Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 07 November 2016

Novel : Melati Kadipaten Pasirluhur (01)




Sang Raja Agung Sri Baginda Prabu Siliwangi duduk tenang di atas singgasananya yang berkilap-kilap memantulkan cahaya  berwarna kunimg gemilang, seakan ikut menerangi seluruh balai irung.
 
Hari itu memang hari pertemuan agung. Para punggawa Kerajaan Pajajaran hadir  lengkap duduk dengan taksim  di depan Sang Raja. Mereka ada yang berderet duduk di barisan sebelah  kanan  Sri Baginda, ada pula yang berderet di sebelah   kirinya. Semua menghadap ke arah Sri Baginda yang duduk di atas singgasana Kerajaan Pajajaran yang megah itu.  Mereka adalah para adipati, mantri, lurah dan para hulubalang. Sedang berderet di tengah menghadap Sri Baginda adalah Ki Patih yang duduk didampingi para putra dan putri raja.
 
Tidak seperti biasanya, wajah Sri Baginda saat itu nampak muram. Padahal biasanya, setiap menghadiri pertemuan agung seperti itu, wajah Sri Baginda selalu tampak ceria, matanya bersinar-sinar, lebih-lebih bila mendengar laporan dari Ki Patih tentang kemajuan-kemajuan yang telah dicapai Kerajaan Pajajaran.
 
Apakah gerangan yang membuat Sri Baginda pada hari itu nampak gelisah dan wajahnya seperti kehilangan cahaya kebesarannya?

 Sejak permaisuri tercintanya meninggal, memang Sri Baginda tampak selalu murung. Dia sangat mencemaskan masa depan Kerajaan Pajajaran yang dengan susah payah telah dibangunnya menjadi kerajaan besar. Dia akhir-akhir ini sering teringat perjuangan ayahandanya Sang Prabu Rahyang Dewa Niskala yang telah mengambil keputusan berani, memindahkan pusat Kerajaan Galuh yang berpusat di Kawali ke Pakuan. Kerajaan baru itu diberi nama Pajajaran.
 
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1355 Syaka yang bertepatan dengan tahun 1433 M. Masih terngiang-ngiang di telinga Sri Baginda ketika ayahandanya Sang Prabu Rahyang Dewa Niskala berpesan kepadanya.
 
“Wahai Putraku, engkaulah putra mahkota calon penggantiku. Hanya engkau satu-satunya harapanku. Aku telah mengambil keputusan yang sulit dengan memindahkan pusat Kerajaan Sunda yang semula berpusat di Kawali ke Pakuan. Engkau tahu anakku, kerajaan leluhurmu, Kerajaan Galuh yang berpusat di Kawali itu adalah kerajaan yang besar dan termashur?
 
“Saat itu luas wilayah Kerajaan Galuh hampir separuh Pulau Jawa. Ke arah timur melintasi Sungai Citanduy dan Ciserayu sampai Bhagalin. Itulah sungai yang merupakan batas alamiah dengan Kerajaan Jawa yang ada di timur Sungai Bhagalin.” kata ayah Sri Baginda, Rahyang Dewa Niskala.

 “Ananda mengetahui nama Kakeknda Rahyang Niskala Wastu Kencana, karena Ayahanda bercerita kepada ananda,”  jawab Sri Baginda Prabu Siliwangi saat itu.

 “Ya, betul. Sebenarnya mendiang kakekmu itulah yang memberi amanat kepadaku, agar aku memindahkan pusat Kerajaan Galuh ke Pakuan.

 Sebenarnya gagasan untuk memindahkan pusat kerajaan, akan dilaksanakan begitu kakekmu naik singgasana kerajaan. Tetapi  Mangkubumi  Buni Sora yang menjabat sebagai patih keberatan. Karena itu kakekmu menunda keinginan memindahkan pusat Kerajaan Galuh ke Pakuan. Tahukah  kamu apa alasan Mangkubumi Buni Sora keberatan pusat kerajaan dipindahkan?“


 Sri Baginda masih ingat, saat itu dia hanya menggelengkan kepalanya dihadapan ayahandanya dan tak mengucapkan sepatah kata pun. Maka ayahandanya melanjutkan ceriteranya.

 Rahyang Niskala Wastu Kencana, kakek Sri Baginda Raja Prabu Siliwangi adalah putra bungsu Sang Maharaja, Raja Galuh yang tewas dalam palagan Bubat, sebuah tanah lapang yang berada di sisi utara alun-alun Majapahit. Peristiwa yang menyedihkan itu terjadi pada tahun 1279 Syaka yang bertepatan dengan tahun 1357 M.

 Sang Maharaja memiliki putri yang sangat cantik jelita Dyah Ayu Pitaloka. Kecantikan Putri Galuh itu  memang menyebar ke mana-mana bak harumnya bunga mawar yang memikat banyak kumbang. Ya, Dyah Ayu Pitaloka memang sekuntum mawar Galuh yang indah dan mempesona para ksatria dan putra raja.


  Kecantikan Mawar Galuh sampai juga ke telinga Raja Muda Hayam Wuruk. Sang Raja Muda itu belum mempunyai permaisuri. Maka dikirimlah sejumlah pelukis ke Kerajaan Galuh untuk melukis. Begitu melihat lukisan Dyah Ayu Pitaloka, Sang Raja langsung jatuh cinta. Sejumlah utusan dari istana Majapahit pun tiba di Kerajaan Galuh untuk menyampaikan lamaran. Sang Maharaja Linggabuana, Raja Galuh itu bukan hanya menerima lamaran Hayam Wuruk. Raja Galuh itu bahkan bersedia mengantarkan putri tercintanya ke Majapahit, asal kelak dijemput sendiri oleh calon menantunya itu.

Sayang sekali, setelah menunggu beberapa lama di lapangan Bubat, Patih Gajah Mada campur tangan dengan menghalang-halangi prosesi penjemputan calon mempelai wanita.
 
Sang Maharaja dengan pengiringnya, menolak kehendak Gajah Mada yang meminta agar Raja Sunda itu menyerahkan calon mempelai wanita  sebagai tanda takluk Galuh kepada Majapahit.  Tentu saja Sang Maharaja bersama pengiringnya murka, karena permintaan Gajah Mada itu, bukan hanya menyalahi adat yang berlaku. Tetapi Gajah Mada juga dianggap telah menghina Kerajaan Galuh.

Dyah Ayu Pitaloka itu diantarkan ke Majapahit karena telah dipinang oleh Hayam Wuruk. Bukan karena Galuh  ditaklukan Majapahit lewat peperangan. Kesepakatan tidak tercapai karena utusan Sang Maharaja gagal menemui langsung Hayam Wuruk. Mereka dihalang-halangi oleh pasukan pengawal Majapahit yang berada di bawah komando Gajah Mada.

Perang pun tak terhindarkan, Sang Maharaja dan pengiringnya memilih gugur dalam peperangan demi membela harga diri dan kehormatan Kerajaan Galuh. Dari pada menyerahkan diri, lebih baik melakukan perlawanan terhormat.
 
Pasukan Gajah Mada segera bertindak. Lapangan Bubat dikepung. Perang pun pecah. Pasukan pengawal Sang Maharaja berjuang dengan gagah berani melawan pasukan pengepung dan penyerang yang jumlahnya berlipat-lipat. Akhirnya setelah terjadi peperangan sejak pagi, menjelang tengah hari darah merah sudah banyak berceceran membasahi lapangan Bubat. Semua prajurit Sunda yang berperang dengan gagah berani itu, satu demi satu roboh bersimbah darah, tewas di ujung tombak.
 
Ketika sejumlah tentara Majapahit memasuki tenda Sang Maharaja, betapa terkejutnya mereka. Sang Maharaja beserta seluruh keluarganya ditemukan dalam keadaan telah tewas, tidak satu orang pun yang selamat. Sebuah keris menancap di dada Sang Maharaja.

Rupanya Sang Maharaja beserta seluruh keluarganya memilih menusukkan keris ke dadanya masing-masing dari pada menyerah. Dyah Ayu Pitaloka yang cantik jelita itu pun melakukan hal yang sama, tewas ditangannya sendiri dengan menggunakan keris cundrik.

 Lewat tengah hari, barulah Hayam Wuruk menerima laporan peristiwa tragis yang memilukan itu. Sang Raja segera bergegas menuju kemah Raja Galuh. Betapa terkejutnya ketika Hayam Wuruk menyaksikan keadaan yang sangat menyedihkan itu. Begitu Hayam Wuruk melihat tubuh Dyah Ayu Pitaloka yang tengah tergolek tak bernyawa dengan berlumuran darah, Hayam Wuruk yang usianya saat itu masih muda remaja bergegas mendekati dan  memeluk gadis pujaan hatinya itu.

 Tak terasa air matanya mengalir membasahi wajah Sang Raja Muda. Satu demi satu butiran-butiran air mata yang bening bercahaya bagaikan butiran-butiran embun di pagi hari itu, jatuh membasahi pipi Dyah Ayu Pitaloka yang berada dalam dekapannya.
 
Pelan pelan bibir Sang Raja Muda mendekati bibir gadis cantik cinta pertamanya itu. Kedua bibir itu pun lama saling bertautan, sampai Ibu Suri Raja datang dan membimbing putra tercintanya itu melepaskan Dyah Ayu Pitaloka yang sudah tidak bernyawa lagi. Memang itulah peristiwa pertama kali Sang Raja mencium bibir seorang gadis. Seorang gadis yang dicintainya dengan sepenuh hati.

 Hayam Wuruk merasa sangat sedih dan menyesalkan tragedi Bubat yang terlambat diketahuinya. Gajah Mada segera dipanggil menghadap. Akhirnya atas kelalaian dan kecerobohannya, Gajah Mada dicopot sementara dari jabatannya. Selama empat tahun dia tidak diperkenankan menghadap dan menginjakkan kakinya di Istana Raja.
 
Hayam Wuruk segera memerintahkan agar seluruh  jasad prajurit Sunda yang tewas itu, dirawat secara baik. Dia juga memerintahkan para pendeta menyelenggarakan upacara kremasi pembakaran mayat. Bahkan dia sendirilah yang mengawali acara, dengan lebih dahulu melakukan ritual  penyempurnaan terhadap jasad Dyah Ayu Pitaloka dan jasad Sang Maharaja.
 
Langkah terakhir, Hayam Wuruk secepatnya mengirimkan utusan ke Galuh untuk menyerahkan abu kremasi Sang Maharaja beserta keluarganya. Majapahit mohon maaf, penyesalan serta ucapan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas musibah yang tak pernah dibayangkannya itu.
 
“Kakek Buyutmu yang gugur di medan Bubat itu, mendapat nama harum, karena gugur membela kehormatan Kerajaan Galuh,” kata ayahnya, Sang Raja Rahyang Dewa Niskala, “Itu sebabnya dia mendapat gelar Sang Maharaja Wanggi. Artinya raja yang harum namanya, karena membela kehormatan Kerajaan Galuh. Lebih baik mati berkalang tanah dari pada menyerah. Kakekmu Rahyang Niskala Wastu Kencana, waktu itu masih kanak-kanak, tidak ikut serta ke Bubat. Rupanya Hyang Widhi memang hendak menyelamatkan kakekmu sebagai satu-satunya pewaris tahta Kerajaan Galuh yang masih hidup. Karena saat itu kakekmu belum cukup usia, maka roda pemerintahan sementara dijalankan oleh Mahapatih Buni Sora.”
 
Raja Wanggi? Wanggi artinya harum semerbak. Wanggi sama saja dengan Wangi. Sang Maharaja adalah seorang raja yang harum namanya, karena Sang Raja memilih melaksanakan darma seorang ksatria. Mati di medan peperangan, lebih terhormat dari pada mati karena menderita sakit di atas tempat tidur. Ya, Sang Maharaja, itulah dia yang mendapat nama harum karena berani mempertahankan kedaulatan dan harga diri Kerajaan Galuh.
Kerajaan Galuh adalah kerajaan besar yang setara dengan Kediri, Singosari, bahkan Majapahit. Kerajaan Galuh juga tak pernah ditaklukan oleh kerajaan besar  manapun di  Jawa.

Demikian pikiran yang berkecamuk di benak Sri Baginda, saat dia berbincang bincang dengan ayahnya, Sang Raja Rahyang Dewa Niskala, Pendiri Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Pakuan.

Ayah Sri Baginda Prabu Siliwangi melanjutkan ceriteranya bahwa tidak lama setelah  Rahyang Niskala Wastu Kencana naik tahta Kerajaan Galuh yang sebelumnya dijabat oleh Maha Patih Buni Sora, dia bermimpi. Dalam mimpinya itu mendiang ayahnya, Sang Maharaja, berpesan agar pusat kerajaan dipindahkan ke arah matahari terbenam jika Kerajaan Galuh ingin tetap mempertahankan kejayaannya dan kebesarannya. Ketika hal itu disampaikan kepada Buni Sora, ternyata Buni Sora keberatan.

“Matahari terbenam itu perlambang jelek Ananda Raja. Kerajaan Sunda pasti akan surut, jika dipindahkan ke barat, seperti juga surutnya matahari yang akan terbenam. Membangun pusat kerajaan baru tidaklah mudah. Kraton Galuh masih megah dan utuh. Tidak ada musuh yang pernah berhasil menduduki Kraton Galuh. Kraton Galuh juga belum pernah dimakan api. Jadi buat apa dipindahkan Ananda Raja?” Patih Buni Sora memberikan pertimbangan sehubungan dengan mimpi yang dialami Raja Rahyang Niskala Wastu Kencana yang baru beberapa hari dinobatkan sebagai Raja Galuh.

“Kalau toh Kerajaan harus dipindahkan, menurut tuntunan kitab-kitab suci agama kita, hendaklah pusat kerajaan itu dipindahkan ke arah matahari terbit. Itu berarti dipindahkan ke arah timur,” ujar Buni Sora.
 
“Paman, bukankah  matahari yang terbenam itu akan terbit lagi?  Mundur selangkah tetapi maju sepuluh langkah, Paman Patih?” jawab Raja Niskala Wastu Kencana. Sang Raja mencoba membela kebenaran mimpinya.

 Dia memberi contoh bahwa dahulu kala ada Kerajaan Sunda Galuh Purba yang berdiri di lereng selatan Gunung Agung, di Lembah Ciserayu yang subur.Tetapi  Karena Kerajaan Galuh Purba itu terus menerus menerima  ancaman dan gangguan dari Kerajaan Kalingga yang ada di sebelah timur dan utara  Pegunungan Dieng, Kerajaan Galuh Purba akhirnya pindah ke barat, menyatukan diri dengan Kerajaan Sunda yang ada disekitar hulu Sungai Cimanuk, Cimuntur dan Citanduy.Mereka kemudian bersatu dan bersama-sama  membangun Kerajaan Galuh Kawali yang mantap, kuat, dan makmur. Kemudian Kerajaan Galuh Kawali melakukan ekspansi ke timur dan berhasil mendapatkan kembali wilayah-wilayah di Lembah Ciserayu yang sempat lepas. Bahkan di lereng Gunung Agung kembali dapat didirikan Kadipaten Pasir, tidak jauh dari lokasi Kerajaan Galuh Purba sebelum pindah.(bersambung)






 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar