Sang Raja Agung Sri Baginda Prabu Siliwangi duduk tenang di atas singgasananya yang berkilap-kilap memantulkan cahaya berwarna kunimg gemilang, seakan ikut menerangi seluruh balai irung.
Hari itu memang hari pertemuan agung. Para punggawa Kerajaan Pajajaran hadir lengkap duduk dengan taksim di depan Sang Raja. Mereka ada yang berderet duduk di barisan sebelah kanan Sri Baginda, ada pula yang berderet di sebelah kirinya. Semua menghadap ke arah Sri Baginda yang duduk di atas singgasana Kerajaan Pajajaran yang megah itu. Mereka
adalah para adipati, mantri, lurah dan para hulubalang. Sedang berderet
di tengah menghadap Sri Baginda adalah Ki Patih yang duduk didampingi
para putra dan putri raja.
Tidak
seperti biasanya, wajah Sri Baginda saat itu nampak muram. Padahal
biasanya, setiap menghadiri pertemuan agung seperti itu, wajah Sri
Baginda selalu tampak ceria, matanya bersinar-sinar, lebih-lebih bila
mendengar laporan dari Ki Patih tentang kemajuan-kemajuan yang telah
dicapai Kerajaan Pajajaran.
Apakah gerangan yang membuat Sri Baginda pada hari itu nampak gelisah dan wajahnya seperti kehilangan cahaya kebesarannya?
Sejak
permaisuri tercintanya meninggal, memang Sri Baginda tampak selalu
murung. Dia sangat mencemaskan masa depan Kerajaan Pajajaran yang dengan
susah payah telah dibangunnya menjadi kerajaan besar. Dia akhir-akhir
ini sering teringat perjuangan ayahandanya Sang Prabu Rahyang Dewa
Niskala yang telah mengambil keputusan berani, memindahkan pusat
Kerajaan Galuh yang berpusat di Kawali ke Pakuan. Kerajaan baru itu
diberi nama Pajajaran.
Peristiwa
itu terjadi pada tahun 1355 Syaka yang bertepatan dengan tahun 1433 M.
Masih terngiang-ngiang di telinga Sri Baginda ketika ayahandanya Sang
Prabu Rahyang Dewa Niskala berpesan kepadanya.
“Wahai
Putraku, engkaulah putra mahkota calon penggantiku. Hanya engkau
satu-satunya harapanku. Aku telah mengambil keputusan yang sulit dengan
memindahkan pusat Kerajaan Sunda yang semula berpusat di Kawali ke
Pakuan. Engkau tahu anakku, kerajaan leluhurmu, Kerajaan Galuh yang berpusat di Kawali itu adalah kerajaan yang besar dan termashur?
“Saat
itu luas wilayah Kerajaan Galuh hampir separuh Pulau Jawa. Ke arah
timur melintasi Sungai Citanduy dan Ciserayu sampai Bhagalin. Itulah
sungai yang merupakan batas alamiah dengan Kerajaan Jawa yang ada di
timur Sungai Bhagalin.” kata ayah Sri Baginda, Rahyang Dewa Niskala.
“Ananda mengetahui nama Kakeknda Rahyang Niskala Wastu Kencana, karena Ayahanda bercerita kepada ananda,” jawab Sri Baginda Prabu Siliwangi saat itu.
“Ya, betul. Sebenarnya mendiang kakekmu itulah yang memberi amanat kepadaku, agar aku memindahkan pusat Kerajaan Galuh ke Pakuan.
Sebenarnya gagasan untuk memindahkan pusat kerajaan, akan dilaksanakan begitu kakekmu naik singgasana kerajaan. Tetapi Mangkubumi Buni Sora yang menjabat sebagai patih keberatan. Karena itu kakekmu menunda keinginan memindahkan pusat Kerajaan Galuh ke Pakuan. Tahukah kamu apa alasan Mangkubumi Buni Sora keberatan pusat kerajaan dipindahkan?“
Sri
Baginda masih ingat, saat itu dia hanya menggelengkan kepalanya
dihadapan ayahandanya dan tak mengucapkan sepatah kata pun. Maka
ayahandanya melanjutkan ceriteranya.
Rahyang
Niskala Wastu Kencana, kakek Sri Baginda Raja Prabu Siliwangi adalah
putra bungsu Sang Maharaja, Raja Galuh yang tewas dalam palagan Bubat,
sebuah tanah lapang yang berada di sisi utara alun-alun Majapahit.
Peristiwa yang menyedihkan itu terjadi pada tahun 1279 Syaka yang
bertepatan dengan tahun 1357 M.
Sang Maharaja memiliki putri yang sangat cantik jelita Dyah Ayu Pitaloka. Kecantikan Putri Galuh itu memang
menyebar ke mana-mana bak harumnya bunga mawar yang memikat banyak
kumbang. Ya, Dyah Ayu Pitaloka memang sekuntum mawar Galuh yang indah
dan mempesona para ksatria dan putra raja.
Kecantikan
Mawar Galuh sampai juga ke telinga Raja Muda Hayam Wuruk. Sang Raja
Muda itu belum mempunyai permaisuri. Maka dikirimlah sejumlah pelukis ke
Kerajaan Galuh untuk melukis. Begitu melihat lukisan Dyah Ayu Pitaloka,
Sang Raja langsung jatuh cinta. Sejumlah utusan dari istana Majapahit
pun tiba di Kerajaan Galuh untuk menyampaikan lamaran. Sang Maharaja
Linggabuana, Raja Galuh itu bukan hanya menerima lamaran Hayam Wuruk.
Raja Galuh itu bahkan bersedia mengantarkan putri tercintanya ke
Majapahit, asal kelak dijemput sendiri oleh calon menantunya itu.
Sayang
sekali, setelah menunggu beberapa lama di lapangan Bubat, Patih Gajah
Mada campur tangan dengan menghalang-halangi prosesi penjemputan calon
mempelai wanita.
Sang Maharaja
dengan pengiringnya, menolak kehendak Gajah Mada yang meminta agar Raja
Sunda itu menyerahkan calon mempelai wanita sebagai tanda takluk Galuh kepada Majapahit. Tentu
saja Sang Maharaja bersama pengiringnya murka, karena permintaan Gajah
Mada itu, bukan hanya menyalahi adat yang berlaku. Tetapi Gajah Mada
juga dianggap telah menghina Kerajaan Galuh.
Dyah Ayu Pitaloka itu diantarkan ke Majapahit karena telah dipinang oleh Hayam Wuruk. Bukan karena Galuh ditaklukan
Majapahit lewat peperangan. Kesepakatan tidak tercapai karena utusan
Sang Maharaja gagal menemui langsung Hayam Wuruk. Mereka
dihalang-halangi oleh pasukan pengawal Majapahit yang berada di bawah
komando Gajah Mada.
Perang pun
tak terhindarkan, Sang Maharaja dan pengiringnya memilih gugur dalam
peperangan demi membela harga diri dan kehormatan Kerajaan Galuh. Dari
pada menyerahkan diri, lebih baik melakukan perlawanan terhormat.
Pasukan
Gajah Mada segera bertindak. Lapangan Bubat dikepung. Perang pun pecah.
Pasukan pengawal Sang Maharaja berjuang dengan gagah berani melawan
pasukan pengepung dan penyerang yang jumlahnya berlipat-lipat. Akhirnya
setelah terjadi peperangan sejak pagi, menjelang tengah hari darah merah
sudah banyak berceceran membasahi lapangan Bubat. Semua prajurit Sunda
yang berperang dengan gagah berani itu, satu demi satu roboh bersimbah
darah, tewas di ujung tombak.
Ketika
sejumlah tentara Majapahit memasuki tenda Sang Maharaja, betapa
terkejutnya mereka. Sang Maharaja beserta seluruh keluarganya ditemukan
dalam keadaan telah tewas, tidak satu orang pun yang selamat. Sebuah
keris menancap di dada Sang Maharaja.
Rupanya
Sang Maharaja beserta seluruh keluarganya memilih menusukkan keris ke
dadanya masing-masing dari pada menyerah. Dyah Ayu Pitaloka yang cantik
jelita itu pun melakukan hal yang sama, tewas ditangannya sendiri dengan
menggunakan keris cundrik.
Lewat
tengah hari, barulah Hayam Wuruk menerima laporan peristiwa tragis yang
memilukan itu. Sang Raja segera bergegas menuju kemah Raja Galuh.
Betapa terkejutnya ketika Hayam Wuruk menyaksikan keadaan yang sangat
menyedihkan itu. Begitu Hayam Wuruk melihat tubuh Dyah Ayu Pitaloka yang
tengah tergolek tak bernyawa dengan berlumuran darah, Hayam Wuruk yang
usianya saat itu masih muda remaja bergegas mendekati dan memeluk gadis pujaan hatinya itu.
Tak
terasa air matanya mengalir membasahi wajah Sang Raja Muda. Satu demi
satu butiran-butiran air mata yang bening bercahaya bagaikan
butiran-butiran embun di pagi hari itu, jatuh membasahi pipi Dyah Ayu
Pitaloka yang berada dalam dekapannya.
Pelan
pelan bibir Sang Raja Muda mendekati bibir gadis cantik cinta
pertamanya itu. Kedua bibir itu pun lama saling bertautan, sampai Ibu
Suri Raja datang dan membimbing putra tercintanya itu melepaskan Dyah
Ayu Pitaloka yang sudah tidak bernyawa lagi. Memang itulah peristiwa
pertama kali Sang Raja mencium bibir seorang gadis. Seorang gadis yang
dicintainya dengan sepenuh hati.
Hayam
Wuruk merasa sangat sedih dan menyesalkan tragedi Bubat yang terlambat
diketahuinya. Gajah Mada segera dipanggil menghadap. Akhirnya atas
kelalaian dan kecerobohannya, Gajah Mada dicopot sementara dari
jabatannya. Selama empat tahun dia tidak diperkenankan menghadap dan
menginjakkan kakinya di Istana Raja.
Hayam Wuruk segera memerintahkan agar seluruh jasad
prajurit Sunda yang tewas itu, dirawat secara baik. Dia juga
memerintahkan para pendeta menyelenggarakan upacara kremasi pembakaran
mayat. Bahkan dia sendirilah yang mengawali acara, dengan lebih dahulu
melakukan ritual penyempurnaan terhadap jasad Dyah Ayu Pitaloka dan jasad Sang Maharaja.
Langkah
terakhir, Hayam Wuruk secepatnya mengirimkan utusan ke Galuh untuk
menyerahkan abu kremasi Sang Maharaja beserta keluarganya. Majapahit
mohon maaf, penyesalan serta ucapan belasungkawa yang sedalam-dalamnya
atas musibah yang tak pernah dibayangkannya itu.
“Kakek
Buyutmu yang gugur di medan Bubat itu, mendapat nama harum, karena
gugur membela kehormatan Kerajaan Galuh,” kata ayahnya, Sang Raja
Rahyang Dewa Niskala, “Itu sebabnya dia mendapat gelar Sang Maharaja
Wanggi. Artinya raja yang harum namanya, karena membela kehormatan
Kerajaan Galuh. Lebih baik mati berkalang tanah dari pada menyerah.
Kakekmu Rahyang Niskala Wastu Kencana, waktu itu masih kanak-kanak,
tidak ikut serta ke Bubat. Rupanya Hyang Widhi memang hendak
menyelamatkan kakekmu sebagai satu-satunya pewaris tahta Kerajaan Galuh
yang masih hidup. Karena saat itu kakekmu belum cukup usia, maka roda
pemerintahan sementara dijalankan oleh Mahapatih Buni Sora.”
Raja
Wanggi? Wanggi artinya harum semerbak. Wanggi sama saja dengan Wangi.
Sang Maharaja adalah seorang raja yang harum namanya, karena Sang Raja
memilih melaksanakan darma seorang ksatria. Mati di medan peperangan,
lebih terhormat dari pada mati karena menderita sakit di atas tempat
tidur. Ya, Sang Maharaja, itulah dia yang mendapat nama harum karena
berani mempertahankan kedaulatan dan harga diri Kerajaan Galuh.
Kerajaan
Galuh adalah kerajaan besar yang setara dengan Kediri, Singosari,
bahkan Majapahit. Kerajaan Galuh juga tak pernah ditaklukan oleh
kerajaan besar manapun di Jawa.
Demikian
pikiran yang berkecamuk di benak Sri Baginda, saat dia berbincang
bincang dengan ayahnya, Sang Raja Rahyang Dewa Niskala, Pendiri Kerajaan
Pajajaran yang berpusat di Pakuan.
Ayah Sri Baginda Prabu Siliwangi melanjutkan ceriteranya bahwa tidak lama setelah Rahyang
Niskala Wastu Kencana naik tahta Kerajaan Galuh yang sebelumnya dijabat
oleh Maha Patih Buni Sora, dia bermimpi. Dalam mimpinya itu mendiang
ayahnya, Sang Maharaja, berpesan agar pusat kerajaan dipindahkan ke arah
matahari terbenam jika Kerajaan Galuh ingin tetap mempertahankan
kejayaannya dan kebesarannya. Ketika hal itu disampaikan kepada Buni
Sora, ternyata Buni Sora keberatan.
“Matahari
terbenam itu perlambang jelek Ananda Raja. Kerajaan Sunda pasti akan
surut, jika dipindahkan ke barat, seperti juga surutnya matahari yang
akan terbenam. Membangun pusat kerajaan baru tidaklah mudah. Kraton
Galuh masih megah dan utuh. Tidak ada musuh yang pernah berhasil
menduduki Kraton Galuh. Kraton Galuh juga belum pernah dimakan api. Jadi
buat apa dipindahkan Ananda Raja?” Patih Buni Sora memberikan
pertimbangan sehubungan dengan mimpi yang dialami Raja Rahyang Niskala
Wastu Kencana yang baru beberapa hari dinobatkan sebagai Raja Galuh.
“Kalau
toh Kerajaan harus dipindahkan, menurut tuntunan kitab-kitab suci agama
kita, hendaklah pusat kerajaan itu dipindahkan ke arah matahari terbit.
Itu berarti dipindahkan ke arah timur,” ujar Buni Sora.
“Paman, bukankah matahari yang terbenam itu akan terbit lagi? Mundur
selangkah tetapi maju sepuluh langkah, Paman Patih?” jawab Raja Niskala
Wastu Kencana. Sang Raja mencoba membela kebenaran mimpinya.
Dia
memberi contoh bahwa dahulu kala ada Kerajaan Sunda Galuh Purba yang
berdiri di lereng selatan Gunung Agung, di Lembah Ciserayu yang
subur.Tetapi Karena Kerajaan Galuh Purba itu terus menerus menerima ancaman dan gangguan dari Kerajaan Kalingga yang ada di sebelah timur dan utara Pegunungan
Dieng, Kerajaan Galuh Purba akhirnya pindah ke barat, menyatukan diri
dengan Kerajaan Sunda yang ada disekitar hulu Sungai Cimanuk, Cimuntur
dan Citanduy.Mereka
kemudian bersatu dan bersama-sama membangun
Kerajaan Galuh Kawali yang mantap, kuat, dan makmur. Kemudian Kerajaan Galuh Kawali melakukan
ekspansi ke timur dan berhasil mendapatkan kembali wilayah-wilayah di Lembah
Ciserayu yang sempat lepas. Bahkan di lereng Gunung Agung kembali dapat didirikan
Kadipaten Pasir,
tidak jauh dari lokasi Kerajaan Galuh Purba sebelum pindah.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar