Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 02 Desember 2019

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (23)


Dengan dipandu Sekarmenur dan Wirapati, rombongan Sang Dewi dan Kamandaka menuju Padepokan Batu Putih, tidak jauh dari tepi laut. Di Padepokan Batu Putih Sang Dewi dan Kamandaka beserta seluruh anggota rombongan diterima dengan ramah oleh Janggan Nilasakti dan Resi Batu Putih.
“Yang Suci Bapa Resi, Ini Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati Kadipaten Pasirluhur yang baru dilantik beserta rombongan. Dan itu adalah Pendeta Muda dari Kerajaan Pajajaran, Kanda Amenglayaran Bujangga Manik. Kami semua ingin menjalin persahabatan dengan Bapa Resi,” kata Sekarmenur yang saat itu menjadi jurubicara rombongan. Sekarmenur sudah lama mengenal Resi Batu Putih.
“Kami berdua dengan istri, dan Kanda Pendeta Muda Amenglayaran disertai adik-adik kami dan beberapa punggawa kami, menyampaikan salam bakti kami kepada Yang Suci Bapa Resi Batu Putih,” kata Kamandaka menyampaikan kata sambutannya atas permintaan Sekarmenur. Pendeta Muda Amenglayaran melakukan hormat secara khusus kepada Resi Batu Putih.
“Salam bakti Ananda Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, Bapa terima. Demikian pula salam hormat dari Pendeta Muda Amenglayaran Bujangga Manik. Semoga para Dewa berkenan melindungi Ananda Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati beserta segenap rombongan. Ananda Sekarmenur telah memberitahu Bapa, bahwa Ananda Kanjeng Adipati besera istri dan rombongan akan berkunjung ke Padepokan Batu Putih yang sangat sederhana ini,” kata Resi Batu Putih dengan wajah gembira.
“Suatu kehormatan dan terimakasih tak terhingga, Yang Suci Bapa Resi telah bersedia menerima kami dengan rombongan,” kata Kamandaka.
“Kanda Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, Yang Suci Bapa Resi Batu Putih inilah yang dulu membantu melakukan upacara merabukan jasad Raja Pulebahas, Patih Puletembini, Tumenggung Surejaladri, dan Rangga Singalaut. Yang Suci Bapa Resi Batu Putih juga yang memimpin upacara melarung abu jasad yang telah diperabukan,” kata Sekarmenur pula.
“Kami mengucapkan terimakasih atas bantuan dan kebaikan Yang Suci Bapa Resi kepada Dinda Sekarmenur beberapa waktu yang lalu,” kata Kamandaka.
“Ah, bantuan yang tidak seberapa. Sekedar melaksanakan kewajiban. Lebih-lebih karena menurut Ananda Sekarmenur, Raja Pulebahas dan anak buahnya itu sudah kembali menjadi penyembah Sang Hyang Syiwa,” kata Resi Batu Putih dengan sikap rendah hati.
“Janggan Nilasakti, mana hidangan untuk para tamu? Cari cantrik atau endang di dapur supaya segera mengeluarkan minuman, buah-buahan, dan makanan kecil lainnya untuk menjamu para tamu agung ini,” kata Resi Batu Putih pula kepada pembantu setianya, Janggan Nilasakti.
“Sedang disiapkan, Eyang Resi,” jawab Janggan Nilasakti.
“Kalau begitu tolong siapkan juga sanggar untuk berdoa di Goa Batu Putih. Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati akan berdoa sejenak di sana. Jika sudah siap, beritahu secepatnya,” perintah Resi Batu Putih. Janggan Nilasakti segera mundur dari ruang tamu padepokan. Dia bergegas naik ke Goa Batu Putih yang berada di ketinggian tertentu di tengah-tengah bukit Batu Putih.
Padepokan Batu Putih merupakan padepokan yang berada di kaki bukit karang yang menghadap ke laut. Ketika muara Sungai Ciserayu jatuh ke tangan Kerajaan Nusakambangan, Raja Nusakambangan tetap mengijinkan Padepokan Batu Putih menyelenggarakan upacara menyembah Sang Hyang Syiwa.
Sang Dewi dan Kanjeng Adipati, lewat Sekarmenur telah minta kepada Resi Batu Putih agar diijinkan berdoa di gua Batu Putih yang menghadap Lautan Selatan itu. Sang Dewi dan Kamandaka ingin memanfaatkan kunjungannya ke Padepokan Batu Putih untuk berdoa dan bersamadhi sejenak di Goa Batu Putih. Mereka berdua ingin memohon kepada Yang Maha Kuasa agar secepatnya diberikan anak yang akan menjadi ahli waris dan pelanjut keturunan mereka berdua.
Dari mulut gua, Lautan Selatan dengan gelombangnya yang besar nampak jelas. Demikian pula Pulau Bandung, pulau tempat tumbuhnya bunga sakti Wijayakusuma.
Tak berapa lama Janggan Nilasakti sudah muncul kembali di ruang pertemuan padepokan dan katanya kepada Resi Batu Putih.
“Eyang Resi, sanggar pamujan Goa Batu Putih telah hamba siapkan. Silahkan jika Eyang Resi akan membawa Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati kesana,” kata Janggan Nilasakti sambil melapor.
“Ananda Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, marilah Eyang antarkan ke sanggar pamujan di Goa Batu Putih jika ingin bersamadhi dan berdoa. Janggan Nilasakti akan memandu sampai mulut goa Batu Putih.”
Resi Batu Putih mengajak Sang Dewi dan Kamandaka. Mereka segera bangkit mengikuti Janggan Nilasakti. Resi Batu Putih dan Pendeta Muda Amenglayaran mengikutinya dari belakang.
Sesudah melewati tangga batu yang agak memutar, akhirnya Janggan Nilasakti, Sang Dewi, Kamandaka, Pendeta Amenglayaran, dan Resi Batu Putih sampai di depan mulut Goa Batu Putih. Gua itu berukuran sedang, bisa menampung sekitar sepuluh orang. Resi Batu Putih telah mengubahnya menjadi sebuah sanggar pamujaan untuk berdoa dan bersamadhi. Sanggar ditata sangat menarik, dindingnya diberi cat warna putih. Di sudut ada rak berisi gulungan-gulungan rontal berisi mantra-mantra. Lantainya ditutup dengan tikar halus yang dianyam oleh tangan-tangan trampil sehingga terasa lembut.
Sebelum masuk ke dalam goa sanggar pamujan, di halaman teras mulut goa yang cukup lebar itu, Sang Dewi, Kamandaka, dan Pendeta Amenglayaran menatap dengan kagum keindahan Lautan Selatan dipandang dari ketinggian tertentu. Matahari dengan cahayanya yang kemilau sudah hampir mencapai puncaknya. Laut biru itu membentang luas bagaikan cermin raksasa yang di atasnya bergulung-gulung ombak putih saling berkejar-kejaran.
“Itu lah pulau Bandung, tempat bunga sakti Wijayakusuma tumbuh dan disucikan orang,” kata Resi Batu Putih sambil menunjuk pulau kecil tidak jauh dari ujung timur pulau Nusakambangan yang membujur dari barat ke timur sejajar dengan pantai selatan Pulau Jawa.
“Banyak kisah yang pernah ananda Dewi dengar, Yang Suci Bapa Resi. Menurut Bapa Resi bagaimana bunga sakti dan langka itu bisa tumbuh di sana?” tanya Sang Dewi sambil menatap ke lautan luas yang terbentang di depannya itu.
“Jalan ceriteranya sebenarnya bermacam-macam,” kata Resi Batu Putih.
“Tetapi pada salah satu rontal yang sempat Bapa baca, konon setelah perang Bharata Yudha selesai Batara Narada diutus Sang Hyang Guru untuk meminta senjata pusaka Sri Kresna yakni senjata cakra dan bunga Wijayakusuma, sebab senjata-senjata pusaka itu pusaka kahyangan milik para dewa. Setelah Perang Bharata Yudha selesai, pusaka-pusaka itu harus segera dikembalikan. Sri Kresna tidak keberatan untuk menyerahkan senjata cakra kepada Batara Narada. Tetapi untuk pusaka kembang Wijayakusuma, Sri Kresna mohon agar pusaka kembang Wijayakusuma itu boleh dilarung lewat muara Sungai Ciserayu ke Lautan Suci Lautan Selatan, atau Lautan Nusantara. Perlunya agar bunga milik para dewa itu tetap bisa memberi manfaat bagi manusia. Ternyata Batara Narada menyetujui permohonan Sri Kresna.
“Alkisah Sri Kresna saat itu sedang berkelana. Dalam pengembaraannya Sri Kresna tiba di muara Sungai Ciserayu. Sri Kresna segera mengeluarkan bunga Wijayakusuma yang tersimpan di dalam cupu. Bunga Wijayakusuma lengkap dengan wadah dan tutupnya itu segera dilarung melalui muara Sungai Ciserayu ke Lautan Selatan. Setelah selesai melarung, Sri Kresna melanjutkan pengembaraannya untuk mencari moksa. Tak lama kemudian setelah berhasil melarung bunga Wijayakusuma, Sri Kresna memang berhasil mencapai moksa. Dan tak lama kemudian, bunga Wijayakusuma itu tumbuh di Pulau Bandung. Konon di Pulau Bandung itu ada sepasang burung bayan yang setia menunggunya dan tak pernah mau pergi dari sana. Konon sepasang burung bayan itu adalah penjelmaan wadah dan tutup bunga Wijayakusuma yang ikut dilarung Sri Kresna. Tetapi entah mengapa para penyembah Wisnu yang datang kemudian menyebut pulau itu sebagai Pulau Majeti. ”
“Milik siapakah bunga Wijayakusuma itu sebelum menjadi pusaka Sri Kresna?” tanya Sang Dewi
“Milik bersama para dewa yang disimpan oleh Dewi Supraba, satu dari tujuh bidadari tercantik di Kahyangan. Dulu namanya Wijayamala yang berarti bunga penyembuh aneka macam penyakit. Bahkan orang yang meninggal bila belum waktunya, bisa dihidupkan kembali oleh bunga Wijayamala itu. Sri Kresnalah yang merubah namanya menjadi bunga Wijayakusuma,” jelas Resi Batu Putih.
“Marilah kita berdoa dulu, Ananda Kanjeng Ayu Adipati dan Ananda Kanjeng Adipati. Nanti perbincangan bisa kita lanjutkan lagi,” ajak Resi Batu Putih yang segera mendahului masuk ke dalam sanggar. Menyusul di belakangnya Sang Dewi, Kamandaka, dan Pendeta Amenglayaran. Janggan Nilasakti berjaga-jaga di depan pintu gua.
Di dalam sanggar pamujan Sang Dewi duduk di samping kiri Kamandaka. Mereka diapit Pendeta Muda Amenglayaran di sebelah kanan, dan Resi Batu Putih di sebelah kiri.
“Silahkan Ananda berdua berdoa agar secepatnya dikarunia putra-putri yang cakap-cantik-cerdas, berbudi pekerti luhur, berbakti kepada kedua orang tua, para leluhur, dan berbakti kepada penduduk Kadipaten Pasirluhur pada khususnya, serta Kerajaan Pajajaran pada umumnya. Silahkan dimulai, Bapa dan Dinda Pendeta Muda akan membantunya memanjatkan japa dan membacakan mantra,” kata Resi Batu Putih yang segera mulai memasuki samadhi.
Dalam menjalankan samadhi itu, Resi Batu Putih dan Pendeta Amenglayaran mengambil posisi duduk sikap asanas bunga teratai, sedangkan Sang Dewi dan Kamandaka duduk bersila secara biasa.
Sang Dewi segera membentuk cipta dan angan-angan dalam benaknya. Ditariknya nafas pelan-pelan sebanyak 20 hitungan, kemudian menahan nafas sebanyak 20 hitungan. Pada saat menahan hitungan itu Sang Dewi mulai mempertajam dan menyatukan cipta dan rasanya menjadi satu energi kehendak dan keinginan yang kuat yang dipanjatkannya menembus batas langit agar sampai ke hadapan Yang Maha Kuasa. Sesudah menahan nafas selama 20 hitungan, pelan-pelan dengan tetap mempertahankan citranya, Sang Dewi menghembuskan nafasnya pelan-pelan juga selama 20 hitungan.
Demikian Sang Dewi mengulangi lagi sampai beberapa kali siklus irama prana dalam melakukan samadhi. Kemampuan Sang Dewi dalam samadhi sesungguhnya sudah mencapai gatra yang cukup tinggi untuk ukuran wanita. Hal yang sama juga dilakukan oleh Resi Batu Putih, Kamandaka, dan Pendeta Muda. Mereka semua asyik tenggelam dalam samadhi membentuk citra berdasarkan kekuatan budhi.
Tiba-tiba saat sedang asyik-asyiknya melakukan samadhi, Resi Batu Putih melihat sebuah sinar putih masuk ke dalam sanggar pamujan, lalu masuk ke dalam tubuh Sang Dewi. Sang Dewi langsung terjatuh ke arah kanan dan pingsan di atas pangkuan Kamandaka. Kamandaka, Pendeta Muda dan Resi Batu Putih segera mengakhiri samadhinya.
“Tenang saja Ananda, sebentar lagi juga siuman. Dia mendapat anugerah dewa yakni sinar daya penyembuhan. Ananda Kanjeng Ayu Adipati akan memiliki kemampuan gaib, bisa menyembuhkan berbagai jenis penyakit,” kata Resi Batu Putih yang membuat Kamandaka tenang.
Tiba-tiba ingatan Kamandaka melayang-layang pada selendang sutra kuning berisi ramuan buatan Sang Dewi yang telah menyelamatkan dirinya dari maut yang hampir saja merenggut nyawanya. Kamandaka percaya pada kata-kata Resi Batu Putih. Istrinya memang memiliki bakat membuat ramuan penyembuh yang diwarisi dari Ibunya, Kanjeng Ayu Adipati Sepuh.
Sementara itu keringat dingin keluar dari dahi Sang Dewi. Kamandaka bertambah cemas dan gelisah. Sang Dewi belum siuman juga. Lebih-lebih saat Kamandaka melihat irama nafas istri tercintanya pelan sekali. Untunglah Resi Batu Putih dan Pendeta Muda terus memberikan dukungan kepada Kamandaka dengan kekuatan mantra dan japa. Resi Batu Putih juga berpesan setelah Sang Dewi siuman, agar tidak mengajukan macam-macam pertanyaan. Biarkan Sang Dewi menceriterakan pengalaman spiritualitas yang dialaminya itu.
Akhirnya Sang Dewi memang segera siuman. Dia kembali duduk dengan wajah ceria, senyum tersungging di bibirnya, dan sinar matanya berkilat-kilat bak bintang malam. Kamandaka menggunakan sapu tangan untuk membantu Sang Dewi mengeringkan keringat yang membasahi dahi, pipi, dan lehernya.
“Yang Suci Bapa Resi, ananda Dewi mengalami perjalanan spiritualitas yang mengherankan. Ananda Dewi bertemu dengan seorang wanita cantik jelita sambil menyerahkan sebuah wadah berisi bunga Wijayakusuma. Sayang sebelum sempat berbincang-bincang, wanita cantik tadi keburu pergi. Dan, ananda segera sadarkan diri,” kata Sang Dewi menceriterakan sekeping pengalaman spiritualnya saat dia tidak sadarkan diri. Resi Batu Putih tersenyum mendengar penuturan Sang Dewi.
“Apakah Ananda Sekarmenur belum pernah berceritera kepada Ananda Kanjeng Ayu Adipati soal dua pusaka Raja Nusakambangan?” tanya Resi Batu Putih. Sang Dewi hanya mengangguk pelan.
“Pernah, Yang Suci Bapa Resi,” jawab Sang Dewi.
“Baiklah kalau begitu, segera saja siang hari ini berangkat ke Nusakambangan. Di sana nanti Ananda Sekarmenur akan menyerahkan dua pusaka Raja Pulebahas. Satu adalah guci porselin. Dan satunya lagi, stoples berisi kembang Wijayakusuma yang telah diawetkan. Hanya Ananda Kanjeng Ayu Adipati yang akan mampu merawat pusaka kembang Wijayakusuma milik Raja Pulebahas. Simpan dan rawatlah dengan baik. Manfaatkan untuk keperluan kemanusiaan dan memberikan pertolongan mereka yang membutuhkan tanpa mengharapkan imbalan. Adapun guci porselin itu berisi darah perawan suci Permaisuri Sang Raja Pulebahas yang jadi korban ritual dan telah tewas. Dia meminta tolong Ananda Kanjeng Ayu Adipati agar membantunya, kalau perlu memberikan fasilitas bantuan, agar supaya guci porselin beserta isinya itu dikubur di tempat kelahirannya. Menurut Ananda Sekarmenur, tempat kelahiran gadis yang tewas itu di Kalipucang. Kasihan ruh mereka berdua, belum bisa mencapai moksa selama ke dua pusaka itu belum ada yang mengurusnya,” kata Resi Batu Putih memberikan saran dan nasihat.
“Terimakasih Yang Suci Bapa Resi. Ananda Dewi akan laksanakan semua pesan-pesan Yang Suci Bapa Resi. Kalau begitu mohon ijin siang ini juga untuk meninggalkan Padepokan Batu Putih. Mohon juga selalu didoakan agar ananda Dewi dan Kanda Kamandaka segera dianugerahi momongan dari Yang Maha Menguasai Jagad,” kata Sang Dewi sambil mencium tangan Yang Suci Resi Batu Putih. Kamandaka dan Pendeta Muda juga melakukan hal yang sama. Mereka segera keluar dari gua, menuruni tangga menuju ruang tamu Padepokan Batu Putih. Di situ para tamu rombongan Sang Dewi dan Kamandaka, terlebih dahulu harus menikmati jamuan santap siang sebelum meninggalkan Padepokan Batu Putih. Mereka akan melanjutkan perjalanan menyeberang Segara Anakan menuju Nusakambangan. (bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar