“Nyai
Kertisara dengan menggunakan sedikit kecerdasannya memanfaatkan pohon kelapa
yang banyak tumbuh di Kaliwedi dan sepanjang Sungai Ciserayu, bisa menjadi
orang kaya yang memiliki kekuasaan atas harta. Padahal Kademangan Kejawar jauh
lebih luas dari Kaliwedi. Kekayaan alam Kejawar juga jauh lebih luar biasa dari Kaliwedi. Tetapi,
kenapa Kakang tetap miskin? “tanya Nyi Demang.
“Itu karena
Kakang tidak memiliki kekuasaan duniawi. Kakang hanya punya kekuasaan atas
ritual-ritual keagamaan saja!” kata Nyi Demang menjawab sendiri pertanyaan yang
diajukannya kepada suaminya.
“Benar sekali
apa yang engkau katakan, Istriku. Maafkan aku atas segala
ketidakberdayaanku” kata Ki Demang
pasrah.
“Kakang!
Aku rela hidup miskin mendampingi Kakang, karena itu memang kewajiban sebagai
seorang istri. Tetapi aku tidak rela anak kita Bagus kelak hanya mewarisi sebuah
kemiskinan yang sama dengan kita. Aku tidak ingin Bagus hanya menjadi seorang
pandita seperti Ayahnya. Bagus harus menjadi seorang pandita sinatria. Itulah
sebabnya aku sangat berharap Bagus kelak bisa belajar ilmu keprajuritan kepada
Raden Arya. Syukur-syukur bila kelak Bagus bisa jadi menantu Raden Arya. Jika
Raden Arya kelak bisa membangun Kadipaten Kalipucang, kenapa Bagus kelak
tidak bisa membangun Kademangan Kejawar
menjadi sebuah Kadipaten?“ kata Nyi Demang dengan semangat menggebu-gebu.
“Kalau toh
Bagus belum berhasil mencapainya, setidak-tidaknya ada anaknya Bagus atau cucu
kita yang kelak bisa membangun Kademangan Kejawar menjadi Kadipaten Kejawar.
Hanya dengan cara itu, keturunan kita tidak akan pernah mewarisi kemiskinan
duniawi!” kata Nyi Demang Kejawar pula, masih dengan nada membangkitkan
semangat.
“Aku kira
engkau betul, Istriku. Engkau dan Bagus memang hanya satu-satunya kekayaanku
yang paling berharga di dunia ini. Engka dan Bagus .juga satu-satunya
harapanku. Dan satu-satunya masa depanku. Terimakasih, Istriku. Betapa besar
pengorbananmu selama ini kepadaku. Maafkan aku, jika aku belum bisa
membahagiakanmu,” kata Ki Demang. Diam-diam di kedalaman jiwanya mulai bangkit
semangat untuk melawan kemiskinan duniawi yang selama ini membelenggunya.
“Sekarang
langkah jangka pendeknya, kemana kelak Bagus harus belajar ilmu keprajuritan
agar dapat menjadi seorang ksatria?
Haruskan magang ke Kalipucang? Apakah tidak terlalu jauh? Seharusnya
Kademangan Kejawar memang bisa mendirikan pusat pelatihan prajurit sendiri.
Tetapi dijamin tidak akan diijinkan Kanjeng Adipati Wirasaba, bukan?” Nyi
Demang Kejawar yang cerdik itu mulai merangsang
gagasa-gagasan baru pada diri Ki Demang.
“Ah, itu
gampang. Nanti aku hubungi Rekajaya. Dengar-dengar Raden Arya telah dipercaya
Adipati Pasirluhur membangun pusat pelatihan prajurit di Kendalisada. Itulah
sebabya Raden Arya kini banyak uangnya. Beberapa bulan sebelum meletus perang
Pasirluhur-Nusakambangan, konon Raden Arya dipercaya mendidik 200 orang penderes
penjadi prajurit sukarelawan ahli menggunakan sabit sebagai senjata perang.
Sebagian besar peserta pelatihan prajurit itu dari Kaliwedi. Namun ternyata
secara diam-diam, ada beberapa orang penduduk Kejawar yang ikut dalam latihan
keprajuritan di Kendalisada.”
“Aku malah
senang jika ada penduduk Kejawar yang pandai dalam ilmu keprajuritan.
Mudah-mudahan pusat pelatihan keprajuritan Kendalisada yang telah dirintis
Raden Arya, Raden Kamandaka, dan Putri Adipati Pasirluhur itu bisa terus
berkembang. Ke sanalah kelak Bagus akan aku titipkan. Bagaimana Istriku?
Setujukah?” kata Ki Demang memaparkan rencana memilihkan tempat pendidikan bagi
Bagus, apabila kelak Bagus sudah cukup umur untuk mulai belajar ilmu
keprajuritan. “Sebuah gagasan sangat masuk akal. Setuju sekali. Siapa dulu
Suamiku!” kata Nyi Demang gembira karena suaminya sudah mulai memikirkan jalan
baru bagi masa depan anaknya.
“Aku masih
punya satu lagi jurus simpanan untuk masa depan Bagus,” kata Ki Demang.
“Apa jurus
simpanan itu, Kakang?”
“Kamu
pernah dengar Empu Supa?”
“Belum,
siapa dia?”
“Empu Supa
adalah seorang empu ahli pembuat keris-keris sakti Kerajaan Majapahit. Salah
satu keris sakti karyanya adalah Kiai Sengkelat, keris pusaka Kerajaan
Majapahit. Pemilik terakhir keris buatan Empu Supa itu adalah Dyah
Supaprabhawa, Raja Majapahit terakhir. Ketika Sang Raja mangkat (1478 M),
Kerajaan Majapahit diserang Dyah Wijayakarana, penguasa Keling di Pare, Kediri,
yang merupakan keponakan Sang Raja yang mangkat itu. Akibatnya Kerajaan
Majapahit runtuh, dan Dyah Wijayakarana yang merupakan putra bungsu Raja Sri
Kertawijaya (1447- 1451 M), menobatkan dirinya menjadi Raja Kerajaan Keling
yang mengaku sebagai pewaris Kerajaan Majapahit. Aku tidak tahu apakah keris
Kiyai Sengkelat itu jatuh ke tangan Raja Keling? Raja Kediri sekarang, Dyah
Ranawijaya adalah putra bungsu Raja Keling, Dyah Wijayakarana. Dyah Ranawijaya
itulah yang memindahkan Kerajaan Keling ke Kediri (1386 M). Kemungkinan besar
Kiyai Sengkelat ada di tangan Dyah Ranawijaya,” kata Ki Demang Kejawar.
“Aduh,
pusing aku. Kakang ceriteranya muter-muter. Apa hubungannya Mpu Supa, Kakang,
dan masa depan Bagus? Ngapain ceritera
Sang Prabu Ranawijaya, Raja Kediri? Aku benci sama dia!”
“Benci? Apa
masalahnya?”
“Bukankah
Sang Prabu Ranawijaya yang akan memecat Kakang, malah mungkin akan memenggal
leher Kakang, jika Kakang dan aku nekad pergi ke Pakuan Pajajaran untuk
menghadiri resepsi dan ritual pernikahan Raden Arya? Sudah! Aku males kalau
Kakang masih nyebut-nyebut dia lagi!” kata Nyi Demang agak marah dan langsung
membalikkan badannya, memunggungi Ki Demang dan kembali memeluk Bagus yang
sedang lelap tidurnya.
Ki Demang
kelabakan juga ketika istrinya ngambek. Bisa-bisa lebih seminggu dirinya akan
dibiarkan saja. Karena itu, Ki Demang bisanya hanya sabar. Dia tahu cara
mengatasi istrinya jika sedang ngambek.
Cara itu hanyalah sabar dan berikan pujian pada istrinya.
“Aku pikir
betul juga kamu. Mudah-mudahan keris Kiyai Sengkelat karya Mpu Supa itu tidak
jatuh ke tangan Ranawijaya. Mpu Supa itu punya anak laki-laki namanya Mpu Sura.
Mpu Sura ini seorang ahli membuat sarung keris sakti. Dia seorang maranggi yang
punya banyak murid. Ayahku salah seorang murid Mpu Sura dan aku mewarisi ilmu
maranggi dari ayahku. Aku akan wariskan ilmuku itu pada Bagus. Dengan demikian
disamping Bagus kelak menguasai ilmu keprajuritan, juga punya ilmu membuat
sarung keris sakti. Tidak gampang, lho, membuat sarung keris sakti. Tidak
sembarang orang,” kata Ki Demang sambil berharap istrinya masih mau
mendengarkannya. Ternyata istrinya pelan-pelan membalikkan badannya lagi.
“Nah,
begitu. Kalau ceritera jangan mutar-mutar. Aku setuju banget. Itu baru gagasan
cemerlang. Kelak akan aku tambahkan sebuah nama di depan nama Bagus, Bagus
Mranggi Semu! Aku akan tirakat agar
Bagus jadi pemuda yang mumpuni dan bila Raden Arya kelak punya anak gadis, aku
berharap Raden Arya bersedia mengambil Bagus Mranggi Semu jadi menantunya.
Dengan demikian ikatan kekeluargaan Kejawar-Kalipucang, tidak akan putus,”
kata Nyi Demang yang kaya dengan
cita-cita itu.
“Hem,
memang luarbiasa gagasan itu. Aku setuju! Siapa dulu Istriku!” puji Ki Demang
pula, ”Tetapi kalau mau tirakat untuk Bagus jangan sering-sering dan beritahu
aku. Rugi aku, jika Istriku yang cantik sering-sering tirakat. Kapan aku
mau……” belum habis kata-kata Ki Demang, istrinya sudah memotong kata-katanya.
“Ya,
pastilah, minta ijin suami dulu kalau mau tirakat,” kata Nyi Demang langsung
memeluk dan mencium Ki Demang. Ki Demang pun tersenyum, ternyata kesabarannya
mendatangkan hasil juga. Nyi Demang memeluk dan mencium suaminya dengan mesra
sebagai ungkapan rasa senangnya. Tetapi ketika Ki Demang akan membalas
memeluknya, Nyi Demang menahan dada suaminya sambil berbisik, ”Kakang harus mematikan lampu teplok itu lebih dulu…,”
Ki Demang
Kejawar segera bangkit dengan senyum kemenangan. Permintaan istrinya adalah
isyarat agar perbincangan soal masa depan bagi anak buah hatinya itu, untuk
sementara sampai di situ dulu. Lampu teplok yang menempel pada tiang dinding
kamar tidurnya segera dimatikan. Pantulan cahaya bulan malam itu menerobos
masuk melalui sela-sela lubang angin dinding kamarnya, sehingga Ki Demang
secara samar-samar masih bisa melihat tubuh cantik istrinya yang tergolek
gelisah. Istrinya sudah tidak sabar menunggu. Malam itu menjadi malam yang
sangat indah bagi pasangan suami istri Ki Demang dan Nyi Demang Kejawar.
***
Hari berbahagia dan ditunggu-tunggu itu pun tiba. Adipati
Kandhadaha menyelenggarakan pesta besar-besaran perayaan pernikahan Sang Dewi dengan
Kamandaka. Pesta berlangsung tujuh hari tujuh malam. Semua kegiatan dipusatkan
di Pendapa Kadipaten Pasirluhur.
Aneka macam
pertunjukan dan tontonan menarik lainnya ditampilkan silih berganti untuk
menghibur rakyat. Di kiri kanan sepanjang jalan menuju kadipaten dimeriahkan dengan umbul-umbul
aneka macam warna. Di samping memasang umbul-umbul, rakyat yang tinggal di
pinggir jalan atas kesadarannya sendiri menghiasi pohon-pohon di sepanjang
jalan dengan meliliti batangnya menggunakan kain berwarna biru, kuning, dan
hijau sebagai lambangkan cinta, kemakmuran, dan kewibawaan.
Nyai
Kertisara di Kaliwedi pun tidak ketinggalan ikut menyelenggarakan pesta
menyambut pernikahan agung itu. Di sepanjang jalan menuju rumah Nyai Kertisara
juga dipasang umbul-umbul. Para penyadap ikut melampiaskan kegembiraannya
dengan meliliti batang pohon kelapa yang disewa Nyai Kertisara di sepanjang
Sungai Ciserayu. Tentu saja akibatnya di sepanjang Sungai Ciserayu dari barat
ke timur, tampak meriah, karena hampir setiap pohon kelapa yang ada, batangnya
dihiasi dengan lilitan kain berwarna biru, kuning, dan hijau.
Usai upacara
ritual pernikahan Sang Dewi Ciptarasa dengan Kamandaka, dilanjutkan dengan
upacara penobatan Kamandaka dan Sang Dewi. Keduanya dinobatkan sebagai Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu
Adipati Kadipaten Pasirluhur menggantikan Adipati Kandhadaha yang menyatakan
lengser dari jabatannya. Kanjeng Adipati Kandhadaha memenuhi janjinya kepada
Kanjeng Ayu Adipati. Sesuai tradisi, sejak lengser dari jabatannya itu,
penduduk akan menyebut Kanjeng Adipati Kandhadaha sebagai Kanjeng Adipati
Sepuh. Demikian pula istrinya, akan dipanggil dengan sebutan Kanjeng Ayu
Adipati Sepuh atau Kanjeng Ayu Sepuh saja.
Tiap hari
tamu undangan yang ingin mengucapkan selamat, menyemut di halaman Pendapa
Kadipaten. Para tamu undangan datang dari segala penjuru. Para adipati yang
hadir bukan hanya dari adipati-adipati di Lembah Ciserayu dan Citanduy saja.
Tetapi mereka juga datang dari kadipaten-kadipaten di wilayah Kerajaan
Pajajaran lainnya. Sang Raja Sri Baginda Prabu Siliwangi berhalangan hadir,
karena sakit. Sedang putra mahkota Banyakbelabur juga tidak bisa hadir. Dia sendiri
juga sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan seorang putri dari daerah Banten.
Sekalipun begitu, Sang Raja Sri Baginda Siliwangi mengirimkan kemenakannya,
seorang pendeta muda alumni Padepokan Megamendung, Bujanggamanik Amenglayaran.
Dia pernah tinggal bersama-sama Silihwarna saat berguru di Padepokan
Megamendung. Dia mendapat julukan Pendeta Muda.
“Luar
biasa! Sebuah pernikahan agung! Selamat Dinda Banyakcatra! Selamat pula Dinda Dewi
Kanjeng Ayu Adipati. Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia selalu. Dan
cepat mendapatkan keturunan!” kata Pendeta Muda yang kepalanya tampak plontos,
sekalipun rambut-rambut tipis mulai bermunculan di sana-sini. Dia, mengenakan
jubah kuning, selempang pita hijau. Tentu saja tak lupa dibawanya kalung biji
pendoa. Dipeluknya dengan hangat mempelai pria yang masih adik sepupunya itu.
Pendeta Muda itu datang pada hari ke-enam pesta.
“Terima
kasih, Kanda Amenglayaran. Eh, Bapa Pendeta,” kata Kamandaka sambil berkelakar
setelah keduanya saling berpelukan.
“Ah, Dinda
Banyakcatra. Masih saja suka berkelakar. Panggil nama saja seperti dulu waktu
kita masih sering bertemu di Pakuan Pajajaran,” kata Pendeta Muda itu.
Dia adalah
putra kakak ibunya Kamandaka dan Silihwarna. Pendeta Muda itu sebenarnya sedang disiapkan oleh Sri Baginda Prabu
Siliwangi menjadi Pendeta Kerajaan Pajajaran. Tetapi dia sendiri telah bertekad
untuk pergi meninggalkan Pajajaran, ingin menjadi pengembara ke arah timur. Tindakan
itu dilakukan karena Bujanggamanik Amenglayaran ingin menghindari cinta seorang
putri sepupunya yang cantik jelita, Putri Ayunglarang Sakean.
“Dinda
Silihwarna, sini!,” Kamandaka memanggil adiknya yang sedang berdiri agak jauh
di antara tamu yang hadir. Dia sedang asyik berbincang-bincang dengan
Mayangsari. Melihat lambaian tangan Kamandaka, Silihwarna dan kekasihnya datang
mendekat.
“Kanda
Amenglayaran, sudah kenal dengan Dinda Mayangsari? Ini calon istri Dinda
Silihwarna,” Kamandaka memperkenalkan Mayangsari.
“Sudah
berkenalan tadi, Kanda,” kata Mayangsari sambil tersenyum. Dia berdiri di
samping Silihwarna.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar