Akhirnya setelah perempuan itu reda
dari kesedihannya yang mendalam, dia meminta kepada kepala kampung agar
penduduk mau menguburkan buaya itu sebagaimana layaknya mengubur manusia. Itu
semua adalah syarat yang harus dilakukan jika penduduk kampung itu ingin
terhindar dari musibah besar.
Tentu saja kepala
kampung dan orang-orang yang hadir di situ langsung menyanggupinya. Tubuh buaya
lalu dibungkus dengan kain putih. Perempuan istri Sang Ksatria Tampan memberi
petunjuk agar buaya itu diberi pemberat batu dan dikuburkan dengan cara
ditenggelamkan ke dalam sebuah kedung di tepi Sungai Ciserayu yang tidak jauh
dari kampung mereka. Semua permintaan perempuan itu dilaksanakan dengan patuh
oleh penduduk kampung dengan harapan mereka terhindar dari malapetaka akibat
kekerasan yang telah mereka lakukan.
Tak lama kemudian perempuan itu hamil. Ketika tiba saatnya perempuan itu melahirkan, lahirlah anaknya yang cakap dan tampan mirip Sang Ksatria Tampan, ayah bayi itu. Sayang perempuan itu meninggal dengan bayinya tak lama setelah melahirkan. Sejak kejadian itu, penduduk kampung itu tidak pernah lagi mau membunuh seekor buaya pun. Mereka baru membunuh buaya yang nakal yang benar-benar telah memangsa penduduk. Sebab penduduk sudah memuliakan buaya dengan cara tidak pernah menganggu buaya itu. Bahkan pada bulan-bulan tertentu penduduk telah memberikan korban binatang ternak kepada buaya yang ada di kedung tidak jauh dari kampung itu. Sejak itu berlaku pantangan seorang gadis dilarang mandi di Sungai Ciserayu jika senjakala hampir tiba.
Tak lama kemudian perempuan itu hamil. Ketika tiba saatnya perempuan itu melahirkan, lahirlah anaknya yang cakap dan tampan mirip Sang Ksatria Tampan, ayah bayi itu. Sayang perempuan itu meninggal dengan bayinya tak lama setelah melahirkan. Sejak kejadian itu, penduduk kampung itu tidak pernah lagi mau membunuh seekor buaya pun. Mereka baru membunuh buaya yang nakal yang benar-benar telah memangsa penduduk. Sebab penduduk sudah memuliakan buaya dengan cara tidak pernah menganggu buaya itu. Bahkan pada bulan-bulan tertentu penduduk telah memberikan korban binatang ternak kepada buaya yang ada di kedung tidak jauh dari kampung itu. Sejak itu berlaku pantangan seorang gadis dilarang mandi di Sungai Ciserayu jika senjakala hampir tiba.
*
Sang Dewi dan rombongan tertegun
mendengar kisah dari tukang sauh yang menarik itu. “Jadi kalau ada buaya nakal
yang memangsa salah seorang penduduk, baru buaya itu dicari dan boleh
dibunuhnya?” tanya Sang Dewi.
“Betul sekali,
Ndara Kanjeng Ayu,” jawab tukang sauh yang satunya lagi.“ Penduduk akan meminta
bantuan tukang gendam untuk menangkap buaya yang nakal itu. Biasanya tidak
sampai tujuh hari buaya yang nakal tadi akan menampakkan diri di tepi sungai.
Tukang gendam dan penduduk sudah siap menunggu dengan alat-alat pembunuh buaya.
Begitu buaya tadi muncul, langsung dihujani dengan tombak, parang, linggis,
bambu runcing, dan alat-alat pembunuh lainnya.”
“Jarang ada buaya
yang nakal karena memangsa penduduk dan tidak tertangkap,” kata tukang sauh.
“Itu sebabnya, penduduk tidak pernah kapok mandi ke Sungai Ciserayu, meskipun
ada risiko dimangsa buaya.Tentu saja sepanjang tidak melanggar pantangan yang
telah ditetapkan oleh adat.”
“Sebenarnya
makanan buaya bukanlah manusia. Makanannya aneka binatang hutan yang turun ke
air untuk mencari air minum, seperti kijang, kambing hutan, babi hutan, kera,
bahkan burung-burung rawa yang sering mendatangi muara sungai karena di sana
banyak ikannya. Itu sebabnya di muara sungai biasanya banyak buayanya,” kata
tukang sauh yang pandai berceritera itu.
“Jadi kalau tidak
diganggu, buaya sebenarnya tidak memangsa manusia?” tanya Sang Dewi.
“Benar, Ndara
Kanjeng Ayu Adipati. Hanya kalau lapar memang buaya mau memangsa manusia,” kata
tukang sauh.
“Diajeng, seperti
juga manusia. Buaya itu ada yang baik dan ada pula yang jahat,” kata Kamandaka
kepada istrinya. ”Penduduk yang tinggal di sekitar sungai yang banyak buayanya
ada juga yang mempunyai kepercayaan seperti penduduk di kampung pinggir Sungai
Ciserayu seperti yang diceriterakan tadi. Mereka mempunya kepercayaan, adanya
penduduk yang jadi korban mangsa buaya itu karena memang dia telah dipilih
menjadi tumbal oleh Sang Raja Buaya yang berkuasa di sungai. Untuk menghindari
agar tidak ada lagi manusia yang jadi tumbal, secara rutin penduduk biasanya
memberikan korban kepada Sang Raja Buaya berupa ternak sebagai ganti tumbal
manusia. Dari sinilah muncul tradisi penduduk memuja buaya. Buaya tidak boleh
dibunuh. Yang dibunuh hanyalah buaya-buaya yang nakal tadi. Yaitu buaya yang
sudah diberi korban ternak, tetapi masih juga memangsa penduduk.”
“Apakah ada
tradisi memuja buaya di sepanjang Sungai Ciserayu, Kanda?” tanya Sang Dewi.
“Sepengetahuanku
tidak ada. Paling di kampung yang diceriterakan itu tadi yang hanya dilakukan
penduduk kampung yang jumlahnya terbatas. Tidak adanya totemisme atau ritual
pemujaan kepada binatang di Lembah Ciserayu, karena penganut agama Syiwa di
Lembah Ciserayu cukup kuat. Aku tidak tahu kalau di daerah muara. Karena memang
agama Wisnu di pulau Jawa banyak bermunculan di sepanjang pantai selatan Pulau
Jawa. Tetapi agama Wisnu juga cepat sekali terpecah-pecah menjadi sekte yang
menyimpang, seperti sekte penyembah Ditya Kala Rembuculung yang dulu pernah
dianut Raja Nusakambangan. Pemujaan kepada buaya biasanya juga merupakan salah
satu bentuk penyimpangan dari sekte agama Wisnu,” kata Kamandaka.
“Ya, tetapi
menurut Dinda Sekarmenur, Raja Pulebahas telah kembali menyembah agama Syiwa,”
kata Sang Dewi pula.
Tak terasa
perjalanan rombongan Sang Dewi yang sedang melayari Sungai Ciserayu itu telah
melewati wilayah Arjabinangun. Perbincangan soal buaya segera berakhir.
Sebentar lagi perahu akan tiba di muara Sungai Ciserayu. Memang mengarungi
sungai ke arah hilir lebih mudah dan tentu saja lebih cepat dari pada bergerak
ke arah hulu. Tak lama kemudian perahu-perahu yang membawa rombongan Sang Dewi
telah mencapai muara. Ketika perahu merapat, Kamandaka segera melangkah turun
diikuti Sang Dewi. “Terima kasih ya, sebuah perjalanan mengarungi Sungai
Ciserayu yang mengasyikkan,” kata Sang Dewi kepada keempat tukang sauh sambil
menyalami mereka.
Dengan dipandu
Sekarmenur yang didampingi Wirapati, rombongan Sang Dewi dan Kamandaka menuju
Padepokan Batu Putih yang berada di tepi laut. Di Padepokan Batu Putih Sang
Dewi dan Kamandaka beserta seluruh anggota rombongan diterima dengan ramah oleh
Janggan Nilasakti dan Resi Batu Putih.
“Yang Suci Bapa
Resi, Ini Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati Kadipaten Pasirluhur yang
baru dilantik beserta rombongan. Dan itu adalah Pendeta Muda dari Kerajaan
Pajajaran, Kanda Amenglayaran Bujangga Manik. Kami semua ingin menjalin
persahabatan dengan Bapa Resi,” kata Sekarmenur yang saat itu menjadi
jurubicara rombongan. Sekarmenur sudah lama mengenal Resi Batu Putih.
“Kami berdua
dengan istri, dan Kanda Pendeta Muda Amenglayaran disertai adik-adik kami dan
beberapa punggawa kami, menyampaikan salam bakti kami kepada Yang Suci Bapa
Resi Batu Putih,” kata Kamandaka menyampaikan kata sambutannya atas permintaan
Sekarmenur. Pendeta Muda Amenglayaran melakukan hormat secara khusus kepada
Resi Batu Putih.
“Salam bakti
Ananda Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, Bapa terima. Demikian pula
salam hormat dari Pendeta Muda Amenglayaran Bujangga Manik. Semoga para Dewa
berkenan melindungi Ananda Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati beserta
segenap rombongan. Ananda Sekarmenur telah memberitahu Bapa, bahwa Ananda
Kanjeng Adipati besera istri dan rombongan akan berkunjung ke Padepokan Batu
Putih yang sangat sederhana ini,” kata Resi Batu Putih dengan wajah gembira.
“Suatu kehormatan dan terimakasih tak
terhingga, Yang Suci Bapa Resi telah bersedia menerima kami dengan rombongan,”
kata Kamandaka.
“Kanda Kanjeng
Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, Yang Suci Bapa Resi Batu Putih inilah yang
dulu membantu dinda melakukan upacara merabukan jasad Raja Pulebahas, Patih
Puletembini, Tumenggung Surejaladri, dan Rangga Singalaut. Yang Suci Bapa Resi
Batu Putih juga yang memimpin upacara melarung abu jasad yang telah
diperabukan,” kata Sekarmenur pula.
“Kami mengucapkan
terimakasih atas bantuan dan kebaikan Yang Suci Bapa Resi kepada Dinda
Sekarmenur beberapa waktu yang lalu,” kata Kamandaka.
“Ah, bantuan yang
tidak seberapa. Sekedar melaksanakan kewajiban. Lebih-lebih karena menurut
Ananda Sekarmenur, Raja Pulebahas dan anak buahnya itu sudah kembali menjadi
penyembah Sang Hyang Syiwa,” kata Resi Batu Putih dengan sikap rendah hati.
“Janggan
Nilasakti, mana hidangan untuk para tamu? Cari cantrik atau endang di dapur
supaya segera mengeluarkan minuman, buah-buahan, dan makanan kecil lainnya
untuk menjamu para tamu agung ini,” kata Resi Batu Putih pula kepada pembantu
setianya, Janggan Nilasakti.
“Sedang
disiapkan, Eyang Resi,” jawab Janggan Nilasakti.
“Kalau begitu
tolong siapkan juga sanggar untuk berdoa di Goa Batu Putih. Kanjeng Adipati dan
Kanjeng Ayu Adipati akan berdoa sejenak di sana. Jika sudah siap, beritahu
secepatnya,” perintah Resi Batu Putih. Janggan Nilasakti segera mundur dari
ruang tamu padepokan. Dia bergegas naik ke Goa Batu Putih yang berada di
ketinggian tertentu di tengah-tengah bukit Batu Putih.
Padepokan Batu
Putih merupakan padepokan yang berada di kaki bukit karang yang menghadap ke
laut. Ketika muara Sungai Ciserayu jatuh ke tangan Kerajaan Nusakambangan, Raja
Nusakambangan tetap mengijinkan Padepokan Batu Putih menyelenggarakan upacara
menyembah Sang Hyang Syiwa.
Sang Dewi dan
Kanjeng Adipati, lewat Sekarmenur telah minta kepada Resi Batu Putih agar
diijinkan berdoa di gua Batu Putih yang menghadap Lautan Selatan itu. Sang Dewi
dan Kamandaka ingin memanfaatkan kunjungannya ke Padepokan Batu Putih untuk
berdoa dan bersamadhi sejenak di Goa Batu Putih. Mereka berdua ingin memohon
kepada Yang Maha Kuasa agar secepatnya diberikan anak yang akan menjadi ahli
waris dan pelanjut keturunan mereka berdua.
Dari mulut gua,
Lautan Selatan dengan gelombangnya yang besar nampak jelas. Demikian pula Pulau
Bandung, pulau tempat tumbuhnya bunga sakti Wijayakusuma. Tak berapa lama
Janggan Nilasakti sudah muncul kembali di ruang pertemuan padepokan dan katanya
kepada Resi Batu Putih.
“Eyang Resi,
sanggar pamujan Goa Batu Putih telah hamba siapkan. Silahkan jika Eyang Resi
akan membawa Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati kesana,” kata Janggan
Nilasakti sambil melapor.
“Ananda Kanjeng
Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, marilah Eyang antarkan ke sanggar pamujan di
Goa Batu Putih jika ingin bersamadhi dan berdoa. Janggan Nilasakti akan memandu
sampai mulut goa Batu Putih.”
Resi Batu Putih
mengajak Sang Dewi dan Kamandaka. Mereka segera bangkit mengikuti Janggan
Nilasakti. Resi Batu Putih dan Pendeta Muda Amenglayaran mengikutinya dari
belakang.
Sesudah melewati
tangga batu yang agak memutar, akhirnya Janggan Nilasakti, Sang Dewi,
Kamandaka, Pendeta Amenglayaran, dan Resi Batu Putih sampai di depan mulut Goa
Batu Putih. Gua itu berukuran sedang, bisa menampung sekitar sepuluh orang.
Resi Batu Putih telah mengubahnya menjadi sebuah sanggar pamujaan untuk berdoa
dan bersamadhi. Sanggar ditata sangat menarik, dindingnya diberi cat warna
putih. Di sudut ada rak berisi gulungan-gulungan rontal berisi mantra-mantra.
Lantainya ditutup dengan tikar halus yang dianyam oleh tangan-tangan trampil
sehingga terasa lembut.
Sebelum masuk ke dalam goa sanggar
pamujan, di halaman teras mulut goa yang cukup lebar itu, Sang Dewi, Kamandaka,
dan Pendeta Amenglayaran menatap dengan kagum keindahan Lautan Selatan
dipandang dari ketinggian tertentu. Matahari dengan cahayanya yang kemilau
sudah hampir mencapai puncaknya. Laut biru itu membentang luas bagaikan cermin
raksasa yang di atasnya bergulung-gulung ombak putih saling berkejar-kejaran.
“Itu lah pulau
Bandung, tempat bunga sakti Wijayakusuma tumbuh dan disucikan orang,” kata Resi
Batu Putih sambil menunjuk pulau kecil tidak jauh dari ujung timur pulau
Nusakambangan yang membujur dari barat ke timur sejajar dengan pantai selatan
Pulau Jawa.
“Banyak kisah
yang pernah ananda Dewi dengar, Yang Suci Bapa Resi. Menurut Bapa Resi
bagaimana bunga sakti dan langka itu bisa tumbuh di sana?” tanya Sang Dewi
sambil menatap ke lautan luas yang terbentang di depannya itu.
“Jalan
ceriteranya sebenarnya bermacam-macam,” kata Resi Batu Putih.
“Tetapi pada
salah satu rontal yang sempat Bapa baca, konon setelah perang Bharata Yudha
selesai Batara Narada diutus Sang Hyang Guru untuk meminta senjata pusaka Sri
Kresna yakni senjata cakra dan bunga Wijayakusuma, sebab senjata-senjata pusaka
itu pusaka kahyangan milik para dewa. Setelah Perang Bharata Yudha selesai,
pusaka-pusaka itu harus segera dikembalikan. Sri Kresna tidak keberatan untuk
menyerahkan senjata cakra kepada Batara Narada. Tetapi untuk pusaka kembang
Wijayakusuma, Sri Kresna mohon agar pusaka kembang Wijayakusuma itu boleh
dilarung lewat muara Sungai Ciserayu ke Lautan Suci Lautan Selatan, atau Lautan
Nusantara. Perlunya agar bunga milik para dewa itu tetap bisa memberi manfaat
bagi manusia. Ternyata Batara Narada menyetujui permohonan Sri Kresna (bersambung )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar