
“Ketika Cirebon
semakin berkembang, Raja Pajajaran Rahyang Dewa Niskala menugaskan salah
seorang utusan untuk meninjau daerah baru itu. Betapa terkejutnya Sang Raja
Rahyang Dewa Niskala, saat mengetahui bahwa penguasa daerah yang sedang
berkembang itu adalah putranya sendiri, Raden Walangsungsang. Sang Raja segera
mengesahkan Kadipaten Cirebon dan mengangkat putranya Raden Walangsungsang atau
Ki Cakrabuana sebagai Adipati Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Nama anugerah
ayahnya itu melengkapi nama barunya setelah disahkan jadi Adipati Kadipaten
Cirebon, sehingga gelar lengkapnya adalah Sri Mangana Cakrabuwana,” kata
Kamandaka.
“Oh, pantas,
Kanjeng Rama setiap habis pulang dari Cirebon tidak lupa membawa oleh-oleh
petis, trasi, dan krupuk udang Cirebon,” kata Sang Dewi setelah mendapatkan
penjelasan dari suaminya. “Adipati Cirebon Ki Cakrabuwana mengirimkan salam
untuk Kanda. Pasti Kanjeng Rama lupa menyampaikan. Kanjeng Adipati Cirebon
tidak bisa datang ke Pasirluhur menghadiri pernikahan kita, karena istrinya
sedang sakit.”
“Oh, ya?
Terimakasih atas salamnya. Semoga istrinya cepat sembuh. Aku tidak mengira
kalau Kanjeng Rama mengundang Adipati Cirebon. Apakah Kanjeng Rama atau Kanjeng
Ibu mempunyai hubungan kekerabatan dengan Adipati Cirebon, sehingga hubungannya
begitu erat dan tampak akrab?” tanya Kamandaka.
“Hubungan
kekerabatan tidak ada,” jawab Sang Dewi. “Tetapi setelah Adipati Cirebon tahu
Kanjeng Rama berbesanan dengan Sri Baginda Prabu Siliwangi, tentu saja Adipati
Cirebon itu menganggap Kanjeng Rama sebagai adiknya juga.”
“Ketika Sang Raja
Rahyang Dewa Niskala masih bertahta apakan Adipati Cirebon pernah datang
menghadap Ayahnya di Pakuan Pajajaran?” tanya Sang Dewi ingi tahu lebih banyak hubungan
Kadipaten Cirebon dengan Kerajaan Pajajaran.
“Sayang sekali,
hubungan Kadipaten Cirebon dengan Kerajaan Pajajaran di Pakuan, sempat
memburuk. Permasalahannya sebenarnya sangat sederhana,” jawab Kamandaka.
Kemudian Kamandaka menceriterakan kisah terjadinya konflik Kadipaten Cirebon
dengan Kerajaan Pajajaran.
Setelah diangkat
oleh Sang Raja Dewa Niskala sebagai Adipati Cirebon, demikian kata Kamandaka,
praktis Cirebon mengakui kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Adipati Cirebon juga
berjanji akan mengirimkan upeti ke Pakuan Pajajaran. Janji itu sempat dipenuhi
beberapa kali. Namun pengiriman upeti lalu tertunda dan Cirebon tidak lagi
mengirimkan upeti ke Pajajaran. Sang Raja Dewa Niskala menjadi murka ketika
mengetahui Cirebon tidak mengirim upeti ke Pajajaran, tetapi malah membangun
sebuah Pasanggrahan megah untuk satu-satunya putri tercinta Adipati Cirebon,
Dyah Ayu Pakungwati. Pasanggrahan itu pun diberi nama dengan nama putri
tercintanya, menjadi Pasanggrahan Pakungwati. Setelah putrinya menikah dengan Syekh
Jati, Pasanggarahan Pakungwati dibangun lagi menjadi pusat pemerintahan atau
Keraton Kadipaten Cirebon. Sri Mangana Cakrabuwana memang sedang mempersiapkan
suami putrinya, Syekh Jati, agar kelak bisa meneruskan jabatannya sebagai
Adipati Cirebon.
Pembangunan
Keraton Kadipaten Cirebon pun selesai. Kemudian Syekh Jati mengusulkan agar di
samping Keraton Pakungwati juga dibangunkan sebuah masjid. Ki Cakrabuwana
menyetujui usul menantu dan keponakannya itu. Untuk membangun sebuah masjid,
Syekh Jati menghubungi Kerajaan Demak, dan mohon bantuan agar dikirimkan ahli
bangunan dari Kerajaan Demak yang memiliki kemampuan khusus membanguan masjid
dengan menggunakan Masjid Demak sebagai pola dasar. Tentu saja permohonan Syekh
Jati dan Adipati Cirebon disambut dengan suka cita oleh Sultan Demak, Abdul
Fattah.
Dikirimkanlah
sejumlah ahli bangunan pimpinan Raden Sepat. Raden Sepat adalah seorang ahli
bangunan dari Kraton Majapahit yang melarikan diri ketika Majapahit runtuh. Dia
melarikan diri ke Demak dan meminta perlindungan kepada Sultan Demak. Dengan
senang Sultan Demak menerima Raden Sepat dan anak buahnya. Mereka lalu
dimanfaatkan Sultan Demak untuk menyempurnakan bangunan Keraton Demak dan
bangunan Masjid Demak. Ketika ada permintaan dari Cirebon, Sultan Demak
mengirimkan Raden Sepat dan anak buahnya untuk membangun Masjid Agung Cirebon
dan Pasanggrahan Pakungwati menjadi Dalem Keraton Kadipaten Cirebon.
Ketika mendengar
laporan dari Tumenggung Jagabaya, bahwa Kadipaten Cirebon telah meminta bantuan
Kerajaan Islam Demak, Raja Dewa Niskala menilai bahwa Adipati Cirebon Sri
Mangana telah melakukan pembangkangan terhadap Kerajaan Pajajaran. Maka
diutuslah Tumenggung Jagabaya disertai ratusan prajuritnya untuk menduduki
Cirebon. Tetapi Sang Raja Rahyang Dewa Niskala lupa, bahwa Kadipaten Cirebon
bisa meminta perlindungan Kerajaan Islam Demak. Dan itulah yang terjadi. Maka
meletuslah perang antara Kerajaan Pajajaran dengan Kerajaan Islam Demak,
memperebutkan Kadipaten Cirebon. Pasukan Tumenggung Jagabaya dengan mudah dikalahkan
tentara Kerajaan Islam Demak yang jauh berpengalaman. Bahkan Tumenggung
Jagabaya menyerah, kemudian malah memeluk Islam dan mengabdi kepada Adipati
Cirebon. Mendengar kekalahan Pajajaran dalam perang memperebutkan Cirebon,
bahkan Tumenggung Jagabaya yang merupakan tumenggung andalan Sang Raja
membelot, berita itu langsung mengakibatkan duka cita yang mendalam bagi Sang
Raja Rahyang Dewa Niskala. Berhari-hari Sang Raja terus murung, akhirnya jatuh
sakit.
“Padahal
sebelumnya Ayahanda yang saat itu masih menjadi Putra Mahkota sempat
mengingatkan Sang Raja agar Kerajaan Pajajaran jangan menggunakan kekerasan
senjata untuk menaklukan Cirebon,”kata Kamandaka, masih melanjutkan
ceriteranya. “Sebab Putra Mahkota tahu Adipati Cirebon bukannya tidak mau membayar
upeti tetapi hanya minta penundaan sementara karena banyaknya pengeluaran untuk
menyelesaikan bangunan pusat pemerintahan Kadipaten Cirebon dengan masjidnya.
Sang Putra Mahkota juga berpendapat, andaikata Adipati Cirebon dan menantunya
minta bantuan kepada Raja Pajajaran mencarikan ahli bangunan untuk membangun
masjid, tidak mungkin Kerajaan Pajajaran yang memeluk agama Hindu mampu
memenuhi permintaan Kadipaten Cirebon. Tetapi apa boleh buat. Nasi sudah
menjadi bubur. Hubungan ayah dengan anak dan cucu langsung retak dan putus
kembali. Mungkin karena menyesali langkahnya yang keliru, Sang Raja Rahyang
Dewa Niskala tidak lama kemudian mangkat. Putra Mahkota pun naik tahta Kerajaan
Pajajajaran. Dialah Ayahanda, Sri Baginda Prabu Siliwangi.”
“Sayang sekali,
ya, hubungan ayah, anak, dan cucu putus hanya gara-gara upeti,” kata Sang Dewi
yang langsung disambung dengan pertanyaan kepada suaminya, ”Jadi, sekarang
bagaimana posisi Kadipaten Cirebon? Apakah sudah lepas dari Kerajaan
Pajajaran?”
“Hubungannya masih
sulit diramalkan. Kadipaten Cirebon tidak pernah secara formal menyatakan
mengakui Kerajaan Demak sebagai pelindungnya. Tetapi juga tidak pernah
menyatakan melepaskan dari Kerajaan Pajajaran. Sri Baginda Prabu Siliwangi
tampak hati-hati menghadapi kakak tirinya itu. Bagi Pajajaran paling jauh yang
bisa dilakukan adalah menjaga agar Kadipaten Singapura dengan Bandar Muarajatinya,
Wanagiri, Rajagaluh, dan Talaga, tetap setia kepada Kerajaan Pajajaran,
sekalipun seandainya mereka berubah menjadi Kadipaten Islam. Suatu kenyataan
bahwa Dinda Banyakbelabur pernah diterima dengan baik ketika mengunjungi
Kadipaten Cirebon, tentu merupakan pertanda baik. Ada harapan akan bisa
dipulihkan hubungan yang sudah retak itu. Tetapi jika Dinda Banyakbelabur
mendorong Ayahanda Sri Baginda Siliwangi mengulangi kembali kesalahan Sang Raja
Rahyang Dewa Niskala, perang Demak dan Pajaran pasti akan pecah kembali. Dan
hasilnya mudah diramalkan. Bandar Muarajati dan kadipaten-kadipaten sekitar
Cirebon, pasti akan lepas dari Kerajaan Pajajaran,” kata Kamandaka meramalkan.
“Ternyata
pengetahuan Kanda perihal Kadipaten Cirebon, mendalam juga. Tetapi, tahukah
Kanda, apa nama Masjid Kadipaten Cirebon? Dan apa hubungannya dengan sakitnya
Dyah Ayu Pakungwati setelah Dalem Keraton Pakungwati dan Masjid Cirebon selesai?”
tanya Sang Dewi yang dijawab Kamandaka dengan menggelengkan kepalanya.
“Kanjeng Ibu
berceritera padaku, bahwa setelah bangunan Dalem Keraton dan Masjid Cirebon selesai, Dyah Ayu Pakungwati sakit
berminggu-minggu,” kata Sang Dewi menceriterakan putri kesayangan Adipati
Cirebon.
“Segala obat dan
tabib telah didatangkan untuk mengobati, tapi belum ada hasilnya. Suaminya,
Syekh Jati, juga ikut bingung dan sibuk mencarikan tabib dan obat ke mana-mana.
Tapi hasilnya tetap nihil. Kanjeng Ibu yang mendengar Putri Adipati Cirebon
sakit, mencoba membuatkan racikan jamu penyembuh dengan maksud menolong putri
kesayangan sahabatnya itu. Setelah racikan jamu selesai, berangkatlah Kanjeng
Rama dan Kanjeng Ibu ke Cirebon. Tentu saja Adipati Cirebon dan istrinya senang
ketika putri kesayangannya ditengok Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu. Apalagi
ketika Kanjeng Ibu memberikan racikan jamu penyembuh buatannya yang tinggal
diminum saja. Ketika Kanjeng Ibu menengok di tempat tidurnya, tampak Putri Adipati
Cirebon itu wajahnya pucat, tubunnya lemah, dan sulit diajak bicara. Dengan
sabar selama tiga hari, Kanjeng Ibu melakukan perawatan dengan memberikan jamu
racikannya secara teratur, disertai dengan pijitan-pijitan di bagian punggung,
telapak kaki, dan tangan. Ternyata
setelah tiga hari dirawat Kanjeng Ibu, Dyah Ayu Pakungwati menunjukkan gejala
ke arah kesembuhan. Sebelum pulang kembali ke Pasirluhur, Kanjeng Ibu berpesan
agar pengobatan dengan jamu racikan buatannya diminum sampai habis. Bilamana
ada kemajuan, agar Kanjeng Ibu diberitahu. Perlunya Kanjeng Ibu akan membuatkan
jamu racikan lagi untuk melanjutkan proses penyembuhan.”
“Aku sama sekali
belum pernah mendengar ceritera itu. Hebat juga ilmu meracik jamu Kanjeng Ibu,”
kata Kamandaka yang tiba-tiban ingat selendang kuning berisi ramuan penyembuh
luka buatan Kanjeng Ayu Adipati Sepuh. Racikan penyembuh luka itu pernah
menyelamatkan nyawanya dari racun maut yang mematikan. Yakni racun Pusaka
Kujang Kancana Shakti yang sempat melukai dirinya.
“Tidak lama
kemudian, datanglah utusan dari Kadipaten Cirebon,” kata Sang Dewi. “Ternyata
utusan itu memberitahu, bahwa Putri Adipati Cirebon setelah dirawat Kanjeng
Ibu tiga hari dan minum jamu racikan
Kanjeng Ibu, berangsur-angsur memperlihatkan
kesembuhan. Tentu saja Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama gembira sekali.
Utusan dari Kadipaten Cirebon itu diminta menginap dua malam, untuk menunggu
racikan jamu yang harus disiapkan Kanjeng Ibu. Setelah racikan jamu selesai,
utusan dari Cirebon pulang kembali dengan membawa racikan jamu. Kanjeng Ibu
masih berpesan jika jamu racikan habis agar datang lagi ke Pasirluhur sambil
memberi tahukan perkembangan kesehatan Putri Adipati Cirebon.”
“Kurang lebih
sampai tiga kali utusan dari Cirebon datang menemui Kanjeng Ibu untuk minta
jamu racikan lanjutan. Kanjeng Ibu dengan senang hati memenuhi pesanan itu.
Pada kunjungan ke empat utusan memberitahu, bahwa Putri Sang Adipati telah
sembuh total. Adipati Cirebon menyampaikan ucapan terima kasih dan berharap
Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama berkenan datang ke Cirebon untuk menghadiri acara
syukuran Sang Putri Adipati Cirebon yang telah sembuh dari sakitnya. Dengan
senang hati Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama memenuhi undangan Adipati Cirebon,” kata
Sang Dewi.
“Kehadiran
Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu disambut dengan suka cita oleh seluruh keluarga
Adipati Cirebon,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Selesai acara syukuran Adipati
Cirebon didampingi istrinya dan menantunya, Syekh Jati, memberi tahu bahwa
Adipati Cirebon sempat berujar, jika Putri kesayangan Sang Adipati benar-benar
sembuh dari sakitnya, maka Masjid Kadipaten Cirebon yang telah selesai dibangun
itu akan diberi nama dengan nama orang yang berhasil menyembuhkan Putri Sang
Adipati. Mendengar permintaan itu, Ibu menjadi gugup dan bingung. Entah
mengapa, Ibu tiba-tiba ingat namaku. Setelah berunding dengan Kanjeng Rama,
akhirnya Ibu menawarkan namaku, Ciptarasa, untuk dipakai sebagai nama Masjid
Kadipaten Cirebon. Ternyata usul Ibu diterima dengan senang hati oleh Adipati
Cirebon dan menantunya Syekh Jati. Demikianlah Masjid Ciptarasa menjadi nama
masjid Kadipaten Cirebon yang berdampingan dengan Keraton Pakungwati Kadipaten
Cirebon.”
“Anehnya, pada
malam harinya Ibu bermimpi, ada seorang ksatria yang mengaku Putra Mahkota
Kerajaan Pajajaran mendatangi Ibu dan mengajak aku jalan-jalan. Ketika paginya
Kanjeng Ibu menceriterakan kepada Kanjeng Rama, Kanjeng Rama hanya tertawa
sambil mengatakan mimpi itu hanyalah bunga orang tidur. Kanjeng Rama dan
Kanjeng Ibu sama sekali tidak menduga, bahwa kurang dari dua tahun setelah
mimpi itu, aku benar-benar dilamar Kanda. Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu akhirnya
benar-benar berbesanan dengan Sri Baginda Prabu Siliwangi. Bukankah Syekh Jati
dan Dyah Ayu Pakungwati adalah cucu Sang Raja Dewa Niskala, sama dengan Kanda
dan aku setelah aku jadi Istri Kanda?” kata Sang Dewi mengakhiri kisah yang
baru pertama kali diceriterakan kepada suaminya.
“Hem, kisah yang menarik
dan unik. Tapi aku percaya pada mimpi Kanjeng Ibu. Sebab aku jadi ingat, suatu
ketika aku seperti mendapat petunjuk gaib. Tiba-tiba saja aku pun sering mimpi
bertemu dengan seorang gadis yang selalu mendatangi aku. Tetapi aku tidak
pernah tahu, di mana gadis itu berada dan siapa pula namanya, sampai suatu saat
aku bertemu Ki Ajar Wirangrong. Ki Ajar Wirangrong memberitahu aku, bahwa gadis
yang selalu datang ke dalam mimpiku dengan wajah mirip Ibuku itu tidak lain
adalah Putri Kanjeng Adipati Pasirluhur. Ki Ajar Wirangrong mengatakan, bahwa
gadis itu memang telah ditakdirkan menjadi jodohku. Hanya jalan untuk
mendapatkannya tidaklah mudah,” kata Kamandaka yang membuat Sang Dewi
terheran-heran.
“Sayang memang
Kanjeng Adipati Cirebon tidak bisa menghadiri acara pernikahan kita,” kata Sang
Dewi pula. “Tetapi kirimannya berupa seperangkat barang-barang porselin dan
guci buatan Tiongkok yang indah sekali sampai juga. Bahkan beberapa keranjang
terasi Cirebon dan krupuk udang yang lezat itu, sudah sampai jauh-jauh hari
sebelum resepsi pernikahan kita.”
“Oh, iya? Sayang
sekali Diajeng baru ceritera sekarang. Kalau aku tahu sebelumnya, pasti akan
aku balas dengan mengirimkan gula kelapa dan gula aren buatan Nyai Kertisara.”
“Itu gagasan
bagus, Kanda. Tidak ada kata terlambat. Jika kelak Kanda bermaksud mengenalkan
produksi gula kelapa dan gula aren ke Kadipaten Cirebon, Tumenggung Maresi bisa
ditugaskan. Silaturahmi menjaga hubungan kekerabatan perlu terus kita pelihara
dan kita tingkatkan. Sekalipun kita beda agama, bukan halangan untuk menjalin
persahabatan. Bukankan Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu, juga bisa bersahabat dengan
Adipati Cirebon, sekalipun beda agama? Apalagi Kadipaten Cirebon dan Kadipaten Pasirluhur
ternyata masih ada ikatan kekerabatan,” kata Sang Dewi.
“Iya, aku setuju.
Apalagi nama Diajeng ternyata telah diabadikan jadi nama Masjid Kadipaten
Cirebon. Sebuah masjid dengan nama indah, Masjid Ciptarasa,” kata Kamandaka
yang tidak menduga nama istrinya diabadikan sebagai nama masjid Kadipaten Cirebon.
“Ada baiknya
kelak jika Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu berkunjung ke Cirebon, kita ikut
mendampingi. Bukankah Kanda belum pernah bertemu Kanjeng Adipati Cirebon
Srimangana Cakrabuwana yang merupakan Kakak Ayahanda Sri Baginda Prabu
Siliwangi, sekalipun beda Ibu?” tanya Sang Dewi.
“Iya, benar. Nanti
hal itu bisa kita pikirkan lagi,” jawab Kamandaka mendukung rencana istrinya.(bersambung)