Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 03 Desember 2019

Novel : Pusaka Kembang Wijaya Kusuma (24)



Santap siang dengan aneka macam makanan, minuman, dan buah-buahan telah disajikan di ruang tamu padepokan yang telah di sulap jadi tempat makan bersama dengan duduk melingkar di atas tikar halus yang digelar di lantai. Sejumlah endang siswi padepokan hilir mudik melayani para tamu. Resi Batu Putih segera mempersilahkan Sang Dewi mengawali hidangan santap siang dengan didampingi Kamandaka.
“Silahkan, Ananda Kanjeng Ayu Adipati. Masakan tidak selezat juru masak Kadipaten Pasirluhur. Hanya olahan para endang siswi padepokan. Ayo, Ananda Kanjeng Adipati! ” kata Resi Batu Putih merendah mempersilahkan Sang Dewi dan Kamandaka beserta rombongan menikmati hidangan santap siang.
“Terima kasih, Yang Suci Bapa Resi, kami telah merepotkan keluarga Padepokan Batu Putih,” kata Sang Dewi seraya mengambilkan nasi untuk suaminya, Kamandaka. Dyah Ayu Sekar Menur, Dyah Ayu Mayang Sari, dan Dyah Ayu Ratna Pemekas ikut-ikutan mengambilkan nasi untuk kekasihnya masing-masing. Khandegwilis tidak kalah sigapnya. Dia mengambilkan untuk Nyai Kertisara, Rekajaya, dan Tumenggung Maresi. Sayur lodeh, lalaban, dan aneka macam ikan laut yang dibakar, menjadi menu utama santap siang di Padepokan Batu Putih.
“Kami atas nama seluruh keluarga Padepokan Batu Putih yang seharusnya menyampaikan ucapan terimakasih kepada Ananda Kanjeng Ayu Adipati beserta rombongan yang telah berkenan singgah di padepokan yang sederhana ini,” kata Resi Batu Putih sambil menemani tamunya menikmati hidangan santap siang.
Lurah Karangjati dengan anak buahnya, prajurit pengawal dari Kadipaten Pasirluhur, menikmati santap siang di tempat terpisah. Mereka makan dengan berkumpul bersama di serambi padepokan ditemani para cantrik sambil saling berkenalan dan mengakrabkan persahabatan. Sejumlah endang juga melayani keperluan makan dan minum para prajurit pengawal yang berada dibawah pimpinan Lurah Karangjati.
Tentu para endang siswi padepokan yang paling sibuk. Sebab merekalah yang ditugaskan untuk memasak makanan dan menyajikannya kepada para tamu. Semua bahan mentah dan aneka buah-buahan sengaja didatangkan jauh-jauh hari dari Nusakambangan atas perintah Dyah Ayu Sekarmenur. Para siswi padepokan itu tinggal mengolahnya. Tentu saja para cantrik padepokan juga sibuk memberikan bantuan dalam hajatan menyambut rombongan tamu dari Kadipaten Pasirluhur.
Kepala cantrik Janggan Nilasakti, juga tidak kalah sibuk mengatur anak buahnya agar semua tamu termasuk para prajurit pengiring dari Kadipaten Pasirluhur tidak ada yang tidak kebagian menu makan siang. Siang itu bagi para cantrik dan endang Padepokan Batu Putih menjadi semacam pesta menyambut tamu yang amat menyenangkan, karena melimpahnya bahan makanan, buah-buahan, dan minuman yang jarang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka, para cantrik dan warga Padepokan Batu Putih sama sekali tidak menyadari, bahwa kegiatan mereka menyambut tamu itu akan segera disusul dengan kejadian yang sama sekali tidak mereka duga.
Usai santap siang rombongan Kanjeng Ayu Adipati segera berpamitan kepada Resi Batu Putih dan Janggan Nilasakti, seraya menyampaikan ucapan terimakasih atas segala penyambutan yang begitu ramah yang telah diberikan oleh keluarga besar Padepokan Batu Putih. Rombongan Kanjeng Ayu Adipati segera bergegas meninggalkan Padepokan Batu Putih dan meneruskan perjalanan menuju Nusakambangan.
Sebuah perahu berukuran besar membawa seluruh rombongan Sang Dewi yang hanya berjumlah 27 orang dengan satu kali angkut. Dengan mudah perahu itu melayari laut Segara Anakan menuju Pulau Nusakambangan. Perahu-perahu yang hilir mudik di muara Sungai Ciserayu itu, semakin lama tampak semakin mengecil, ketika perahu yang membawa rombongan Sang Dewi semakin jauh meninggalkan Teluk Penyu.
Matahari sudah condong ke arah barat, langit berwarna biru cerah dengan hanya sedikit awan putih yang tipis. Akibatnya permukaan laut tampak berkilau-kilauan memantulkan warna langit yang terkadang menyilaukan mata. Sang Dewi memandang tak berkedip permukaan air laut yang membiru. Di permukaannya terbentuk gelombang-gelombang kecil berbaris memanjang memenuhi seluruh permukaan laut yang dilayari perahu, sehingga Sang Dewi merasa dia bukan sedang melayari sebuah selat.
“Apa yang sedang Diajeng pikirkan?” tanya Kamandaka ketika melihat istrinya yang duduk disampingnya itu lebih banyak diam.
“Hanya merasa sedikit heran. Ternyata melayari laut tidak berbeda dengan mengarungi sungai. Rasanya permukaan laut ini seperti permukaan sungai yang jauh lebih luas. Lihat saja gelombangnya yang membentuk barisan memanjang di seluruh permukaannya. Semuanya nyaris seragam bentuknya,” kata Sang Dewi sambil terus memandang ke permukaan laut yang bergerak ke belakang, karena perahu melaju ke depan.
“Kalau Kanda, apa yang sedang dipikirkan?” tanya Sang Dewi.
“Kalau aku selalu terpikirkan, kapan segera punya anak dari Diajeng,” jawab Kamandaka sambil tersenyum. Sang Dewi diam saja. Dia sedang mencari-cari kalimat yang tepat untuk mengalihkan pembicaraan.
“Selain itu, apa lagi yang sedang Kanda pikirkan?” Sang Dewi bertanya lagi dengan cerdiknya.
“Yang juga sedang aku pikirkan, aku kagum kepada Raja Pulebahas. Sebenarnya menurutku, dia itu penguasa kerajaan lautan yang hebat. Dia bukan hanya mampu membangun angkatan perang yang tangguh. Tetapi juga mampu membangun armada lautan yang kuat. Lihat saja perahu-perahu yang hilir mudik di selat ini. Selat ini praktis seluruhnya dikuasai perahu-perahu warisan Kerajaan Nusakambangan. Demikian pula perahu-perahu yang beroperasi di muara Sungai Citanduy dan muara Sungai Ciserayu. Baik perahu-perahu angkutan sungai, angkutan laut maupun perahu penangkap ikan, sebagian besar dulunya milik Kerajaan Nusakambangan,” kata Kamandaka.
“Ya, karya yang baik perlu kita tiru. Yang jelek dan buruk, kita tinggalkan. Aku setuju, dia Raja hebat. Mampu membangun kerajaan lautan terbesar di pantai selatan Pulau Jawa,” kata Sang Dewi.
“Sebenarnya dulu pada masa Kerajaan Galuh, Maha Patih Bunisora sudah mempunyai gagasan untuk mengembangkan muara Sungai Ciserayu dan muara Sungai Citanduy menjadi bandar yang besar di Lautan Selatan. Sayang cita-cita Mahapatih Bunisora kandas, karena Sang Raja Niskala Wastukencana lebih suka memindahkan Kerajaan Galuh ke Pakuan Pajajaran,” kata Kamandaka.
“Leluhur Kanjeng Rama sebenarnya kan memiliki kekerabatan juga dengan Mahapatih Bunisora,” kata Sang Dewi menyambung pembicaraan Kamandaka.
“Hampir semua adipati di sekitar lembah Ciserayu dan Citanduy memiliki ikatan kekerabatan dengan Maha Patih Bunisora,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Itu menurut Kanjeng Rama. Dan Kanjeng Rama sepenuhnya benar. Mereka antara lain adalah Adipati Kalipucang, Adipati Cukangleles, Adipati Pasirluhur, Adipati Banakeling Arjabinangun, Adipati Ayah dan Adipati Nusakambangan. Makanya dulu Dinda Wirapati hendak dijodohkan dengan Dyah Ayu Niken Gambirarum, putri Adipati Kalipucang, karena antara Adipati Dayeuhluhur dan Adipati Kalipucang ada ikatan keluarga,” jelas Sang Dewi kepada Kamandaka.
“Lho, bukankah Adipati Dayeuhluhur itu adik Kanjeng Ibu?” tanya Kamandaka.
“Betul. Tetapi istrinya punya hubungan kekerabatan dengan Mahapatih Bunisora dan Adipati Kalipucang,” jawab Sang Dewi.
Di atas perahu yang istimewa itu Sang Dewi dan Kamandaka ditempatkan oleh Sekarmenur di tempat duduk khusus untuk mereka berdua. Di belakang Sang Dewi dan Kamandaka duduk para pengawal pribadi berjumlah 10 orang untuk menjaga keselamatan Sang Dewi dan Kamandaka. Sekarmenur memang tak mau mengambil risiko dengan keamanan Sang Dewi dan Kamandaka. Sebab bagaimanapun juga Kamandaka adalah bekas Panglima Tertinggi dalam perang yang berhasil menaklukan Kerajaan Nusakambangan dan menewaskan Raja Pulebahas beserta anak buahnya beberapa waktu yang lalu. Sekarmenur yang mendapat tugas mengendalikan pemerintahan Nusakambangan itu, sebenarnya sama sekali tidak khawatir dengan keselamatan Kamandaka. Yang dikhawatirkan justru keselamatan Sang Dewi.
Di belakang pasukan pengawal Sang Dewi itu barulah duduk berderet Wirapati, Sekarmenur, Mayangsari dan Silihwarna. Di belakangnya lagi, Arya Baribin, Ratna Pamekas, Sekarmelati, dan Dyah Ayu Sekar Cempaka dalam satu deret. Kemudian di belakangnya lagi, duduk pula berderet Pendeta Muda, Nyai Kertisara, Khandegwilis dan Rekajaya. Lalu duduk di deretan terakhir Tumenggung Maresi, Jigjayuda, Lurah Karangjati, dan para prajurit pengawal.
Perahu yang digunakan untuk menyeberangkan rombongan Sang Dewi itu, sebenarnya perahu istimewa milik Sang Raja Pulebahas yang dirancang sebagai perahu pesiar. Karena itu lambung perahu cukup lebar, mampu membawa 30 orang penumpang, dilengkapi dengan tempat duduk yang nyaman, dan memiliki sepasang tiang layar. Jika angin mati, perahu yang sebagian besar dibuat dari kayu kruing itu, digerakkan oleh delapan tukang sauh di haluan perahu dan delapan tukang sauh di buritan perahu.
Bagi Wirapati, Sekarmenur, dan kedua adiknya menyeberangi laut Segara Anakan tentu sudah puluhan kali. Tetapi bagi Sang Dewi dan Kamandaka beserta adik-adiknya, perjalanan melayari laut itu merupakan pengalaman baru pertama kali. Karena itu mereka lebih banyak menikmati panorama indah dari alam di sekitarnya.
Sementara itu, Sang Dewi dan Kamandaka masih asyik membicarakan Raja Pulebahas. “Kalau begitu leluhur Raja Pulebahas adalah trah Kerajaan Galuh lewat Mahapatih Bunisora?” tanya Kamandaka.
“Ya, benar. Setidaknya itulah penjelasan Kanjeng Rama. Makanya dulu Kanjeng Rama hampir saja menerima pinangan Raja Pulebahas,”
“Kenapa Diajeng menolak?” tanya Kamandaka, mulai menggoda.
“Cemburu!!!” kata Sang Dewi sambil mencubit paha Kamandaka. Kamandaka tertawa sambil menahan rasa sakit. Sayang di belakangnya ada sejumlah pasukan pengawal. Kalau tidak dirinya pasti akan membalas cubitan istrinya itu.
“Pertanyaan aku sungguh-sungguh, nih. Menurut Diajeng, apa sebabnya Raja Pulebahas yang leluhurnya masih ada hubungan kekerabatan dengan para adipati di sekitar lembah Citanduy dan Ciserayu, berubah menjadi seorang Raja penakluk yang dengan wajah dingin membumi hanguskan begitu saja Kadipaten Kalipucang dan Kadipaten Banakeling?”
“Yang tahu banyak soal ini kan Dinda Sekarmenur dan Dinda Wirapati. Tetapi menurut aku penyebabnya adalah karena Raja Pulebahas menjadi pengikut aliran sesat, mempunyai ilmu hitam, dan mempunyai pula pusaka Kembang Wijayakususma. Akibatnya ambisi Raja Pulebahas akan kekuasaan tak terkendali. Dia menjadi seorang raja dan penguasa yang gila kekuasaan. Seorang Raja yang adigang, adigung, dan adiguna. Demi ambisi akan kekuasaan, Kadipaten Kalipucang dan Kadipaten Banakeling-Arjabinangun, dihancurleburkan dan ditumpas kelor habis-habisan.
“Semua anak laki-laki keturunan Adipati Kalicupang dan Banakeling dibunuhnya. Sekarmenur dengan kedua adiknya dan Niken Gambirarum putri Adipati Kalipucang, tidak dihabisi karena dipersiapkan menjadi gadis penghuni Tamanbidadari. Toh pada akhirnya rencanya mereka akan dihabisi juga. Caranya saja yang berbeda. Dinda Sekarmenur dengan ke dua adiknya itu melewati jalan yang unik, sehingga ketiga-tiganya selamat. Yang bernasib malang, padahal jasanya besar sebenarnya adalah Dyah Ayu Niken Gambiarum,” kata Sang Dewi sambil sekali-kali memperhatikan laju perahu yang semakin lama semakin mendekati pulau yang ada di selatan Pulau Jawa itu.
“Ya, itu yang aku belum terlalu paham. Dia tewas pada malam ritual?” tanya Kamandaka.
“Sebelum tewas sebenarnya keduanya sudah melakukan pernikahan secara mandiri. Niken Gambirarum jelas seorang gadis cerdas, pemberani, cantik, dan rela mengorbankan dirinya. Dia berhasil menyadarkan Raja Pulebahas untuk mengakhiri ritual persembahan darah perawan suci yang telah mengorbankan banyak gadis tidak berdosa. Dia pun berhasil mengajak Sang Raja meninggalkan agama sesat yang dipeluk Sang Raja. Sayang sekali nyawanya tidak terselamatkan. Raja Pulebahas dan Niken Gambirarum yang telah menjadi sepasang suami istri itu, melanjutkan malam pengantinnya di atas ranjang ritual yang memang telah banyak mengorbankan nyawa.”
“Barangkali di sinilah kesalahan Dyah Ayu Niken Gambirarum yang berakibat fatal. Padahal pada saat dia sudah mampu menguasai Sang Raja. Seharusnya dia menolak ajakan Sang Raja untuk menikmati malam pengantin di atas ranjang ritual. Mestinya dia meminta kepada Sang Raja agar melewatkan malam pengantin di ranjang peraduan Sang Raja di Istana pribadinya yang tidak jauh dari situ. Jika itu dilakukan, bukan saja Sang Permaisuri akan selamat dari maut, tetapi sejarah Kerajaan Nusakambangan mungkin akan lain. Bisa jadi Kerajaan Nusakambangan akan terus berkibar menjadi kerajaan lautan yang besar dan kuat di Pantai Selatan Pulau Jawa,” kata Sang Dewi pula.
“Oh, begitu kisahnya. Aku baru tahu.”
“Ya, itulah yang namanya garis nasib. Sang Raja dan Dyah Ayu Niken Gambirarum melewati malam pengantin, sampai kedua-duanya tertidur. Pada saat keduanya sedang terlelap tidur itulah, Nyai Gede Wulansari dibantu Sekarmenur dan kedua adiknya menuangkan cairan racun ke mulut Dyah Ayu Niken Gambirarum, sampai tewas. Dalam hal ini Sekarmenur dan adiknya berada dalam posisi sulit. Dia sekedar menjalankan perintah atasannya. Melawan komandannya, Nyai Gede Wulansari, tentu bisa membahayakan nyawa mereka bertiga.”
“Bagaimana nasib Nyai Gede Wulansari, komandan Dinda Sekarmenur itu?” tanya Kamandaka penasaran.
“Dihukum mati Raja Pulebahas bareng-bareng dengan Pendeta Raga Pitar yang mengajarkan aliran sesat,” kata Sang Dewi. “Aku pun harus memuji pengorbanan yang besar dari Dinda Sekarmenur. Sebenarnya kalau dia mau enak, dia bisa saja dengan mudah meraihnya. Tiga gadis kakak beradik yang perkasa itu, sebenarnya adalah gadis-gadis Tamanbidadari kesayangan Raja Pulebahas. Dinda Sekarmenur hampir jadi isri Patih Puletembini, adik Raja. Dinda Sekarmelati hampir jadi istri Tumenggung Surajaladri. Dan Dinda Sekarcempaka hampir jadi istri Rangga Singalaut.”
“Hanya karena perasaan berdosa yang selalu menghantui mereka bertiga, menyebabkan mereka bertiga selalu berusaha ingin keluar dari Kerajaan Nusakambangan,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Ya, memang terkadang kebebasan dan kemerdekaan bagi seseorang merupakan sesuatu yang mahal dan berharga. Sangat wajar jika gadis cerdas dan perkasa seperti Dinda Sekarmenur itu berusaha mendapatkan kemerdakaan dan kebebasannya yang hilang. Rupanya, Yang Maha Kuasa mengabulkan keinginan Dinda Sekarmenur. Secara tidak sengaja Sekarmenur berkenalan dengan Dinda Wirapati yang terus berusaha mencari kekasihnya yang hilang itu. Kanda pasti belum tahu, bukan?”
“Soal apa?”
“Ternyata Dinda Sekarmenurlah yang telah menyarankan Raja Pulebahas untuk melamar aku. Saat itu Sang Raja terus menerus dirundung duka karena kehilangan permaisuri tercintanya,”
“Lho, Iya?”
“Iya. Dinda Sekarmenur pula yang membuatkan surat lamaran yang ditujukan kepada Kanjeng Rama.”
“Masih ada suratnya?”
“Masih, aku simpan. Dinda Sekarmenur pernah tertawa ketika aku beritahu bahwa surat lamaran Sang Raja yang dibuat Dinda Sekarmenur masih aku simpan.”
“Bagus sekali, Diajeng. Bisa dijadikan bukti sejarah bagi anak cucu kita kelak dikemudian hari,” kata Kamandaka sambil tangan kirinya secara tidak sadar kembali diletakkan di atas perut istrinya. Merasa perutnya diraba-raba Sang Dewi tersenyum sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Kamandaka.
“Kanda harus sabar. Yang Suci Bapa Resi Batu Putih kan bilang, kita harus sabar,” bisik Sang Dewi yang tahu apa maksud Kamandaka ketika tangannya meraba-raba perutnya. Suaminya itu ingin cepat-cepat menimang seorang anak.Tiba-tiba Sang Dewi terkejut ketika tahu-tahu Sekarmenur sudah berdiri di samping kirinya dan memberitahu dengan berkata.
“Ayunda Dewi Kanjeng Ayu, sebentar lagi perahu akan berlabuh. Tumenggung Surengpati telah menyediakan jemputan di halaman luar pelabuhan.”
“Terimakasi Dinda Sekarmenur. Pelayaran yang mengasyikkan dan menyenangkan,” kata Sang Dewi sambil bangkit dari tempat duduknya, karena perahu sudah merapat ke pangkalan. Rombongan Sang Dewi segera turun dari perahu. Mereka kini telah tiba di bandar pelabuhan Nusakambangan.
Sekarmenur segera melambaikan tangan ketika melihat Tumenggung Surengpati berdiri di antara anak buahnya yang melakukan penjemputan rombongan Sang Dewi. Tumenggung Surengpati merupakan anak buah Sekarmenur yang ditugasi untuk melaksanakan tugas pemerintahan sehari-hari di Nusakambangan, selama Sekarmenur dan Wirapati tidak ada di tempat.
Sang Dewi dan Kamandaka serta anggota rombongan lainnya yang belum pernah menginjakkan kakinya di Pulau Nusakambangan sering salah membayangkan. Ternyata pulau Nusakambangan itu, bukanlah sebuah pulau karang yang gersang tanpa tumbuh-tumbuhan. Pulau itu sebenarnya tidak banyak bedanya dengan daratan, lembah, hutan dan pantai yang ada di Pulau Jawa. Di tengahnya dari timur ke barat memanjang hutan dan ladang dengan aneka macam tumbuh-tumbuhan mulai dari kelapa, bambu, sawo, mangga, pucung, nangka, siwalan, sengon, mahoni, ketapang, waru, rotan, wuni dan banyak yang lainnya lagi. Bedanya hutan di Nusakambangan dengan hutan di Pulau Jawa, hutan di Nusakambangan dikelilingi laut di sebelah utaranya dan sebuah lautan dengan ombak yang besar di sebelah selatannya.
“Binatang apa saja yang ada di hutan Nusakambangan?” tanya Kamandaka pada Tumenggung Surengpati yang mengantarkan Kamandaka dan Sang Dewi naik kereta kuda empat roda yang ditarik dua ekor kuda. Duduk di belakang sais adalah Sang Dewi yang berdampiangan dengan Kamandaka. Di belakangnya lagi duduk Sekarmenur berdampingan dengan Wirapati. Tumenggung Surengpati duduk di depan berdampingan dengan sais kereta kuda. Dari atas kereta kuda, Kamandaka dan Sang Dewi menyaksikan pohon-pohon raksasa yang berderet di sebelah kanan jalan.
“Banyak jenisnya Kanjeng Adipati. Harimau loreng, harimau tutul, harimau kumbang, rusa, kijang, serigala, babi rusa, lutung, monyet, ular, kalong, aneka macam jenis ular dan burung,” jawab Tumenggung Surengpati yang membuat Kamandaka berdecak kagum.
Kereta kuda yang membawa rombongan Sang Dewi terus bergerak ke arah timur melintasi jalan yang cukup lebar yang telah dipadatkan dengan campuran batu kerikil, pasir dan kapur sehingga cukup keras untuk dilintasi kereta kuda. Semuanya ada empat kereta kuda. Satu kereta kuda dengan dua pasang roda dan tiga kereta kuda dengan sepasang roda yang ditarik seekor kuda. Tiap-tiap kereta kuda bisa dimuati enam penumpang termasuk sais. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar