Sri Baginda Prabu
Siliwangi memiliki tiga orang putra yang tampan-tampan, dan seorang putri
cantik jelita dari permaisuri pertama dan kedua. Dari permaisuri pertama
lahirlah putra Sri Baginda, Banyakcatra dan Banyakngampar. Sedangkan dari
permaisurinya kedua, Dewi Kumudhaningrum, lahirlah putranya, Banyakbelabur, dan
putrinya Ratna Pamekas. Banyakngampar, putra kedua tidak menghadap karena masih
bertapa di sebuah gua di kaki Gunung Gede. Banyakcatra sendiri sudah hampir
lima tahun tidak pernah bertemu dengan adiknya itu. Sejak Ibu mereka mangkat,
Banyakngampar lebih senang menyingkir dari Keraton Pajajaran.
Permaisuri pertama Sri
Baginda sudah meninggalkannya untuk selama-lamanya. Hal inilah yang membuat Sri
Baginda sering murung. Lebih-lebih lagi, Sri Baginda akhir-akhir ini sering mencemaskan masa depan Pajajaran yang
telah dibinanya hingga mencapai puncak kemasyhurannya. Banyakcatra, putra
sulung yang diharapkan bisa menjadi penggantinya belum juga mempunyai istri.
Alih-alih mencari istri, tunangan bahkan pacar pun belum. Demikian pula adiknya,
Banyakngampar. Dia lebih suka bertapa dan mendalami ilmu agama daripada
memikirkan kehidupan berumah tangga. Beda dengan adiknya, Banyakbelabur yang sudah
memiliki beberapa calon istri. Di antara putra-putra raja itu, sepertinya hanya
Banyakbelabur yang paling siap untuk segera mempunyai istri.
“Ananda Banyakcatra dan
adik-adik menghaturkan sembah pada
Ayahanda. Kami semua dalam keadaan baik, sehat, dan sejahtera, berkat doa restu
dari Ayahanda,“ ujar Banyakcatra yang
dari tadi duduk dengan sabar bersama kedua
adiknya.
“Syukurlah Putraku, Banyakcatra.
Kuterima baktimu bersama adik-adikmu.
Akhir-akhir ini aku sungguh gelisah, Banyakcatra. Ibumu sudah meninggalkan aku.
Tetapi engkau belum juga berminat punya istri. Padahal engkau adalah salah
seorang calon putra mahkota penggantiku. Karena itu, dalam pertemuan agung ini,
aku ingin mendengar darimu, kapan engkau akan berumah tangga? Syarat untuk
menobatkan engkau menjadi putra mahkota dan calon penggantiku, engkau harus
segera menyunting seorang gadis menjadi istrimu. Carilah gadis di seluruh
wilayah Pajajaran. Bukankah di wilayah Pajajaran banyak gadis cantik yang bisa
menjadi pendamping hidupmu?”
“Aduh, Ayahanda,
ampunilah ananda.
Benar Ayahanda, di Pajajaran banyak gadis cantik. Bukan hanya para putri
adipati, bahkan gadis-gadis anak orang kebanyakan. Tetapi Ayahanda, ananda masih terus mencari. Hanya saja
mohon ampun Ayahanda, ternyata apa yang ananda
cari belum juga ananda
temukan. Mungkin Hyang Widhi masih menyembunyikan calon pendamping hamba itu,
Ayahanda. Karenanya, ananda
mohon ampun.”
“Hem…, gadis macam
apakah yang engkau rindukan, Banyakcatra?” tanya Sri Baginda, ”Mustahil ada
gadis bakal menolak lamaranmu. Engkau bukan hanya tampan dan cakap, tubuhmu pun
kekar. Engkau pandai, cekatan, tangkas, menguasai berbagai ilmu, baik ilmu
pemerintahan, kepemimpinan, ketangkasan berperang, dan ilmu kanuragan, juga
ilmu kekebalan. Engkau adalah gambaran seorang Ksatria Pajajaran ideal, yang
pantas jadi suri tauladan adik-adikmu dan para pemuda Pajajaran lainnya. Aku mendengar pula, engkau
bukan hanya pandai menggunakan tombak, pedang, dan panah. Tetapi engkau juga
ahli dalam menggunakan senjata pendek kujang yang merupakan senjata khas
Pajajaran. Engkau pun pintar menunggang kuda. Karena itu ayahandamu ini heran,
kenapa engkau belum juga mendapatkan gadis calon pendamping?”
Banyakcatra diam,
tetapi akalnya terus berputar mencoba merangkai kata-kata yang tepat, agar
ayahandanya tidak menjadi murka. Akhirnya Banyakcatra menjelaskan persoalan
sulit yang sedang dihadapinya, ialah menemukan gadis calon pendamping hidup yang
wajahnya mirip Ibunya.
“Ayahanda, ampun
beribu-ribu ampun. Sesungguhnya Kerajaan Pajajaran yang makmur, aman, dan
sejahtera ini tidak kekurangan gadis cantik. Ananda sudah berkelana, dari
kadipaten ke kadipaten di seluruh wilayah
Pajajaran, khususnya wilayah sisi barat
Cisadane, sisi barat Ciliwung, sisi timur Citarum sampai Cimanuk bahkan sampai
Citanduy. Hanya kadipaten di sisi timur Citanduy yang belum sempat ananda datangi, Ayahanda. Tetapi gadis idaman
ananda belum juga ananda
temukan.”
“Gadis cantik seperti
apa yang engkau cari, Putraku?”
“Ampun, Ayahanda. Gadis
yang ananda cari, menjadi dambaan dan idaman hati adalah gadis cantik yang
wajahnya mirip wajah Ibunda.”
“Ee..., Jagad Batara!
Banyakcatra! Sudah barang tentu engkau mencari gadis yang sulit ditemukan.
Hanya apabila Hyang Widhi menghendaki, engkau akan mendapatkan gadis idaman
hatimu itu. Banyakcatra, memang mendiang Ibumu adalah wanita cantik jelita.
Kecuali jika Ibumu putri kembar, maka akan ada wajah wanita mirip Ibumu. Lagi pula
Banyakcatra, pikirkanlah baik-baik, dan gunakan kecerdasanmu. Andai kata semua
pemuda mempunyai cita-cita seperti engkau, pastilah akan banyak pemuda bakal
kesulitan mencari istri. Engkau harus membuang jauh-jauh keinginan seperti itu,
Banyakcatra!”
Sri Baginda diam
sejenak. Dipandangnya seluruh punggawa yang duduk di hadapannya, mulai dari barisan
deretan sebelah kanan, terus ke belakang. Kemudian pandangannya diarahkan ke
deretan sebelah kiri, juga terus ke belakang. Semua punggawa duduk dengan takzim,
ikut mendengarkan kata-kata Sri Baginda yang ditujukan kepada putra sulungnya,
Banyakcatra. Akhirnya pandangan Sri Baginda Prabu Siliwangi kembali diarahkan
kepada putra putrinya yang duduk di deretan paling depan. Kembali terdengar
suara Sang Raja yang berwibawa.
“Leluhur kita orang
Sunda pada jaman dahulu sudah memberikan petunjuk dan pedoman bagaimana
ciri-ciri wanita yang baik untuk dijadikan istri calon pendamping hidup. Tidak
ada petuah leluhurmu yang menyebutkan bahwa wanita atau istri sejati ialah
istri yang wajahnya mirip ibu sang ksatria. Wanita sejati idaman setiap ksatria
di Tatar Sunda ialah wanita yang memiliki beberapa sifat.”
“Pertama, wanita itu
harus pandai merawat dirinya agar selalu elok dipandang. Wanita yang pandai
merawat dirinya akan selalu bisa menjaga wajah, rambut, kulit, dan seluruh
tubuhnya, sehingga ia akan selalu tampil cantik, menyegarkan bila dipandang,
membuat suami selalu ingin berdekatan dengannya. Itu yang sering disebut oleh
para leluhur kita sebagai batur sasumur. Batur
di sini artinya adalah teman, teman dekat, teman sehidup semati atau teman
dalam membangun rumah tangga. Sumur adalah tempat untuk mandi dan mencuci. Arti
mandi di sini adalah menjaga kebersihan tubuh agar tetap bugar dan cantik.”
“Kedua, wanita harus
pandai memasak. Sekalipun mempunyai pembantu, seorang istri harus pandai
memasak. Sebab semua suami pasti senang bila istrinya pandai memasak. Janganlah
engkau pilih wanita yang tidak bisa atau tidak pandai memasak. Itulah yang
disebut dengan batur sadapur. Dapur
itu adalah tempat seorang istri membuat dan mengolah aneka macam masakan untuk kebutuhan
seluruh anggota rumah tangga. Wanita Sunda pada umumnya bukan hanya pandai
memasak, tetapi juga pandai menenun, menjahit, dan membuat pakaian.”
“Ketiga, seorang istri
harus bisa membahagiakan suami di atas peraduan. Seorang istri yang pandai bercinta
di atas peraduan akan membuat seorang suami betah tinggal di rumah bersama
istri tercintanya yang pandai bermain asmara. Inilah yang disebut dengan batur sakasur dalam budaya Sunda. Batur
sakasur juga mengandung makna, bahwa seorang istri harus bisa memberikan
keturunan. Tentu akan mengurangi kebahagiaan suatu rumah tangga, apabila
seorang istri tidak bisa memberikan keturunan kepada suaminya.”
“Keempat, seorang istri
harus pandai mengasuh anaknya dengan cara memberikan pendidikan dan tuntunan
kepada anaknya, terutama tuntunan berkaitan dengan budi pekerti dan akhlak.
Termasuk dalam cara mengasuh anak adalah merawat bayi sejak lahir dengan
memberikan air susu yang cukup kepada anaknya. Istri yang tidak mau menyusui
bayinya sendiri jelas bukan seorang istri yang baik. Inilah yang disebut dengan
batur salembur. Artinya seorang istri
harus bisa mendidik anak agar bisa hidup di tengah-tengah masyarakat, ikut
menjaga dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang berlaku pada masyarakat di
sekitarnya. Banyakcatra, renungkanlah apa yang aku katakan. Itulah pedoman dari
leluhurmu bagaimana caranya engkau akan memilih seorang istri pendamping
hidupmu. Pilihlah jalan yang sesuai dengan tuntunan adat, tradisi, budaya, dan
agama. Dan jangan memilih jalan yang pada akhirnya akan mempersulit dirimu
sendiri.”
Diam-diam
sebenarnya Sri Baginda memuji keinginan Banyakcatra. Sebab ibunda Banyakcatra
yang merupakan permasuri pertama Sri Baginda adalah wanita yang sangat memenuhi
kriteria sebagai wanita idaman setiap ksatria. Andai kata Mawar Galuh yang
gugur di Bubat masih hidup dan dipersandingkan dengan permaisuri Sri Baginda,
niscaya keduanya bagaikan pinang dibelah dua. Wajar saja sebenarnya, jika
anaknya mendambakan seorang wanita yang kecantikannya mirip ibunya. Sebab wanita
cantik jelita demikian sukar didapat.
Adakah permasuri
pertama yang cantik jelita itu penjelmaan atau inkarnasi Dyah Pitaloka? Setelah
permaisuri pertama mangkat, kepada wanita mana gerangan sukma Dyah Pitaloka itu
akan berinkarnasi? Sayang sekali para brahmana, para ajar, dan para wiku yang cerdik,
pandai, dan bijaksana pun tidak mampu menjelaskannya. Sri Baginda tersentak
dari lamunannya saat mendengar putra sulungnya Banyakcatra berkata, “Ayahanda,
ampunilah ananda.
Ananda memahami segala nasihat, petuah, dan petunjuk Ayahanda bagaimana cara
seorang ksatria seharusnya memilih calon istri pendamping hidup. Dari kriteria
dan syarat-syarat yang Ayahanda paparkan tadi, ananda menambah satu syarat lagi, Ayahanda.”
“Satu syarat lagi? Apa
itu?”
“Di samping calon istri
ananda harus pandai berhias, pandai
masak, pandai di peraduan, dan pandai mengasuh anak, wanita calon istri ananda itu wajahnya harus mirip Ibunda,
Ayahanda.”
“Hm…, Banyakcatra. Pilihanmu
itu adalah takdirmu. Mungkin sudah menjadi kehendak Dewata. Aku tidak bisa
menghalang-halangi jika itu sudah menjadi tekad dan pilihanmu. Sekarang engkau
kuberi waktu satu tahun untuk menemukan gadis idamanmu itu. Berkelanalah ke
mana engkau suka. Ambil bekal yang cukup. Ke mana kira-kira engkau akan
berkelana?”
“Ananda akan berangkat
esok lusa, Ayahanda. Ananda akan menuju Kadipaten Galuh, kemudian akan ananda lanjutkan ke kadipaten-kadipaten
di sebelah timur Citanduy, khususnya Kadipaten Pasir,” jawab Banyakcatra.
“Baiklah, kudoakan
engkau selamat dalam perjalanan,” kata Sri Baginda. “Ajaklah dua orang abdi Keraton
Pajajaran sebagai teman seperjalananmu bila merasa perlu. Aku berikan kepadamu
salah satu pusaka Pajajaran, Kujang Kancana Shakti. Aku mempunyai tiga. Semuanya
kelak akan kuwariskan kepada ketiga putraku. Karena engkau akan berkelana,
ambilah pusakaku Kujang Kancana Shakti di tempat penyimpanan pusaka.
Sempatkanlah singgah lebih dulu ke tempat Ki Ajar Wirangrong, sahabatku, yang
mendirikan padepokan di sisi timur lereng Gunung Tangkuban Perahu. Mintalah
nasihat dan petunjuknya, siapa tahu Ki Ajar Wirangrong bisa memberitahu di mana
adanya gadis yang wajahnya mirip Ibumu.”
“Kemudian bila engkau
mampir ke Kadipaten Galuh, sampaikan salamku kepada Adipati Galuh. Dan, jangan
lupa berziarah ke makam leluhurmu Sanghiyang Linggahiyyang, di Kawali. Di
sanalah abu para leluhurmu dipusarakan. Termasuk pula abu Pitaloka, Putri Galuh
Dyah Pitaloka yang gugur di Bubat. Semoga engkau selamat dalam perjalanan dan
menemukan gadis idamanmu. Banyakcatra, engkau boleh undur dari paseban agung
ini. Banyakbelabur dan putriku Ratna Pamekas, engkau berdua pun boleh
meninggalkan pertemuan ini, dan sampaikan salamku untuk Ibumu. Aku selalu
merindukan Ibumu.”
Ketiga putra dan putri
Kerajaan Pajajaran itu pun segera menghaturkan sembah kepada Sri Baginda,
kemudian ketiganya meninggalkan paseban agung. Sri Baginda masih melanjutkan
sidang di paseban agung bersama Ki Patih, untuk menerima laporan, memberikan
pengarahan dan pemecahan masalah-masalah berkaitan dengan persoalan mewujudkan
pemerintahan yang aman, maju, makmur, dan sejahtera.
***
Matahari masih berada
di bawah kaki langit ketika Banyakcatra duduk di atas kudanya dan pelan-pelan memacu
menuju arah timur, menyongsong matahari terbit, dan meninggalkan bangunan keraton
megah berjajar dalam balutan malam yang hendak bertukar dengan siang.
Banyakcatra memutuskan
untuk berkelana sendirian agar perjalanan lebih cepat. Dia membawa perbekalan
cukup. Kujang Kancana Shakti, pusaka Pajajaran terselip aman di pinggangnya, tersembunyi
di balik balutan baju kuning muda dikombinasikan dengan ikat pinggang dari
kulit berwarna coklat, dan celana panjang berwarna hitam. Dengan mengenakan
ikat kepala berwarna ungu dengan motif daun dan burung, Banyakcatra, Ksatria
Pajajaran itu, terlihat gagah perkasa. Dia memacu kudanya melewati jalan
menembus hutan belantara di lereng-lereng gunung di sisi kanan dan kiri.
Semburat warna merah di
kaki langit sebelah barat dan bintang kejora di langit tenggara sudah lenyap.
Sejumlah burung hantu yang kesiangan terbang kembali ke sarangnya untuk
bersembunyi dan beristirahat, setelah semalaman menjadi penjaga hutan. Sinar
matahari pelan-pelan mulai memeluk hamparan gunung, lembah, dan hutan hijau
yang terhampar di sepanjang jalan berkelak-kelok yang dilalui Banyakcatra.
Sesekali Banyakcatra harus memacu kudanya melewati jalan menanjak
melingkar-lingkar sepanjang lereng gunung.
Banyakcatra harus
hati-hati menuruni lembah. Aneka macam pohon hutan seperti sono keling, mahoni,
pinus, trembesi, dan pala, dengan daunnya yang rimbun dan batangnya sebesar
pelukan orang dewasa, berdiri tegak lurus ke atas seakan-akan hendak menyangga
langit. Deretan pohon pala yang tumbuh liar dengan bunga harum semerbak mewangi
menyebar kemana-mana, membuat Banyakcatra
merasa nyaman menghirup udara pagi yang menyegarkan tubuhnya.
Di lereng Gunung Pangrango
dan Gunung Gede, tidak jauh dari pusat kerajaan, banyak tersebar hutan pohon
pala tumbuh liar. Bunga dan buah pala dengan mudah dipanen peladang dan petani
kawula Pajajaran. Pala, bunga pala, nila, dan lada merupakan barang dagangan andalan
yang ikut menggerakkan roda perekonomian Pajajaran sekaligus menciptakan
kemakmuran dan kesejahteraan.
Sepanjang perjalanan Banyakcatra
mendengar aneka bunyi burung hutan, seperti jalak, kutilang, manyar, cucak
rawa, pelatuk, kemaduan, emprit, kepodang, dan ciung. Burung-burung itu berbunyi
bersaut-sautan bagaikan suara musik sedang menyambut datangnya sinar matahari
pagi dan mengiringi perjalanan Ksatria Pajajaran. Aneka macam burung hutan
dengan warna bulu-bulunya yang indah itu berloncatan kian kemari dari satu
dahan ke dahan lain dan dari satu ranting ke ranting lain.
Banyakcatra mendongakkan
wajahnya tampak langit cerah membiru
dengan gumpalan awan bagaikan kapas putih berjalan perlahan menyusuri dinding
langit. Aneka burung elang, tampak berputar-putar di atas langit yang menaungi
lembah. Kadang-kadang dalam perjalanan menembus hutan lebat itu Banyakcatra
melihat satwa hutan, seperti kijang, rusa, babi hutan, bahkan harimau,
berkeliaran kesana kemari. Tetapi Raden Bacakcatra memiliki aji Ciung Wanara
yang mampu menjinakkan sejumlah binatang buas, sehingga mereka tidak berani
mengganggunya. Binatang hutan yang paling disukai Banyakcatra adalah burung
ciung, aneka macam lutung, dan kera yang banyak ditemukan di hutan-hutan
sekitar Pajajaran.
Lewat tengah hari
Banyakcatra berhenti sejenak di tengah hutan untuk melepas lelah. Sesekali
dilihatnya seekor burung ciung berwarna kuning sedang bertengger di atas dahan.
Dengan hanya satu siulan, burung ciung itu bisa dipanggilnya mendekat. Burung
ciung adalah burung berwarna kuning seperti burung kepodang, hanya lebih besar
dan memiliki ekor lebih panjang. Demikian pula, apabila dilihatnya ada seekor
lutung tengah bergelantungan di atas pohon, Banyakcatra bisa memanggilnya,
sehingga lutung itu menjadi jinak, mau mendekat dan bersahabat.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar