Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Rabu, 12 September 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (18)



Dia langsung memeluk istrinya sambil berbisik di dekat telinga istrinya, ”Aku sekarang tidak memerlukan bantuan Emban Khandegwilis lagi.”
Mendengar bisikan itu Sang Dewi hanya tersenyum, karena masih ingat ketika dulu Kamandaka gemetar tidak sanggup membuka tali pengunci kemben dan ikat pinggang yang saat itu melindungi dada dan pinggulnya. Kini tangan Kamandaka dengan mudah menarik baju tidur yang melindungi tubuh istrinya. Sang Dewi pun dengan cekatan membantu melepaskan baju tidur yang melindungi tubuh perkasa Kamandaka
Sebuah permainan asmara yang aneh, asing, penuh sensasi, dan mengasyikkan, akhirnya mengantarkan Kamandaka sebagai pasangan pengantin baru yang akan berlayar dengan kecepatan penuh mengarungi lautan cinta. Dalam pelayarannya itu terkadang ombak besar menerjang mereka berdua. Terkadang gelombang besar mengangkatnya tinggi-tinggi. Terkadang pula dibawanya Kamandaka dan istrinya meluncur cepat dari puncak gelombang. Keduanya terus menerus sepanjang malam itu berada dalam pelukan gelombang cinta yang maha dahsyat. Ibarat penunggang kuda, Sang Dewi ternyata adalah penunggang kuda yang baik yang mampu membawa Kamandaka melintasi padang ilalang yang indah. Ibarat seorang nahkoda perahu layar, Sang Dewi ternyata tahu, kapan perahu layar harus mendaki puncak gelombang asmara. Kapan pula, perahu harus meluncur menuruni gelombang. Kamandaka merasa cinta kasihnya kepada istrinya terus menerus mekar, bertambah, dan berkembang.
Kamandaka masih ingat, malam yang indah itu terus merambat dalam sepi. Suara gamelan dari Pendapa yang mengiringi kesenian lengger biasanya sayup-sayup masih terdengar dari atas ranjang pengantin. Tapi saat itu sudah lama tidak terdengar. Ya, Pendapa memang telah sepi. Dalem Gedhe juga telah sepi. Taman Kaputren juga telah sepi. Yang terdengar hanya suara serangga malam yang saling bersaut-sautan bagaikan membentuk musik alam di dalam taman.
Di luar Puri, bintang gemintang di langit tampak berkerlap-kerlip seolah ingin menyaksikan perjalanan cinta pasangan baru suami istri yang sedang berbahagia. Mereka berdua sedang melaksanakan kewajiban alamiahnya sebagai sepasang suami istri. Tetapi perjalanan asmara kedua mempelai itu sebenarnya baru permulaan dari tamasya cinta. Masih ada perjalanan lanjutan. Ibaratnya perjalanan sepasang pengelana, perjalanan mereka mengarungi lautan cinta yang penuh gelombang itu, baru mendarat di tepi pantai dari kaki bukit yang menjulang tinggi. Tidak ada jalan pulang. Pendakian ke atas puncat bukit asmara harus dilakukan. “Siapkah Kanda mendaki puncak bukit terjal, tetapi konon mengasyikkan?” bisik Sang Dewi.
“Ayohlah, Diajeng sayang,” jawab Kamandaka seraya kembali memeluk istri tercintanya. Kamandaka merasakan energi cinta dalam dirinya semakin meledak-ledak. Kembali Sang Dewi memperlihatkan keahliannya dalam permaian cinta. Kamandaka dibimbingnya selangkah demi selangkah melakukan pendakian menaiki tangga-tangga bukit cinta. Ada kalanya Kamandaka dibiarkan naik satu tingkat lebih dulu. Kemudian Sang Dewi memintanya agar Kamandaka menarik dirinya ke atas tangga pendakian. Pada kali lain, Sang Dewi yang naik lebih dulu ke tangga di atasnya. Kemudian Sang Dewi menarik Kamandaka agar sejajar dengan dirinya pada tingkat tangga yang sama. Demikian mereka mendaki setahap demi setahap. Selangkah demi selangkah. Setapak demi setapak. Perjalanan mendaki tangga bukit cinta dilakukan Kamandaka bersama Sang Dewi dengan saling berbagi, saling memberikan semangat, saling tolong menolong, dan saling memberikan dukungan dan dorongan. Perjalanan tamasya mendaki puncak bukit cinta yang mengasyikkan.
“Perjalanan menuju puncak bukit cinta dengan mendaki tangga-tangganya, bagi para pemula dalam permainan cinta sepasang mempelai, sering kali rumit dan tidak mudah,” demikan nasihat seorang pertapa ahli Yoga dalam rontal yang sempat dibaca Sang Dewi. Kalimat rahasia itu sempat dibacanya di perpustakaan kamar kerja pribadi ayahnya, Adipati Kandhadaha, yang memiliki sejumlah istri dengan 25 anak gadis cantik-cantik. Sang Dewi pada malam yang istimewa itu masih sempat membisikkan kutipan kalimat itu di dekat telinga Kamandaka.
Akhirnya perjalanan cinta Kamandaka bersama Sang Dewi, semakin mendekati puncak ketinggian bukit cinta. Kamandaka dan Sang Dewi saling mempererat pelukannya. Alam keindahan surgawi yang menakjuban dan aneh yang belum pernah dirasakan Sang Dewi maupun Kamandaka tiba-tiba datang kepadanya. Sang Dewi dan Kamandaka seketika merasakan sensasi indah dan menakjubkan, ketika energi cinta yang mereka himpun bersama-sama tiba-tiba meledak dan menyembur dari dalam dirinya.
“Oh, Diajengku, sayang,” Kamandaka memekik kecil sambil mempererat pelukan pada istrinya.
“Jangan menyerah,” bisik Sang Dewi menjawab pekikan kecil suaminya. Sang Dewi malah menyemangati Kamandaka agar terus memacu  dirinya sehingga dapat terbang melayang menuju puncak keindahan bukit cinta yang mereka rindukan. Akibatnya jantung mereka berdetak semakin kencang. Napas mereka saling berkejar-kejaran, tubuh keduanya berkilat-kilat basah oleh keringat yang menganak sungai dari pori-pori kulitnya. Butiran-butiran keringat bagaikan permata, berkilat-kilat tertimpa cahaya temaram samar-samar menerobos kelambu ranjang pengantin berwarna biru muda. Butiran-butiran keringat yang menyembur dari kulit mereka, lebur dan bercampur manunggal menjadi satu.
Permainan cinta berakhir. Kamandaka dan Sang Dewi merasakan keindahan di keheningan puncak surgawi. Tak terdengar suara apa pun. Yang terdengar hanyalah irama napas kehidupan. Kamandaka dan Sang Dewi merasakan suasana gaib, ketika keduanya luluh lebur menjadi satu. Permaina cinta Sang Dewi dan Kamandaka pada malam keempat itu,  telah mengantarknnya mencapai nirwana. Puncak segala keindahan alam semesta.
Kemudian, Kamandaka jatuh terkualai di samping Sang Dewi dengan perasaan bahagia yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Sang Dewi tersenyum gembira. Beberapa kali Sang Dewi menghujani ciuman kasih sayang kepada suami tercintanya. Samar-samar Kamandaka melihat, Sang Dewi cepat mengenakan kembali baju tidurnya. Sang Dewi segera turun beranjak ke meja makan, lalu kembali lagi ke ranjang pengantin, seraya membawa talam dengan dua gelas berisi madu penguat stamina.
“Madu Arab dicampur jintan hitam, dibeli Kanjeng Ibu dari Cirebon. Ayo kita minum, Kanda. Kata Kanjeng Ibu, berkhasiat meningkatkan kebugaran dan kesuburan,” kata istrinya sambil menyodorkan gelas berisi madu. Kamandaka meneguknya sampai habis. Demikian pula Sang Dewi. Kamandaka berbaring kembali ketika Sang Dewi membawa dua gelas minuman kosong kembali ke meja makan. “Mau mandi apa mau terus tidur, Kanda?” tanya Sang Dewi setelah kembali berdiri di samping ranjang pengantin.
“Besok pagi saja, Diajeng. Aku ingin tidur dulu, ngantuk sekali,” kata Kamandaka seraya berharap istrinya kembali naik ke atas ranjang dan berbaring lagi disampingnya. Ternyata tidak. Sang Dewi menghamparkan selimut di atas tubuh Kamandaka yang sedang berbaring. Kemudian mencium pipi suaminya sambil berbisik.
“Aku mau mandi dulu. Konon mandi secepatnya setelah suami istri melakukan lambangsari, akan menutup pori-pori dalam tubuh kita, sehingga energi vitalitas kita dapat tetap dipertahankan dalam tubuh. Energi tidak merembes keluar, sehingga esok pagi kalau kita bangun, tubuh kita akan tetap segar. Pemulihan energi kita yang hilang juga akan cepat terjadi,” bisik Sang Dewi.
Kamandaka mendengar bisikan istrinya dalam keadaan sayup-sayup hampir terlelap. Karena itu dia tidak terlalu menanggapi apa yang dikatakan istrinya. Anehnya, kini Kamandaka tidak bisa tidur. Dia merasakan ada sesuatu yang hilang dari sisinya, ketika dia harus tidur sendirian. Kamandaka tersenyum, entah mengapa ada rasa rindu kepada istrinya yang melonjak-lonjak dalam benaknya.
Kamandaka segera bangkit menyusul istrinya ke kamar mandi. Pintu kamar mandi diketuk dari luar. Dari dalam Sang Dewi tersenyum. Dia sedang berendam di dalam bak air hangat yang menyebarkan aroma harum mewangi rempah-rempah. Sang Dewi tahu Kamandaka pasti menyusul dirinya.
“Pintu tidak dikunci, Kanda,” kata Sang Dewi. Kamandaka dengan wajah riang melangkah masuk. Dalam waktu singkat keduanya sudah menikmati sensasi aneh dan indah lainnya lagi. Mandi berendam bersama dalam air hangat yang harum menyegarkan, pada malam hari yang dingin.
Benar juga apa yang di katakan Sang Dewi, ketika bangun pada pagi harinya Kamandaka merasakan tubuhnya sangat segar. Perasaan bahagia muncul dalam dirinya. Malam itu dia merasa telah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami dari seorang istri yang dicintainya. Dan dia ingin terus mencintainya sepanjang hayat. Kamandaka masih ingat, pada pagi hari kelima, ketika dia harus berangkat berdua ke Pendapa untuk menerima para tamu yang masih mengalir berdatangan, Kamandaka banyak mengumbar senyum kebahagiaan.
Kamandaka, kembali tersadar dari lamunannya, ketika tahu-tahu langkahnya sudah tiba di halaman Puri Permatabiru dan mendengar Sang Dewi yang masih memegangi lengan kirinya itu berkata, “Biyung Emban, silahkan jika mau istirahat. Terima kasih atas bantuanmu sepanjang hari ini, sampai besok pagi ya,” kata Sang Dewi kepada Khandegwilis yang telah mengantarkan kedua bendaranya itu sampai di tempat peristirahatannya.
“Baik, Ndara Ayu. Selamat malam,” kata Emban kesayangan Sang Dewi itu sambil tersenyum puas.
Khandegwilis merasa bahagia karena sepanjang hari itu bisa memberikan pelayanan terbaik yang membuat bendoronya selalu senang. Sekalipun begitu kadang-kadang Khandegwilis merasa sedih juga. Sebab sejak Sang Dewi dipersunting Kamandaka, tidak mungkin lagi bagi dirinya bisa menemani Sang Dewi tidur pada malam hari di atas tilam yang digelarnya di bawah tempat tidur Sang Dewi. Sang Dewi kini sudah menjadi istri Kamandaka, sudah dipanggil Kanjeng Ayu Adipati. Masa-masa penuh kenangan ketika dia hampir tiap malam diminta menemani Sang Dewi tidur di bawah ranjang Sang Dewi, selalu lekat dalam ingatannya. Banyak hal telah diperbincangkan pada saat-saat penuh kenangan itu. Perbincangan kesana-kemari yang kadang-kadang hanya sekedar untuk dapat mengantarkan Sang Dewi tidur ke alam mimpi. Saat itu Sang Dewi sedang jatuh cinta kepada Kamandaka dan sempat menyamar sebagai paleka tampan dan cakap, anak angkat Ki Patih. Kini impian Sang Dewi telah menjadi kenyataan.
Tetapi sebaliknya kini, tiap malam Khandegwilis dibalut kesepian, karena harus tidur sendirian di kamarnya. Padahal dulu sebelum Sang Dewi jatuh cinta, tidur sendirian pun Khandegwilis tak pernah merasa kesepian. Pada saat-saat seperti itu, bayangan Rekajaya, sering berkelebat muncul dalam benaknya. Khandegwilis pun hanya bisa berharap. Dan terus berharap. Sebuah harapan yang aneh dan tak pernah dimengertinya. Sebab sebelumnya, Khandegwilis sudah bertekad tidak mau lagi punya suami, akibat trauma dengan suaminya yang pertama. Hidup memang aneh, pikir Khandegwilis sambil melangkah menembus gelapnya malam menuju kamarnya. Cinta ternyata bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja.
Sementara itu, Sang Dewi setelah berganti dengan pakaian tidur dan menyebarkan aroma semerbak harum mewangi, segera menyusul Kamandaka yang sudah lebih dulu naik ke atas ranjang pengantin. “Sekarang malam ke tujuh,” bisik Sang Dewi sambil tersenyum seraya membaringkan dirinya di samping suaminya yang dicintainya itu.
“Diajeng, apa yang paling berkesan dari kisah Panji Semirang dalam lakon wayang beber yang baru saja di pentaskan Ki Dalang Sukmo Lelono?” tanya Kamandaka setelah menarik tangan Sang Dewi supaya memeluk dirinya.
“Ah, aku tahu. Pasti bagi Kanda yang paling menarik kisah malam pengantin Raden Inu Kertapati dengan Galuh Ajeng. Ranjang pengantin, oh ranjang pengantin,” kata Sang Dewi menirukan suara Ki Dalang saat menggambarkan malam pertama Raden Inu Kertapati dengan Galuh Ajeng yang dikiranya Galuh Candra Kirana. Kamandaka tertawa mendengar cara Sang Dewi menirukan suara Ki Dalang.
“Kanda, apakah memang ada ilmu seperti yang dimiliki Galuh Ajeng?” tanya Sang Dewi, seakan masih belum puas dengan jawaban yang pernah dijelaskan Kamandaka. Sang Dewi mengulangi kembali pertanyaan serupa yang pernah disampaikan ketika masih menonton pagelaran wayang di Pendapa.
“Ilmu hitam untuk menipu dan berbuat kejahatan kan memang ada. Sudah aku jelaskan kepada Diajeng. Ada ilmu hitam dan ada pula ilmu putih. Ilmu hitam ada penangkalnya juga,” kata Kamandaka. “Setiap ilmu hitam akan membawa risiko berat yang harus ditebus oleh pemakainya yang tidak jarang berakhir dengan penderitaan. Misalnya, berupa sakit berat yang tak tersembuhkan sampai meninggal dalam keadaan mengenaskan. Ilmu hitam yang dipakai Galuh Ajeng itu biasa dipakai wanita nakal yang mencari penghasilan dengan menjadi wanita penghibur lelaki hidung belang. Hukum karma yang akan diterimanya kelak, wanita seperti Galuh Ajeng itu akan menjadi tua sebelum waktunya, kulitnya akan cepat keriput, pada akhirnya akan mati muda dalam keadaan menyedihkan. Ruhnya akan diambil oleh pesuruh Batari Durga sebelum waktunya, dibawa ke istana Kegelapan Sang Hyang Durga untuk dijadikan budaknya di sana. Tentu saja wanita demikian itu tidak akan pernah mencapai Nirwana. Jangankan Nirwana atau Surga. Mencapai moksa saja sudah tidak mungkin.”
Mendengar kata-kata Kamandaka itu, Sang Dewi merasa ngeri juga. Walaupun begitu penjelasan Kamandaka yang kedua kalinya soal ilmu hitam itu, memperkuat keyakinan Sang Dewi bahwa ilmu hitam itu harus dicegah perkembangannya. Pada saat Sang Dewi ingat kembali akibat- dari ilmu hitam, Sang Dewi cepat-cepat merapatkan dirinya ke badan suaminya. Kamandaka dalam hati tersenyum, karena dia merasa tambah nyaman berada dalam pelukan istrinya.
“Cara yang baik untuk meningkatkan daya dan vitalitas energi cinta ialah dengan mengikuti kodrat alam yang bersifat alamiah, sehingga energi cinta yang ada pada setiap manusia itu harus tetap selaras dengan energi alam semesta. Itulah cara yang ditempuh oleh Candra Kirana dan Raden Inu Kertapati,” kata Kamandaka.
“Bagaimana caranya?” tanya Sang Dewi penasaran.
“Lho, Diajeng kan sudah melakukannya. Misalnya, menjaga kebugaran, merawat tubuh agar tetap cantik, latihan senam pernafasan dan yoga, minum susu kambing, minum madu Arabia dengan jintan hitam, minum jamu ramuan dari berbagai tumbuh-tumbuhan. Tentu saja makan makanan sehat dan alami,” kata Kamandaka pula.
“Eh, biasanya Diajeng tidak lupa membuatkan minuman madu Arab campur jintan hitam untuk aku?” kata Kamandaka tiba-tiba. Dia merasa sayang jika malam ke tujuh itu dilaluinya begitu saja.
“Mau sekarang?“ tanya Sang Dewi sambil akan bangun. Tapi Kamandaka masih menahannya. Diraihnya wajah istrinya, kemudian diciumnya sambil berbisik.
”Kenapa mesti besok, Diajeng Adindaku sayang.”
“Baiklah, Kanda. Tunggu sebentar,” kata Sang Dewi tersenyum senang. Dia segera bangkit setelah membalas memberikan ciuman yang mesra di pipi suaminya.
Pada malam ketujuh menjelang subuh, kedua mempelai itu kembali melakukan safari wisata cinta yang jauh lebih indah dari malam keempat. Sebab, baik Kamandaka maupun Sang Dewi, merasa mempunyai waktu cukup panjang. Esok paginya mereka terbebas dari sejumlah kewajiban urusan pemerintahan dan menerima tamu yang selama ini menyita hampir seluruh waktu yang dimilikinya. Keesokan harinya Kamandaka dan Sang Dewi boleh istirahat sepuas-puasnya karena mereka berdua memang sedang memasuki masa istirahat bulan madu selama seminggu menjelang masa bulan madu ke Nusakambangan yang telah direncanakannya.
Diakhir perjalanan wisata cinta malam itu, Kamandaka langsung tertidur pulas dalam pelukan istrinya. Ditatapnya berulang kali suaminya itu dengan perasaan bahagia. Tetapi anehnya setiap Sang Dewi akan bangun, tangan Kamandaka selalu menariknya kembali. Akibatnya Sang Dewi tetap tergolek disamping suaminya. Sang Dewi ingin sebenarnya secepatnya tidur, lalu menyusul ke alam mimpi. Tetapi pikiran Sang Dewi melayang-layang kemana-mana. Usia Sang Dewi kini sudah menginjak angka tujuh belas. Usia suaminya dua puluh tahun. Jika tiap tiga tahun dirinya bisa mengandung dan melahirkan satu anak, pikir Sang Dewi berangan-angan, maka bila Yang Maha Kuasa mengijinkan, dirinya akan bisa mempersembahkan 7 atau 8 orang anak pada suaminya.
“Ketika anak bungsuku yang ke-8 lahir, usiaku sudah sekitar 40 tahun. Setelah itu baru aku akan memusatkan perhatian mendidik anak-anak dan membantu tugas-tugas Kanda Kamandaka. Adakah pada usia itu aku akan tetap cantik?” kata Sang Dewi dalam hati yang membuat dirinya tersenyum.
“Kanjeng Ibu saja bisa. Kenapa aku tidak?” pikir Sang Dewi sambil terus berangan-angan. Diam diam Sang Dewi bertekad akan terus belajar kepada Ibunya yang pandai membuat jamu dari rempah-rempah dan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan jamu, menjadi ramuan yang bisa menjaga kebugaran tubuh dan awet muda sekalipun usia terus merangkak menuju usia paruh baya, bahkan usia lanjut.
Sang Dewi masih melanjutkan angan-angannya. Dia ingin melampaui prestasi Ibunya. Jika Ibunya pada usia paruh baya tetap cantik, tetapi hanya punya anak satu, yakni dirinya sendiri. Dia ingin tetap cantik pada usia tua sekalipun kelak harus mengandung banyak anak.
“Sebenarnya punya anak dua, satu putra dan satunya lagi putri, sangatlah baik. Orang tua bisa lebih berkonsentrasi memberikan didikan pada anak-anaknya. Tapi mana ada adipati dan raja yang mau mempunyai anak sedikit? Mereka selalu berdalih perlu mempunyai banyak anak agar bisa menjaga kelanjutan dari kerajaan atau kadipaten yang dipimpinnya. Kanjeng Rama malah punya 25 putri. Tetapi istri Kanjeng Rama juga banyak. Kadang-kadang, jika istri seorang raja atau adipati hanya mampu melahirkan anak sedikit, Sang Raja atau Sang Adipati punya alasan yang cukup kuat untuk mencari istri lain,” renung Sang Dewi pula.
“Tetapi Kanda Kamandaka sudah berjanji padaku, tidak akan punya selir. Sebagai imbalannya, aku pun harus sanggup mengandung sejumlah anak buah cintaku dengan Kanda Kamandaka. Wahai, Sang Penguasa Jagad Yang berkuasa atas diri hamba, kabulkanlah permohonan hambamu ini,” bisik Sang Dewi lirih berdoa, sambil memandang suaminya yang terbaring pulas di atas ranjang pengantin. Sang Dewi tahu, sepanjang tujuh hari sejak upacara ritual perkawinan sampai pagelaran pertunjukan wayang, energi suaminya sudah terkuras habis untuk menemui tamu yang datang silih berganti. Ditambah lagi suaminya masih mengajak melakukan perjalanan syafari permaian cinta yang mengasyikkan. Kini suaminya tertidur pulas, dengan wajah bahagia dan perasaan puas.
Ditatapnya wajah tampan suaminya dalam temaram cahaya lampu yang menembus kelambu masuk ke atas ranjang peraduan. Di hamparkannya kembali selimut ke atas tubuh suaminya. Malam semakin larut, udara dingin dari lereng Gunung Agung yang menyusuri Lembah Sungai Logawa, menerobos juga masuk ke dalam Puri Permatabiru. Dipeluk dan diciumnya kembali pipi suaminya. Sang Dewi segera masuk kembali ke bawah selimut, berangkat tidur di samping suaminya yang sudah lebih dulu berada di alam mimpi. Fajar sudah lama datang. Tapi Sang Dewi tak ingin kehilangan mimpi indah yang selalu diharapkannya. Sang Dewi pun terlelap ke dalam tidurnya yang nyenyak.[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar