Dia langsung
memeluk istrinya sambil berbisik di dekat telinga istrinya, ”Aku sekarang tidak
memerlukan bantuan Emban Khandegwilis lagi.”
Mendengar bisikan itu
Sang Dewi hanya tersenyum, karena masih ingat ketika dulu Kamandaka gemetar tidak
sanggup membuka tali pengunci kemben dan ikat pinggang yang saat itu melindungi
dada dan pinggulnya. Kini tangan Kamandaka dengan mudah menarik baju tidur yang
melindungi tubuh istrinya. Sang Dewi pun dengan cekatan membantu melepaskan
baju tidur yang melindungi tubuh perkasa Kamandaka
Sebuah permainan
asmara yang aneh, asing, penuh sensasi, dan mengasyikkan, akhirnya mengantarkan
Kamandaka sebagai pasangan pengantin baru yang akan berlayar dengan kecepatan
penuh mengarungi lautan cinta. Dalam pelayarannya itu terkadang ombak besar
menerjang mereka berdua. Terkadang gelombang besar mengangkatnya tinggi-tinggi.
Terkadang pula dibawanya Kamandaka dan istrinya meluncur cepat dari puncak
gelombang. Keduanya terus menerus sepanjang malam itu berada dalam pelukan
gelombang cinta yang maha dahsyat. Ibarat penunggang kuda, Sang Dewi ternyata
adalah penunggang kuda yang baik yang mampu membawa Kamandaka melintasi padang
ilalang yang indah. Ibarat seorang nahkoda perahu layar, Sang Dewi ternyata
tahu, kapan perahu layar harus mendaki puncak gelombang asmara. Kapan pula,
perahu harus meluncur menuruni gelombang. Kamandaka merasa cinta kasihnya
kepada istrinya terus menerus mekar, bertambah, dan berkembang.
Kamandaka masih
ingat, malam yang indah itu terus merambat dalam sepi. Suara gamelan dari
Pendapa yang mengiringi kesenian lengger biasanya sayup-sayup masih terdengar
dari atas ranjang pengantin. Tapi saat itu sudah lama tidak terdengar. Ya, Pendapa
memang telah sepi. Dalem Gedhe juga telah sepi. Taman Kaputren juga telah sepi.
Yang terdengar hanya suara serangga malam yang saling bersaut-sautan bagaikan
membentuk musik alam di dalam taman.
Di luar Puri,
bintang gemintang di langit tampak berkerlap-kerlip seolah ingin menyaksikan
perjalanan cinta pasangan baru suami istri yang sedang berbahagia. Mereka
berdua sedang melaksanakan kewajiban alamiahnya sebagai sepasang suami istri. Tetapi
perjalanan asmara kedua mempelai itu sebenarnya baru permulaan dari tamasya
cinta. Masih ada perjalanan lanjutan. Ibaratnya perjalanan sepasang pengelana,
perjalanan mereka mengarungi lautan cinta yang penuh gelombang itu, baru
mendarat di tepi pantai dari kaki bukit yang menjulang tinggi. Tidak ada jalan
pulang. Pendakian ke atas puncat bukit asmara harus dilakukan. “Siapkah Kanda
mendaki puncak bukit terjal, tetapi konon mengasyikkan?” bisik Sang Dewi.
“Ayohlah, Diajeng
sayang,” jawab Kamandaka seraya kembali memeluk istri tercintanya. Kamandaka
merasakan energi cinta dalam dirinya semakin meledak-ledak. Kembali Sang Dewi
memperlihatkan keahliannya dalam permaian cinta. Kamandaka dibimbingnya
selangkah demi selangkah melakukan pendakian menaiki tangga-tangga bukit cinta.
Ada kalanya Kamandaka dibiarkan naik satu tingkat lebih dulu. Kemudian Sang
Dewi memintanya agar Kamandaka menarik dirinya ke atas tangga pendakian. Pada
kali lain, Sang Dewi yang naik lebih dulu ke tangga di atasnya. Kemudian Sang
Dewi menarik Kamandaka agar sejajar dengan dirinya pada tingkat tangga yang
sama. Demikian mereka mendaki setahap demi setahap. Selangkah demi selangkah.
Setapak demi setapak. Perjalanan mendaki tangga bukit cinta dilakukan Kamandaka
bersama Sang Dewi dengan saling berbagi, saling memberikan semangat, saling
tolong menolong, dan saling memberikan dukungan dan dorongan. Perjalanan
tamasya mendaki puncak bukit cinta yang mengasyikkan.
“Perjalanan
menuju puncak bukit cinta dengan mendaki tangga-tangganya, bagi para pemula
dalam permainan cinta sepasang mempelai, sering kali rumit dan tidak mudah,”
demikan nasihat seorang pertapa ahli Yoga dalam rontal yang sempat dibaca Sang
Dewi. Kalimat rahasia itu sempat dibacanya di perpustakaan kamar kerja pribadi
ayahnya, Adipati Kandhadaha, yang memiliki sejumlah istri dengan 25 anak gadis
cantik-cantik. Sang Dewi pada malam yang istimewa itu masih sempat membisikkan
kutipan kalimat itu di dekat telinga Kamandaka.
Akhirnya
perjalanan cinta Kamandaka bersama Sang Dewi, semakin mendekati puncak
ketinggian bukit cinta. Kamandaka dan Sang Dewi saling mempererat pelukannya.
Alam keindahan surgawi yang menakjuban dan aneh yang belum pernah dirasakan
Sang Dewi maupun Kamandaka tiba-tiba datang kepadanya. Sang Dewi dan Kamandaka
seketika merasakan sensasi indah dan menakjubkan, ketika energi cinta yang
mereka himpun bersama-sama tiba-tiba meledak dan menyembur dari dalam dirinya.
“Oh, Diajengku,
sayang,” Kamandaka memekik kecil sambil mempererat pelukan pada istrinya.
“Jangan
menyerah,” bisik Sang Dewi menjawab pekikan kecil suaminya. Sang Dewi malah
menyemangati Kamandaka agar terus memacu dirinya sehingga dapat terbang melayang menuju
puncak keindahan bukit cinta yang mereka rindukan. Akibatnya jantung mereka
berdetak semakin kencang. Napas mereka saling berkejar-kejaran, tubuh keduanya
berkilat-kilat basah oleh keringat yang menganak sungai dari pori-pori
kulitnya. Butiran-butiran keringat bagaikan permata, berkilat-kilat tertimpa
cahaya temaram samar-samar menerobos kelambu ranjang pengantin berwarna biru
muda. Butiran-butiran keringat yang menyembur dari kulit mereka, lebur dan
bercampur manunggal menjadi satu.
Permainan cinta
berakhir. Kamandaka dan Sang Dewi merasakan keindahan di keheningan puncak
surgawi. Tak terdengar suara apa pun. Yang terdengar hanyalah irama napas
kehidupan. Kamandaka dan Sang Dewi merasakan suasana gaib, ketika keduanya
luluh lebur menjadi satu. Permaina cinta Sang Dewi dan Kamandaka pada malam
keempat itu, telah mengantarknnya mencapai
nirwana. Puncak segala keindahan alam semesta.
Kemudian,
Kamandaka jatuh terkualai di samping Sang Dewi dengan perasaan bahagia yang
sulit dilukiskan dengan kata-kata. Sang Dewi tersenyum gembira. Beberapa kali
Sang Dewi menghujani ciuman kasih sayang kepada suami tercintanya. Samar-samar
Kamandaka melihat, Sang Dewi cepat mengenakan kembali baju tidurnya. Sang Dewi
segera turun beranjak ke meja makan, lalu kembali lagi ke ranjang pengantin,
seraya membawa talam dengan dua gelas berisi madu penguat stamina.
“Madu Arab
dicampur jintan hitam, dibeli Kanjeng Ibu dari Cirebon. Ayo kita minum, Kanda.
Kata Kanjeng Ibu, berkhasiat meningkatkan kebugaran dan kesuburan,” kata
istrinya sambil menyodorkan gelas berisi madu. Kamandaka meneguknya sampai
habis. Demikian pula Sang Dewi. Kamandaka berbaring kembali ketika Sang Dewi
membawa dua gelas minuman kosong kembali ke meja makan. “Mau mandi apa mau
terus tidur, Kanda?” tanya Sang Dewi setelah kembali berdiri di samping ranjang
pengantin.
“Besok pagi saja,
Diajeng. Aku ingin tidur dulu, ngantuk sekali,” kata Kamandaka seraya berharap
istrinya kembali naik ke atas ranjang dan berbaring lagi disampingnya. Ternyata
tidak. Sang Dewi menghamparkan selimut di atas tubuh Kamandaka yang sedang
berbaring. Kemudian mencium pipi suaminya sambil berbisik.
“Aku mau mandi
dulu. Konon mandi secepatnya setelah suami istri melakukan lambangsari, akan
menutup pori-pori dalam tubuh kita, sehingga energi vitalitas kita dapat tetap
dipertahankan dalam tubuh. Energi tidak merembes keluar, sehingga esok pagi
kalau kita bangun, tubuh kita akan tetap segar. Pemulihan energi kita yang
hilang juga akan cepat terjadi,” bisik Sang Dewi.
Kamandaka
mendengar bisikan istrinya dalam keadaan sayup-sayup hampir terlelap. Karena
itu dia tidak terlalu menanggapi apa yang dikatakan istrinya. Anehnya, kini
Kamandaka tidak bisa tidur. Dia merasakan ada sesuatu yang hilang dari sisinya,
ketika dia harus tidur sendirian. Kamandaka tersenyum, entah mengapa ada rasa
rindu kepada istrinya yang melonjak-lonjak dalam benaknya.
Kamandaka segera
bangkit menyusul istrinya ke kamar mandi. Pintu kamar mandi diketuk dari luar.
Dari dalam Sang Dewi tersenyum. Dia sedang berendam di dalam bak air hangat
yang menyebarkan aroma harum mewangi rempah-rempah. Sang Dewi tahu Kamandaka
pasti menyusul dirinya.
“Pintu tidak dikunci,
Kanda,” kata Sang Dewi. Kamandaka dengan wajah riang melangkah masuk. Dalam
waktu singkat keduanya sudah menikmati sensasi aneh dan indah lainnya lagi.
Mandi berendam bersama dalam air hangat yang harum menyegarkan, pada malam hari
yang dingin.
Benar juga apa
yang di katakan Sang Dewi, ketika bangun pada pagi harinya Kamandaka merasakan
tubuhnya sangat segar. Perasaan bahagia muncul dalam dirinya. Malam itu dia
merasa telah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami dari seorang istri
yang dicintainya. Dan dia ingin terus mencintainya sepanjang hayat. Kamandaka
masih ingat, pada pagi hari kelima, ketika dia harus berangkat berdua ke
Pendapa untuk menerima para tamu yang masih mengalir berdatangan, Kamandaka
banyak mengumbar senyum kebahagiaan.
Kamandaka,
kembali tersadar dari lamunannya, ketika tahu-tahu langkahnya sudah tiba di
halaman Puri Permatabiru dan mendengar Sang Dewi yang masih memegangi lengan
kirinya itu berkata, “Biyung Emban, silahkan jika mau istirahat. Terima kasih
atas bantuanmu sepanjang hari ini, sampai besok pagi ya,” kata Sang Dewi kepada
Khandegwilis yang telah mengantarkan kedua bendaranya itu sampai di tempat
peristirahatannya.
“Baik, Ndara Ayu.
Selamat malam,” kata Emban kesayangan Sang Dewi itu sambil tersenyum puas.
Khandegwilis
merasa bahagia karena sepanjang hari itu bisa memberikan pelayanan terbaik yang
membuat bendoronya selalu senang. Sekalipun begitu kadang-kadang Khandegwilis
merasa sedih juga. Sebab sejak Sang Dewi dipersunting Kamandaka, tidak mungkin
lagi bagi dirinya bisa menemani Sang Dewi tidur pada malam hari di atas tilam
yang digelarnya di bawah tempat tidur Sang Dewi. Sang Dewi kini sudah menjadi
istri Kamandaka, sudah dipanggil Kanjeng Ayu Adipati. Masa-masa penuh kenangan
ketika dia hampir tiap malam diminta menemani Sang Dewi tidur di bawah ranjang
Sang Dewi, selalu lekat dalam ingatannya. Banyak hal telah diperbincangkan pada
saat-saat penuh kenangan itu. Perbincangan kesana-kemari yang kadang-kadang
hanya sekedar untuk dapat mengantarkan Sang Dewi tidur ke alam mimpi. Saat itu
Sang Dewi sedang jatuh cinta kepada Kamandaka dan sempat menyamar sebagai
paleka tampan dan cakap, anak angkat Ki Patih. Kini impian Sang Dewi telah
menjadi kenyataan.
Tetapi sebaliknya
kini, tiap malam Khandegwilis dibalut kesepian, karena harus tidur sendirian di
kamarnya. Padahal dulu sebelum Sang Dewi jatuh cinta, tidur sendirian pun
Khandegwilis tak pernah merasa kesepian. Pada saat-saat seperti itu, bayangan
Rekajaya, sering berkelebat muncul dalam benaknya. Khandegwilis pun hanya bisa
berharap. Dan terus berharap. Sebuah harapan yang aneh dan tak pernah
dimengertinya. Sebab sebelumnya, Khandegwilis sudah bertekad tidak mau lagi
punya suami, akibat trauma dengan suaminya yang pertama. Hidup memang aneh,
pikir Khandegwilis sambil melangkah menembus gelapnya malam menuju kamarnya.
Cinta ternyata bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja.
Sementara itu,
Sang Dewi setelah berganti dengan pakaian tidur dan menyebarkan aroma semerbak
harum mewangi, segera menyusul Kamandaka yang sudah lebih dulu naik ke atas
ranjang pengantin. “Sekarang malam ke tujuh,” bisik Sang Dewi sambil tersenyum
seraya membaringkan dirinya di samping suaminya yang dicintainya itu.
“Diajeng, apa
yang paling berkesan dari kisah Panji Semirang dalam lakon wayang beber yang
baru saja di pentaskan Ki Dalang Sukmo Lelono?” tanya Kamandaka setelah menarik
tangan Sang Dewi supaya memeluk dirinya.
“Ah, aku tahu.
Pasti bagi Kanda yang paling menarik kisah malam pengantin Raden Inu Kertapati
dengan Galuh Ajeng. Ranjang pengantin, oh ranjang pengantin,” kata Sang Dewi
menirukan suara Ki Dalang saat menggambarkan malam pertama Raden Inu Kertapati
dengan Galuh Ajeng yang dikiranya Galuh Candra Kirana. Kamandaka tertawa
mendengar cara Sang Dewi menirukan suara Ki Dalang.
“Kanda, apakah
memang ada ilmu seperti yang dimiliki Galuh Ajeng?” tanya Sang Dewi, seakan
masih belum puas dengan jawaban yang pernah dijelaskan Kamandaka. Sang Dewi
mengulangi kembali pertanyaan serupa yang pernah disampaikan ketika masih
menonton pagelaran wayang di Pendapa.
“Ilmu hitam untuk
menipu dan berbuat kejahatan kan memang ada. Sudah aku jelaskan kepada Diajeng.
Ada ilmu hitam dan ada pula ilmu putih. Ilmu hitam ada penangkalnya juga,” kata
Kamandaka. “Setiap ilmu hitam akan membawa risiko berat yang harus ditebus oleh
pemakainya yang tidak jarang berakhir dengan penderitaan. Misalnya, berupa
sakit berat yang tak tersembuhkan sampai meninggal dalam keadaan mengenaskan.
Ilmu hitam yang dipakai Galuh Ajeng itu biasa dipakai wanita nakal yang mencari
penghasilan dengan menjadi wanita penghibur lelaki hidung belang. Hukum karma
yang akan diterimanya kelak, wanita seperti Galuh Ajeng itu akan menjadi tua
sebelum waktunya, kulitnya akan cepat keriput, pada akhirnya akan mati muda
dalam keadaan menyedihkan. Ruhnya akan diambil oleh pesuruh Batari Durga
sebelum waktunya, dibawa ke istana Kegelapan Sang Hyang Durga untuk dijadikan
budaknya di sana. Tentu saja wanita demikian itu tidak akan pernah mencapai
Nirwana. Jangankan Nirwana atau Surga. Mencapai moksa saja sudah tidak
mungkin.”
Mendengar
kata-kata Kamandaka itu, Sang Dewi merasa ngeri juga. Walaupun begitu
penjelasan Kamandaka yang kedua kalinya soal ilmu hitam itu, memperkuat
keyakinan Sang Dewi bahwa ilmu hitam itu harus dicegah perkembangannya. Pada
saat Sang Dewi ingat kembali akibat- dari ilmu hitam, Sang Dewi cepat-cepat
merapatkan dirinya ke badan suaminya. Kamandaka dalam hati tersenyum, karena
dia merasa tambah nyaman berada dalam pelukan istrinya.
“Cara yang baik
untuk meningkatkan daya dan vitalitas energi cinta ialah dengan mengikuti
kodrat alam yang bersifat alamiah, sehingga energi cinta yang ada pada setiap
manusia itu harus tetap selaras dengan energi alam semesta. Itulah cara yang
ditempuh oleh Candra Kirana dan Raden Inu Kertapati,” kata Kamandaka.
“Bagaimana
caranya?” tanya Sang Dewi penasaran.
“Lho, Diajeng kan
sudah melakukannya. Misalnya, menjaga kebugaran, merawat tubuh agar tetap
cantik, latihan senam pernafasan dan yoga, minum susu kambing, minum madu
Arabia dengan jintan hitam, minum jamu ramuan dari berbagai tumbuh-tumbuhan.
Tentu saja makan makanan sehat dan alami,” kata Kamandaka pula.
“Eh, biasanya
Diajeng tidak lupa membuatkan minuman madu Arab campur jintan hitam untuk aku?”
kata Kamandaka tiba-tiba. Dia merasa sayang jika malam ke tujuh itu dilaluinya
begitu saja.
“Mau sekarang?“
tanya Sang Dewi sambil akan bangun. Tapi Kamandaka masih menahannya. Diraihnya
wajah istrinya, kemudian diciumnya sambil berbisik.
”Kenapa mesti besok, Diajeng Adindaku
sayang.”
“Baiklah, Kanda.
Tunggu sebentar,” kata Sang Dewi tersenyum senang. Dia segera bangkit setelah
membalas memberikan ciuman yang mesra di pipi suaminya.
Pada malam
ketujuh menjelang subuh, kedua mempelai itu kembali melakukan safari wisata
cinta yang jauh lebih indah dari malam keempat. Sebab, baik Kamandaka maupun
Sang Dewi, merasa mempunyai waktu cukup panjang. Esok paginya mereka terbebas
dari sejumlah kewajiban urusan pemerintahan dan menerima tamu yang selama ini
menyita hampir seluruh waktu yang dimilikinya. Keesokan harinya Kamandaka dan
Sang Dewi boleh istirahat sepuas-puasnya karena mereka berdua memang sedang
memasuki masa istirahat bulan madu selama seminggu menjelang masa bulan madu ke
Nusakambangan yang telah direncanakannya.
Diakhir
perjalanan wisata cinta malam itu, Kamandaka langsung tertidur pulas dalam
pelukan istrinya. Ditatapnya berulang kali suaminya itu dengan perasaan
bahagia. Tetapi anehnya setiap Sang Dewi akan bangun, tangan Kamandaka selalu
menariknya kembali. Akibatnya Sang Dewi tetap tergolek disamping suaminya. Sang
Dewi ingin sebenarnya secepatnya tidur, lalu menyusul ke alam mimpi. Tetapi
pikiran Sang Dewi melayang-layang kemana-mana. Usia Sang Dewi kini sudah
menginjak angka tujuh belas. Usia suaminya dua puluh tahun. Jika tiap tiga
tahun dirinya bisa mengandung dan melahirkan satu anak, pikir Sang Dewi
berangan-angan, maka bila Yang Maha Kuasa mengijinkan, dirinya akan bisa
mempersembahkan 7 atau 8 orang anak pada suaminya.
“Ketika anak
bungsuku yang ke-8 lahir, usiaku sudah sekitar 40 tahun. Setelah itu baru aku
akan memusatkan perhatian mendidik anak-anak dan membantu tugas-tugas Kanda
Kamandaka. Adakah pada usia itu aku akan tetap cantik?” kata Sang Dewi dalam
hati yang membuat dirinya tersenyum.
“Kanjeng Ibu saja
bisa. Kenapa aku tidak?” pikir Sang Dewi sambil terus berangan-angan. Diam diam
Sang Dewi bertekad akan terus belajar kepada Ibunya yang pandai membuat jamu
dari rempah-rempah dan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan jamu, menjadi ramuan yang
bisa menjaga kebugaran tubuh dan awet muda sekalipun usia terus merangkak
menuju usia paruh baya, bahkan usia lanjut.
Sang Dewi masih
melanjutkan angan-angannya. Dia ingin melampaui prestasi Ibunya. Jika Ibunya
pada usia paruh baya tetap cantik, tetapi hanya punya anak satu, yakni dirinya
sendiri. Dia ingin tetap cantik pada usia tua sekalipun kelak harus mengandung
banyak anak.
“Sebenarnya punya
anak dua, satu putra dan satunya lagi putri, sangatlah baik. Orang tua bisa
lebih berkonsentrasi memberikan didikan pada anak-anaknya. Tapi mana ada
adipati dan raja yang mau mempunyai anak sedikit? Mereka selalu berdalih perlu
mempunyai banyak anak agar bisa menjaga kelanjutan dari kerajaan atau kadipaten
yang dipimpinnya. Kanjeng Rama malah punya 25 putri. Tetapi istri Kanjeng Rama
juga banyak. Kadang-kadang, jika istri seorang raja atau adipati hanya mampu
melahirkan anak sedikit, Sang Raja atau Sang Adipati punya alasan yang cukup
kuat untuk mencari istri lain,” renung Sang Dewi pula.
“Tetapi Kanda
Kamandaka sudah berjanji padaku, tidak akan punya selir. Sebagai imbalannya,
aku pun harus sanggup mengandung sejumlah anak buah cintaku dengan Kanda
Kamandaka. Wahai, Sang Penguasa Jagad Yang berkuasa atas diri hamba,
kabulkanlah permohonan hambamu ini,” bisik Sang Dewi lirih berdoa, sambil
memandang suaminya yang terbaring pulas di atas ranjang pengantin. Sang Dewi
tahu, sepanjang tujuh hari sejak upacara ritual perkawinan sampai pagelaran
pertunjukan wayang, energi suaminya sudah terkuras habis untuk menemui tamu
yang datang silih berganti. Ditambah lagi suaminya masih mengajak melakukan
perjalanan syafari permaian cinta yang mengasyikkan. Kini suaminya tertidur
pulas, dengan wajah bahagia dan perasaan puas.
Ditatapnya wajah
tampan suaminya dalam temaram cahaya lampu yang menembus kelambu masuk ke atas
ranjang peraduan. Di hamparkannya kembali selimut ke atas tubuh suaminya. Malam
semakin larut, udara dingin dari lereng Gunung Agung yang menyusuri Lembah
Sungai Logawa, menerobos juga masuk ke dalam Puri Permatabiru. Dipeluk dan
diciumnya kembali pipi suaminya. Sang Dewi segera masuk kembali ke bawah
selimut, berangkat tidur di samping suaminya yang sudah lebih dulu berada di
alam mimpi. Fajar sudah lama datang. Tapi Sang Dewi tak ingin kehilangan mimpi
indah yang selalu diharapkannya. Sang Dewi pun terlelap ke dalam tidurnya yang
nyenyak.[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar