Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Minggu, 10 Desember 2017

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (72)





“Nyai Kertisara dengan menggunakan sedikit kecerdasannya memanfaatkan pohon kelapa yang banyak tumbuh di Kaliwedi dan sepanjang Sungai Ciserayu, bisa menjadi orang kaya yang memiliki kekuasaan atas harta. Padahal Kademangan Kejawar jauh lebih luas dari Kaliwedi. Kekayaan alam Kejawar juga  jauh lebih luar biasa dari Kaliwedi. Tetapi, kenapa Kakang tetap miskin? “tanya Nyi Demang.
“Itu karena Kakang tidak memiliki kekuasaan duniawi. Kakang hanya punya kekuasaan atas ritual-ritual keagamaan saja!” kata Nyi Demang menjawab sendiri pertanyaan yang diajukannya kepada suaminya.
“Benar sekali apa yang engkau katakan, Istriku. Maafkan aku atas segala ketidakberdayaanku”  kata Ki Demang pasrah.
“Kakang! Aku rela hidup miskin mendampingi Kakang, karena itu memang kewajiban sebagai seorang istri. Tetapi aku tidak rela anak kita Bagus kelak hanya mewarisi sebuah kemiskinan yang sama dengan kita. Aku tidak ingin Bagus hanya menjadi seorang pandita seperti Ayahnya. Bagus harus menjadi seorang pandita sinatria. Itulah sebabnya aku sangat berharap Bagus kelak bisa belajar ilmu keprajuritan kepada Raden Arya. Syukur-syukur bila kelak Bagus bisa jadi menantu Raden Arya. Jika Raden Arya kelak bisa membangun Kadipaten Kalipucang, kenapa Bagus kelak tidak  bisa membangun Kademangan Kejawar menjadi sebuah Kadipaten?“ kata Nyi Demang dengan semangat menggebu-gebu.
“Kalau toh Bagus belum berhasil mencapainya, setidak-tidaknya ada anaknya Bagus atau cucu kita yang kelak bisa membangun Kademangan Kejawar menjadi Kadipaten Kejawar. Hanya dengan cara itu, keturunan kita tidak akan pernah mewarisi kemiskinan duniawi!” kata Nyi Demang Kejawar pula, masih dengan nada membangkitkan semangat.
“Aku kira engkau betul, Istriku. Engkau dan Bagus memang hanya satu-satunya kekayaanku yang paling berharga di dunia ini. Engka dan Bagus .juga satu-satunya harapanku. Dan satu-satunya masa depanku. Terimakasih, Istriku. Betapa besar pengorbananmu selama ini kepadaku. Maafkan aku, jika aku belum bisa membahagiakanmu,” kata Ki Demang. Diam-diam di kedalaman jiwanya mulai bangkit semangat untuk melawan kemiskinan duniawi yang selama ini membelenggunya.
“Sekarang langkah jangka pendeknya, kemana kelak Bagus harus belajar ilmu keprajuritan agar dapat menjadi seorang ksatria?  Haruskan magang ke Kalipucang? Apakah tidak terlalu jauh? Seharusnya Kademangan Kejawar memang bisa mendirikan pusat pelatihan prajurit sendiri. Tetapi dijamin tidak akan diijinkan Kanjeng Adipati Wirasaba, bukan?” Nyi Demang Kejawar yang cerdik itu mulai merangsang  gagasa-gagasan baru pada diri Ki Demang.
“Ah, itu gampang. Nanti aku hubungi Rekajaya. Dengar-dengar Raden Arya telah dipercaya Adipati Pasirluhur membangun pusat pelatihan prajurit di Kendalisada. Itulah sebabya Raden Arya kini banyak uangnya. Beberapa bulan sebelum meletus perang Pasirluhur-Nusakambangan, konon Raden Arya dipercaya mendidik 200 orang penderes penjadi prajurit sukarelawan ahli menggunakan sabit sebagai senjata perang. Sebagian besar peserta pelatihan prajurit itu dari Kaliwedi. Namun ternyata secara diam-diam, ada beberapa orang penduduk Kejawar yang ikut dalam latihan keprajuritan di Kendalisada.”
“Aku malah senang jika ada penduduk Kejawar yang pandai dalam ilmu keprajuritan. Mudah-mudahan pusat pelatihan keprajuritan Kendalisada yang telah dirintis Raden Arya, Raden Kamandaka, dan Putri Adipati Pasirluhur itu bisa terus berkembang. Ke sanalah kelak Bagus akan aku titipkan. Bagaimana Istriku? Setujukah?” kata Ki Demang memaparkan rencana memilihkan tempat pendidikan bagi Bagus, apabila kelak Bagus sudah cukup umur untuk mulai belajar ilmu keprajuritan. “Sebuah gagasan sangat masuk akal. Setuju sekali. Siapa dulu Suamiku!” kata Nyi Demang gembira karena suaminya sudah mulai memikirkan jalan baru bagi masa depan anaknya.
“Aku masih punya satu lagi jurus simpanan untuk masa depan Bagus,” kata Ki Demang.
“Apa jurus simpanan itu, Kakang?”
“Kamu pernah dengar Empu Supa?”
“Belum, siapa dia?”
“Empu Supa adalah seorang empu ahli pembuat keris-keris sakti Kerajaan Majapahit. Salah satu keris sakti karyanya adalah Kiai Sengkelat, keris pusaka Kerajaan Majapahit. Pemilik terakhir keris buatan Empu Supa itu adalah Dyah Supaprabhawa, Raja Majapahit terakhir. Ketika Sang Raja mangkat (1478 M), Kerajaan Majapahit diserang Dyah Wijayakarana, penguasa Keling di Pare, Kediri, yang merupakan keponakan Sang Raja yang mangkat itu. Akibatnya Kerajaan Majapahit runtuh, dan Dyah Wijayakarana yang merupakan putra bungsu Raja Sri Kertawijaya (1447- 1451 M), menobatkan dirinya menjadi Raja Kerajaan Keling yang mengaku sebagai pewaris Kerajaan Majapahit. Aku tidak tahu apakah keris Kiyai Sengkelat itu jatuh ke tangan Raja Keling? Raja Kediri sekarang, Dyah Ranawijaya adalah putra bungsu Raja Keling, Dyah Wijayakarana. Dyah Ranawijaya itulah yang memindahkan Kerajaan Keling ke Kediri (1386 M). Kemungkinan besar Kiyai Sengkelat ada di tangan Dyah Ranawijaya,” kata Ki Demang Kejawar.
“Aduh, pusing aku. Kakang ceriteranya muter-muter. Apa hubungannya Mpu Supa, Kakang, dan masa depan Bagus?  Ngapain ceritera Sang Prabu Ranawijaya, Raja Kediri? Aku benci sama dia!”
“Benci? Apa masalahnya?”
“Bukankah Sang Prabu Ranawijaya yang akan memecat Kakang, malah mungkin akan memenggal leher Kakang, jika Kakang dan aku nekad pergi ke Pakuan Pajajaran untuk menghadiri resepsi dan ritual pernikahan Raden Arya? Sudah! Aku males kalau Kakang masih nyebut-nyebut dia lagi!” kata Nyi Demang agak marah dan langsung membalikkan badannya, memunggungi Ki Demang dan kembali memeluk Bagus yang sedang lelap tidurnya.
Ki Demang kelabakan juga ketika istrinya ngambek. Bisa-bisa lebih seminggu dirinya akan dibiarkan saja. Karena itu, Ki Demang bisanya hanya sabar. Dia tahu cara mengatasi  istrinya jika sedang ngambek. Cara itu hanyalah sabar dan berikan pujian pada istrinya.
“Aku pikir betul juga kamu. Mudah-mudahan keris Kiyai Sengkelat karya Mpu Supa itu tidak jatuh ke tangan Ranawijaya. Mpu Supa itu punya anak laki-laki namanya Mpu Sura. Mpu Sura ini seorang ahli membuat sarung keris sakti. Dia seorang maranggi yang punya banyak murid. Ayahku salah seorang murid Mpu Sura dan aku mewarisi ilmu maranggi dari ayahku. Aku akan wariskan ilmuku itu pada Bagus. Dengan demikian disamping Bagus kelak menguasai ilmu keprajuritan, juga punya ilmu membuat sarung keris sakti. Tidak gampang, lho, membuat sarung keris sakti. Tidak sembarang orang,” kata Ki Demang sambil berharap istrinya masih mau mendengarkannya. Ternyata istrinya pelan-pelan membalikkan badannya lagi.
“Nah, begitu. Kalau ceritera jangan mutar-mutar. Aku setuju banget. Itu baru gagasan cemerlang. Kelak akan aku tambahkan sebuah nama di depan nama Bagus, Bagus Mranggi Semu! Aku akan tirakat  agar Bagus jadi pemuda yang mumpuni dan bila Raden Arya kelak punya anak gadis, aku berharap Raden Arya bersedia mengambil Bagus Mranggi Semu jadi menantunya. Dengan demikian ikatan kekeluargaan Kejawar-Kalipucang, tidak akan putus,” kata  Nyi Demang yang kaya dengan cita-cita itu.
“Hem, memang luarbiasa gagasan itu. Aku setuju! Siapa dulu Istriku!” puji Ki Demang pula, ”Tetapi kalau mau tirakat untuk Bagus jangan sering-sering dan beritahu aku. Rugi aku, jika  Istriku yang  cantik sering-sering tirakat. Kapan aku mau……” belum habis kata-kata Ki Demang, istrinya sudah memotong kata-katanya.
“Ya, pastilah, minta ijin suami dulu kalau mau tirakat,” kata Nyi Demang langsung memeluk dan mencium Ki Demang. Ki Demang pun tersenyum, ternyata kesabarannya mendatangkan hasil juga. Nyi Demang memeluk dan mencium suaminya dengan mesra sebagai ungkapan rasa senangnya. Tetapi ketika Ki Demang akan membalas memeluknya, Nyi Demang menahan dada suaminya sambil berbisik, ”Kakang  harus mematikan lampu teplok itu  lebih dulu…,”  

Ki Demang Kejawar segera bangkit dengan senyum kemenangan. Permintaan istrinya adalah isyarat agar perbincangan soal masa depan bagi anak buah hatinya itu, untuk sementara sampai di situ dulu. Lampu teplok yang menempel pada tiang dinding kamar tidurnya segera dimatikan. Pantulan cahaya bulan malam itu menerobos masuk melalui sela-sela lubang angin dinding kamarnya, sehingga Ki Demang secara samar-samar masih bisa melihat tubuh cantik istrinya yang tergolek gelisah. Istrinya sudah tidak sabar menunggu. Malam itu menjadi malam yang sangat indah bagi pasangan suami istri Ki Demang dan Nyi Demang Kejawar.

 ***
  
Hari berbahagia dan ditunggu-tunggu itu pun tiba. Adipati Kandhadaha menyelenggarakan pesta besar-besaran perayaan pernikahan Sang Dewi dengan Kamandaka. Pesta berlangsung tujuh hari tujuh malam. Semua kegiatan dipusatkan di Pendapa Kadipaten Pasirluhur.
Aneka macam pertunjukan dan tontonan menarik lainnya ditampilkan silih berganti untuk menghibur rakyat. Di kiri kanan sepanjang jalan menuju  kadipaten dimeriahkan dengan umbul-umbul aneka macam warna. Di samping memasang umbul-umbul, rakyat yang tinggal di pinggir jalan atas kesadarannya sendiri menghiasi pohon-pohon di sepanjang jalan dengan meliliti batangnya menggunakan kain berwarna biru, kuning, dan hijau sebagai lambangkan cinta, kemakmuran, dan kewibawaan.
Nyai Kertisara di Kaliwedi pun tidak ketinggalan ikut menyelenggarakan pesta menyambut pernikahan agung itu. Di sepanjang jalan menuju rumah Nyai Kertisara juga dipasang umbul-umbul. Para penyadap ikut melampiaskan kegembiraannya dengan meliliti batang pohon kelapa yang disewa Nyai Kertisara di sepanjang Sungai Ciserayu. Tentu saja akibatnya di sepanjang Sungai Ciserayu dari barat ke timur, tampak meriah, karena hampir setiap pohon kelapa yang ada, batangnya dihiasi dengan lilitan kain berwarna biru, kuning, dan hijau.
Usai upacara ritual pernikahan Sang Dewi Ciptarasa dengan Kamandaka, dilanjutkan dengan upacara penobatan Kamandaka dan Sang Dewi. Keduanya dinobatkan  sebagai Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati Kadipaten Pasirluhur menggantikan Adipati Kandhadaha yang menyatakan lengser dari jabatannya. Kanjeng Adipati Kandhadaha memenuhi janjinya kepada Kanjeng Ayu Adipati. Sesuai tradisi, sejak lengser dari jabatannya itu, penduduk akan menyebut Kanjeng Adipati Kandhadaha sebagai Kanjeng Adipati Sepuh. Demikian pula istrinya, akan dipanggil dengan sebutan Kanjeng Ayu Adipati Sepuh atau Kanjeng Ayu Sepuh saja.
Tiap hari tamu undangan yang ingin mengucapkan selamat, menyemut di halaman Pendapa Kadipaten. Para tamu undangan datang dari segala penjuru. Para adipati yang hadir bukan hanya dari adipati-adipati di Lembah Ciserayu dan Citanduy saja. Tetapi mereka juga datang dari kadipaten-kadipaten di wilayah Kerajaan Pajajaran lainnya. Sang Raja Sri Baginda Prabu Siliwangi berhalangan hadir, karena sakit. Sedang putra mahkota Banyakbelabur juga tidak bisa hadir. Dia sendiri juga sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan seorang putri dari daerah Banten. Sekalipun begitu, Sang Raja Sri Baginda Siliwangi mengirimkan kemenakannya, seorang pendeta muda alumni Padepokan Megamendung, Bujanggamanik Amenglayaran. Dia pernah tinggal bersama-sama Silihwarna saat berguru di Padepokan Megamendung. Dia mendapat julukan Pendeta Muda.
“Luar biasa! Sebuah pernikahan agung! Selamat Dinda Banyakcatra! Selamat pula Dinda Dewi Kanjeng Ayu Adipati. Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia selalu. Dan cepat mendapatkan keturunan!” kata Pendeta Muda yang kepalanya tampak plontos, sekalipun rambut-rambut tipis mulai bermunculan di sana-sini. Dia, mengenakan jubah kuning, selempang pita hijau. Tentu saja tak lupa dibawanya kalung biji pendoa. Dipeluknya dengan hangat mempelai pria yang masih adik sepupunya itu. Pendeta Muda itu datang pada hari ke-enam pesta.
“Terima kasih, Kanda Amenglayaran. Eh, Bapa Pendeta,” kata Kamandaka sambil berkelakar setelah keduanya saling berpelukan.
“Ah, Dinda Banyakcatra. Masih saja suka berkelakar. Panggil nama saja seperti dulu waktu kita masih sering bertemu di Pakuan Pajajaran,” kata Pendeta Muda itu.
Dia adalah putra kakak ibunya Kamandaka dan Silihwarna. Pendeta Muda itu sebenarnya  sedang disiapkan oleh Sri Baginda Prabu Siliwangi menjadi Pendeta Kerajaan Pajajaran. Tetapi dia sendiri telah bertekad untuk pergi meninggalkan Pajajaran, ingin menjadi pengembara ke arah timur. Tindakan itu dilakukan karena Bujanggamanik Amenglayaran ingin menghindari cinta seorang putri sepupunya yang cantik jelita, Putri Ayunglarang Sakean.
“Dinda Silihwarna, sini!,” Kamandaka memanggil adiknya yang sedang berdiri agak jauh di antara tamu yang hadir. Dia sedang asyik berbincang-bincang dengan Mayangsari. Melihat lambaian tangan Kamandaka, Silihwarna dan kekasihnya datang mendekat.
“Kanda Amenglayaran, sudah kenal dengan Dinda Mayangsari? Ini calon istri Dinda Silihwarna,” Kamandaka memperkenalkan Mayangsari.
“Sudah berkenalan tadi, Kanda,” kata Mayangsari sambil tersenyum. Dia berdiri di samping Silihwarna.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar