Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 02 Desember 2019

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (22)



Akhirnya setelah perempuan itu reda dari kesedihannya yang mendalam, dia meminta kepada kepala kampung agar penduduk mau menguburkan buaya itu sebagaimana layaknya mengubur manusia. Itu semua adalah syarat yang harus dilakukan jika penduduk kampung itu ingin terhindar dari musibah besar.
Tentu saja kepala kampung dan orang-orang yang hadir di situ langsung menyanggupinya. Tubuh buaya lalu dibungkus dengan kain putih. Perempuan istri Sang Ksatria Tampan memberi petunjuk agar buaya itu diberi pemberat batu dan dikuburkan dengan cara ditenggelamkan ke dalam sebuah kedung di tepi Sungai Ciserayu yang tidak jauh dari kampung mereka. Semua permintaan perempuan itu dilaksanakan dengan patuh oleh penduduk kampung dengan harapan mereka terhindar dari malapetaka akibat kekerasan yang telah mereka lakukan.

Tak lama kemudian perempuan itu hamil. Ketika tiba saatnya perempuan itu melahirkan, lahirlah anaknya yang cakap dan tampan mirip Sang Ksatria Tampan, ayah bayi itu. Sayang perempuan itu meninggal dengan bayinya tak lama setelah melahirkan. Sejak kejadian itu, penduduk kampung itu tidak pernah lagi mau membunuh seekor buaya pun. Mereka baru membunuh buaya yang nakal yang benar-benar telah memangsa penduduk. Sebab penduduk sudah memuliakan buaya dengan cara tidak pernah menganggu buaya itu. Bahkan pada bulan-bulan tertentu penduduk telah memberikan korban binatang ternak kepada buaya yang ada di kedung tidak jauh dari kampung itu. Sejak itu berlaku pantangan seorang gadis dilarang mandi di Sungai Ciserayu jika senjakala hampir tiba.
*
Sang Dewi dan rombongan tertegun mendengar kisah dari tukang sauh yang menarik itu. “Jadi kalau ada buaya nakal yang memangsa salah seorang penduduk, baru buaya itu dicari dan boleh dibunuhnya?” tanya Sang Dewi.
“Betul sekali, Ndara Kanjeng Ayu,” jawab tukang sauh yang satunya lagi.“ Penduduk akan meminta bantuan tukang gendam untuk menangkap buaya yang nakal itu. Biasanya tidak sampai tujuh hari buaya yang nakal tadi akan menampakkan diri di tepi sungai. Tukang gendam dan penduduk sudah siap menunggu dengan alat-alat pembunuh buaya. Begitu buaya tadi muncul, langsung dihujani dengan tombak, parang, linggis, bambu runcing, dan alat-alat pembunuh lainnya.”
“Jarang ada buaya yang nakal karena memangsa penduduk dan tidak tertangkap,” kata tukang sauh. “Itu sebabnya, penduduk tidak pernah kapok mandi ke Sungai Ciserayu, meskipun ada risiko dimangsa buaya.Tentu saja sepanjang tidak melanggar pantangan yang telah ditetapkan oleh adat.”
“Sebenarnya makanan buaya bukanlah manusia. Makanannya aneka binatang hutan yang turun ke air untuk mencari air minum, seperti kijang, kambing hutan, babi hutan, kera, bahkan burung-burung rawa yang sering mendatangi muara sungai karena di sana banyak ikannya. Itu sebabnya di muara sungai biasanya banyak buayanya,” kata tukang sauh yang pandai berceritera itu.
“Jadi kalau tidak diganggu, buaya sebenarnya tidak memangsa manusia?” tanya Sang Dewi.
“Benar, Ndara Kanjeng Ayu Adipati. Hanya kalau lapar memang buaya mau memangsa manusia,” kata tukang sauh.
“Diajeng, seperti juga manusia. Buaya itu ada yang baik dan ada pula yang jahat,” kata Kamandaka kepada istrinya. ”Penduduk yang tinggal di sekitar sungai yang banyak buayanya ada juga yang mempunyai kepercayaan seperti penduduk di kampung pinggir Sungai Ciserayu seperti yang diceriterakan tadi. Mereka mempunya kepercayaan, adanya penduduk yang jadi korban mangsa buaya itu karena memang dia telah dipilih menjadi tumbal oleh Sang Raja Buaya yang berkuasa di sungai. Untuk menghindari agar tidak ada lagi manusia yang jadi tumbal, secara rutin penduduk biasanya memberikan korban kepada Sang Raja Buaya berupa ternak sebagai ganti tumbal manusia. Dari sinilah muncul tradisi penduduk memuja buaya. Buaya tidak boleh dibunuh. Yang dibunuh hanyalah buaya-buaya yang nakal tadi. Yaitu buaya yang sudah diberi korban ternak, tetapi masih juga memangsa penduduk.”
“Apakah ada tradisi memuja buaya di sepanjang Sungai Ciserayu, Kanda?” tanya Sang Dewi.
“Sepengetahuanku tidak ada. Paling di kampung yang diceriterakan itu tadi yang hanya dilakukan penduduk kampung yang jumlahnya terbatas. Tidak adanya totemisme atau ritual pemujaan kepada binatang di Lembah Ciserayu, karena penganut agama Syiwa di Lembah Ciserayu cukup kuat. Aku tidak tahu kalau di daerah muara. Karena memang agama Wisnu di pulau Jawa banyak bermunculan di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Tetapi agama Wisnu juga cepat sekali terpecah-pecah menjadi sekte yang menyimpang, seperti sekte penyembah Ditya Kala Rembuculung yang dulu pernah dianut Raja Nusakambangan. Pemujaan kepada buaya biasanya juga merupakan salah satu bentuk penyimpangan dari sekte agama Wisnu,” kata Kamandaka.
“Ya, tetapi menurut Dinda Sekarmenur, Raja Pulebahas telah kembali menyembah agama Syiwa,” kata Sang Dewi pula.
Tak terasa perjalanan rombongan Sang Dewi yang sedang melayari Sungai Ciserayu itu telah melewati wilayah Arjabinangun. Perbincangan soal buaya segera berakhir. Sebentar lagi perahu akan tiba di muara Sungai Ciserayu. Memang mengarungi sungai ke arah hilir lebih mudah dan tentu saja lebih cepat dari pada bergerak ke arah hulu. Tak lama kemudian perahu-perahu yang membawa rombongan Sang Dewi telah mencapai muara. Ketika perahu merapat, Kamandaka segera melangkah turun diikuti Sang Dewi. “Terima kasih ya, sebuah perjalanan mengarungi Sungai Ciserayu yang mengasyikkan,” kata Sang Dewi kepada keempat tukang sauh sambil menyalami mereka.
Dengan dipandu Sekarmenur yang didampingi Wirapati, rombongan Sang Dewi dan Kamandaka menuju Padepokan Batu Putih yang berada di tepi laut. Di Padepokan Batu Putih Sang Dewi dan Kamandaka beserta seluruh anggota rombongan diterima dengan ramah oleh Janggan Nilasakti dan Resi Batu Putih.
“Yang Suci Bapa Resi, Ini Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati Kadipaten Pasirluhur yang baru dilantik beserta rombongan. Dan itu adalah Pendeta Muda dari Kerajaan Pajajaran, Kanda Amenglayaran Bujangga Manik. Kami semua ingin menjalin persahabatan dengan Bapa Resi,” kata Sekarmenur yang saat itu menjadi jurubicara rombongan. Sekarmenur sudah lama mengenal Resi Batu Putih.
“Kami berdua dengan istri, dan Kanda Pendeta Muda Amenglayaran disertai adik-adik kami dan beberapa punggawa kami, menyampaikan salam bakti kami kepada Yang Suci Bapa Resi Batu Putih,” kata Kamandaka menyampaikan kata sambutannya atas permintaan Sekarmenur. Pendeta Muda Amenglayaran melakukan hormat secara khusus kepada Resi Batu Putih.
“Salam bakti Ananda Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, Bapa terima. Demikian pula salam hormat dari Pendeta Muda Amenglayaran Bujangga Manik. Semoga para Dewa berkenan melindungi Ananda Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati beserta segenap rombongan. Ananda Sekarmenur telah memberitahu Bapa, bahwa Ananda Kanjeng Adipati besera istri dan rombongan akan berkunjung ke Padepokan Batu Putih yang sangat sederhana ini,” kata Resi Batu Putih dengan wajah gembira.
“Suatu kehormatan dan terimakasih tak terhingga, Yang Suci Bapa Resi telah bersedia menerima kami dengan rombongan,” kata Kamandaka.
“Kanda Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, Yang Suci Bapa Resi Batu Putih inilah yang dulu membantu dinda melakukan upacara merabukan jasad Raja Pulebahas, Patih Puletembini, Tumenggung Surejaladri, dan Rangga Singalaut. Yang Suci Bapa Resi Batu Putih juga yang memimpin upacara melarung abu jasad yang telah diperabukan,” kata Sekarmenur pula.
“Kami mengucapkan terimakasih atas bantuan dan kebaikan Yang Suci Bapa Resi kepada Dinda Sekarmenur beberapa waktu yang lalu,” kata Kamandaka.
“Ah, bantuan yang tidak seberapa. Sekedar melaksanakan kewajiban. Lebih-lebih karena menurut Ananda Sekarmenur, Raja Pulebahas dan anak buahnya itu sudah kembali menjadi penyembah Sang Hyang Syiwa,” kata Resi Batu Putih dengan sikap rendah hati.
“Janggan Nilasakti, mana hidangan untuk para tamu? Cari cantrik atau endang di dapur supaya segera mengeluarkan minuman, buah-buahan, dan makanan kecil lainnya untuk menjamu para tamu agung ini,” kata Resi Batu Putih pula kepada pembantu setianya, Janggan Nilasakti.
“Sedang disiapkan, Eyang Resi,” jawab Janggan Nilasakti.
“Kalau begitu tolong siapkan juga sanggar untuk berdoa di Goa Batu Putih. Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati akan berdoa sejenak di sana. Jika sudah siap, beritahu secepatnya,” perintah Resi Batu Putih. Janggan Nilasakti segera mundur dari ruang tamu padepokan. Dia bergegas naik ke Goa Batu Putih yang berada di ketinggian tertentu di tengah-tengah bukit Batu Putih.
Padepokan Batu Putih merupakan padepokan yang berada di kaki bukit karang yang menghadap ke laut. Ketika muara Sungai Ciserayu jatuh ke tangan Kerajaan Nusakambangan, Raja Nusakambangan tetap mengijinkan Padepokan Batu Putih menyelenggarakan upacara menyembah Sang Hyang Syiwa.
Sang Dewi dan Kanjeng Adipati, lewat Sekarmenur telah minta kepada Resi Batu Putih agar diijinkan berdoa di gua Batu Putih yang menghadap Lautan Selatan itu. Sang Dewi dan Kamandaka ingin memanfaatkan kunjungannya ke Padepokan Batu Putih untuk berdoa dan bersamadhi sejenak di Goa Batu Putih. Mereka berdua ingin memohon kepada Yang Maha Kuasa agar secepatnya diberikan anak yang akan menjadi ahli waris dan pelanjut keturunan mereka berdua.
Dari mulut gua, Lautan Selatan dengan gelombangnya yang besar nampak jelas. Demikian pula Pulau Bandung, pulau tempat tumbuhnya bunga sakti Wijayakusuma. Tak berapa lama Janggan Nilasakti sudah muncul kembali di ruang pertemuan padepokan dan katanya kepada Resi Batu Putih.
“Eyang Resi, sanggar pamujan Goa Batu Putih telah hamba siapkan. Silahkan jika Eyang Resi akan membawa Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati kesana,” kata Janggan Nilasakti sambil melapor.
“Ananda Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, marilah Eyang antarkan ke sanggar pamujan di Goa Batu Putih jika ingin bersamadhi dan berdoa. Janggan Nilasakti akan memandu sampai mulut goa Batu Putih.”
Resi Batu Putih mengajak Sang Dewi dan Kamandaka. Mereka segera bangkit mengikuti Janggan Nilasakti. Resi Batu Putih dan Pendeta Muda Amenglayaran mengikutinya dari belakang.
Sesudah melewati tangga batu yang agak memutar, akhirnya Janggan Nilasakti, Sang Dewi, Kamandaka, Pendeta Amenglayaran, dan Resi Batu Putih sampai di depan mulut Goa Batu Putih. Gua itu berukuran sedang, bisa menampung sekitar sepuluh orang. Resi Batu Putih telah mengubahnya menjadi sebuah sanggar pamujaan untuk berdoa dan bersamadhi. Sanggar ditata sangat menarik, dindingnya diberi cat warna putih. Di sudut ada rak berisi gulungan-gulungan rontal berisi mantra-mantra. Lantainya ditutup dengan tikar halus yang dianyam oleh tangan-tangan trampil sehingga terasa lembut.
Sebelum masuk ke dalam goa sanggar pamujan, di halaman teras mulut goa yang cukup lebar itu, Sang Dewi, Kamandaka, dan Pendeta Amenglayaran menatap dengan kagum keindahan Lautan Selatan dipandang dari ketinggian tertentu. Matahari dengan cahayanya yang kemilau sudah hampir mencapai puncaknya. Laut biru itu membentang luas bagaikan cermin raksasa yang di atasnya bergulung-gulung ombak putih saling berkejar-kejaran.
“Itu lah pulau Bandung, tempat bunga sakti Wijayakusuma tumbuh dan disucikan orang,” kata Resi Batu Putih sambil menunjuk pulau kecil tidak jauh dari ujung timur pulau Nusakambangan yang membujur dari barat ke timur sejajar dengan pantai selatan Pulau Jawa.
“Banyak kisah yang pernah ananda Dewi dengar, Yang Suci Bapa Resi. Menurut Bapa Resi bagaimana bunga sakti dan langka itu bisa tumbuh di sana?” tanya Sang Dewi sambil menatap ke lautan luas yang terbentang di depannya itu.
“Jalan ceriteranya sebenarnya bermacam-macam,” kata Resi Batu Putih.
“Tetapi pada salah satu rontal yang sempat Bapa baca, konon setelah perang Bharata Yudha selesai Batara Narada diutus Sang Hyang Guru untuk meminta senjata pusaka Sri Kresna yakni senjata cakra dan bunga Wijayakusuma, sebab senjata-senjata pusaka itu pusaka kahyangan milik para dewa. Setelah Perang Bharata Yudha selesai, pusaka-pusaka itu harus segera dikembalikan. Sri Kresna tidak keberatan untuk menyerahkan senjata cakra kepada Batara Narada. Tetapi untuk pusaka kembang Wijayakusuma, Sri Kresna mohon agar pusaka kembang Wijayakusuma itu boleh dilarung lewat muara Sungai Ciserayu ke Lautan Suci Lautan Selatan, atau Lautan Nusantara. Perlunya agar bunga milik para dewa itu tetap bisa memberi manfaat bagi manusia. Ternyata Batara Narada menyetujui permohonan Sri Kresna (bersambung )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar