“Kanda Amenglayaran,
aku pernah membayangkan Dinda Silihwarna pulang dari Megamendung sudah jadi
Pendeta muda seperti Kanda. Eh, tahunya malah menyusul ke Pasirluhur,” kata
Kamandaka yang selalu ingin tertawa bila ingat kejadian sebelum bertemu dengan
adik kandung satu-satunya itu. Dulu Kamandaka sering membayangkan adiknya itu
kepalanya plontos, mengenakan jubah kuning, sambil berjalan kemana-mana membawa
kalung biji pendoa.
”Ah, aku
sudah menduga ketika dulu di Padepokan Megamendung, Dinda Silihwarna bakal
gagal. Dulu sering menangis sendiri kalau tengah malam. Katanya ingat…..” kata
Pendeta Muda yang sempat menjadi senior Silihwarna di Megamendung.
“Pasti
ingat Ibundaku!” kata Kamandaka memotong kalimat Pendeta Muda yang belum
selesai diucapkan.
Kamandaka khawatir
Pendeta Muda itu akan menyebut nama adik tirinya, Ratna Pamekas sebagai
penyebab kegagalan Silihwarna menjadi seorang brahmacharin. Apa lagi Kamandaka
melihat Silihwarna mengedip-ngedipkan matanya kepadanya. Dia memberi kode agar
Pendeta Muda itu tidak membicarakan masa lalunya di Megamendung di depan
Mayangsari maupun Sang Dewi.
“Beruntung
dia menyusul ke Pasirluhur, Kanda Amenglayaran,” kata Kamandaka melanjutkan. ”Kalau
tidak, mana mungkin akan dapat calon istri secantik Dinda Mayangsari?” Mayangsari
yang dipuji Kamandaka, tersenyum malu-malu. Silihwarna alias Banyakngampar
tersenyum bangga.
“Hayo,
Kanda tak boleh menggoda seorang brahmacharin,” kata Sang Dewi yang berdiri di
samping Kamandaka, mengingatkan suaminya.
Tentu saja
kata-kata Sang Dewi itu membuat Pendeta Muda merah wajahnya. Karena lingkungan
kesehariannya yang selalu sepi dari pergaulan dengan wanita, mengakibatkan
Pendeta Muda itu selalu canggung dan kikuk bila berhadap-hadapan dengan wanita.
Apalagi dengan wanita secantik Mayangsari dan Sang Dewi.
“Ah, tidak
apa-apa. Diajeng belum tahu, ya? Kanda
Amenglayaran sudah sering digoda Maneka
Dewi. Dan lulus. Buktinya sudah jadi Pendeta muda. Dulu di Pakuan
Pajajaran, ada juga seorang gadis cantik yang jatuh cinta pada Kanda
Amenglayaran. Tetapi Kanda Amenglayaran menolaknya. Padahal Putri Ayunglarang
Sakean, cantik lho,” kata Kamandaka kembali menggoda Pendeta Muda yang baru
tiba itu. Pendeta Muda yang digoda itu tambah merah wajahnya. Tetapi dia cepat bisa menguasai dirinya, lalu tersenyum.
“Bukannya
Dinda Ayunglarang Sakean yang jatuh cinta pada Dinda Banyakcatra?” Pendeta Muda
itu mulai melakukan serangan balik yang membuat Sang Dewi berdebar-debar dan
langsung berkata.
“Oh, masih
ada gadis yang menunggu Kanda Banyakcatra di Pajajaran?” tangan Sang Dewi
langsung mencubit pinggang Kamandaka.
“Ah,
Diajeng jangan percaya. Faktanya Putri Ayunglarang Sakean mengirim tempat sirih
lengkap dengan isinya, minyak wangi dari negeri China, baju-baju yang bagus,
serta sebilah keris, lewat Emban Jompong Larang langsung kepada Kanda
Amenglayaran. Bukan kepada aku!” kata Kamandaka sambil menahan sakit di
pinggangnya karena dicubit istrinya.
“Lho, Dinda
Banyakcatra tahu?” tanya Amenglayaran.
“Ya, jelas
tahu. Bukankah Dinda Ratna Pamekas yang disuruh Kanda supaya mengembalikan
barang-barang kiriman Putri Ayunglarang Sakean? Eh, Kanda sudah ketemu Dinda
Ratna Pamekas belum ?” tanya Kamandaka. “Dinda Silihwarna, tolong panggil Dimas
Arya Baribin dengan Dinda Ratna Pamekas. Katakan ada tamu dari Pakuan
Pajajaran!”
“Lho, Dinda
Ratna Pamekas ada di sini?” tanya Pendeta Muda itu terkejut. Dia sama sekali
tidak menduga Ratna Pamekas ikut kakak-kakak tirinya ke Pasirluhur.
”Aku
mengira Dinda Ratna Pamekas masih
dipingit di Taman Kaputren Pakuan Pajajaran,” kata Pendeta Muda.
“Ya, dia
sudah punya calon suami, Arya Baribin, ksatria trah Majapahit,” kata Kamandaka.
“Calon
suami Dinda Ratna Pamekas dari trah
Majapahit? Wah, kebetulan sekali,” kata Pendeta Muda itu. “Aku mendapat amanat
dari Sri Baginda. Selain mewakili Sri Baginda menghadiri pesta pernikahan
Dinda, aku supaya melanjutkan perjalanan ke bekas Ibu Kota Majapahit di
Trowulan, kemudian agar ke Kediri dan dilanjutkan ke Demak.”
Pendeta
Muda Amenglayaran itu pun berceritera. Dia mendapat tugas dari Sang Raja Sri
Baginda Prabu Siliwangi. Selain ditugaskan menghadiri pernikahan agung Sang
Dewi dengan Kamandaka, dia juga ditugaskan untuk melakukan muhibah sebagai duta
Sang Raja mengunjungi kerajaan-kerajaan yang baru muncul pasca runtuhnya
Kerajaan Majapahit, yakni Kerajaan Hindu Kediri dan Kerajaan Islam Demak. Hanya
soal waktu kapan mengunjungi kerajaan-kerajaan itu, Sri Baginda menyerahkan sepenuhnya
kepada Pendeta Muda.
“Sultan
Demak belum lama ini mengirim surat
kepada Sri Baginda Prabu Siliwangi mengajak memeluk agama Islam. Sultan Demak juga
mengundang Sri Baginda untuk mengunjungi Demak.”
“Bagaimana
sikap Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi?”
“Sikapnya
positip. Sri Baginda mengajak saling toleransi, hormat menghormati, dan perlu
dijajagi kemungkinan bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan Islam, mengingat di
kawasan Asia Tenggara sudah bermunculan kerajaan Islam yang kuat. Misalnya,
Kerajaan Islam Malaka. Sekalipun resminya Samudra Pasai tunduk kepada Majapahit ( sejak tahun 1357 M)
nyatanya Pasai masih cukup kuat sebagai salah satu pusat Islam. Kini di Jawa
juga sudah muncul Kerajaan Islam Demak yang cukup kuat juga,” kata Pendeta Muda itu.
“Sikap
Dinda Banyakbelabur selaku Putra Mahkota?” tanya Kamandaka.
“Ya, itulah
yang menyebabkan Sri Baginda sakit. Putra Mahkota memperlihatkan sikap bermusuhan
dengan Kerajaan Demak. Sepertinya dia sedang menjalin komunikasi dengan Kerajaan
Kediri untuk memaklumkan perang melawan Demak. Antara Sri Baginda dan Putra
Mahkota terdapat perbedaan sikap yang tajam.”
“Semoga
tugas Kanda Amenglayaran sebagai duta perdamaian di Pulau Jawa kelak berhasil,”
kata Kamandaka.
Tiba-tiba
Arya Baribin dengan Ratna Pamekas datang. Pendeta Muda itu menyambut hangat
Arya Baribin. Lebih-lebih setelah dia mengetahui Ksatria Majapahit itu adalah
calon suami Ratna Pamekas.
“Kanda
tidak mengira Dinda Ratna Pamekas ada di
Pasirluhur,” kata Pendeta Muda itu kepada Ratna Pamekas yang langsung saling
berpelukan. Ratna Pamekas sudah lama tidak berjumpa dengan Amenglayaran. Dulu
waktu di Pakuan Pajajaran, Amenglayaran
sering kali bertemu Ratna Pamekas, bila
kebetulan dia mampir ke Keraton Pajajaran.
“Boleh lho,
memeluk seorang calon brahmacharin, tidak apa-apa, Dinda,” kata Kamandaka
menggoda Ratna Pamekas.
“Lho, Kanda
Amenglayaran ini bukan hanya seorang calon brahmacharin muda. Dia juga
diharapkan bisa jadi Pendeta Muda Kerajaan Pakuan Pajajaran kepercayaan Ayahanda. Dulu pun sering aku
peluk waktu masih di Pajajaran,” kata Ratna Pamekas tidak kalah tangkas, sambil
memuji Pendeta Muda itu. Pujian itu membuat Pendeta Muda itu merasa nyaman dan
senang. Lebih-lebih karena Ratna Pamekas tidak menyinggung soal gadis cantik
sepupunya yang jatuh cinta kepadanya, Putri Ayunglarang Sakean.
“Dinda,
kenapa Dimas Arya Baribin tidak dipeluk? Nanti cemburu lho?” kata Sang Dewi
ikut-ikutan menggoda Arya Baribin. Kali ini ganti Arya Baribin yang merah
wajahnya. Untunglah Ratna Pamekas
langsung mencium Arya Baribin, yang membuat Arya Baribin malu tersipu-sipu.
Tetapi sesungguhnya dirinya merasa senang. Benih-benih
cinta Arya Baribin kepada Ratna Pamekas pelan-pelan memang mulai tumbuh dengan
subur. Bahkan Arya Baribin diam-diam menambahkan kata Kirana pada nama calon
istrinya yang lincah dan cantik jelita itu. Rupanya putri Pajajaran itu juga
senang dengan tambahan nama baru. Denga demikian namanya lengkapnya adalah Dyah
Ayu Ratna Kirana Pamekas.
“Dimas Arya
Baribin, tadi Kanda Amenglayaran berkata, kapan-kapan ingin banyak berdiskusi
dengan Dimas tentang agama Islam,” kata Kamandaka. “Dia memerlukan sedikit
bekal pengetahuan agama Islam. Karena dia mendapat tugas dari Ayahanda Sri
Baginda Prabu Siliwangi untuk mengunjungi Demak, menemui Sultan Demak yang
sempat kirim surat ke Pajajaran.”
Arya
Baribin menyambut gembira keinginan Pendeta Muda itu. Arya Baribin sendiri
memiliki minat cukup tinggi untuk mempelajari sejumlah agama sehingga dia
mendapat julukan Pandita Putra. Arya Baribin juga sudah beberapa kali melakukan diskusi dan
pertemuan dengan seorang ulama agama Islam, Syekh Maghribi. Syekh ini
adalah seorang ulama asal Pasai yang
tinggal di Muarajati. Syekh Maghribi beberapa kali mengunjungi Kademangan
Kejawar dalam rangka mengenalkan ajaran agama Islam ke wilayah Lembah Ciserayu.
Syekh Maghribi juga mendirikan sebuah pesantren di Banjarcahyana, lereng timur
Gunung Agung.
“Kanda
Amenglayaran, sudah ketemu Kanjeng Rama Adipati?” tanya Kamandaka. Pendeta Muda
itu menggeleng. “Dinda Silihwarna, antarkan Kanda Amenglayaran menemui Kanjeng
Rama Adipati. Disana ada Dinda Wirapati, Dinda Sekarmenur, dan kedua adiknya,
Sekarmelati dan Sekarcempaka,” kata Kamandaka.
Silihwarna
dan Amenglayaran segera meninggalkan kedua mempelai untuk menemui Kanjeng
Adipati Kandhadaha di Dalem Gede. Arya Baribin, Mayangsari, dan Ratna Pamekas
ikut-ikutan meninggalkan kedua mempelai yang masih saja menerima ucapan selamat
dari para tamu yang datang sekalipun tidak sepadat hari-hari sebelumnya.
“Dinda
Mayangsari dan Dinda Ratna Pamekas, di sini saja. Temani aku!” kata Sang Dewi mencegah kedua adiknya
itu pergi meninggalkannya. Mayangsari dan Ratna Pamekas tentu saja tidak berani
menolak perintah Sang Dewi.
“Dinda
Silihwarna, tolong Dinda Sekarmenur dan kedua adiknya panggil ke sini, untuk
menemani aku juga,” pesan Sang Dewi.
“Dinda
Silihwarna, tidak boleh menolak perintah Kanjeng Ayu Adipati, ya!” pesan Kamandaka seperti biasa berkata sambil
berkelakar.
“Baik
Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati,” jawab Silihwarna sambil tertawa. Dia
tidak mau kalah ganti menggoda kakaknya. Begitu Silihwarna pergi, Sang Dewi
kembali mencubit pinggang Kamandaka.
Sang Dewi tidak suka dipanggil Kanjeng Ayu Adipati oleh adik-adiknya. Melihat
Kamandaka kesakitan, Mayangsari dan Ratna Pamekas tertawa berkepanjangan.
“Kalau
tidak sedang ada tamu, sudah aku balas,” kata Kamandaka. Seperti biasa, Sang
Dewi langsung mengusap-usap pinggang suaminya yang baru dicubitnya itu.
“Kasihan juga
Kanda Amenglayaran, seorang pendeta muda yang kesepian,” kata Kamandaka
membicarakan Pendeta Muda yang masih kakak sepupu lewat ibunya itu.
“Kenapa dia
menolak cinta putri saudaranya yang cantik?” tanya Sang Dewi.
“Aku
sendiri tidak pernah tahu apa sebab Kanda Amenglayaran menolak cinta adik
sepupunya. Padahal adik sepupu boleh dinikah kakak sepupu. Rupanya Kanda
Amenglayaran lebih suka memilih jadi seorang brahmacharin. Konon, kalimat
penolakan kepada adik sepupunya itu sangat menyakitkan hati.”
“Bagaimana
bunyi kalimatnya?” tanya Sang Dewi.
“Aku pun
diberitahu Dinda Ratna Pamekas. Dinda Ratna, bagaimana bunyi surat yang berujung pada kematian Ayunda Putri
Ayunglarang Sakean?” Kamandaka berpaling pada Ratna Pamekas.
“Kanda
Amenglayaran menulis, bahwa cita-citanya dalam hidup ini adalah dia ingin
berkelana ke Jawa Timur untuk mencari tempat dimana dia akan dikuburkan, untuk
mencari laut tempat dimana dia bisa hanyut, untuk mencari suatu tempat yang
bisa menjemput kematiannya, suatu tempat untuk merebahkan tubuhnya
selama-lamanya.” kata Ratna Pamekas yang dulu dititipi surat oleh Amenglayaran.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar