Ternyata waktu untuk persiapan keberangkatan ke Nusakambangan, tertunda sampai tiga minggu. Sang Dewi dan Kamandaka memperpanjang bulan madunya di Puri Permatabiru. Perahu dari Nusakambangan, ternyata juga perlu waktu dua minggu baru bisa tiba di Kaliwedi. Tetapi pagi itu, Sang Dewi dan Kamandaka sudah siap memulai perjalannya menikmati bulan madu ke Nusakambangan. Setelah sarapan di rumah Nyai Kertisara, rombongan yang akan menemani bulan madu Sang Dewi dan Kamandaka berkumpul di Pangkalan Perahu Nyai Kertisara di tepi Sungai Ciserayu. Mereka semua sudah siap-siap akan berangkat melayari Sungai Ciserayu menuju muaranya di Teluk Penyu, Segara Anakan, Nusakambangan.
Air Sungai Ciserayu
tampak bening memantulkan wajah langit pagi hari, mengalir tenang tak beriak.
Angin lembut dan segar pagi hari bertiup pelan seakan ingin menyapa rombongan
dari Kadipaten Pasirluhur yang mulai naik satu persatu ke atas perahu. Dua buah
perahu sungai berukuran sedang yang dikirim dari Nusakambangan telah tiba sejak
kemarin siang. Setiap perahu bisa memuat 10 penumpang, dilayani juru sauh yang
berjumlah empat orang. Lambung perahu diberi warna merah, kuning, biru. Tapi
warna biru merajai keseluruhan lambung perahu. Di atas tempat duduk dipasang
atap dari kajang yang di atur melengkung, ditopang enam buah tiang. Sejumlah
tiang untuk memasang bendera dan umbul-umbul juga didirikan di sisi kanan dan
kiri lambung perahu.
Sang Dewi naik ke
atas perahu yang berada di barisan paling depan, menyusul Kamandaka yang naik
lebih dulu. Kamandaka membantu Sang Dewi naik ke atas perahu. Adanya tangga trap
turun ke sungai yang dibangun di tebing sungai pada Pangkalan Perahu milik Nyai
Kertisara itu sangat memudahkan penumpang yang akan naik perahu.
Sang Dewi dan
Kamandaka duduk di bangku paling depan. Menyusul duduk di belakangnya
berturut-turut adalah Mayangsari dengan Silihwarna, Ratna Pamekas dengan Arya
Baribin, Nyai Kertisara dengan Khandegwilis. Tukang sauh yang mengemudikan
perahu, ada empat orang. Dua orang di depan dan dua orang di bagian lambung
perahu belakang.
Di belakang perahu
yang dinaiki Sang Dewi, berlabuh perahu
yang dinaiki Sekar Menur dengan Wirapati. Duduk di belakangnya, kedua adiknya
Sekarmelati dan Sekarcempaka. Duduk di belakangnya lagi, Pendeta Muda dengan
Tumenggung Maresi. Dan paling belakang Jigjayuda berdampingan dengan Rekajaya.
Sama dengan perahu pertama, perahu kedua dilayani empat orang tukang sauh.
Perahu ketiga dan
keempat adalah perahu kecil membawa prajurit pengawal yang terdiri dari 6
penumpang dan 5 penumpang. Lurah Karangjati yang ditunjuk Tumenggung Maresi
menjadi komandan pasukan pengawal, duduk di perahu ke tiga. Masing-masing
perahu kecil dikemudikan oleh 2 orang pesauh.
Sebelum
berangkat, Pendeta Muda, diminta oleh Kamandaka supaya memimpin japa mantra.
Usai berjapa, keempat perahu itu pelan-pelan meninggalkan Pangkalan Perahu
milik Nyai Kertisara di Kaliwedi. Perjalanannya mengarungi Sungai Ciserayu pun
dimulai. Perahu mulai melaju pelan-pelan ketika sauh mulai digerakkan. Semua
anggota rombongan melihat lambaian tangan dan tatapan ratusan pasang mata
penduduk yang menyemut di tepi sungai. Penduduk ingin menyaksikan wajah cantik
Kanjeng Ayu Adipati Pasirluhur yang dikenal penyabar, penyayang, dan penuh
kepedulian kepada penduduknya, khususnya penduduk dari rakyat sudra dan weisya.
Penduduk yang
datang berbondong-bondong itu, baru meninggalkan tepi Sungai Ciserayu setelah
ke empat perahu yang umbul-umbulnya berkibar-kibar dengan gagahnya, menghilang
di hilir sungai yang menikung ke kiri.
Sepanjang perjalanan menyusuri Sungai
Ciserayu itu, Sang Dewi dan anggota rombongan takjub bukan main menyaksikan
keindahan panorama alam di kiri dan kanan sungai. Dinding tebing sungai ada
yang terjal, ada pula yang landai, sebagian besar berwarna coklat, di sana sini
ditumbuhi sulur perdu yang merambat. Lumut hijau sering juga ditemui di
sepanjang tebing.
Di kiri-kanan
tebing pohon-pohon raksasa saling berdesak-desakan tampak menjulang ke arah
langit. Sejumlah pohon dibeliti benalu yang melilit batang pohonnya. Mungkin
sudah puluhan tahun mencekiknya, sehingga pohon raksasa itu ada yang mulai
meranggas. Entah sudah berapa ribu lembar daun-daun tua yang jatuh ke tanah
tempat pohon-pohon itu tumbuh. Tentu sudah lama membusuk, menyebabkan tanah di
kaki-kaki pohon hutan itu lembab, sehingga terbentuk humus yang pada gilirannya
membuat subur pohon-pohon raksasasa itu.
Sejumlah binatang
hutan seperti monyet, tupai, dan lutung diam saja bergelantungan di atas pohon
seakan-akan sedang menonton arak-arakan rombongan manusia yang sedang melintasi
sungai dan sedang terpana oleh keindahan alam ciptaan Tuhan.
Sang Dewi
merasakan laju perahu yang mengikuti aliran sungai, cukup nyaman dan tidak
banyak goncangan. Laju perahu pun tidak terlalu lambat dan tidak terlalu cepat.
Keempat tukang sauh dengan otot-ototnya yang kekar sangat terampil
menggerak-gerakkan sauhnya secara bersamaan. Kadang-kadang terdengar pula
kecipak air. Lunas perahu dengan lancar melaju ke depan menyibakkan air sungai
yang menyisih ke kiri dan ke kanan, membentuk gelombang kecil yang cepat lenyap
diterjang perahu yang ada dibelakangnya.
“Diajeng, lihat
apa itu?” kata Kamandaka menunjukkan dua ekor buaya yang cukup besar sedang
berjemur di sisi timur sungai di atas kaki tebing yang melandai ke arah sungai.
Semua rombongan ternganga melihat sepasang buaya yang cukup besar.
“Ngeri juga!
Apakah Sungai Ciserayu banyak buayanya?” tanya Sang Dewi kepada tukang sauh
yang ada di depannya.
“Kalau di muara
banyak juga, Ndara Kanjeng Ayu Adipati,” jawab tukang sauh. ”Kalau sepasang
buaya tadi, bisa jadi berasal dari muara yang sedang main ke hulu. Mungkin
ingin menyambut rombongan Ndara Kanjeng Ayu Adipati,” kata tukang sauh
berseloroh yang membuat senang rombongan Sang Dewi. Sang Dewi dan Kamandaka
langsung tertawa. Mana ada buaya mau menyambut kedatangannya? kata Sang Dewi
dalam hati. Sekalipun begitu Sang Dewi senang juga.
“Adakah penduduk
di sekitar sungai yang pernah dimangsa buaya?” tanya Sang Dewi.
“Kalau di sekitar
sini hamba tidak tahu. Tapi kalau di sekitar muara sering. Belum lama ini, ada
seorang penduduk yang sedang mandi di sungai, karena kurang hati-hati dan tidak
berpengalaman, tewas dimangsa buaya.”
“Dimangsa buaya?”
tanya Sang Dewi. ”Kenapa penduduk tidak dilarang mandi di Sungai Ciserayu yang
ada buayanya?”
“Namanya
penduduk, tidak pernah jera, Ndara Kanjeng Ayu Adipati. Ibaratnya sekarang ada
yang dimangsa buaya, besok masih ada saja yang datang mau mandi. Anehnya ada
yang merasa bangga jika bisa mandi di Sungai Ciserayu, tetapi tidak dimangsa
buaya.”
“Memang ada
larangan yang berupa adat setempat,” kata tukang sauh melanjutkan. “Larangan
yang bersifat adat setempat itu, misalnya pasangan pengantin baru baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang mandi di sungai. Konon mereka
berdua rawan jadi mangsa buaya. Memang sering kejadian, pengantin baru yang
sedang mandi, tahu-tahu hilang karena dimangsa buaya Sungai Ciserayu,” kata
tukang sauh sambil masih menggerak-gerakkan sahuhnya agar perahu melaju agak
cepat.
Mendengar
penuturan tukang sauh itu Sang Dewi dan Kamandaka langsung saling
berpandang-pandangan. Lalu keduanya tersenyum karena merasa mereka berdua
adalah pasangan pengantin baru. “Tenang, Diajeng. Kita kan tidak sedang mandi
di Sungai Ciserayu,” bisik Kamandaka sambil tersenyum.
“Padahal kalau
airnya sejernih ini, mandi menjelang sore hari, pasti segar sekali, Kanda!”
kata Sang Dewi sambil menatap air Sungai Ciserayu yang saat itu memang sangat
jernih.
“Ada lagi
larangan lain, Mang Sauh?” tanya Kamandaka.
“Leres, aya deui,
Kanjeng Gusti,” kata tukang sauh yang satunya lagi dalam logat bahasa Sunda
yang masih kental.
“Apa
larangannya?” tanya Kamandaka.
“Seorang anak
gadis yang masih perawan, dilarang mandi di Sungai Ciserayu, pada waktu
menjelang senja,” kata tukang sauh masih dalam bahasa Sunda.”Tetapi kalau pagi atau
siang hari boleh.”
Konon, demikian tukang sauh tadi
berceritera, dulu pernah ada seorang gadis cantik yang gemar mandi di Sungai
Ciserayu menjelang senja hari. Tiba-tiba gadis tadi menghilang. Tentu saja
orang tua dan penduduk seluruh kampung yang berada di tepi timur Sungai
Ciserayu tadi ribut. Mereka menduga gadis cantik tadi pastilah telah dimangsa
buaya saat sedang mandi. Kepala kampung cepat bertindak. Dia segera mengerahkan
sejumlah tukang gendam untuk menangkap buaya yang nakal tadi. Tetapi usahanya
tetap sia-sia. Sampai suatu saat, ayah gadis tadi mimpi didatangi anak gadisnya
yang berpesan, agar orang tuanya itu tidak usah mencemaskan dirinya. Sebab
suatu saat gadis itu akan pulang juga ke rumah ke dua orang tuanya. Walaupun entah
kapan.
Sejak ayah gadis
tadi mimpi didatangi anak gadisnya, maka sejak itu usaha pencarian anak gadis
yang diduga dimangsa buaya Sungai Ciserayu itu dihentikan. Sampai beberapa
bulan kemudian, pada malam hari pulanglah gadis tadi didampingi seorang pemuda
tampan yang mengaku telah menikahi gadis itu. Betapa gembiranya ke dua orang
tuanya kedatangan anak gadisnya yang dulu menghilang. Lebih-lebih anak gadisnya
itu telah pulang kembali dengan membawa seorang suami yang berwajah tampan,
sehingga membikin iri gadis-gadis yang lain di kampung itu.
Orang tua gadis
itu pun bermaksud mengadakan pesta syukuran dalam rangka menyambut anak
gadisnya yang telah pulang kembali, sekaligus juga syukuran karena anak
gadisnya itu sudah memiliki suami. Apalagi menantunya itu cakap dan tampan.
Undangan pun segera disebar kepada penduduk seluruh kampung itu.
Tetapi sebelum pesta itu
diselenggarakan anak gadisnya itu mohon agar pesta itu diadakan pada malam
hari. Anak gadisnya itu juga berkata bahwa mereka hanya bisa menemui tamunya
pada malam hari saja. Anak gadisnya itu berpesan kepada ayahnya agar pada siang
hari, mereka berdua jangan diganggu jika mereka tetap berada di dalam kamar
pengantin. Sang ayah dengan ringan menyanggupi pesan anak gadisnya itu.
Demikianlah saat
pesta digelar pada malam hari, para tetangga, kenalan, dan kerabat dekat
penduduk desa itu berduyun-duyun datang menghadiri pesta syukuran perkawinan.
Mereka menyampaikan ucapan selamat kepada kedua pasangan yang mengaku sudah
lama nikah sambil menyaksikan pagelaran lengger sampai jauh malam. Usai pesta
syukuran, kedua pasangan itu tinggal di rumah orang tua gadis. Kedua mempelai
hidup rukun sebagaimana layaknya pasangan yang baru.
Seminggu telah
berlalu, orang tua gadis itu lama-lama heran juga. Orang tua gadis itu tak
pernah melihat menantunya ke luar kamar pada siang hari. Dia selalu keluar
kamar pada malam hari. Ketika tiba masanya mencari nafkah karena masa istirahat
menikmati hari-hari pengantin baru telah lewat, Sang Pemuda tadi, selalu
berangkat meninggalkan rumah pada pagi hari. Dia pergi menjelang fajar dan
pulang kembali setelah matahari terbenam. Demikianlah sang waktu terus berlalu,
sampai pada suatu ketika Sang Ksatria Tampan tadi bangun kesiangan. Akibatnya
Sang Ksatria Tampan seharian tidur terus di dalam kamarnya. Tetapi istrinya
tetap melakukan aktivitas seperti biasa, keluar kamar untuk membatu ibunya
memasak dan melakukan aktivitasnya sehari-hari lainnya.
Saat itu istri
ksatria tampan lupa mengunci kamarnya. Ditambah pula dia masih yakin ayahnya
tidak mungkin masuk ke dalam kamarnya selagi ada suaminya. Karena dia ingat,
dia pernah berpesan kepada ayahnya dan semua keluarganya supaya jangan masuk
kamarnya pada siang hari.
Ketika ayah
perempuan itu mengetahui anaknya keluar kamar tanpa menguncinya, tiba-tiba
dalam dirinya timbul rasa penasaran untuk melihat menantunya yang sedang tidur
di kamar anaknya. Tetapi alangkah terkejutnya saat dia masuk ke dalam kamar
anaknya. Dilihatnya seekor buaya yang cukup besar sedang tidur pulas di atas
tempat tidur. Bagian leher ke bawah tertutup selimut yang rupanya telah
dibentangkan oleh anaknya. Hanya kepalanya yang kelihatan.
Ayah perempuan
tadi, segera lari ke rumah kepala kampung, melaporkan ada buaya masuk ke dalam
kamar tidur anak perempuannya yang beberapa waktu yang lalu baru saja dirayakan
acara syukuran. Dengan membawa peralatan pembunuh buaya seperti parang, tombak,
linggis, dan yang lainnya lagi, kepala kampung itu memimpin sejumlah penduduk
mendatangi rumah ayah perempuan yang baru saja melapor.
Mungkin karena
mendengar suaru ribut-ribut yang ada di depan pintu kamar, buaya itu langsung
meloncat ke atas lantai. Saat pintu terbuka buaya itu membuka mulutnya
lebar-lebar, dan ekornya bergerak-gerak siap untuk dipukulkan kepada siapa
saja. Kepala kampung segera memberi komando agar buaya itu segera diserang.
Puluhan tombak segera dilemparkan, masuk ke dalam mulut buaya dan bersarang di
sana. Buaya yang sedang marah itu menggelepar seketika. Ekornya dipukulkan
mengenai daun pintu yang langsung jebol dan jatuh meninggalkan tempatnya. Buaya
itu membuat loncatan yang memutar sambil mengibaskan ekornya. Seorang laki-laki
yang tidak waspada langsung terlempar kena pukulan ekor buaya yang sedang
mengamuk. Kembali penduduk menghujani buaya yang malang itu dengan linggis,
parang, dan bambu runcing sampai buaya itu diam tak berkutik. Hanya matanya
yang berkedip-kedip seperti mohon dikasihani.
Tiba-tiba perempuan istri Sang Ksatria
Tampan yang sedang di dapur lari masuk ke dalam rumahnya ketika mendengar suara
ribut-ribut. Betapa terkejutnya dia saat melihat seekor buaya yang terluka,
badan buaya dan mulutnya dipenuhi aneka macam senjata tajam. Perempuan itu
menjerit seketika. Dipeluknya buaya yang sedang sekarat itu. Diciuminya
beberapa kali bagaikan menciumi seorang suami. Akhirnya buaya yang malang itu
menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah dipeluk dan diciumi berkali-kali
oleh perempuan yang telah menjadi istrinya itu.
Melihat kejadian itu penduduk langsung
menduga buaya itu adalah buaya siluman. Dalam diri mereka muncul rasa takut
kepada akibat yang akan ditimbulkan karena mereka telah membunuh seekor buaya
siluman. Kemudian secara serentak mereka beramai-ramai sujud di depan buaya
yang sudah tidak bernafas. Lebih takut lagi adalah penduduk yang telah melemparkan
pelbagai jenis senjata yang telah menyebabkan buaya itu mati. Mereka beberapa
kali mengggigil dan merintih meminta ampun.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar