Dengan dipandu Sekarmenur dan Wirapati, rombongan Sang Dewi dan Kamandaka menuju Padepokan Batu
Putih, tidak jauh dari tepi laut. Di Padepokan Batu Putih Sang Dewi dan Kamandaka
beserta seluruh anggota rombongan diterima dengan ramah oleh Janggan Nilasakti
dan Resi Batu Putih.
“Yang Suci Bapa
Resi, Ini Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati Kadipaten Pasirluhur yang
baru dilantik beserta rombongan. Dan itu adalah Pendeta Muda dari Kerajaan
Pajajaran, Kanda Amenglayaran Bujangga Manik. Kami semua ingin menjalin
persahabatan dengan Bapa Resi,” kata Sekarmenur yang saat itu menjadi
jurubicara rombongan. Sekarmenur sudah lama mengenal Resi Batu Putih.
“Kami berdua
dengan istri, dan Kanda Pendeta Muda Amenglayaran disertai adik-adik kami dan
beberapa punggawa kami, menyampaikan salam bakti kami kepada Yang Suci Bapa
Resi Batu Putih,” kata Kamandaka menyampaikan kata sambutannya atas permintaan
Sekarmenur. Pendeta Muda Amenglayaran melakukan hormat secara khusus kepada
Resi Batu Putih.
“Salam bakti Ananda Kanjeng Adipati
dan Kanjeng Ayu Adipati, Bapa terima. Demikian pula salam hormat dari Pendeta
Muda Amenglayaran Bujangga Manik. Semoga para Dewa berkenan melindungi Ananda
Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati beserta segenap rombongan. Ananda
Sekarmenur telah memberitahu Bapa, bahwa Ananda Kanjeng Adipati besera istri
dan rombongan akan berkunjung ke Padepokan Batu Putih yang sangat sederhana
ini,” kata Resi Batu Putih dengan wajah gembira.
“Suatu kehormatan
dan terimakasih tak terhingga, Yang Suci Bapa Resi telah bersedia menerima kami
dengan rombongan,” kata Kamandaka.
“Kanda Kanjeng
Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, Yang Suci Bapa Resi Batu Putih inilah yang
dulu membantu melakukan upacara merabukan jasad Raja Pulebahas, Patih Puletembini,
Tumenggung Surejaladri, dan Rangga Singalaut. Yang Suci Bapa Resi Batu Putih
juga yang memimpin upacara melarung abu jasad yang telah diperabukan,” kata
Sekarmenur pula.
“Kami mengucapkan
terimakasih atas bantuan dan kebaikan Yang Suci Bapa Resi kepada Dinda
Sekarmenur beberapa waktu yang lalu,” kata Kamandaka.
“Ah, bantuan yang
tidak seberapa. Sekedar melaksanakan kewajiban. Lebih-lebih karena menurut
Ananda Sekarmenur, Raja Pulebahas dan anak buahnya itu sudah kembali menjadi
penyembah Sang Hyang Syiwa,” kata Resi Batu Putih dengan sikap rendah hati.
“Janggan
Nilasakti, mana hidangan untuk para tamu? Cari cantrik atau endang di dapur
supaya segera mengeluarkan minuman, buah-buahan, dan makanan kecil lainnya
untuk menjamu para tamu agung ini,” kata Resi Batu Putih pula kepada pembantu
setianya, Janggan Nilasakti.
“Sedang
disiapkan, Eyang Resi,” jawab Janggan Nilasakti.
“Kalau begitu
tolong siapkan juga sanggar untuk berdoa di Goa Batu Putih. Kanjeng Adipati dan
Kanjeng Ayu Adipati akan berdoa sejenak di sana. Jika sudah siap, beritahu
secepatnya,” perintah Resi Batu Putih. Janggan Nilasakti segera mundur dari
ruang tamu padepokan. Dia bergegas naik ke Goa Batu Putih yang berada di
ketinggian tertentu di tengah-tengah bukit Batu Putih.
Padepokan Batu
Putih merupakan padepokan yang berada di kaki bukit karang yang menghadap ke
laut. Ketika muara Sungai Ciserayu jatuh ke tangan Kerajaan Nusakambangan, Raja
Nusakambangan tetap mengijinkan Padepokan Batu Putih menyelenggarakan upacara
menyembah Sang Hyang Syiwa.
Sang Dewi dan
Kanjeng Adipati, lewat Sekarmenur telah minta kepada Resi Batu Putih agar
diijinkan berdoa di gua Batu Putih yang menghadap Lautan Selatan itu. Sang Dewi
dan Kamandaka ingin memanfaatkan kunjungannya ke Padepokan Batu Putih untuk
berdoa dan bersamadhi sejenak di Goa Batu Putih. Mereka berdua ingin memohon
kepada Yang Maha Kuasa agar secepatnya diberikan anak yang akan menjadi ahli
waris dan pelanjut keturunan mereka berdua.
Dari mulut gua,
Lautan Selatan dengan gelombangnya yang besar nampak jelas. Demikian pula Pulau
Bandung, pulau tempat tumbuhnya bunga sakti Wijayakusuma.
Tak berapa lama
Janggan Nilasakti sudah muncul kembali di ruang pertemuan padepokan dan katanya
kepada Resi Batu Putih.
“Eyang Resi,
sanggar pamujan Goa Batu Putih telah hamba siapkan. Silahkan jika Eyang Resi
akan membawa Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati kesana,” kata Janggan
Nilasakti sambil melapor.
“Ananda Kanjeng
Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, marilah Eyang antarkan ke sanggar pamujan di
Goa Batu Putih jika ingin bersamadhi dan berdoa. Janggan Nilasakti akan memandu
sampai mulut goa Batu Putih.”
Resi Batu Putih
mengajak Sang Dewi dan Kamandaka. Mereka segera bangkit mengikuti Janggan
Nilasakti. Resi Batu Putih dan Pendeta Muda Amenglayaran mengikutinya dari
belakang.
Sesudah melewati
tangga batu yang agak memutar, akhirnya Janggan Nilasakti, Sang Dewi,
Kamandaka, Pendeta Amenglayaran, dan Resi Batu Putih sampai di depan mulut Goa
Batu Putih. Gua itu berukuran sedang, bisa menampung sekitar sepuluh orang.
Resi Batu Putih telah mengubahnya menjadi sebuah sanggar pamujaan untuk berdoa
dan bersamadhi. Sanggar ditata sangat menarik, dindingnya diberi cat warna
putih. Di sudut ada rak berisi gulungan-gulungan rontal berisi mantra-mantra.
Lantainya ditutup dengan tikar halus yang dianyam oleh tangan-tangan trampil
sehingga terasa lembut.
Sebelum masuk ke
dalam goa sanggar pamujan, di halaman teras mulut goa yang cukup lebar itu,
Sang Dewi, Kamandaka, dan Pendeta Amenglayaran menatap dengan kagum keindahan Lautan
Selatan dipandang dari ketinggian tertentu. Matahari dengan cahayanya yang
kemilau sudah hampir mencapai puncaknya. Laut biru itu membentang luas bagaikan
cermin raksasa yang di atasnya bergulung-gulung ombak putih saling
berkejar-kejaran.
“Itu lah pulau
Bandung, tempat bunga sakti Wijayakusuma tumbuh dan disucikan orang,” kata Resi
Batu Putih sambil menunjuk pulau kecil tidak jauh dari ujung timur pulau
Nusakambangan yang membujur dari barat ke timur sejajar dengan pantai selatan
Pulau Jawa.
“Banyak kisah
yang pernah ananda Dewi dengar, Yang Suci Bapa Resi. Menurut Bapa Resi
bagaimana bunga sakti dan langka itu bisa tumbuh di sana?” tanya Sang Dewi
sambil menatap ke lautan luas yang terbentang di depannya itu.
“Jalan
ceriteranya sebenarnya bermacam-macam,” kata Resi Batu Putih.
“Tetapi pada
salah satu rontal yang sempat Bapa baca, konon setelah perang Bharata Yudha
selesai Batara Narada diutus Sang Hyang Guru untuk meminta senjata pusaka Sri
Kresna yakni senjata cakra dan bunga Wijayakusuma, sebab senjata-senjata pusaka
itu pusaka kahyangan milik para dewa. Setelah Perang Bharata Yudha selesai,
pusaka-pusaka itu harus segera dikembalikan. Sri Kresna tidak keberatan untuk
menyerahkan senjata cakra kepada Batara Narada. Tetapi untuk pusaka kembang Wijayakusuma,
Sri Kresna mohon agar pusaka kembang Wijayakusuma itu boleh dilarung lewat
muara Sungai Ciserayu ke Lautan Suci Lautan Selatan, atau Lautan Nusantara.
Perlunya agar bunga milik para dewa itu tetap bisa memberi manfaat bagi
manusia. Ternyata Batara Narada menyetujui permohonan Sri Kresna.
“Alkisah Sri
Kresna saat itu sedang berkelana. Dalam pengembaraannya Sri Kresna tiba di
muara Sungai Ciserayu. Sri Kresna segera mengeluarkan bunga Wijayakusuma yang
tersimpan di dalam cupu. Bunga Wijayakusuma lengkap dengan wadah dan tutupnya
itu segera dilarung melalui muara Sungai Ciserayu ke Lautan Selatan. Setelah
selesai melarung, Sri Kresna melanjutkan pengembaraannya untuk mencari moksa.
Tak lama kemudian setelah berhasil melarung bunga Wijayakusuma, Sri Kresna
memang berhasil mencapai moksa. Dan tak lama kemudian, bunga Wijayakusuma itu
tumbuh di Pulau Bandung. Konon di Pulau Bandung itu ada sepasang burung bayan
yang setia menunggunya dan tak pernah mau pergi dari sana. Konon sepasang
burung bayan itu adalah penjelmaan wadah dan tutup bunga Wijayakusuma yang ikut
dilarung Sri Kresna. Tetapi entah mengapa para penyembah Wisnu yang datang
kemudian menyebut pulau itu sebagai Pulau Majeti. ”
“Milik siapakah
bunga Wijayakusuma itu sebelum menjadi pusaka Sri Kresna?” tanya Sang Dewi
“Milik bersama
para dewa yang disimpan oleh Dewi Supraba, satu dari tujuh bidadari tercantik
di Kahyangan. Dulu namanya Wijayamala yang berarti bunga penyembuh aneka macam
penyakit. Bahkan orang yang meninggal bila belum waktunya, bisa dihidupkan
kembali oleh bunga Wijayamala itu. Sri Kresnalah yang merubah namanya menjadi
bunga Wijayakusuma,” jelas Resi Batu Putih.
“Marilah kita
berdoa dulu, Ananda Kanjeng Ayu Adipati dan Ananda Kanjeng Adipati. Nanti
perbincangan bisa kita lanjutkan lagi,” ajak Resi Batu Putih yang segera
mendahului masuk ke dalam sanggar. Menyusul di belakangnya Sang Dewi,
Kamandaka, dan Pendeta Amenglayaran. Janggan Nilasakti berjaga-jaga di depan
pintu gua.
Di dalam sanggar
pamujan Sang Dewi duduk di samping kiri Kamandaka. Mereka diapit Pendeta Muda
Amenglayaran di sebelah kanan, dan Resi Batu Putih di sebelah kiri.
“Silahkan Ananda
berdua berdoa agar secepatnya dikarunia putra-putri yang cakap-cantik-cerdas,
berbudi pekerti luhur, berbakti kepada kedua orang tua, para leluhur, dan
berbakti kepada penduduk Kadipaten Pasirluhur pada khususnya, serta Kerajaan
Pajajaran pada umumnya. Silahkan dimulai, Bapa dan Dinda Pendeta Muda akan
membantunya memanjatkan japa dan membacakan mantra,” kata Resi Batu Putih yang
segera mulai memasuki samadhi.
Dalam menjalankan
samadhi itu, Resi Batu Putih dan Pendeta Amenglayaran mengambil posisi duduk
sikap asanas bunga teratai, sedangkan Sang Dewi dan Kamandaka duduk bersila
secara biasa.
Sang Dewi segera
membentuk cipta dan angan-angan dalam benaknya. Ditariknya nafas pelan-pelan
sebanyak 20 hitungan, kemudian menahan nafas sebanyak 20 hitungan. Pada saat
menahan hitungan itu Sang Dewi mulai mempertajam dan menyatukan cipta dan
rasanya menjadi satu energi kehendak dan keinginan yang kuat yang
dipanjatkannya menembus batas langit agar sampai ke hadapan Yang Maha Kuasa.
Sesudah menahan nafas selama 20 hitungan, pelan-pelan dengan tetap
mempertahankan citranya, Sang Dewi menghembuskan nafasnya pelan-pelan juga
selama 20 hitungan.
Demikian Sang
Dewi mengulangi lagi sampai beberapa kali siklus irama prana dalam melakukan
samadhi. Kemampuan Sang Dewi dalam samadhi sesungguhnya sudah mencapai gatra
yang cukup tinggi untuk ukuran wanita. Hal yang sama juga dilakukan oleh Resi
Batu Putih, Kamandaka, dan Pendeta Muda. Mereka semua asyik tenggelam dalam
samadhi membentuk citra berdasarkan kekuatan budhi.
Tiba-tiba saat
sedang asyik-asyiknya melakukan samadhi, Resi Batu Putih melihat sebuah sinar
putih masuk ke dalam sanggar pamujan, lalu masuk ke dalam tubuh Sang Dewi. Sang
Dewi langsung terjatuh ke arah kanan dan pingsan di atas pangkuan Kamandaka.
Kamandaka, Pendeta Muda dan Resi Batu Putih segera mengakhiri samadhinya.
“Tenang saja
Ananda, sebentar lagi juga siuman. Dia mendapat anugerah dewa yakni sinar daya
penyembuhan. Ananda Kanjeng Ayu Adipati akan memiliki kemampuan gaib, bisa
menyembuhkan berbagai jenis penyakit,” kata Resi Batu Putih yang membuat
Kamandaka tenang.
Tiba-tiba ingatan
Kamandaka melayang-layang pada selendang sutra kuning berisi ramuan buatan Sang
Dewi yang telah menyelamatkan dirinya dari maut yang hampir saja merenggut
nyawanya. Kamandaka percaya pada kata-kata Resi Batu Putih. Istrinya memang
memiliki bakat membuat ramuan penyembuh yang diwarisi dari Ibunya, Kanjeng Ayu Adipati
Sepuh.
Sementara itu
keringat dingin keluar dari dahi Sang Dewi. Kamandaka bertambah cemas dan
gelisah. Sang Dewi belum siuman juga. Lebih-lebih saat Kamandaka melihat irama
nafas istri tercintanya pelan sekali. Untunglah Resi Batu Putih dan Pendeta Muda
terus memberikan dukungan kepada Kamandaka dengan kekuatan mantra dan japa.
Resi Batu Putih juga berpesan setelah Sang Dewi siuman, agar tidak mengajukan
macam-macam pertanyaan. Biarkan Sang Dewi menceriterakan pengalaman
spiritualitas yang dialaminya itu.
Akhirnya Sang
Dewi memang segera siuman. Dia kembali duduk dengan wajah ceria, senyum
tersungging di bibirnya, dan sinar matanya berkilat-kilat bak bintang malam.
Kamandaka menggunakan sapu tangan untuk membantu Sang Dewi mengeringkan
keringat yang membasahi dahi, pipi, dan lehernya.
“Yang Suci Bapa
Resi, ananda Dewi mengalami perjalanan spiritualitas yang mengherankan. Ananda
Dewi bertemu dengan seorang wanita cantik jelita sambil menyerahkan sebuah
wadah berisi bunga Wijayakusuma. Sayang sebelum sempat berbincang-bincang,
wanita cantik tadi keburu pergi. Dan, ananda segera sadarkan diri,” kata Sang
Dewi menceriterakan sekeping pengalaman spiritualnya saat dia tidak sadarkan
diri. Resi Batu Putih tersenyum mendengar penuturan Sang Dewi.
“Apakah Ananda
Sekarmenur belum pernah berceritera kepada Ananda Kanjeng Ayu Adipati soal dua
pusaka Raja Nusakambangan?” tanya Resi Batu Putih. Sang Dewi hanya mengangguk
pelan.
“Pernah, Yang
Suci Bapa Resi,” jawab Sang Dewi.
“Baiklah kalau
begitu, segera saja siang hari ini berangkat ke Nusakambangan. Di sana nanti
Ananda Sekarmenur akan menyerahkan dua pusaka Raja Pulebahas. Satu adalah guci
porselin. Dan satunya lagi, stoples berisi kembang Wijayakusuma yang telah
diawetkan. Hanya Ananda Kanjeng Ayu Adipati yang akan mampu merawat pusaka
kembang Wijayakusuma milik Raja Pulebahas. Simpan dan rawatlah dengan baik.
Manfaatkan untuk keperluan kemanusiaan dan memberikan pertolongan mereka yang
membutuhkan tanpa mengharapkan imbalan. Adapun guci porselin itu berisi darah perawan
suci Permaisuri Sang Raja Pulebahas yang jadi korban ritual dan telah tewas.
Dia meminta tolong Ananda Kanjeng Ayu Adipati agar membantunya, kalau perlu
memberikan fasilitas bantuan, agar supaya guci porselin beserta isinya itu
dikubur di tempat kelahirannya. Menurut Ananda Sekarmenur, tempat kelahiran
gadis yang tewas itu di Kalipucang. Kasihan ruh mereka berdua, belum bisa
mencapai moksa selama ke dua pusaka itu belum ada yang mengurusnya,” kata Resi
Batu Putih memberikan saran dan nasihat.
“Terimakasih Yang
Suci Bapa Resi. Ananda Dewi akan laksanakan semua pesan-pesan Yang Suci Bapa
Resi. Kalau begitu mohon ijin siang ini juga untuk meninggalkan Padepokan Batu
Putih. Mohon juga selalu didoakan agar ananda Dewi dan Kanda Kamandaka segera
dianugerahi momongan dari Yang Maha Menguasai Jagad,” kata Sang Dewi sambil
mencium tangan Yang Suci Resi Batu Putih. Kamandaka dan Pendeta Muda juga
melakukan hal yang sama. Mereka segera keluar dari gua, menuruni tangga menuju
ruang tamu Padepokan Batu Putih. Di situ para tamu rombongan Sang Dewi dan
Kamandaka, terlebih dahulu harus menikmati jamuan santap siang sebelum
meninggalkan Padepokan Batu Putih. Mereka akan melanjutkan perjalanan
menyeberang Segara Anakan menuju Nusakambangan. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar