Entri yang Diunggulkan
SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)
SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...
Selasa, 03 Desember 2019
SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijaya Kusuma (24)
SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijaya Kusuma (24): Santap siang dengan aneka macam makanan, minuman, dan buah-buahan telah disajikan di ruang tamu padepokan yang telah di sulap jadi tem...
Novel : Pusaka Kembang Wijaya Kusuma (24)
Santap siang dengan aneka macam
makanan, minuman, dan buah-buahan telah disajikan di ruang tamu padepokan yang
telah di sulap jadi tempat makan bersama dengan duduk melingkar di atas tikar
halus yang digelar di lantai. Sejumlah endang siswi padepokan hilir mudik
melayani para tamu. Resi Batu Putih segera mempersilahkan Sang Dewi mengawali
hidangan santap siang dengan didampingi Kamandaka.
“Silahkan, Ananda
Kanjeng Ayu Adipati. Masakan tidak selezat juru masak Kadipaten Pasirluhur.
Hanya olahan para endang siswi padepokan. Ayo, Ananda Kanjeng Adipati! ” kata
Resi Batu Putih merendah mempersilahkan Sang Dewi dan Kamandaka beserta
rombongan menikmati hidangan santap siang.
“Terima kasih,
Yang Suci Bapa Resi, kami telah merepotkan keluarga Padepokan Batu Putih,” kata
Sang Dewi seraya mengambilkan nasi untuk suaminya, Kamandaka. Dyah Ayu Sekar
Menur, Dyah Ayu Mayang Sari, dan Dyah Ayu Ratna Pemekas ikut-ikutan
mengambilkan nasi untuk kekasihnya masing-masing. Khandegwilis tidak kalah
sigapnya. Dia mengambilkan untuk Nyai Kertisara, Rekajaya, dan Tumenggung
Maresi. Sayur lodeh, lalaban, dan aneka macam ikan laut yang dibakar, menjadi
menu utama santap siang di Padepokan Batu Putih.
“Kami atas nama
seluruh keluarga Padepokan Batu Putih yang seharusnya menyampaikan ucapan
terimakasih kepada Ananda Kanjeng Ayu Adipati beserta rombongan yang telah
berkenan singgah di padepokan yang sederhana ini,” kata Resi Batu Putih sambil
menemani tamunya menikmati hidangan santap siang.
Lurah Karangjati
dengan anak buahnya, prajurit pengawal dari Kadipaten Pasirluhur, menikmati
santap siang di tempat terpisah. Mereka makan dengan berkumpul bersama di
serambi padepokan ditemani para cantrik sambil saling berkenalan dan
mengakrabkan persahabatan. Sejumlah endang juga melayani keperluan makan dan
minum para prajurit pengawal yang berada dibawah pimpinan Lurah Karangjati.
Tentu para endang
siswi padepokan yang paling sibuk. Sebab merekalah yang ditugaskan untuk
memasak makanan dan menyajikannya kepada para tamu. Semua bahan mentah dan
aneka buah-buahan sengaja didatangkan jauh-jauh hari dari Nusakambangan atas
perintah Dyah Ayu Sekarmenur. Para siswi padepokan itu tinggal mengolahnya.
Tentu saja para cantrik padepokan juga sibuk memberikan bantuan dalam hajatan
menyambut rombongan tamu dari Kadipaten Pasirluhur.
Kepala cantrik
Janggan Nilasakti, juga tidak kalah sibuk mengatur anak buahnya agar semua tamu
termasuk para prajurit pengiring dari Kadipaten Pasirluhur tidak ada yang tidak
kebagian menu makan siang. Siang itu bagi para cantrik dan endang Padepokan Batu
Putih menjadi semacam pesta menyambut tamu yang amat menyenangkan, karena
melimpahnya bahan makanan, buah-buahan, dan minuman yang jarang dirasakan dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Mereka, para cantrik dan warga Padepokan Batu
Putih sama sekali tidak menyadari, bahwa kegiatan mereka menyambut tamu itu
akan segera disusul dengan kejadian yang sama sekali tidak mereka duga.
Usai santap siang
rombongan Kanjeng Ayu Adipati segera berpamitan kepada Resi Batu Putih dan
Janggan Nilasakti, seraya menyampaikan ucapan terimakasih atas segala
penyambutan yang begitu ramah yang telah diberikan oleh keluarga besar
Padepokan Batu Putih. Rombongan Kanjeng Ayu Adipati segera bergegas
meninggalkan Padepokan Batu Putih dan meneruskan perjalanan menuju
Nusakambangan.
Sebuah
perahu berukuran besar membawa seluruh rombongan Sang Dewi yang hanya berjumlah
27 orang dengan satu kali angkut. Dengan mudah perahu itu melayari laut Segara
Anakan menuju Pulau Nusakambangan. Perahu-perahu yang hilir mudik di muara Sungai
Ciserayu itu, semakin lama tampak semakin mengecil, ketika perahu yang membawa
rombongan Sang Dewi semakin jauh meninggalkan Teluk Penyu.
Matahari
sudah condong ke arah barat, langit berwarna biru cerah dengan hanya sedikit
awan putih yang tipis. Akibatnya permukaan laut tampak berkilau-kilauan
memantulkan warna langit yang terkadang menyilaukan mata. Sang Dewi memandang
tak berkedip permukaan air laut yang membiru. Di permukaannya terbentuk
gelombang-gelombang kecil berbaris memanjang memenuhi seluruh permukaan laut
yang dilayari perahu, sehingga Sang Dewi merasa dia bukan sedang melayari
sebuah selat.
“Apa
yang sedang Diajeng pikirkan?” tanya Kamandaka ketika melihat istrinya yang
duduk disampingnya itu lebih banyak diam.
“Hanya
merasa sedikit heran. Ternyata melayari laut tidak berbeda dengan mengarungi
sungai. Rasanya permukaan laut ini seperti permukaan sungai yang jauh lebih
luas. Lihat saja gelombangnya yang membentuk barisan memanjang di seluruh
permukaannya. Semuanya nyaris seragam bentuknya,” kata Sang Dewi sambil terus
memandang ke permukaan laut yang bergerak ke belakang, karena perahu melaju ke
depan.
“Kalau
Kanda, apa yang sedang dipikirkan?” tanya Sang Dewi.
“Kalau
aku selalu terpikirkan, kapan segera punya anak dari Diajeng,” jawab Kamandaka
sambil tersenyum. Sang Dewi diam saja. Dia sedang mencari-cari kalimat yang
tepat untuk mengalihkan pembicaraan.
“Selain
itu, apa lagi yang sedang Kanda pikirkan?” Sang Dewi bertanya lagi dengan
cerdiknya.
“Yang
juga sedang aku pikirkan, aku kagum kepada Raja Pulebahas. Sebenarnya
menurutku, dia itu penguasa kerajaan lautan yang hebat. Dia bukan hanya mampu
membangun angkatan perang yang tangguh. Tetapi juga mampu membangun armada
lautan yang kuat. Lihat saja perahu-perahu yang hilir mudik di selat ini. Selat
ini praktis seluruhnya dikuasai perahu-perahu warisan Kerajaan Nusakambangan.
Demikian pula perahu-perahu yang beroperasi di muara Sungai Citanduy dan muara
Sungai Ciserayu. Baik perahu-perahu angkutan sungai, angkutan laut maupun
perahu penangkap ikan, sebagian besar dulunya milik Kerajaan Nusakambangan,”
kata Kamandaka.
“Ya,
karya yang baik perlu kita tiru. Yang jelek dan buruk, kita tinggalkan. Aku
setuju, dia Raja hebat. Mampu membangun kerajaan lautan terbesar di pantai
selatan Pulau Jawa,” kata Sang Dewi.
“Sebenarnya
dulu pada masa Kerajaan Galuh, Maha Patih Bunisora sudah mempunyai gagasan
untuk mengembangkan muara Sungai Ciserayu dan muara Sungai Citanduy menjadi
bandar yang besar di Lautan Selatan. Sayang cita-cita Mahapatih Bunisora
kandas, karena Sang Raja Niskala Wastukencana lebih suka memindahkan Kerajaan
Galuh ke Pakuan Pajajaran,” kata Kamandaka.
“Leluhur
Kanjeng Rama sebenarnya kan memiliki kekerabatan juga dengan Mahapatih
Bunisora,” kata Sang Dewi menyambung pembicaraan Kamandaka.
“Hampir
semua adipati di sekitar lembah Ciserayu dan Citanduy memiliki ikatan
kekerabatan dengan Maha Patih Bunisora,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Itu
menurut Kanjeng Rama. Dan Kanjeng Rama sepenuhnya benar. Mereka antara lain
adalah Adipati Kalipucang, Adipati Cukangleles, Adipati Pasirluhur, Adipati
Banakeling Arjabinangun, Adipati Ayah dan Adipati Nusakambangan. Makanya dulu
Dinda Wirapati hendak dijodohkan dengan Dyah Ayu Niken Gambirarum, putri
Adipati Kalipucang, karena antara Adipati Dayeuhluhur dan Adipati Kalipucang
ada ikatan keluarga,” jelas Sang Dewi kepada Kamandaka.
“Lho,
bukankah Adipati Dayeuhluhur itu adik Kanjeng Ibu?” tanya Kamandaka.
“Betul.
Tetapi istrinya punya hubungan kekerabatan dengan Mahapatih Bunisora dan
Adipati Kalipucang,” jawab Sang Dewi.
Di
atas perahu yang istimewa itu Sang Dewi dan Kamandaka ditempatkan oleh
Sekarmenur di tempat duduk khusus untuk mereka berdua. Di belakang Sang Dewi
dan Kamandaka duduk para pengawal pribadi berjumlah 10 orang untuk menjaga
keselamatan Sang Dewi dan Kamandaka. Sekarmenur memang tak mau mengambil risiko
dengan keamanan Sang Dewi dan Kamandaka. Sebab bagaimanapun juga Kamandaka
adalah bekas Panglima Tertinggi dalam perang yang berhasil menaklukan Kerajaan
Nusakambangan dan menewaskan Raja Pulebahas beserta anak buahnya beberapa waktu
yang lalu. Sekarmenur yang mendapat tugas mengendalikan pemerintahan
Nusakambangan itu, sebenarnya sama sekali tidak khawatir dengan keselamatan
Kamandaka. Yang dikhawatirkan justru keselamatan Sang Dewi.
Di
belakang pasukan pengawal Sang Dewi itu barulah duduk berderet Wirapati,
Sekarmenur, Mayangsari dan Silihwarna. Di belakangnya lagi, Arya Baribin, Ratna
Pamekas, Sekarmelati, dan Dyah Ayu Sekar Cempaka dalam satu deret. Kemudian di
belakangnya lagi, duduk pula berderet Pendeta Muda, Nyai Kertisara,
Khandegwilis dan Rekajaya. Lalu duduk di deretan terakhir Tumenggung Maresi,
Jigjayuda, Lurah Karangjati, dan para prajurit pengawal.
Perahu
yang digunakan untuk menyeberangkan rombongan Sang Dewi itu, sebenarnya perahu
istimewa milik Sang Raja Pulebahas yang dirancang sebagai perahu pesiar. Karena
itu lambung perahu cukup lebar, mampu membawa 30 orang penumpang, dilengkapi
dengan tempat duduk yang nyaman, dan memiliki sepasang tiang layar. Jika angin
mati, perahu yang sebagian besar dibuat dari kayu kruing itu, digerakkan oleh
delapan tukang sauh di haluan perahu dan delapan tukang sauh di buritan perahu.
Bagi
Wirapati, Sekarmenur, dan kedua adiknya menyeberangi laut Segara Anakan tentu
sudah puluhan kali. Tetapi bagi Sang Dewi dan Kamandaka beserta adik-adiknya,
perjalanan melayari laut itu merupakan pengalaman baru pertama kali. Karena itu
mereka lebih banyak menikmati panorama indah dari alam di sekitarnya.
Sementara
itu, Sang Dewi dan Kamandaka masih asyik membicarakan Raja Pulebahas. “Kalau
begitu leluhur Raja Pulebahas adalah trah Kerajaan Galuh lewat Mahapatih
Bunisora?” tanya Kamandaka.
“Ya,
benar. Setidaknya itulah penjelasan Kanjeng Rama. Makanya dulu Kanjeng Rama
hampir saja menerima pinangan Raja Pulebahas,”
“Kenapa
Diajeng menolak?” tanya Kamandaka, mulai menggoda.
“Cemburu!!!”
kata Sang Dewi sambil mencubit paha Kamandaka. Kamandaka tertawa sambil menahan
rasa sakit. Sayang di belakangnya ada sejumlah pasukan pengawal. Kalau tidak
dirinya pasti akan membalas cubitan istrinya itu.
“Pertanyaan
aku sungguh-sungguh, nih. Menurut Diajeng, apa sebabnya Raja Pulebahas yang
leluhurnya masih ada hubungan kekerabatan dengan para adipati di sekitar lembah
Citanduy dan Ciserayu, berubah menjadi seorang Raja penakluk yang dengan wajah
dingin membumi hanguskan begitu saja Kadipaten Kalipucang dan Kadipaten
Banakeling?”
“Yang
tahu banyak soal ini kan Dinda Sekarmenur dan Dinda Wirapati. Tetapi menurut
aku penyebabnya adalah karena Raja Pulebahas menjadi pengikut aliran sesat,
mempunyai ilmu hitam, dan mempunyai pula pusaka Kembang Wijayakususma.
Akibatnya ambisi Raja Pulebahas akan kekuasaan tak terkendali. Dia menjadi
seorang raja dan penguasa yang gila kekuasaan. Seorang Raja yang adigang,
adigung, dan adiguna. Demi ambisi akan kekuasaan, Kadipaten Kalipucang dan
Kadipaten Banakeling-Arjabinangun, dihancurleburkan dan ditumpas kelor
habis-habisan.
“Semua
anak laki-laki keturunan Adipati Kalicupang dan Banakeling dibunuhnya.
Sekarmenur dengan kedua adiknya dan Niken Gambirarum putri Adipati Kalipucang,
tidak dihabisi karena dipersiapkan menjadi gadis penghuni Tamanbidadari. Toh
pada akhirnya rencanya mereka akan dihabisi juga. Caranya saja yang berbeda.
Dinda Sekarmenur dengan ke dua adiknya itu melewati jalan yang unik, sehingga
ketiga-tiganya selamat. Yang bernasib malang, padahal jasanya besar sebenarnya
adalah Dyah Ayu Niken Gambiarum,” kata Sang Dewi sambil sekali-kali
memperhatikan laju perahu yang semakin lama semakin mendekati pulau yang ada di
selatan Pulau Jawa itu.
“Ya,
itu yang aku belum terlalu paham. Dia tewas pada malam ritual?” tanya
Kamandaka.
“Sebelum
tewas sebenarnya keduanya sudah melakukan pernikahan secara mandiri. Niken
Gambirarum jelas seorang gadis cerdas, pemberani, cantik, dan rela mengorbankan
dirinya. Dia berhasil menyadarkan Raja Pulebahas untuk mengakhiri ritual
persembahan darah perawan suci yang telah mengorbankan banyak gadis tidak
berdosa. Dia pun berhasil mengajak Sang Raja meninggalkan agama sesat yang
dipeluk Sang Raja. Sayang sekali nyawanya tidak terselamatkan. Raja Pulebahas
dan Niken Gambirarum yang telah menjadi sepasang suami istri itu, melanjutkan
malam pengantinnya di atas ranjang ritual yang memang telah banyak mengorbankan
nyawa.”
“Barangkali
di sinilah kesalahan Dyah Ayu Niken Gambirarum yang berakibat fatal. Padahal
pada saat dia sudah mampu menguasai Sang Raja. Seharusnya dia menolak ajakan
Sang Raja untuk menikmati malam pengantin di atas ranjang ritual. Mestinya dia
meminta kepada Sang Raja agar melewatkan malam pengantin di ranjang peraduan
Sang Raja di Istana pribadinya yang tidak jauh dari situ. Jika itu dilakukan,
bukan saja Sang Permaisuri akan selamat dari maut, tetapi sejarah Kerajaan
Nusakambangan mungkin akan lain. Bisa jadi Kerajaan Nusakambangan akan terus berkibar
menjadi kerajaan lautan yang besar dan kuat di Pantai Selatan Pulau Jawa,” kata
Sang Dewi pula.
“Oh,
begitu kisahnya. Aku baru tahu.”
“Ya,
itulah yang namanya garis nasib. Sang Raja dan Dyah Ayu Niken Gambirarum
melewati malam pengantin, sampai kedua-duanya tertidur. Pada saat keduanya
sedang terlelap tidur itulah, Nyai Gede Wulansari dibantu Sekarmenur dan kedua
adiknya menuangkan cairan racun ke mulut Dyah Ayu Niken Gambirarum, sampai
tewas. Dalam hal ini Sekarmenur dan adiknya berada dalam posisi sulit. Dia
sekedar menjalankan perintah atasannya. Melawan komandannya, Nyai Gede
Wulansari, tentu bisa membahayakan nyawa mereka bertiga.”
“Bagaimana
nasib Nyai Gede Wulansari, komandan Dinda Sekarmenur itu?” tanya Kamandaka
penasaran.
“Dihukum
mati Raja Pulebahas bareng-bareng dengan Pendeta Raga Pitar yang mengajarkan
aliran sesat,” kata Sang Dewi. “Aku pun harus memuji pengorbanan yang besar
dari Dinda Sekarmenur. Sebenarnya kalau dia mau enak, dia bisa saja dengan
mudah meraihnya. Tiga gadis kakak beradik yang perkasa itu, sebenarnya adalah
gadis-gadis Tamanbidadari kesayangan Raja Pulebahas. Dinda Sekarmenur hampir
jadi isri Patih Puletembini, adik Raja. Dinda Sekarmelati hampir jadi istri
Tumenggung Surajaladri. Dan Dinda Sekarcempaka hampir jadi istri Rangga
Singalaut.”
“Hanya
karena perasaan berdosa yang selalu menghantui mereka bertiga, menyebabkan
mereka bertiga selalu berusaha ingin keluar dari Kerajaan Nusakambangan,” kata
Sang Dewi melanjutkan. “Ya, memang terkadang kebebasan dan kemerdekaan bagi seseorang
merupakan sesuatu yang mahal dan berharga. Sangat wajar jika gadis cerdas dan
perkasa seperti Dinda Sekarmenur itu berusaha mendapatkan kemerdakaan dan
kebebasannya yang hilang. Rupanya, Yang Maha Kuasa mengabulkan keinginan Dinda
Sekarmenur. Secara tidak sengaja Sekarmenur berkenalan dengan Dinda Wirapati
yang terus berusaha mencari kekasihnya yang hilang itu. Kanda pasti belum tahu,
bukan?”
“Soal
apa?”
“Ternyata
Dinda Sekarmenurlah yang telah menyarankan Raja Pulebahas untuk melamar aku.
Saat itu Sang Raja terus menerus dirundung duka karena kehilangan permaisuri
tercintanya,”
“Lho,
Iya?”
“Iya.
Dinda Sekarmenur pula yang membuatkan surat lamaran yang ditujukan kepada
Kanjeng Rama.”
“Masih
ada suratnya?”
“Masih,
aku simpan. Dinda Sekarmenur pernah tertawa ketika aku beritahu bahwa surat
lamaran Sang Raja yang dibuat Dinda Sekarmenur masih aku simpan.”
“Bagus
sekali, Diajeng. Bisa dijadikan bukti sejarah bagi anak cucu kita kelak
dikemudian hari,” kata Kamandaka sambil tangan kirinya secara tidak sadar
kembali diletakkan di atas perut istrinya. Merasa perutnya diraba-raba Sang
Dewi tersenyum sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Kamandaka.
“Kanda
harus sabar. Yang Suci Bapa Resi Batu Putih kan bilang, kita harus sabar,”
bisik Sang Dewi yang tahu apa maksud Kamandaka ketika tangannya meraba-raba
perutnya. Suaminya itu ingin cepat-cepat menimang seorang anak.Tiba-tiba Sang
Dewi terkejut ketika tahu-tahu Sekarmenur sudah berdiri di samping kirinya dan
memberitahu dengan berkata.
“Ayunda
Dewi Kanjeng Ayu, sebentar lagi perahu akan berlabuh. Tumenggung Surengpati
telah menyediakan jemputan di halaman luar pelabuhan.”
“Terimakasi
Dinda Sekarmenur. Pelayaran yang mengasyikkan dan menyenangkan,” kata Sang Dewi
sambil bangkit dari tempat duduknya, karena perahu sudah merapat ke pangkalan.
Rombongan Sang Dewi segera turun dari perahu. Mereka kini telah tiba di bandar
pelabuhan Nusakambangan.
Sekarmenur
segera melambaikan tangan ketika melihat Tumenggung Surengpati berdiri di
antara anak buahnya yang melakukan penjemputan rombongan Sang Dewi. Tumenggung
Surengpati merupakan anak buah Sekarmenur yang ditugasi untuk melaksanakan
tugas pemerintahan sehari-hari di Nusakambangan, selama Sekarmenur dan Wirapati
tidak ada di tempat.
Sang
Dewi dan Kamandaka serta anggota rombongan lainnya yang belum pernah
menginjakkan kakinya di Pulau Nusakambangan sering salah membayangkan. Ternyata
pulau Nusakambangan itu, bukanlah sebuah pulau karang yang gersang tanpa
tumbuh-tumbuhan. Pulau itu sebenarnya tidak banyak bedanya dengan daratan,
lembah, hutan dan pantai yang ada di Pulau Jawa. Di tengahnya dari timur ke
barat memanjang hutan dan ladang dengan aneka macam tumbuh-tumbuhan mulai dari
kelapa, bambu, sawo, mangga, pucung, nangka, siwalan, sengon, mahoni, ketapang,
waru, rotan, wuni dan banyak yang lainnya lagi. Bedanya hutan di Nusakambangan
dengan hutan di Pulau Jawa, hutan di Nusakambangan dikelilingi laut di sebelah
utaranya dan sebuah lautan dengan ombak yang besar di sebelah selatannya.
“Binatang
apa saja yang ada di hutan Nusakambangan?” tanya Kamandaka pada Tumenggung
Surengpati yang mengantarkan Kamandaka dan Sang Dewi naik kereta kuda empat
roda yang ditarik dua ekor kuda. Duduk di belakang sais adalah Sang Dewi yang
berdampiangan dengan Kamandaka. Di belakangnya lagi duduk Sekarmenur
berdampingan dengan Wirapati. Tumenggung Surengpati duduk di depan berdampingan
dengan sais kereta kuda. Dari atas kereta kuda, Kamandaka dan Sang Dewi
menyaksikan pohon-pohon raksasa yang berderet di sebelah kanan jalan.
“Banyak
jenisnya Kanjeng Adipati. Harimau loreng, harimau tutul, harimau kumbang, rusa,
kijang, serigala, babi rusa, lutung, monyet, ular, kalong, aneka macam jenis
ular dan burung,” jawab Tumenggung Surengpati yang membuat Kamandaka berdecak
kagum.
Kereta
kuda yang membawa rombongan Sang Dewi terus bergerak ke arah timur melintasi
jalan yang cukup lebar yang telah dipadatkan dengan campuran batu kerikil,
pasir dan kapur sehingga cukup keras untuk dilintasi kereta kuda. Semuanya ada
empat kereta kuda. Satu kereta kuda dengan dua pasang roda dan tiga kereta kuda
dengan sepasang roda yang ditarik seekor kuda. Tiap-tiap kereta kuda bisa
dimuati enam penumpang termasuk sais. (bersambung)
Senin, 02 Desember 2019
Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (23)
Dengan dipandu Sekarmenur dan Wirapati, rombongan Sang Dewi dan Kamandaka menuju Padepokan Batu
Putih, tidak jauh dari tepi laut. Di Padepokan Batu Putih Sang Dewi dan Kamandaka
beserta seluruh anggota rombongan diterima dengan ramah oleh Janggan Nilasakti
dan Resi Batu Putih.
“Yang Suci Bapa
Resi, Ini Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati Kadipaten Pasirluhur yang
baru dilantik beserta rombongan. Dan itu adalah Pendeta Muda dari Kerajaan
Pajajaran, Kanda Amenglayaran Bujangga Manik. Kami semua ingin menjalin
persahabatan dengan Bapa Resi,” kata Sekarmenur yang saat itu menjadi
jurubicara rombongan. Sekarmenur sudah lama mengenal Resi Batu Putih.
“Kami berdua
dengan istri, dan Kanda Pendeta Muda Amenglayaran disertai adik-adik kami dan
beberapa punggawa kami, menyampaikan salam bakti kami kepada Yang Suci Bapa
Resi Batu Putih,” kata Kamandaka menyampaikan kata sambutannya atas permintaan
Sekarmenur. Pendeta Muda Amenglayaran melakukan hormat secara khusus kepada
Resi Batu Putih.
“Salam bakti Ananda Kanjeng Adipati
dan Kanjeng Ayu Adipati, Bapa terima. Demikian pula salam hormat dari Pendeta
Muda Amenglayaran Bujangga Manik. Semoga para Dewa berkenan melindungi Ananda
Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati beserta segenap rombongan. Ananda
Sekarmenur telah memberitahu Bapa, bahwa Ananda Kanjeng Adipati besera istri
dan rombongan akan berkunjung ke Padepokan Batu Putih yang sangat sederhana
ini,” kata Resi Batu Putih dengan wajah gembira.
“Suatu kehormatan
dan terimakasih tak terhingga, Yang Suci Bapa Resi telah bersedia menerima kami
dengan rombongan,” kata Kamandaka.
“Kanda Kanjeng
Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, Yang Suci Bapa Resi Batu Putih inilah yang
dulu membantu melakukan upacara merabukan jasad Raja Pulebahas, Patih Puletembini,
Tumenggung Surejaladri, dan Rangga Singalaut. Yang Suci Bapa Resi Batu Putih
juga yang memimpin upacara melarung abu jasad yang telah diperabukan,” kata
Sekarmenur pula.
“Kami mengucapkan
terimakasih atas bantuan dan kebaikan Yang Suci Bapa Resi kepada Dinda
Sekarmenur beberapa waktu yang lalu,” kata Kamandaka.
“Ah, bantuan yang
tidak seberapa. Sekedar melaksanakan kewajiban. Lebih-lebih karena menurut
Ananda Sekarmenur, Raja Pulebahas dan anak buahnya itu sudah kembali menjadi
penyembah Sang Hyang Syiwa,” kata Resi Batu Putih dengan sikap rendah hati.
“Janggan
Nilasakti, mana hidangan untuk para tamu? Cari cantrik atau endang di dapur
supaya segera mengeluarkan minuman, buah-buahan, dan makanan kecil lainnya
untuk menjamu para tamu agung ini,” kata Resi Batu Putih pula kepada pembantu
setianya, Janggan Nilasakti.
“Sedang
disiapkan, Eyang Resi,” jawab Janggan Nilasakti.
“Kalau begitu
tolong siapkan juga sanggar untuk berdoa di Goa Batu Putih. Kanjeng Adipati dan
Kanjeng Ayu Adipati akan berdoa sejenak di sana. Jika sudah siap, beritahu
secepatnya,” perintah Resi Batu Putih. Janggan Nilasakti segera mundur dari
ruang tamu padepokan. Dia bergegas naik ke Goa Batu Putih yang berada di
ketinggian tertentu di tengah-tengah bukit Batu Putih.
Padepokan Batu
Putih merupakan padepokan yang berada di kaki bukit karang yang menghadap ke
laut. Ketika muara Sungai Ciserayu jatuh ke tangan Kerajaan Nusakambangan, Raja
Nusakambangan tetap mengijinkan Padepokan Batu Putih menyelenggarakan upacara
menyembah Sang Hyang Syiwa.
Sang Dewi dan
Kanjeng Adipati, lewat Sekarmenur telah minta kepada Resi Batu Putih agar
diijinkan berdoa di gua Batu Putih yang menghadap Lautan Selatan itu. Sang Dewi
dan Kamandaka ingin memanfaatkan kunjungannya ke Padepokan Batu Putih untuk
berdoa dan bersamadhi sejenak di Goa Batu Putih. Mereka berdua ingin memohon
kepada Yang Maha Kuasa agar secepatnya diberikan anak yang akan menjadi ahli
waris dan pelanjut keturunan mereka berdua.
Dari mulut gua,
Lautan Selatan dengan gelombangnya yang besar nampak jelas. Demikian pula Pulau
Bandung, pulau tempat tumbuhnya bunga sakti Wijayakusuma.
Tak berapa lama
Janggan Nilasakti sudah muncul kembali di ruang pertemuan padepokan dan katanya
kepada Resi Batu Putih.
“Eyang Resi,
sanggar pamujan Goa Batu Putih telah hamba siapkan. Silahkan jika Eyang Resi
akan membawa Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati kesana,” kata Janggan
Nilasakti sambil melapor.
“Ananda Kanjeng
Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, marilah Eyang antarkan ke sanggar pamujan di
Goa Batu Putih jika ingin bersamadhi dan berdoa. Janggan Nilasakti akan memandu
sampai mulut goa Batu Putih.”
Resi Batu Putih
mengajak Sang Dewi dan Kamandaka. Mereka segera bangkit mengikuti Janggan
Nilasakti. Resi Batu Putih dan Pendeta Muda Amenglayaran mengikutinya dari
belakang.
Sesudah melewati
tangga batu yang agak memutar, akhirnya Janggan Nilasakti, Sang Dewi,
Kamandaka, Pendeta Amenglayaran, dan Resi Batu Putih sampai di depan mulut Goa
Batu Putih. Gua itu berukuran sedang, bisa menampung sekitar sepuluh orang.
Resi Batu Putih telah mengubahnya menjadi sebuah sanggar pamujaan untuk berdoa
dan bersamadhi. Sanggar ditata sangat menarik, dindingnya diberi cat warna
putih. Di sudut ada rak berisi gulungan-gulungan rontal berisi mantra-mantra.
Lantainya ditutup dengan tikar halus yang dianyam oleh tangan-tangan trampil
sehingga terasa lembut.
Sebelum masuk ke
dalam goa sanggar pamujan, di halaman teras mulut goa yang cukup lebar itu,
Sang Dewi, Kamandaka, dan Pendeta Amenglayaran menatap dengan kagum keindahan Lautan
Selatan dipandang dari ketinggian tertentu. Matahari dengan cahayanya yang
kemilau sudah hampir mencapai puncaknya. Laut biru itu membentang luas bagaikan
cermin raksasa yang di atasnya bergulung-gulung ombak putih saling
berkejar-kejaran.
“Itu lah pulau
Bandung, tempat bunga sakti Wijayakusuma tumbuh dan disucikan orang,” kata Resi
Batu Putih sambil menunjuk pulau kecil tidak jauh dari ujung timur pulau
Nusakambangan yang membujur dari barat ke timur sejajar dengan pantai selatan
Pulau Jawa.
“Banyak kisah
yang pernah ananda Dewi dengar, Yang Suci Bapa Resi. Menurut Bapa Resi
bagaimana bunga sakti dan langka itu bisa tumbuh di sana?” tanya Sang Dewi
sambil menatap ke lautan luas yang terbentang di depannya itu.
“Jalan
ceriteranya sebenarnya bermacam-macam,” kata Resi Batu Putih.
“Tetapi pada
salah satu rontal yang sempat Bapa baca, konon setelah perang Bharata Yudha
selesai Batara Narada diutus Sang Hyang Guru untuk meminta senjata pusaka Sri
Kresna yakni senjata cakra dan bunga Wijayakusuma, sebab senjata-senjata pusaka
itu pusaka kahyangan milik para dewa. Setelah Perang Bharata Yudha selesai,
pusaka-pusaka itu harus segera dikembalikan. Sri Kresna tidak keberatan untuk
menyerahkan senjata cakra kepada Batara Narada. Tetapi untuk pusaka kembang Wijayakusuma,
Sri Kresna mohon agar pusaka kembang Wijayakusuma itu boleh dilarung lewat
muara Sungai Ciserayu ke Lautan Suci Lautan Selatan, atau Lautan Nusantara.
Perlunya agar bunga milik para dewa itu tetap bisa memberi manfaat bagi
manusia. Ternyata Batara Narada menyetujui permohonan Sri Kresna.
“Alkisah Sri
Kresna saat itu sedang berkelana. Dalam pengembaraannya Sri Kresna tiba di
muara Sungai Ciserayu. Sri Kresna segera mengeluarkan bunga Wijayakusuma yang
tersimpan di dalam cupu. Bunga Wijayakusuma lengkap dengan wadah dan tutupnya
itu segera dilarung melalui muara Sungai Ciserayu ke Lautan Selatan. Setelah
selesai melarung, Sri Kresna melanjutkan pengembaraannya untuk mencari moksa.
Tak lama kemudian setelah berhasil melarung bunga Wijayakusuma, Sri Kresna
memang berhasil mencapai moksa. Dan tak lama kemudian, bunga Wijayakusuma itu
tumbuh di Pulau Bandung. Konon di Pulau Bandung itu ada sepasang burung bayan
yang setia menunggunya dan tak pernah mau pergi dari sana. Konon sepasang
burung bayan itu adalah penjelmaan wadah dan tutup bunga Wijayakusuma yang ikut
dilarung Sri Kresna. Tetapi entah mengapa para penyembah Wisnu yang datang
kemudian menyebut pulau itu sebagai Pulau Majeti. ”
“Milik siapakah
bunga Wijayakusuma itu sebelum menjadi pusaka Sri Kresna?” tanya Sang Dewi
“Milik bersama
para dewa yang disimpan oleh Dewi Supraba, satu dari tujuh bidadari tercantik
di Kahyangan. Dulu namanya Wijayamala yang berarti bunga penyembuh aneka macam
penyakit. Bahkan orang yang meninggal bila belum waktunya, bisa dihidupkan
kembali oleh bunga Wijayamala itu. Sri Kresnalah yang merubah namanya menjadi
bunga Wijayakusuma,” jelas Resi Batu Putih.
“Marilah kita
berdoa dulu, Ananda Kanjeng Ayu Adipati dan Ananda Kanjeng Adipati. Nanti
perbincangan bisa kita lanjutkan lagi,” ajak Resi Batu Putih yang segera
mendahului masuk ke dalam sanggar. Menyusul di belakangnya Sang Dewi,
Kamandaka, dan Pendeta Amenglayaran. Janggan Nilasakti berjaga-jaga di depan
pintu gua.
Di dalam sanggar
pamujan Sang Dewi duduk di samping kiri Kamandaka. Mereka diapit Pendeta Muda
Amenglayaran di sebelah kanan, dan Resi Batu Putih di sebelah kiri.
“Silahkan Ananda
berdua berdoa agar secepatnya dikarunia putra-putri yang cakap-cantik-cerdas,
berbudi pekerti luhur, berbakti kepada kedua orang tua, para leluhur, dan
berbakti kepada penduduk Kadipaten Pasirluhur pada khususnya, serta Kerajaan
Pajajaran pada umumnya. Silahkan dimulai, Bapa dan Dinda Pendeta Muda akan
membantunya memanjatkan japa dan membacakan mantra,” kata Resi Batu Putih yang
segera mulai memasuki samadhi.
Dalam menjalankan
samadhi itu, Resi Batu Putih dan Pendeta Amenglayaran mengambil posisi duduk
sikap asanas bunga teratai, sedangkan Sang Dewi dan Kamandaka duduk bersila
secara biasa.
Sang Dewi segera
membentuk cipta dan angan-angan dalam benaknya. Ditariknya nafas pelan-pelan
sebanyak 20 hitungan, kemudian menahan nafas sebanyak 20 hitungan. Pada saat
menahan hitungan itu Sang Dewi mulai mempertajam dan menyatukan cipta dan
rasanya menjadi satu energi kehendak dan keinginan yang kuat yang
dipanjatkannya menembus batas langit agar sampai ke hadapan Yang Maha Kuasa.
Sesudah menahan nafas selama 20 hitungan, pelan-pelan dengan tetap
mempertahankan citranya, Sang Dewi menghembuskan nafasnya pelan-pelan juga
selama 20 hitungan.
Demikian Sang
Dewi mengulangi lagi sampai beberapa kali siklus irama prana dalam melakukan
samadhi. Kemampuan Sang Dewi dalam samadhi sesungguhnya sudah mencapai gatra
yang cukup tinggi untuk ukuran wanita. Hal yang sama juga dilakukan oleh Resi
Batu Putih, Kamandaka, dan Pendeta Muda. Mereka semua asyik tenggelam dalam
samadhi membentuk citra berdasarkan kekuatan budhi.
Tiba-tiba saat
sedang asyik-asyiknya melakukan samadhi, Resi Batu Putih melihat sebuah sinar
putih masuk ke dalam sanggar pamujan, lalu masuk ke dalam tubuh Sang Dewi. Sang
Dewi langsung terjatuh ke arah kanan dan pingsan di atas pangkuan Kamandaka.
Kamandaka, Pendeta Muda dan Resi Batu Putih segera mengakhiri samadhinya.
“Tenang saja
Ananda, sebentar lagi juga siuman. Dia mendapat anugerah dewa yakni sinar daya
penyembuhan. Ananda Kanjeng Ayu Adipati akan memiliki kemampuan gaib, bisa
menyembuhkan berbagai jenis penyakit,” kata Resi Batu Putih yang membuat
Kamandaka tenang.
Tiba-tiba ingatan
Kamandaka melayang-layang pada selendang sutra kuning berisi ramuan buatan Sang
Dewi yang telah menyelamatkan dirinya dari maut yang hampir saja merenggut
nyawanya. Kamandaka percaya pada kata-kata Resi Batu Putih. Istrinya memang
memiliki bakat membuat ramuan penyembuh yang diwarisi dari Ibunya, Kanjeng Ayu Adipati
Sepuh.
Sementara itu
keringat dingin keluar dari dahi Sang Dewi. Kamandaka bertambah cemas dan
gelisah. Sang Dewi belum siuman juga. Lebih-lebih saat Kamandaka melihat irama
nafas istri tercintanya pelan sekali. Untunglah Resi Batu Putih dan Pendeta Muda
terus memberikan dukungan kepada Kamandaka dengan kekuatan mantra dan japa.
Resi Batu Putih juga berpesan setelah Sang Dewi siuman, agar tidak mengajukan
macam-macam pertanyaan. Biarkan Sang Dewi menceriterakan pengalaman
spiritualitas yang dialaminya itu.
Akhirnya Sang
Dewi memang segera siuman. Dia kembali duduk dengan wajah ceria, senyum
tersungging di bibirnya, dan sinar matanya berkilat-kilat bak bintang malam.
Kamandaka menggunakan sapu tangan untuk membantu Sang Dewi mengeringkan
keringat yang membasahi dahi, pipi, dan lehernya.
“Yang Suci Bapa
Resi, ananda Dewi mengalami perjalanan spiritualitas yang mengherankan. Ananda
Dewi bertemu dengan seorang wanita cantik jelita sambil menyerahkan sebuah
wadah berisi bunga Wijayakusuma. Sayang sebelum sempat berbincang-bincang,
wanita cantik tadi keburu pergi. Dan, ananda segera sadarkan diri,” kata Sang
Dewi menceriterakan sekeping pengalaman spiritualnya saat dia tidak sadarkan
diri. Resi Batu Putih tersenyum mendengar penuturan Sang Dewi.
“Apakah Ananda
Sekarmenur belum pernah berceritera kepada Ananda Kanjeng Ayu Adipati soal dua
pusaka Raja Nusakambangan?” tanya Resi Batu Putih. Sang Dewi hanya mengangguk
pelan.
“Pernah, Yang
Suci Bapa Resi,” jawab Sang Dewi.
“Baiklah kalau
begitu, segera saja siang hari ini berangkat ke Nusakambangan. Di sana nanti
Ananda Sekarmenur akan menyerahkan dua pusaka Raja Pulebahas. Satu adalah guci
porselin. Dan satunya lagi, stoples berisi kembang Wijayakusuma yang telah
diawetkan. Hanya Ananda Kanjeng Ayu Adipati yang akan mampu merawat pusaka
kembang Wijayakusuma milik Raja Pulebahas. Simpan dan rawatlah dengan baik.
Manfaatkan untuk keperluan kemanusiaan dan memberikan pertolongan mereka yang
membutuhkan tanpa mengharapkan imbalan. Adapun guci porselin itu berisi darah perawan
suci Permaisuri Sang Raja Pulebahas yang jadi korban ritual dan telah tewas.
Dia meminta tolong Ananda Kanjeng Ayu Adipati agar membantunya, kalau perlu
memberikan fasilitas bantuan, agar supaya guci porselin beserta isinya itu
dikubur di tempat kelahirannya. Menurut Ananda Sekarmenur, tempat kelahiran
gadis yang tewas itu di Kalipucang. Kasihan ruh mereka berdua, belum bisa
mencapai moksa selama ke dua pusaka itu belum ada yang mengurusnya,” kata Resi
Batu Putih memberikan saran dan nasihat.
“Terimakasih Yang
Suci Bapa Resi. Ananda Dewi akan laksanakan semua pesan-pesan Yang Suci Bapa
Resi. Kalau begitu mohon ijin siang ini juga untuk meninggalkan Padepokan Batu
Putih. Mohon juga selalu didoakan agar ananda Dewi dan Kanda Kamandaka segera
dianugerahi momongan dari Yang Maha Menguasai Jagad,” kata Sang Dewi sambil
mencium tangan Yang Suci Resi Batu Putih. Kamandaka dan Pendeta Muda juga
melakukan hal yang sama. Mereka segera keluar dari gua, menuruni tangga menuju
ruang tamu Padepokan Batu Putih. Di situ para tamu rombongan Sang Dewi dan
Kamandaka, terlebih dahulu harus menikmati jamuan santap siang sebelum
meninggalkan Padepokan Batu Putih. Mereka akan melanjutkan perjalanan
menyeberang Segara Anakan menuju Nusakambangan. (bersambung)
Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (22)
Akhirnya setelah perempuan itu reda
dari kesedihannya yang mendalam, dia meminta kepada kepala kampung agar
penduduk mau menguburkan buaya itu sebagaimana layaknya mengubur manusia. Itu
semua adalah syarat yang harus dilakukan jika penduduk kampung itu ingin
terhindar dari musibah besar.
Tentu saja kepala
kampung dan orang-orang yang hadir di situ langsung menyanggupinya. Tubuh buaya
lalu dibungkus dengan kain putih. Perempuan istri Sang Ksatria Tampan memberi
petunjuk agar buaya itu diberi pemberat batu dan dikuburkan dengan cara
ditenggelamkan ke dalam sebuah kedung di tepi Sungai Ciserayu yang tidak jauh
dari kampung mereka. Semua permintaan perempuan itu dilaksanakan dengan patuh
oleh penduduk kampung dengan harapan mereka terhindar dari malapetaka akibat
kekerasan yang telah mereka lakukan.
Tak lama kemudian perempuan itu hamil. Ketika tiba saatnya perempuan itu melahirkan, lahirlah anaknya yang cakap dan tampan mirip Sang Ksatria Tampan, ayah bayi itu. Sayang perempuan itu meninggal dengan bayinya tak lama setelah melahirkan. Sejak kejadian itu, penduduk kampung itu tidak pernah lagi mau membunuh seekor buaya pun. Mereka baru membunuh buaya yang nakal yang benar-benar telah memangsa penduduk. Sebab penduduk sudah memuliakan buaya dengan cara tidak pernah menganggu buaya itu. Bahkan pada bulan-bulan tertentu penduduk telah memberikan korban binatang ternak kepada buaya yang ada di kedung tidak jauh dari kampung itu. Sejak itu berlaku pantangan seorang gadis dilarang mandi di Sungai Ciserayu jika senjakala hampir tiba.
Tak lama kemudian perempuan itu hamil. Ketika tiba saatnya perempuan itu melahirkan, lahirlah anaknya yang cakap dan tampan mirip Sang Ksatria Tampan, ayah bayi itu. Sayang perempuan itu meninggal dengan bayinya tak lama setelah melahirkan. Sejak kejadian itu, penduduk kampung itu tidak pernah lagi mau membunuh seekor buaya pun. Mereka baru membunuh buaya yang nakal yang benar-benar telah memangsa penduduk. Sebab penduduk sudah memuliakan buaya dengan cara tidak pernah menganggu buaya itu. Bahkan pada bulan-bulan tertentu penduduk telah memberikan korban binatang ternak kepada buaya yang ada di kedung tidak jauh dari kampung itu. Sejak itu berlaku pantangan seorang gadis dilarang mandi di Sungai Ciserayu jika senjakala hampir tiba.
*
Sang Dewi dan rombongan tertegun
mendengar kisah dari tukang sauh yang menarik itu. “Jadi kalau ada buaya nakal
yang memangsa salah seorang penduduk, baru buaya itu dicari dan boleh
dibunuhnya?” tanya Sang Dewi.
“Betul sekali,
Ndara Kanjeng Ayu,” jawab tukang sauh yang satunya lagi.“ Penduduk akan meminta
bantuan tukang gendam untuk menangkap buaya yang nakal itu. Biasanya tidak
sampai tujuh hari buaya yang nakal tadi akan menampakkan diri di tepi sungai.
Tukang gendam dan penduduk sudah siap menunggu dengan alat-alat pembunuh buaya.
Begitu buaya tadi muncul, langsung dihujani dengan tombak, parang, linggis,
bambu runcing, dan alat-alat pembunuh lainnya.”
“Jarang ada buaya
yang nakal karena memangsa penduduk dan tidak tertangkap,” kata tukang sauh.
“Itu sebabnya, penduduk tidak pernah kapok mandi ke Sungai Ciserayu, meskipun
ada risiko dimangsa buaya.Tentu saja sepanjang tidak melanggar pantangan yang
telah ditetapkan oleh adat.”
“Sebenarnya
makanan buaya bukanlah manusia. Makanannya aneka binatang hutan yang turun ke
air untuk mencari air minum, seperti kijang, kambing hutan, babi hutan, kera,
bahkan burung-burung rawa yang sering mendatangi muara sungai karena di sana
banyak ikannya. Itu sebabnya di muara sungai biasanya banyak buayanya,” kata
tukang sauh yang pandai berceritera itu.
“Jadi kalau tidak
diganggu, buaya sebenarnya tidak memangsa manusia?” tanya Sang Dewi.
“Benar, Ndara
Kanjeng Ayu Adipati. Hanya kalau lapar memang buaya mau memangsa manusia,” kata
tukang sauh.
“Diajeng, seperti
juga manusia. Buaya itu ada yang baik dan ada pula yang jahat,” kata Kamandaka
kepada istrinya. ”Penduduk yang tinggal di sekitar sungai yang banyak buayanya
ada juga yang mempunyai kepercayaan seperti penduduk di kampung pinggir Sungai
Ciserayu seperti yang diceriterakan tadi. Mereka mempunya kepercayaan, adanya
penduduk yang jadi korban mangsa buaya itu karena memang dia telah dipilih
menjadi tumbal oleh Sang Raja Buaya yang berkuasa di sungai. Untuk menghindari
agar tidak ada lagi manusia yang jadi tumbal, secara rutin penduduk biasanya
memberikan korban kepada Sang Raja Buaya berupa ternak sebagai ganti tumbal
manusia. Dari sinilah muncul tradisi penduduk memuja buaya. Buaya tidak boleh
dibunuh. Yang dibunuh hanyalah buaya-buaya yang nakal tadi. Yaitu buaya yang
sudah diberi korban ternak, tetapi masih juga memangsa penduduk.”
“Apakah ada
tradisi memuja buaya di sepanjang Sungai Ciserayu, Kanda?” tanya Sang Dewi.
“Sepengetahuanku
tidak ada. Paling di kampung yang diceriterakan itu tadi yang hanya dilakukan
penduduk kampung yang jumlahnya terbatas. Tidak adanya totemisme atau ritual
pemujaan kepada binatang di Lembah Ciserayu, karena penganut agama Syiwa di
Lembah Ciserayu cukup kuat. Aku tidak tahu kalau di daerah muara. Karena memang
agama Wisnu di pulau Jawa banyak bermunculan di sepanjang pantai selatan Pulau
Jawa. Tetapi agama Wisnu juga cepat sekali terpecah-pecah menjadi sekte yang
menyimpang, seperti sekte penyembah Ditya Kala Rembuculung yang dulu pernah
dianut Raja Nusakambangan. Pemujaan kepada buaya biasanya juga merupakan salah
satu bentuk penyimpangan dari sekte agama Wisnu,” kata Kamandaka.
“Ya, tetapi
menurut Dinda Sekarmenur, Raja Pulebahas telah kembali menyembah agama Syiwa,”
kata Sang Dewi pula.
Tak terasa
perjalanan rombongan Sang Dewi yang sedang melayari Sungai Ciserayu itu telah
melewati wilayah Arjabinangun. Perbincangan soal buaya segera berakhir.
Sebentar lagi perahu akan tiba di muara Sungai Ciserayu. Memang mengarungi
sungai ke arah hilir lebih mudah dan tentu saja lebih cepat dari pada bergerak
ke arah hulu. Tak lama kemudian perahu-perahu yang membawa rombongan Sang Dewi
telah mencapai muara. Ketika perahu merapat, Kamandaka segera melangkah turun
diikuti Sang Dewi. “Terima kasih ya, sebuah perjalanan mengarungi Sungai
Ciserayu yang mengasyikkan,” kata Sang Dewi kepada keempat tukang sauh sambil
menyalami mereka.
Dengan dipandu
Sekarmenur yang didampingi Wirapati, rombongan Sang Dewi dan Kamandaka menuju
Padepokan Batu Putih yang berada di tepi laut. Di Padepokan Batu Putih Sang
Dewi dan Kamandaka beserta seluruh anggota rombongan diterima dengan ramah oleh
Janggan Nilasakti dan Resi Batu Putih.
“Yang Suci Bapa
Resi, Ini Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati Kadipaten Pasirluhur yang
baru dilantik beserta rombongan. Dan itu adalah Pendeta Muda dari Kerajaan
Pajajaran, Kanda Amenglayaran Bujangga Manik. Kami semua ingin menjalin
persahabatan dengan Bapa Resi,” kata Sekarmenur yang saat itu menjadi
jurubicara rombongan. Sekarmenur sudah lama mengenal Resi Batu Putih.
“Kami berdua
dengan istri, dan Kanda Pendeta Muda Amenglayaran disertai adik-adik kami dan
beberapa punggawa kami, menyampaikan salam bakti kami kepada Yang Suci Bapa
Resi Batu Putih,” kata Kamandaka menyampaikan kata sambutannya atas permintaan
Sekarmenur. Pendeta Muda Amenglayaran melakukan hormat secara khusus kepada
Resi Batu Putih.
“Salam bakti
Ananda Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, Bapa terima. Demikian pula
salam hormat dari Pendeta Muda Amenglayaran Bujangga Manik. Semoga para Dewa
berkenan melindungi Ananda Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati beserta
segenap rombongan. Ananda Sekarmenur telah memberitahu Bapa, bahwa Ananda
Kanjeng Adipati besera istri dan rombongan akan berkunjung ke Padepokan Batu
Putih yang sangat sederhana ini,” kata Resi Batu Putih dengan wajah gembira.
“Suatu kehormatan dan terimakasih tak
terhingga, Yang Suci Bapa Resi telah bersedia menerima kami dengan rombongan,”
kata Kamandaka.
“Kanda Kanjeng
Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, Yang Suci Bapa Resi Batu Putih inilah yang
dulu membantu dinda melakukan upacara merabukan jasad Raja Pulebahas, Patih
Puletembini, Tumenggung Surejaladri, dan Rangga Singalaut. Yang Suci Bapa Resi
Batu Putih juga yang memimpin upacara melarung abu jasad yang telah
diperabukan,” kata Sekarmenur pula.
“Kami mengucapkan
terimakasih atas bantuan dan kebaikan Yang Suci Bapa Resi kepada Dinda
Sekarmenur beberapa waktu yang lalu,” kata Kamandaka.
“Ah, bantuan yang
tidak seberapa. Sekedar melaksanakan kewajiban. Lebih-lebih karena menurut
Ananda Sekarmenur, Raja Pulebahas dan anak buahnya itu sudah kembali menjadi
penyembah Sang Hyang Syiwa,” kata Resi Batu Putih dengan sikap rendah hati.
“Janggan
Nilasakti, mana hidangan untuk para tamu? Cari cantrik atau endang di dapur
supaya segera mengeluarkan minuman, buah-buahan, dan makanan kecil lainnya
untuk menjamu para tamu agung ini,” kata Resi Batu Putih pula kepada pembantu
setianya, Janggan Nilasakti.
“Sedang
disiapkan, Eyang Resi,” jawab Janggan Nilasakti.
“Kalau begitu
tolong siapkan juga sanggar untuk berdoa di Goa Batu Putih. Kanjeng Adipati dan
Kanjeng Ayu Adipati akan berdoa sejenak di sana. Jika sudah siap, beritahu
secepatnya,” perintah Resi Batu Putih. Janggan Nilasakti segera mundur dari
ruang tamu padepokan. Dia bergegas naik ke Goa Batu Putih yang berada di
ketinggian tertentu di tengah-tengah bukit Batu Putih.
Padepokan Batu
Putih merupakan padepokan yang berada di kaki bukit karang yang menghadap ke
laut. Ketika muara Sungai Ciserayu jatuh ke tangan Kerajaan Nusakambangan, Raja
Nusakambangan tetap mengijinkan Padepokan Batu Putih menyelenggarakan upacara
menyembah Sang Hyang Syiwa.
Sang Dewi dan
Kanjeng Adipati, lewat Sekarmenur telah minta kepada Resi Batu Putih agar
diijinkan berdoa di gua Batu Putih yang menghadap Lautan Selatan itu. Sang Dewi
dan Kamandaka ingin memanfaatkan kunjungannya ke Padepokan Batu Putih untuk
berdoa dan bersamadhi sejenak di Goa Batu Putih. Mereka berdua ingin memohon
kepada Yang Maha Kuasa agar secepatnya diberikan anak yang akan menjadi ahli
waris dan pelanjut keturunan mereka berdua.
Dari mulut gua,
Lautan Selatan dengan gelombangnya yang besar nampak jelas. Demikian pula Pulau
Bandung, pulau tempat tumbuhnya bunga sakti Wijayakusuma. Tak berapa lama
Janggan Nilasakti sudah muncul kembali di ruang pertemuan padepokan dan katanya
kepada Resi Batu Putih.
“Eyang Resi,
sanggar pamujan Goa Batu Putih telah hamba siapkan. Silahkan jika Eyang Resi
akan membawa Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati kesana,” kata Janggan
Nilasakti sambil melapor.
“Ananda Kanjeng
Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, marilah Eyang antarkan ke sanggar pamujan di
Goa Batu Putih jika ingin bersamadhi dan berdoa. Janggan Nilasakti akan memandu
sampai mulut goa Batu Putih.”
Resi Batu Putih
mengajak Sang Dewi dan Kamandaka. Mereka segera bangkit mengikuti Janggan
Nilasakti. Resi Batu Putih dan Pendeta Muda Amenglayaran mengikutinya dari
belakang.
Sesudah melewati
tangga batu yang agak memutar, akhirnya Janggan Nilasakti, Sang Dewi,
Kamandaka, Pendeta Amenglayaran, dan Resi Batu Putih sampai di depan mulut Goa
Batu Putih. Gua itu berukuran sedang, bisa menampung sekitar sepuluh orang.
Resi Batu Putih telah mengubahnya menjadi sebuah sanggar pamujaan untuk berdoa
dan bersamadhi. Sanggar ditata sangat menarik, dindingnya diberi cat warna
putih. Di sudut ada rak berisi gulungan-gulungan rontal berisi mantra-mantra.
Lantainya ditutup dengan tikar halus yang dianyam oleh tangan-tangan trampil
sehingga terasa lembut.
Sebelum masuk ke dalam goa sanggar
pamujan, di halaman teras mulut goa yang cukup lebar itu, Sang Dewi, Kamandaka,
dan Pendeta Amenglayaran menatap dengan kagum keindahan Lautan Selatan
dipandang dari ketinggian tertentu. Matahari dengan cahayanya yang kemilau
sudah hampir mencapai puncaknya. Laut biru itu membentang luas bagaikan cermin
raksasa yang di atasnya bergulung-gulung ombak putih saling berkejar-kejaran.
“Itu lah pulau
Bandung, tempat bunga sakti Wijayakusuma tumbuh dan disucikan orang,” kata Resi
Batu Putih sambil menunjuk pulau kecil tidak jauh dari ujung timur pulau
Nusakambangan yang membujur dari barat ke timur sejajar dengan pantai selatan
Pulau Jawa.
“Banyak kisah
yang pernah ananda Dewi dengar, Yang Suci Bapa Resi. Menurut Bapa Resi
bagaimana bunga sakti dan langka itu bisa tumbuh di sana?” tanya Sang Dewi
sambil menatap ke lautan luas yang terbentang di depannya itu.
“Jalan
ceriteranya sebenarnya bermacam-macam,” kata Resi Batu Putih.
“Tetapi pada
salah satu rontal yang sempat Bapa baca, konon setelah perang Bharata Yudha
selesai Batara Narada diutus Sang Hyang Guru untuk meminta senjata pusaka Sri
Kresna yakni senjata cakra dan bunga Wijayakusuma, sebab senjata-senjata pusaka
itu pusaka kahyangan milik para dewa. Setelah Perang Bharata Yudha selesai,
pusaka-pusaka itu harus segera dikembalikan. Sri Kresna tidak keberatan untuk
menyerahkan senjata cakra kepada Batara Narada. Tetapi untuk pusaka kembang
Wijayakusuma, Sri Kresna mohon agar pusaka kembang Wijayakusuma itu boleh
dilarung lewat muara Sungai Ciserayu ke Lautan Suci Lautan Selatan, atau Lautan
Nusantara. Perlunya agar bunga milik para dewa itu tetap bisa memberi manfaat
bagi manusia. Ternyata Batara Narada menyetujui permohonan Sri Kresna (bersambung )
Minggu, 01 Desember 2019
Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (21)
Ternyata waktu untuk persiapan keberangkatan ke Nusakambangan, tertunda sampai tiga minggu. Sang Dewi dan Kamandaka memperpanjang bulan madunya di Puri Permatabiru. Perahu dari Nusakambangan, ternyata juga perlu waktu dua minggu baru bisa tiba di Kaliwedi. Tetapi pagi itu, Sang Dewi dan Kamandaka sudah siap memulai perjalannya menikmati bulan madu ke Nusakambangan. Setelah sarapan di rumah Nyai Kertisara, rombongan yang akan menemani bulan madu Sang Dewi dan Kamandaka berkumpul di Pangkalan Perahu Nyai Kertisara di tepi Sungai Ciserayu. Mereka semua sudah siap-siap akan berangkat melayari Sungai Ciserayu menuju muaranya di Teluk Penyu, Segara Anakan, Nusakambangan.
Air Sungai Ciserayu
tampak bening memantulkan wajah langit pagi hari, mengalir tenang tak beriak.
Angin lembut dan segar pagi hari bertiup pelan seakan ingin menyapa rombongan
dari Kadipaten Pasirluhur yang mulai naik satu persatu ke atas perahu. Dua buah
perahu sungai berukuran sedang yang dikirim dari Nusakambangan telah tiba sejak
kemarin siang. Setiap perahu bisa memuat 10 penumpang, dilayani juru sauh yang
berjumlah empat orang. Lambung perahu diberi warna merah, kuning, biru. Tapi
warna biru merajai keseluruhan lambung perahu. Di atas tempat duduk dipasang
atap dari kajang yang di atur melengkung, ditopang enam buah tiang. Sejumlah
tiang untuk memasang bendera dan umbul-umbul juga didirikan di sisi kanan dan
kiri lambung perahu.
Sang Dewi naik ke
atas perahu yang berada di barisan paling depan, menyusul Kamandaka yang naik
lebih dulu. Kamandaka membantu Sang Dewi naik ke atas perahu. Adanya tangga trap
turun ke sungai yang dibangun di tebing sungai pada Pangkalan Perahu milik Nyai
Kertisara itu sangat memudahkan penumpang yang akan naik perahu.
Sang Dewi dan
Kamandaka duduk di bangku paling depan. Menyusul duduk di belakangnya
berturut-turut adalah Mayangsari dengan Silihwarna, Ratna Pamekas dengan Arya
Baribin, Nyai Kertisara dengan Khandegwilis. Tukang sauh yang mengemudikan
perahu, ada empat orang. Dua orang di depan dan dua orang di bagian lambung
perahu belakang.
Di belakang perahu
yang dinaiki Sang Dewi, berlabuh perahu
yang dinaiki Sekar Menur dengan Wirapati. Duduk di belakangnya, kedua adiknya
Sekarmelati dan Sekarcempaka. Duduk di belakangnya lagi, Pendeta Muda dengan
Tumenggung Maresi. Dan paling belakang Jigjayuda berdampingan dengan Rekajaya.
Sama dengan perahu pertama, perahu kedua dilayani empat orang tukang sauh.
Perahu ketiga dan
keempat adalah perahu kecil membawa prajurit pengawal yang terdiri dari 6
penumpang dan 5 penumpang. Lurah Karangjati yang ditunjuk Tumenggung Maresi
menjadi komandan pasukan pengawal, duduk di perahu ke tiga. Masing-masing
perahu kecil dikemudikan oleh 2 orang pesauh.
Sebelum
berangkat, Pendeta Muda, diminta oleh Kamandaka supaya memimpin japa mantra.
Usai berjapa, keempat perahu itu pelan-pelan meninggalkan Pangkalan Perahu
milik Nyai Kertisara di Kaliwedi. Perjalanannya mengarungi Sungai Ciserayu pun
dimulai. Perahu mulai melaju pelan-pelan ketika sauh mulai digerakkan. Semua
anggota rombongan melihat lambaian tangan dan tatapan ratusan pasang mata
penduduk yang menyemut di tepi sungai. Penduduk ingin menyaksikan wajah cantik
Kanjeng Ayu Adipati Pasirluhur yang dikenal penyabar, penyayang, dan penuh
kepedulian kepada penduduknya, khususnya penduduk dari rakyat sudra dan weisya.
Penduduk yang
datang berbondong-bondong itu, baru meninggalkan tepi Sungai Ciserayu setelah
ke empat perahu yang umbul-umbulnya berkibar-kibar dengan gagahnya, menghilang
di hilir sungai yang menikung ke kiri.
Sepanjang perjalanan menyusuri Sungai
Ciserayu itu, Sang Dewi dan anggota rombongan takjub bukan main menyaksikan
keindahan panorama alam di kiri dan kanan sungai. Dinding tebing sungai ada
yang terjal, ada pula yang landai, sebagian besar berwarna coklat, di sana sini
ditumbuhi sulur perdu yang merambat. Lumut hijau sering juga ditemui di
sepanjang tebing.
Di kiri-kanan
tebing pohon-pohon raksasa saling berdesak-desakan tampak menjulang ke arah
langit. Sejumlah pohon dibeliti benalu yang melilit batang pohonnya. Mungkin
sudah puluhan tahun mencekiknya, sehingga pohon raksasa itu ada yang mulai
meranggas. Entah sudah berapa ribu lembar daun-daun tua yang jatuh ke tanah
tempat pohon-pohon itu tumbuh. Tentu sudah lama membusuk, menyebabkan tanah di
kaki-kaki pohon hutan itu lembab, sehingga terbentuk humus yang pada gilirannya
membuat subur pohon-pohon raksasasa itu.
Sejumlah binatang
hutan seperti monyet, tupai, dan lutung diam saja bergelantungan di atas pohon
seakan-akan sedang menonton arak-arakan rombongan manusia yang sedang melintasi
sungai dan sedang terpana oleh keindahan alam ciptaan Tuhan.
Sang Dewi
merasakan laju perahu yang mengikuti aliran sungai, cukup nyaman dan tidak
banyak goncangan. Laju perahu pun tidak terlalu lambat dan tidak terlalu cepat.
Keempat tukang sauh dengan otot-ototnya yang kekar sangat terampil
menggerak-gerakkan sauhnya secara bersamaan. Kadang-kadang terdengar pula
kecipak air. Lunas perahu dengan lancar melaju ke depan menyibakkan air sungai
yang menyisih ke kiri dan ke kanan, membentuk gelombang kecil yang cepat lenyap
diterjang perahu yang ada dibelakangnya.
“Diajeng, lihat
apa itu?” kata Kamandaka menunjukkan dua ekor buaya yang cukup besar sedang
berjemur di sisi timur sungai di atas kaki tebing yang melandai ke arah sungai.
Semua rombongan ternganga melihat sepasang buaya yang cukup besar.
“Ngeri juga!
Apakah Sungai Ciserayu banyak buayanya?” tanya Sang Dewi kepada tukang sauh
yang ada di depannya.
“Kalau di muara
banyak juga, Ndara Kanjeng Ayu Adipati,” jawab tukang sauh. ”Kalau sepasang
buaya tadi, bisa jadi berasal dari muara yang sedang main ke hulu. Mungkin
ingin menyambut rombongan Ndara Kanjeng Ayu Adipati,” kata tukang sauh
berseloroh yang membuat senang rombongan Sang Dewi. Sang Dewi dan Kamandaka
langsung tertawa. Mana ada buaya mau menyambut kedatangannya? kata Sang Dewi
dalam hati. Sekalipun begitu Sang Dewi senang juga.
“Adakah penduduk
di sekitar sungai yang pernah dimangsa buaya?” tanya Sang Dewi.
“Kalau di sekitar
sini hamba tidak tahu. Tapi kalau di sekitar muara sering. Belum lama ini, ada
seorang penduduk yang sedang mandi di sungai, karena kurang hati-hati dan tidak
berpengalaman, tewas dimangsa buaya.”
“Dimangsa buaya?”
tanya Sang Dewi. ”Kenapa penduduk tidak dilarang mandi di Sungai Ciserayu yang
ada buayanya?”
“Namanya
penduduk, tidak pernah jera, Ndara Kanjeng Ayu Adipati. Ibaratnya sekarang ada
yang dimangsa buaya, besok masih ada saja yang datang mau mandi. Anehnya ada
yang merasa bangga jika bisa mandi di Sungai Ciserayu, tetapi tidak dimangsa
buaya.”
“Memang ada
larangan yang berupa adat setempat,” kata tukang sauh melanjutkan. “Larangan
yang bersifat adat setempat itu, misalnya pasangan pengantin baru baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang mandi di sungai. Konon mereka
berdua rawan jadi mangsa buaya. Memang sering kejadian, pengantin baru yang
sedang mandi, tahu-tahu hilang karena dimangsa buaya Sungai Ciserayu,” kata
tukang sauh sambil masih menggerak-gerakkan sahuhnya agar perahu melaju agak
cepat.
Mendengar
penuturan tukang sauh itu Sang Dewi dan Kamandaka langsung saling
berpandang-pandangan. Lalu keduanya tersenyum karena merasa mereka berdua
adalah pasangan pengantin baru. “Tenang, Diajeng. Kita kan tidak sedang mandi
di Sungai Ciserayu,” bisik Kamandaka sambil tersenyum.
“Padahal kalau
airnya sejernih ini, mandi menjelang sore hari, pasti segar sekali, Kanda!”
kata Sang Dewi sambil menatap air Sungai Ciserayu yang saat itu memang sangat
jernih.
“Ada lagi
larangan lain, Mang Sauh?” tanya Kamandaka.
“Leres, aya deui,
Kanjeng Gusti,” kata tukang sauh yang satunya lagi dalam logat bahasa Sunda
yang masih kental.
“Apa
larangannya?” tanya Kamandaka.
“Seorang anak
gadis yang masih perawan, dilarang mandi di Sungai Ciserayu, pada waktu
menjelang senja,” kata tukang sauh masih dalam bahasa Sunda.”Tetapi kalau pagi atau
siang hari boleh.”
Konon, demikian tukang sauh tadi
berceritera, dulu pernah ada seorang gadis cantik yang gemar mandi di Sungai
Ciserayu menjelang senja hari. Tiba-tiba gadis tadi menghilang. Tentu saja
orang tua dan penduduk seluruh kampung yang berada di tepi timur Sungai
Ciserayu tadi ribut. Mereka menduga gadis cantik tadi pastilah telah dimangsa
buaya saat sedang mandi. Kepala kampung cepat bertindak. Dia segera mengerahkan
sejumlah tukang gendam untuk menangkap buaya yang nakal tadi. Tetapi usahanya
tetap sia-sia. Sampai suatu saat, ayah gadis tadi mimpi didatangi anak gadisnya
yang berpesan, agar orang tuanya itu tidak usah mencemaskan dirinya. Sebab
suatu saat gadis itu akan pulang juga ke rumah ke dua orang tuanya. Walaupun entah
kapan.
Sejak ayah gadis
tadi mimpi didatangi anak gadisnya, maka sejak itu usaha pencarian anak gadis
yang diduga dimangsa buaya Sungai Ciserayu itu dihentikan. Sampai beberapa
bulan kemudian, pada malam hari pulanglah gadis tadi didampingi seorang pemuda
tampan yang mengaku telah menikahi gadis itu. Betapa gembiranya ke dua orang
tuanya kedatangan anak gadisnya yang dulu menghilang. Lebih-lebih anak gadisnya
itu telah pulang kembali dengan membawa seorang suami yang berwajah tampan,
sehingga membikin iri gadis-gadis yang lain di kampung itu.
Orang tua gadis
itu pun bermaksud mengadakan pesta syukuran dalam rangka menyambut anak
gadisnya yang telah pulang kembali, sekaligus juga syukuran karena anak
gadisnya itu sudah memiliki suami. Apalagi menantunya itu cakap dan tampan.
Undangan pun segera disebar kepada penduduk seluruh kampung itu.
Tetapi sebelum pesta itu
diselenggarakan anak gadisnya itu mohon agar pesta itu diadakan pada malam
hari. Anak gadisnya itu juga berkata bahwa mereka hanya bisa menemui tamunya
pada malam hari saja. Anak gadisnya itu berpesan kepada ayahnya agar pada siang
hari, mereka berdua jangan diganggu jika mereka tetap berada di dalam kamar
pengantin. Sang ayah dengan ringan menyanggupi pesan anak gadisnya itu.
Demikianlah saat
pesta digelar pada malam hari, para tetangga, kenalan, dan kerabat dekat
penduduk desa itu berduyun-duyun datang menghadiri pesta syukuran perkawinan.
Mereka menyampaikan ucapan selamat kepada kedua pasangan yang mengaku sudah
lama nikah sambil menyaksikan pagelaran lengger sampai jauh malam. Usai pesta
syukuran, kedua pasangan itu tinggal di rumah orang tua gadis. Kedua mempelai
hidup rukun sebagaimana layaknya pasangan yang baru.
Seminggu telah
berlalu, orang tua gadis itu lama-lama heran juga. Orang tua gadis itu tak
pernah melihat menantunya ke luar kamar pada siang hari. Dia selalu keluar
kamar pada malam hari. Ketika tiba masanya mencari nafkah karena masa istirahat
menikmati hari-hari pengantin baru telah lewat, Sang Pemuda tadi, selalu
berangkat meninggalkan rumah pada pagi hari. Dia pergi menjelang fajar dan
pulang kembali setelah matahari terbenam. Demikianlah sang waktu terus berlalu,
sampai pada suatu ketika Sang Ksatria Tampan tadi bangun kesiangan. Akibatnya
Sang Ksatria Tampan seharian tidur terus di dalam kamarnya. Tetapi istrinya
tetap melakukan aktivitas seperti biasa, keluar kamar untuk membatu ibunya
memasak dan melakukan aktivitasnya sehari-hari lainnya.
Saat itu istri
ksatria tampan lupa mengunci kamarnya. Ditambah pula dia masih yakin ayahnya
tidak mungkin masuk ke dalam kamarnya selagi ada suaminya. Karena dia ingat,
dia pernah berpesan kepada ayahnya dan semua keluarganya supaya jangan masuk
kamarnya pada siang hari.
Ketika ayah
perempuan itu mengetahui anaknya keluar kamar tanpa menguncinya, tiba-tiba
dalam dirinya timbul rasa penasaran untuk melihat menantunya yang sedang tidur
di kamar anaknya. Tetapi alangkah terkejutnya saat dia masuk ke dalam kamar
anaknya. Dilihatnya seekor buaya yang cukup besar sedang tidur pulas di atas
tempat tidur. Bagian leher ke bawah tertutup selimut yang rupanya telah
dibentangkan oleh anaknya. Hanya kepalanya yang kelihatan.
Ayah perempuan
tadi, segera lari ke rumah kepala kampung, melaporkan ada buaya masuk ke dalam
kamar tidur anak perempuannya yang beberapa waktu yang lalu baru saja dirayakan
acara syukuran. Dengan membawa peralatan pembunuh buaya seperti parang, tombak,
linggis, dan yang lainnya lagi, kepala kampung itu memimpin sejumlah penduduk
mendatangi rumah ayah perempuan yang baru saja melapor.
Mungkin karena
mendengar suaru ribut-ribut yang ada di depan pintu kamar, buaya itu langsung
meloncat ke atas lantai. Saat pintu terbuka buaya itu membuka mulutnya
lebar-lebar, dan ekornya bergerak-gerak siap untuk dipukulkan kepada siapa
saja. Kepala kampung segera memberi komando agar buaya itu segera diserang.
Puluhan tombak segera dilemparkan, masuk ke dalam mulut buaya dan bersarang di
sana. Buaya yang sedang marah itu menggelepar seketika. Ekornya dipukulkan
mengenai daun pintu yang langsung jebol dan jatuh meninggalkan tempatnya. Buaya
itu membuat loncatan yang memutar sambil mengibaskan ekornya. Seorang laki-laki
yang tidak waspada langsung terlempar kena pukulan ekor buaya yang sedang
mengamuk. Kembali penduduk menghujani buaya yang malang itu dengan linggis,
parang, dan bambu runcing sampai buaya itu diam tak berkutik. Hanya matanya
yang berkedip-kedip seperti mohon dikasihani.
Tiba-tiba perempuan istri Sang Ksatria
Tampan yang sedang di dapur lari masuk ke dalam rumahnya ketika mendengar suara
ribut-ribut. Betapa terkejutnya dia saat melihat seekor buaya yang terluka,
badan buaya dan mulutnya dipenuhi aneka macam senjata tajam. Perempuan itu
menjerit seketika. Dipeluknya buaya yang sedang sekarat itu. Diciuminya
beberapa kali bagaikan menciumi seorang suami. Akhirnya buaya yang malang itu
menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah dipeluk dan diciumi berkali-kali
oleh perempuan yang telah menjadi istrinya itu.
Melihat kejadian itu penduduk langsung
menduga buaya itu adalah buaya siluman. Dalam diri mereka muncul rasa takut
kepada akibat yang akan ditimbulkan karena mereka telah membunuh seekor buaya
siluman. Kemudian secara serentak mereka beramai-ramai sujud di depan buaya
yang sudah tidak bernafas. Lebih takut lagi adalah penduduk yang telah melemparkan
pelbagai jenis senjata yang telah menyebabkan buaya itu mati. Mereka beberapa
kali mengggigil dan merintih meminta ampun.(bersambung)
Langganan:
Postingan (Atom)