Kerajaan Galuh Kawali
terus melanjutkan sukses perluasan wilayahnya ke arah timur, sampai akhirnya berhenti
di tepi Sungai Bhagalin. Itulah batas alamiah
paling timur yang merupakan sukses dari perluasan wilayah Kerajaan Galuh Kawali
di Jawa Tengah Selatan. Sedangkan di pantai utara Jawa Tengah, perluasan
wilayah Kerajaan Galuh ke timur berhenti sampai Sungai Cipamali di daerah
Brebes. Kadipaten Pasir juga
berkembang menjadi kadipaten kuat sebagai garda depan dan benteng Kerajaan
Galuh dalam menghadapi ancaman dan serangan musuh dari timur. Kadipaten Pasir
menjadi kadipaten pemasok peralatan perang Kerajaan Galuh terbesar setelah
Kadipaten Cibatu-Limbangan.
Sang Raja mencoba
membantah anggapan bahwa memindahkan pusat kerajaan ke arah barat sebagai
langkah mundur. Dia yakin mimpinya itu sepenuhnya benar. Dengan memindahkan pusat
kerajaan ke barat, setelah peristiwa mangkatnya Sang Maharaja di lapangan
Bubat, Sang Raja berharap Keraton Galuh yang dianggap telah kehilangan daya
gaibnya itu kembali bersinar setelah melewati dukacitanya yang mendalam. Sang
Raja berharap Keraton Galuh akan terhindar dari berbagai gangguan, halangan,
dan musibah yang bisa mengakibatkan merosotnya Kerajaan Galuh.
Tetapi menurut Bunisora,
jika Galuh dipindahkan ke arah barat justru Kerajaan Galuh akan mudah kehilangan
kontrol atas daerah yang sangat subur yaitu daerah Lembah Ciserayu dan Bhagalin.
Ciserayu merupakan sungai paling panjang di Jawa yang mengalir ke arah lautan selatan.
Sungai Ciserayu seperti juga Bhagalin memiliki mata air di kaki Gunung Suci
Dieng. Kedua sungai itu sama-sama mengalir ke lautan selatan, lautan yang
diberkati para dewa, dan lautan tempat dua sungai suci di India, Gangga, dan
Yamuna bermuara. Lautan Selatan atau Samudra Hindia juga merupakan lautan suci,
karena abu para raja dan brahmana dilarutkan ke sana.
Berbeda dengan Sungai
Bhagalin yang hanya menjadi muara sungai-sungai kecil. Ciserayu menjadi muara
sungai-sungai besar yang bermata air di kaki Gunung Agung. Sungai Cingcinggoling,
Banjaran, Logawa, dan Kabunan, yang semuanya bermata air di kaki Gunung Agung,
pada akhirnya juga bermuara di Sungai Ciserayu. Ya, Lembah Ciserayu memang
lembah seribu sungai yang amat subur. Dalam pandangan Bunisora, jika Kerajaan
Galuh mundur ke arah barat, wilayah Lembah Ciserayu dan Bhagalin akan mudah
jatuh ke tangan kerajaan-kerajaan Jawa di timur Sungai Bhagalin. Kerajaan
Kediri, Singosari, dan Majapahit, sudah lama berniat melakukan ekspansi guna
menguasai wilayah barat Sungai Bhagalin.
Karena hubungan baik
antara Kerajaan Jawa dan Kerajaan Sunda, keinginan kerajaan-kerajaan Jawa
melakukan ekspansi ke wilayah barat selalu dapat dihindarkan. Bahkan ketika
Raja Besar Singasari Sri Kertanegara (1268–1292 M), melakukan ekspansi
perluasan wilayah dengan program ekspedisi Pamalayunya yang terkenal, wilayah Galuh
yang berada di sisi barat Sungai Bhagalin itu sama sekali tidak dilirik.
Bahkan Kerajaan Kediri,
Singasari, maupun penerusnya, Kerajaan Majapahit, mengandalkan pasokan beras
dari wilayah Galuh untuk mengisi perbekalan pasukan-pasukan yang dikirimkan ke
luar Jawa, seperti ekspedisi penaklukan Bali, Sulawesi, Kalimantan, sampai
Sumatra, dan Semenanjung Tanah Melayu.Lebih-lebih pada masa
Majapahit melaksanakan program ekspansi Sumpah Palapa Gajah Mada, Galuh bukan
hanya memasok beras, tetapi juga memasok tenaga prajurit yang mencari tambahan
penghasilan sebagai tentara bayaran di Majapahit. Tenaga prajurit orang Sunda
yang direkrut untuk memenuhi kebutuhan prajurit Majapahit, kebanyakan dipilih
dari orang-orang Sunda yang tinggal di Lembah Ciserayu.
“Sebenarnya Kadipaten
Pasir cukup kuat. Apa kekhawatiran Paman jika pusat kerajaan Galuh pindah ke
barat? Apakah karena Kadipaten Pasir sudah menurun kualitasnya sehingga tidak
lagi bisa diandalkan?”
“Tentu saja bukan,
Ananda Raja. Apalagi di Kadipaten Pasir banyak pandai besi yang ahli membuat
peralatan perang seperti tombak, pedang, perisai, keris, kujang, dan alat-alat
lainnya untuk keperluan perang dan pertanian. Tak ada alasan untuk meragukan
kemampuan dan juga kesetiaan Kadipaten Pasir. Namun apabila ada serangan musuh
datang dari sisi timur Sungai Bhagalin, bantuan yang diperlukan dari pusat
kerajaan akan lebih mudah dilakukan. Lain halnya, jika pusat kerajaan berpindah
ke arah barat.”
Tetapi akhirnya, setelah
melalui perbincangan yang lama, Sang Raja mengalah. Patih Bunisora berhasil
meyakinkan Sang Raja, sehingga rencana pemindahan Keraton Galuh ditunda.
Bagaimanapun Bunisora adalah paman, ayah angkat, sekaligus mertua Sang Raja.
Karena itu Sang Raja menghormati pandangan dan saran-sarannya.
“Baiklah Paman Patih,
alasan keberatan Paman Patih bila pusat kerajaan dipindahkan ke barat, dapat
aku pahami. Tetapi aku akan menyampaikan sebuah maklumat penting kepada seluruh
keluargaku, keturunanku, dan seluruh rakyatku orang Sunda yang tinggal di
wilayah Kerajaan Galuh. Janganlah mereka berbesanan dengan trah keturunan Kerajaan Majapahit. Putri Sunda trah Kerajaan Galuh, dilarang bersuamikan ksatria Jawa trah Majapahit. Demikian pula ksatria
Sunda trah Galuh, aku larang mempunya istri ksatria Jawa trah Majapahit. Aku Raja Galuh, melarang
perkawinan semacam itu. Demikian Paman Patih, harap maklumatku segera Paman
Patih sampaikan kepada seluruh rakyat Kerajaan Galuh agar dilaksanakan.
Maklumat ini sekaligus sebagai baktiku kepada Ayunda Dyah Ayu Pitaloka yang
gugur di Bubat.”
Patih Bunisora
sekalipun dalam hati tidak setuju dengan isi maklumat itu, tetap melaksanakan
kehendak Sang Raja. Bagi Bunisora, maklumat itu bisa menutup pintu silaturahmi
antara keturunan Galuh yang Sunda dengan keturunan Majapahit yang Jawa. Dapat
dipahami, betapa pedih dan sakit hatinya Sang Raja Niskala Wastu Kancana.
Gara-gara tipu daya Mahapatih Gajah Mada, Sang Raja nyaris kehilangan seluruh
keluarga yang dicintainya. Tetapi haruskah sakit hati dan rasa pedih yang
mendalam itu dilestarikan dan diabadikan dalam bentuk maklumat yang akan
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya?
Bukankah Hayam Wuruk
sangat menyesali kejadian yang ada di luar kendalinya itu? Sebagai bukti
keprihatinan, Gajah Mada telah diberhentikan sekalipun hanya sementara. Hayam
Wuruk pun merawat semua jasad korban Perang Bubat secara layak. Akhirnya Bunisora
juga mendengar kabar, Hayam Wuruk merasakakan duka cita mendalam cukup lama
akibat terus-menerus terbayang gadis cantik jelita cinta pertamanya. Memang
benar, cinta pertama adalah cinta paling indah dan paling sulit dilupakan.
Hayam Wuruk hampir selama tujuh tahun terus menerus dirundung duka. Tawaran
untuk menikah dengan gadis lain selalu ditolaknya.
Saat Gajah Mada kembali
melaksanakan tugasnya setelah empat tahun diistirahatkan, hubungan Hayam Wuruk
dengan Gajah Mada tidak sehangat masa-masa sebelum Peristiwa Bubat. Bahkan duka
cita Hayam Wuruk semakin mendalam. Gajah Mada dianggap sebagai orang paling
bertanggung jawab atas dukacita Sang Raja. Gajah Mada menyadari posisinya. Dia
merasa semakin tidak nyaman karena hubungannya yang senantiasa dingin dengan
rajanya. Akhirnya Gajah Mada mengajukan permohonan pengunduran dirinya, dan
Sang Raja Hayam Wuruk segera mengabulkan.
Malam harinya Gajah Mada
mendapat keterangan bahwa pasukan pengawal kerajaan sedang menuju kepatihan
untuk menangkapnya. Sadar akan bahaya sedang mengancam dirinya, Gajah Mada
segera meloloskan diri meninggalkan kepatihan disaksikan oleh Ken Bebed,
istrinya yang terus menerus berurai air mata. Dengan mengenakan pakaian serba
putih Gajah Mada meninggalkan kepatihan. Ketika pasukan pengawal kerajaan tiba,
mereka hanya menjumpai Ken Bebed yang sedang dirundung duka. Gajah Mada
menghilang entah ke mana. Dia raib bagaikan ditelan bumi. Bahkan kuburannya pun
tak pernah diketahui hingga kini.
“Gajah Mada telah
menerima hukum karma akibat pakarti dari ambisi pribadinya atas kekuasaan dan
kemasyhuran,” gumam Bunisora.
Bagi Bunisora maklumat
dari Sang Raja Niskala Wastu Kancana itu sesungguhnya tidak perlu. Dendam tidak
seharusnya dipelihara dan diabadikan. Tetapi apa boleh buat. Bunisora kali ini
memang tidak mungkin melawan kehendak Sang Raja. Sebab bagaimanapun Niskala
Wastu Kancana adalah Raja Galuh yang perintahnya harus dilaksanakan.
Apa yang dikhawatirkan Bunisora,
menjadi kenyataan. Sekalipun Sang Raja berkuasa cukup lama, enam dasa warsa,
tetapi Galuh semakin mundur. Akibat maklumat Sang Raja, jumlah perdagangan
beras dan hasil bumi lainnya dengan Majapahit merosot drastis. Para petani dan
peladang di daerah Lembah Ciserayu dan sisi barat Sungai Bhagalin menyikapi
maklumat Sang Raja dengan tidak mau melakukan perdagangan dengan penduduk di
sisi timur Sungai Bhagalin, karena wilayah itu merupakan wilayah Majapahit.
Mereka mematuhi
perintah rajanya dengan membawa dan menjual hasil buminya ke pusat Kerajaan
Galuh di Kawali. Dari sana hasil bumi itu baru diangkut lewat Sungai Cimanuk ke
bandar Laut Jawa, dekat Indramayu. Padahal akomodasi menjual hasil bumi dari
Lembah Ciserayu ke wilayah barat medannya lebih sulit, jarak tempuhnya untuk
sampai ke bandar-bandar di Laut Jawa lebih lama dan lebih panjang dibanding
dengan menjual produk hasil bumi ke wilayah timur.
Sementara itu,
Majapahit sudah mampu membuka daerah-daerah baru penghasil beras di luar Jawa,
akibat ekspedisi-ekspidisi yang dilakukannya. Sulawesi Selatan misalnya,
tercatat sebagai salah satu lumbung beras baru Majapahit. Maklumat Raja Galuh telah
menurunkan kegiatan perdagangan dengan Majapahit. Akibatnya penghasilan Galuh
semakin menurun dan kemakmuran pun makin merosot.
Niskala Wastu Kancana
mengingat kembali mimpinya, tentang memindahkan pusat kerajaan. Kebetulan pada
waktu itu Bunisora sudah meninggal. Maka Sang Putra Mahkota, Rahyang Dewa
Niskala, mendapat amanat untuk melakukan pencarian tempat ke barat. Akhirnya
pembangunan pusat kerajaan baru di Pakuan pun dimulai. Dan, ketika infra
struktur, sarana, dan prasarana hampir selesai, Sang Raja Niskala Wastu Kancana
mangkat pada usia sekitar 82 tahun. Putra Mahkota, Rahyang Dewa Niskala
dinobatkan menjadi Raja Pajajaran yang berpusat di Pakuan, sebagai penerus
Kerajaan Galuh Kawali. Keraton lama Galuh Kawali sejak itu hanya berkedudukan
sebagai kadipaten, setara dengan Kadipaten Pasir. Kedua kadipaten itu sama-sama
berada di bawah kendali Pajajaran yang berpusat di Pakuan. Peristiwa Penobatan
Raja Pajajaran di Pakuan itu terjadi pada tahun 1355 Saka yang bertepatan
dengan tahun 1433 Masehi.
Sang Raja Rahyang Dewa
Niskala memerlukan waktu lama untuk mewujudkan kemakmuran Pajajaran. Pembangunan
kerajaan terus menerus dilakukan seperti sarana jalan, irigasi, pembangunan
pusat-pusat kegiatan ekonomi, padepokan-padepokan, sarana pertahanan, dan
sarana pemerintahan lainnya.
Ayah Sri Baginda Prabu
Siliwangi, Rahyang Dewa Niskala mampu menggerakkan penduduknya untuk
beramai-ramai menanam lada, nila, dan pala, yang merupakan komoditas unggulan
Pajajaran. Berpikul-pikul lada, pala, bunga pala, diangkut melalui Cisadane dan
Ciliwung. Berpikul-pikul nila diangkut lewat Citarum. Pala dan lada saat itu
merupakan salah satu komoditas rempah-rempah yang laku keras di pasaran dunia
seberang lautan. Setelah Sang Putra Mahkota naik tahta semua kebijakan Sang
Raja Rahyang Dewa Niskala diteruskan oleh putranya.
Sang Baginda Prabu
Siliwangi masih ingat saat ayahnya berpesan, “Perjuanganku membangun Kerajaan
Pajajaran harus engkau lanjutkan, Putraku. Engkaulah yang pantas mendapat gelar
Silih Wanggi. Silih artinya pengganti dan Wanggi artinya harum. Aku berharap
engkau bisa menjadi pengganti mendiang Kakek Buyutmu Sang Maha Raja Wanggi,
membawa Pajajaran sebagai kelanjutan kerajaan leluhurmu Galuh, menjadi kerajaan
besar, makmur, dan maju di Jawa Bagian Barat.”
Dari Silih Wanggi
menjadi Silih Wangi. Ya, itulah gelar kesayangan Sri Baginda Siliwangi yang naik tahta
menggantikan ayahnya pada tahun 1404 Saka yang bertepatan dengan tahun 1482 M.
Ketika itu Majapahit yang berpusat di Trowulan telah runtuh. Tidak lama
kemudian muncul dua kerajaan baru di sisi timur Sungai Bhagalin, yaitu Kerajaan
Hindu Kediri dan Kerajaan Islam Demak
yang merupakan kerajaan maritim.
Sri Baginda Prabu
Siliwangi mewarisi Pajajajaran sudah tertata dengan baik. Jaringan irigasi
bagus dan teratur, panen lada dan pala melimpah ruah, penduduk dan petani hidup
makmur dan berkelimpahan. Bandar Sunda Kelapa menjadi bandar paling ramai di
muara Ciliwung. Bandar-bandar lain yang bermunculan di Laut Jawa dan dikendalikan
Pajajaran pada masa Prabu Siliwangi antara lain adalah Cikande, Banten,
Pontang, Cigede, Tamgara, Muara Citarum Karawang, Muara Cimanuk, dan Muarajati.
Sri Baginda memiliki
peluang besar untuk membawa Pajajaran ke puncak kejayaannya. Sayang sekali,
begitu dilantik sebagai Raja, Sang Permaisuri meninggalkannya untuk
selama-lamanya. Sedang putra sulungnya belum siap diangkat menjadi putra
mahkota karena belum bersedia membangun rumah tangga. Padahal Sri Baginda
memerlukan seorang putra mahkota yang diharapkan dapat membantunya membawa
Pajajaran meraih puncak kejayaannya.
Sri Baginda tersadar
dari lamunannya. Dilihatnya ketiga putranya tengah duduk dengan sabar di
depannya bersama para punggawa Kerajaan Pajajaran yang tengah menunggu amanat
raja.
“Hem…, putraku
Banyakcatra, bagaimana keadaanmu? Juga putraku Banyakbelabur dan putriku Ratna
Pamekas, bagaimana keadaan Ibumu?”[ Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar