Santap siang dengan aneka macam
makanan, minuman, dan buah-buahan telah disajikan di ruang tamu padepokan yang
telah di sulap jadi tempat makan bersama dengan duduk melingkar di atas tikar
halus yang digelar di lantai. Sejumlah endang siswi padepokan hilir mudik
melayani para tamu. Resi Batu Putih segera mempersilahkan Sang Dewi mengawali
hidangan santap siang dengan didampingi Kamandaka.
“Silahkan, Ananda
Kanjeng Ayu Adipati. Masakan tidak selezat juru masak Kadipaten Pasirluhur.
Hanya olahan para endang siswi padepokan. Ayo, Ananda Kanjeng Adipati! ” kata
Resi Batu Putih merendah mempersilahkan Sang Dewi dan Kamandaka beserta
rombongan menikmati hidangan santap siang.
“Terima kasih,
Yang Suci Bapa Resi, kami telah merepotkan keluarga Padepokan Batu Putih,” kata
Sang Dewi seraya mengambilkan nasi untuk suaminya, Kamandaka. Dyah Ayu Sekar
Menur, Dyah Ayu Mayang Sari, dan Dyah Ayu Ratna Pemekas ikut-ikutan
mengambilkan nasi untuk kekasihnya masing-masing. Khandegwilis tidak kalah
sigapnya. Dia mengambilkan untuk Nyai Kertisara, Rekajaya, dan Tumenggung
Maresi. Sayur lodeh, lalaban, dan aneka macam ikan laut yang dibakar, menjadi
menu utama santap siang di Padepokan Batu Putih.
“Kami atas nama
seluruh keluarga Padepokan Batu Putih yang seharusnya menyampaikan ucapan
terimakasih kepada Ananda Kanjeng Ayu Adipati beserta rombongan yang telah
berkenan singgah di padepokan yang sederhana ini,” kata Resi Batu Putih sambil
menemani tamunya menikmati hidangan santap siang.
Lurah Karangjati
dengan anak buahnya, prajurit pengawal dari Kadipaten Pasirluhur, menikmati
santap siang di tempat terpisah. Mereka makan dengan berkumpul bersama di
serambi padepokan ditemani para cantrik sambil saling berkenalan dan
mengakrabkan persahabatan. Sejumlah endang juga melayani keperluan makan dan
minum para prajurit pengawal yang berada dibawah pimpinan Lurah Karangjati.
Tentu para endang
siswi padepokan yang paling sibuk. Sebab merekalah yang ditugaskan untuk
memasak makanan dan menyajikannya kepada para tamu. Semua bahan mentah dan
aneka buah-buahan sengaja didatangkan jauh-jauh hari dari Nusakambangan atas
perintah Dyah Ayu Sekarmenur. Para siswi padepokan itu tinggal mengolahnya.
Tentu saja para cantrik padepokan juga sibuk memberikan bantuan dalam hajatan
menyambut rombongan tamu dari Kadipaten Pasirluhur.
Kepala cantrik
Janggan Nilasakti, juga tidak kalah sibuk mengatur anak buahnya agar semua tamu
termasuk para prajurit pengiring dari Kadipaten Pasirluhur tidak ada yang tidak
kebagian menu makan siang. Siang itu bagi para cantrik dan endang Padepokan Batu
Putih menjadi semacam pesta menyambut tamu yang amat menyenangkan, karena
melimpahnya bahan makanan, buah-buahan, dan minuman yang jarang dirasakan dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Mereka, para cantrik dan warga Padepokan Batu
Putih sama sekali tidak menyadari, bahwa kegiatan mereka menyambut tamu itu
akan segera disusul dengan kejadian yang sama sekali tidak mereka duga.
Usai santap siang
rombongan Kanjeng Ayu Adipati segera berpamitan kepada Resi Batu Putih dan
Janggan Nilasakti, seraya menyampaikan ucapan terimakasih atas segala
penyambutan yang begitu ramah yang telah diberikan oleh keluarga besar
Padepokan Batu Putih. Rombongan Kanjeng Ayu Adipati segera bergegas
meninggalkan Padepokan Batu Putih dan meneruskan perjalanan menuju
Nusakambangan.
Sebuah
perahu berukuran besar membawa seluruh rombongan Sang Dewi yang hanya berjumlah
27 orang dengan satu kali angkut. Dengan mudah perahu itu melayari laut Segara
Anakan menuju Pulau Nusakambangan. Perahu-perahu yang hilir mudik di muara Sungai
Ciserayu itu, semakin lama tampak semakin mengecil, ketika perahu yang membawa
rombongan Sang Dewi semakin jauh meninggalkan Teluk Penyu.
Matahari
sudah condong ke arah barat, langit berwarna biru cerah dengan hanya sedikit
awan putih yang tipis. Akibatnya permukaan laut tampak berkilau-kilauan
memantulkan warna langit yang terkadang menyilaukan mata. Sang Dewi memandang
tak berkedip permukaan air laut yang membiru. Di permukaannya terbentuk
gelombang-gelombang kecil berbaris memanjang memenuhi seluruh permukaan laut
yang dilayari perahu, sehingga Sang Dewi merasa dia bukan sedang melayari
sebuah selat.
“Apa
yang sedang Diajeng pikirkan?” tanya Kamandaka ketika melihat istrinya yang
duduk disampingnya itu lebih banyak diam.
“Hanya
merasa sedikit heran. Ternyata melayari laut tidak berbeda dengan mengarungi
sungai. Rasanya permukaan laut ini seperti permukaan sungai yang jauh lebih
luas. Lihat saja gelombangnya yang membentuk barisan memanjang di seluruh
permukaannya. Semuanya nyaris seragam bentuknya,” kata Sang Dewi sambil terus
memandang ke permukaan laut yang bergerak ke belakang, karena perahu melaju ke
depan.
“Kalau
Kanda, apa yang sedang dipikirkan?” tanya Sang Dewi.
“Kalau
aku selalu terpikirkan, kapan segera punya anak dari Diajeng,” jawab Kamandaka
sambil tersenyum. Sang Dewi diam saja. Dia sedang mencari-cari kalimat yang
tepat untuk mengalihkan pembicaraan.
“Selain
itu, apa lagi yang sedang Kanda pikirkan?” Sang Dewi bertanya lagi dengan
cerdiknya.
“Yang
juga sedang aku pikirkan, aku kagum kepada Raja Pulebahas. Sebenarnya
menurutku, dia itu penguasa kerajaan lautan yang hebat. Dia bukan hanya mampu
membangun angkatan perang yang tangguh. Tetapi juga mampu membangun armada
lautan yang kuat. Lihat saja perahu-perahu yang hilir mudik di selat ini. Selat
ini praktis seluruhnya dikuasai perahu-perahu warisan Kerajaan Nusakambangan.
Demikian pula perahu-perahu yang beroperasi di muara Sungai Citanduy dan muara
Sungai Ciserayu. Baik perahu-perahu angkutan sungai, angkutan laut maupun
perahu penangkap ikan, sebagian besar dulunya milik Kerajaan Nusakambangan,”
kata Kamandaka.
“Ya,
karya yang baik perlu kita tiru. Yang jelek dan buruk, kita tinggalkan. Aku
setuju, dia Raja hebat. Mampu membangun kerajaan lautan terbesar di pantai
selatan Pulau Jawa,” kata Sang Dewi.
“Sebenarnya
dulu pada masa Kerajaan Galuh, Maha Patih Bunisora sudah mempunyai gagasan
untuk mengembangkan muara Sungai Ciserayu dan muara Sungai Citanduy menjadi
bandar yang besar di Lautan Selatan. Sayang cita-cita Mahapatih Bunisora
kandas, karena Sang Raja Niskala Wastukencana lebih suka memindahkan Kerajaan
Galuh ke Pakuan Pajajaran,” kata Kamandaka.
“Leluhur
Kanjeng Rama sebenarnya kan memiliki kekerabatan juga dengan Mahapatih
Bunisora,” kata Sang Dewi menyambung pembicaraan Kamandaka.
“Hampir
semua adipati di sekitar lembah Ciserayu dan Citanduy memiliki ikatan
kekerabatan dengan Maha Patih Bunisora,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Itu
menurut Kanjeng Rama. Dan Kanjeng Rama sepenuhnya benar. Mereka antara lain
adalah Adipati Kalipucang, Adipati Cukangleles, Adipati Pasirluhur, Adipati
Banakeling Arjabinangun, Adipati Ayah dan Adipati Nusakambangan. Makanya dulu
Dinda Wirapati hendak dijodohkan dengan Dyah Ayu Niken Gambirarum, putri
Adipati Kalipucang, karena antara Adipati Dayeuhluhur dan Adipati Kalipucang
ada ikatan keluarga,” jelas Sang Dewi kepada Kamandaka.
“Lho,
bukankah Adipati Dayeuhluhur itu adik Kanjeng Ibu?” tanya Kamandaka.
“Betul.
Tetapi istrinya punya hubungan kekerabatan dengan Mahapatih Bunisora dan
Adipati Kalipucang,” jawab Sang Dewi.
Di
atas perahu yang istimewa itu Sang Dewi dan Kamandaka ditempatkan oleh
Sekarmenur di tempat duduk khusus untuk mereka berdua. Di belakang Sang Dewi
dan Kamandaka duduk para pengawal pribadi berjumlah 10 orang untuk menjaga
keselamatan Sang Dewi dan Kamandaka. Sekarmenur memang tak mau mengambil risiko
dengan keamanan Sang Dewi dan Kamandaka. Sebab bagaimanapun juga Kamandaka
adalah bekas Panglima Tertinggi dalam perang yang berhasil menaklukan Kerajaan
Nusakambangan dan menewaskan Raja Pulebahas beserta anak buahnya beberapa waktu
yang lalu. Sekarmenur yang mendapat tugas mengendalikan pemerintahan
Nusakambangan itu, sebenarnya sama sekali tidak khawatir dengan keselamatan
Kamandaka. Yang dikhawatirkan justru keselamatan Sang Dewi.
Di
belakang pasukan pengawal Sang Dewi itu barulah duduk berderet Wirapati,
Sekarmenur, Mayangsari dan Silihwarna. Di belakangnya lagi, Arya Baribin, Ratna
Pamekas, Sekarmelati, dan Dyah Ayu Sekar Cempaka dalam satu deret. Kemudian di
belakangnya lagi, duduk pula berderet Pendeta Muda, Nyai Kertisara,
Khandegwilis dan Rekajaya. Lalu duduk di deretan terakhir Tumenggung Maresi,
Jigjayuda, Lurah Karangjati, dan para prajurit pengawal.
Perahu
yang digunakan untuk menyeberangkan rombongan Sang Dewi itu, sebenarnya perahu
istimewa milik Sang Raja Pulebahas yang dirancang sebagai perahu pesiar. Karena
itu lambung perahu cukup lebar, mampu membawa 30 orang penumpang, dilengkapi
dengan tempat duduk yang nyaman, dan memiliki sepasang tiang layar. Jika angin
mati, perahu yang sebagian besar dibuat dari kayu kruing itu, digerakkan oleh
delapan tukang sauh di haluan perahu dan delapan tukang sauh di buritan perahu.
Bagi
Wirapati, Sekarmenur, dan kedua adiknya menyeberangi laut Segara Anakan tentu
sudah puluhan kali. Tetapi bagi Sang Dewi dan Kamandaka beserta adik-adiknya,
perjalanan melayari laut itu merupakan pengalaman baru pertama kali. Karena itu
mereka lebih banyak menikmati panorama indah dari alam di sekitarnya.
Sementara
itu, Sang Dewi dan Kamandaka masih asyik membicarakan Raja Pulebahas. “Kalau
begitu leluhur Raja Pulebahas adalah trah Kerajaan Galuh lewat Mahapatih
Bunisora?” tanya Kamandaka.
“Ya,
benar. Setidaknya itulah penjelasan Kanjeng Rama. Makanya dulu Kanjeng Rama
hampir saja menerima pinangan Raja Pulebahas,”
“Kenapa
Diajeng menolak?” tanya Kamandaka, mulai menggoda.
“Cemburu!!!”
kata Sang Dewi sambil mencubit paha Kamandaka. Kamandaka tertawa sambil menahan
rasa sakit. Sayang di belakangnya ada sejumlah pasukan pengawal. Kalau tidak
dirinya pasti akan membalas cubitan istrinya itu.
“Pertanyaan
aku sungguh-sungguh, nih. Menurut Diajeng, apa sebabnya Raja Pulebahas yang
leluhurnya masih ada hubungan kekerabatan dengan para adipati di sekitar lembah
Citanduy dan Ciserayu, berubah menjadi seorang Raja penakluk yang dengan wajah
dingin membumi hanguskan begitu saja Kadipaten Kalipucang dan Kadipaten
Banakeling?”
“Yang
tahu banyak soal ini kan Dinda Sekarmenur dan Dinda Wirapati. Tetapi menurut
aku penyebabnya adalah karena Raja Pulebahas menjadi pengikut aliran sesat,
mempunyai ilmu hitam, dan mempunyai pula pusaka Kembang Wijayakususma.
Akibatnya ambisi Raja Pulebahas akan kekuasaan tak terkendali. Dia menjadi
seorang raja dan penguasa yang gila kekuasaan. Seorang Raja yang adigang,
adigung, dan adiguna. Demi ambisi akan kekuasaan, Kadipaten Kalipucang dan
Kadipaten Banakeling-Arjabinangun, dihancurleburkan dan ditumpas kelor
habis-habisan.
“Semua
anak laki-laki keturunan Adipati Kalicupang dan Banakeling dibunuhnya.
Sekarmenur dengan kedua adiknya dan Niken Gambirarum putri Adipati Kalipucang,
tidak dihabisi karena dipersiapkan menjadi gadis penghuni Tamanbidadari. Toh
pada akhirnya rencanya mereka akan dihabisi juga. Caranya saja yang berbeda.
Dinda Sekarmenur dengan ke dua adiknya itu melewati jalan yang unik, sehingga
ketiga-tiganya selamat. Yang bernasib malang, padahal jasanya besar sebenarnya
adalah Dyah Ayu Niken Gambiarum,” kata Sang Dewi sambil sekali-kali
memperhatikan laju perahu yang semakin lama semakin mendekati pulau yang ada di
selatan Pulau Jawa itu.
“Ya,
itu yang aku belum terlalu paham. Dia tewas pada malam ritual?” tanya
Kamandaka.
“Sebelum
tewas sebenarnya keduanya sudah melakukan pernikahan secara mandiri. Niken
Gambirarum jelas seorang gadis cerdas, pemberani, cantik, dan rela mengorbankan
dirinya. Dia berhasil menyadarkan Raja Pulebahas untuk mengakhiri ritual
persembahan darah perawan suci yang telah mengorbankan banyak gadis tidak
berdosa. Dia pun berhasil mengajak Sang Raja meninggalkan agama sesat yang
dipeluk Sang Raja. Sayang sekali nyawanya tidak terselamatkan. Raja Pulebahas
dan Niken Gambirarum yang telah menjadi sepasang suami istri itu, melanjutkan
malam pengantinnya di atas ranjang ritual yang memang telah banyak mengorbankan
nyawa.”
“Barangkali
di sinilah kesalahan Dyah Ayu Niken Gambirarum yang berakibat fatal. Padahal
pada saat dia sudah mampu menguasai Sang Raja. Seharusnya dia menolak ajakan
Sang Raja untuk menikmati malam pengantin di atas ranjang ritual. Mestinya dia
meminta kepada Sang Raja agar melewatkan malam pengantin di ranjang peraduan
Sang Raja di Istana pribadinya yang tidak jauh dari situ. Jika itu dilakukan,
bukan saja Sang Permaisuri akan selamat dari maut, tetapi sejarah Kerajaan
Nusakambangan mungkin akan lain. Bisa jadi Kerajaan Nusakambangan akan terus berkibar
menjadi kerajaan lautan yang besar dan kuat di Pantai Selatan Pulau Jawa,” kata
Sang Dewi pula.
“Oh,
begitu kisahnya. Aku baru tahu.”
“Ya,
itulah yang namanya garis nasib. Sang Raja dan Dyah Ayu Niken Gambirarum
melewati malam pengantin, sampai kedua-duanya tertidur. Pada saat keduanya
sedang terlelap tidur itulah, Nyai Gede Wulansari dibantu Sekarmenur dan kedua
adiknya menuangkan cairan racun ke mulut Dyah Ayu Niken Gambirarum, sampai
tewas. Dalam hal ini Sekarmenur dan adiknya berada dalam posisi sulit. Dia
sekedar menjalankan perintah atasannya. Melawan komandannya, Nyai Gede
Wulansari, tentu bisa membahayakan nyawa mereka bertiga.”
“Bagaimana
nasib Nyai Gede Wulansari, komandan Dinda Sekarmenur itu?” tanya Kamandaka
penasaran.
“Dihukum
mati Raja Pulebahas bareng-bareng dengan Pendeta Raga Pitar yang mengajarkan
aliran sesat,” kata Sang Dewi. “Aku pun harus memuji pengorbanan yang besar
dari Dinda Sekarmenur. Sebenarnya kalau dia mau enak, dia bisa saja dengan
mudah meraihnya. Tiga gadis kakak beradik yang perkasa itu, sebenarnya adalah
gadis-gadis Tamanbidadari kesayangan Raja Pulebahas. Dinda Sekarmenur hampir
jadi isri Patih Puletembini, adik Raja. Dinda Sekarmelati hampir jadi istri
Tumenggung Surajaladri. Dan Dinda Sekarcempaka hampir jadi istri Rangga
Singalaut.”
“Hanya
karena perasaan berdosa yang selalu menghantui mereka bertiga, menyebabkan
mereka bertiga selalu berusaha ingin keluar dari Kerajaan Nusakambangan,” kata
Sang Dewi melanjutkan. “Ya, memang terkadang kebebasan dan kemerdekaan bagi seseorang
merupakan sesuatu yang mahal dan berharga. Sangat wajar jika gadis cerdas dan
perkasa seperti Dinda Sekarmenur itu berusaha mendapatkan kemerdakaan dan
kebebasannya yang hilang. Rupanya, Yang Maha Kuasa mengabulkan keinginan Dinda
Sekarmenur. Secara tidak sengaja Sekarmenur berkenalan dengan Dinda Wirapati
yang terus berusaha mencari kekasihnya yang hilang itu. Kanda pasti belum tahu,
bukan?”
“Soal
apa?”
“Ternyata
Dinda Sekarmenurlah yang telah menyarankan Raja Pulebahas untuk melamar aku.
Saat itu Sang Raja terus menerus dirundung duka karena kehilangan permaisuri
tercintanya,”
“Lho,
Iya?”
“Iya.
Dinda Sekarmenur pula yang membuatkan surat lamaran yang ditujukan kepada
Kanjeng Rama.”
“Masih
ada suratnya?”
“Masih,
aku simpan. Dinda Sekarmenur pernah tertawa ketika aku beritahu bahwa surat
lamaran Sang Raja yang dibuat Dinda Sekarmenur masih aku simpan.”
“Bagus
sekali, Diajeng. Bisa dijadikan bukti sejarah bagi anak cucu kita kelak
dikemudian hari,” kata Kamandaka sambil tangan kirinya secara tidak sadar
kembali diletakkan di atas perut istrinya. Merasa perutnya diraba-raba Sang
Dewi tersenyum sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Kamandaka.
“Kanda
harus sabar. Yang Suci Bapa Resi Batu Putih kan bilang, kita harus sabar,”
bisik Sang Dewi yang tahu apa maksud Kamandaka ketika tangannya meraba-raba
perutnya. Suaminya itu ingin cepat-cepat menimang seorang anak.Tiba-tiba Sang
Dewi terkejut ketika tahu-tahu Sekarmenur sudah berdiri di samping kirinya dan
memberitahu dengan berkata.
“Ayunda
Dewi Kanjeng Ayu, sebentar lagi perahu akan berlabuh. Tumenggung Surengpati
telah menyediakan jemputan di halaman luar pelabuhan.”
“Terimakasi
Dinda Sekarmenur. Pelayaran yang mengasyikkan dan menyenangkan,” kata Sang Dewi
sambil bangkit dari tempat duduknya, karena perahu sudah merapat ke pangkalan.
Rombongan Sang Dewi segera turun dari perahu. Mereka kini telah tiba di bandar
pelabuhan Nusakambangan.
Sekarmenur
segera melambaikan tangan ketika melihat Tumenggung Surengpati berdiri di
antara anak buahnya yang melakukan penjemputan rombongan Sang Dewi. Tumenggung
Surengpati merupakan anak buah Sekarmenur yang ditugasi untuk melaksanakan
tugas pemerintahan sehari-hari di Nusakambangan, selama Sekarmenur dan Wirapati
tidak ada di tempat.
Sang
Dewi dan Kamandaka serta anggota rombongan lainnya yang belum pernah
menginjakkan kakinya di Pulau Nusakambangan sering salah membayangkan. Ternyata
pulau Nusakambangan itu, bukanlah sebuah pulau karang yang gersang tanpa
tumbuh-tumbuhan. Pulau itu sebenarnya tidak banyak bedanya dengan daratan,
lembah, hutan dan pantai yang ada di Pulau Jawa. Di tengahnya dari timur ke
barat memanjang hutan dan ladang dengan aneka macam tumbuh-tumbuhan mulai dari
kelapa, bambu, sawo, mangga, pucung, nangka, siwalan, sengon, mahoni, ketapang,
waru, rotan, wuni dan banyak yang lainnya lagi. Bedanya hutan di Nusakambangan
dengan hutan di Pulau Jawa, hutan di Nusakambangan dikelilingi laut di sebelah
utaranya dan sebuah lautan dengan ombak yang besar di sebelah selatannya.
“Binatang
apa saja yang ada di hutan Nusakambangan?” tanya Kamandaka pada Tumenggung
Surengpati yang mengantarkan Kamandaka dan Sang Dewi naik kereta kuda empat
roda yang ditarik dua ekor kuda. Duduk di belakang sais adalah Sang Dewi yang
berdampiangan dengan Kamandaka. Di belakangnya lagi duduk Sekarmenur
berdampingan dengan Wirapati. Tumenggung Surengpati duduk di depan berdampingan
dengan sais kereta kuda. Dari atas kereta kuda, Kamandaka dan Sang Dewi
menyaksikan pohon-pohon raksasa yang berderet di sebelah kanan jalan.
“Banyak
jenisnya Kanjeng Adipati. Harimau loreng, harimau tutul, harimau kumbang, rusa,
kijang, serigala, babi rusa, lutung, monyet, ular, kalong, aneka macam jenis
ular dan burung,” jawab Tumenggung Surengpati yang membuat Kamandaka berdecak
kagum.
Kereta
kuda yang membawa rombongan Sang Dewi terus bergerak ke arah timur melintasi
jalan yang cukup lebar yang telah dipadatkan dengan campuran batu kerikil,
pasir dan kapur sehingga cukup keras untuk dilintasi kereta kuda. Semuanya ada
empat kereta kuda. Satu kereta kuda dengan dua pasang roda dan tiga kereta kuda
dengan sepasang roda yang ditarik seekor kuda. Tiap-tiap kereta kuda bisa
dimuati enam penumpang termasuk sais. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar