Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 13 September 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (19)



Pagi hari itu amat cerah. Matahari sudah naik lebih dari sepenggalah. Burung kutilang, emprit, dan prenjak berloncat-loncatan kian kemari dari satu dahan ke dahan lain. Daun-daun pepohonan yang tumbuh di halaman Kadipaten Pasirluhur, bergerak-gerak pelan ditiup angin pagi. Di Pendapa Kadipaten, Ki Patih memimpin pertemuan terbatas untuk menindaklanjuti pesan Kanjeng Ayu Adipati yang akan melakukan bulan madu melayari Sungai Ciserayu sampai muaranya. Kemudian dari sana akan dilanjutkan ke Adireja dan Nusakambangan. Wirapati, Sekarmenur, Silihwarna, dan Arya Baribin sengaja diundang untuk menghadiri rapat. Ki Patih didampingi Tumenggung Maresi dan wakilnya Jigjayuda.
“Tumenggung Maresi, dari rombongan Kanjeng Ayu Adipati, berapa orang akan ikut?” tanya Ki Patih.
“Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati. Kanjeng Adipati Sepuh dan Istrinya, sudah 4 orang. Tambah Khandegwilis, sudah 5 orang. Ki Patih, mau ikut?” Tumenggung Maresi balik bertanya kepada Ki Patih.
“Ki Patih mau jaga Pendapa saja. Tumenggung Maresi dan Jigjayuda saja yang akan mengawal Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati. Kanjeng Adipati Sepuh sudah Ki Patih tanya, tidak akan ikut. Katanya dengan Kanjeng Ayu Adipati Sepuh ada acara mau ke Cirebon,” kata Ki Patih.
“Baiklah kalau begitu. Berarti jumlahnya tetap 3 orang dengan 2 pengawal pribadi, semuanya sudah 5 orang. Siapa lagi yang akan ikut, Ndara Wirapati?” tanya Tumenggung Maresi.
“Dinda Silihwarna dan Dimas Arya Baribin. Dinda Sekar Menur dan dua adiknya, Dinda Mayangsari dan Dinda Ratna Pamekas, jadi ditambah 7 orang,“ kata Wirapati menghitung orang-orang yang akan ikut menemani Kanjeng Ayu Adipati.
“Kanda Wirapati? Belum dihitung. Kasihan Ayunda Sekarmenur jika tak ada yang mengawal,” kata Silihwarna mengingatkan. Sekarmenur yang duduk di samping Wirapati tertawa mendengar olok-olokan Silihwarna.
“Kalau tidak ada yang mengawal, ya mengawal diri sendiri,” kata Sekarmenur.
“Tenang saja Ayunda, masih ada Tumenggung Silihwarna yang bisa mengawal,” Silihwarna mulai menggoda.
“Lho, nanti Dinda Mayangsari marah,” kata Sekarmenur.
“Ya, tidaklah. Kan yang dikawal dua-duanya, Ayunda Sekarmenur dan Dinda Mayangsari,” jawab Silihwarna.
“Lho, Ndara Wirapati mau kemana?” tanya Tumenggung Maresi heran.
“Ya, mau ikut dalam rombongan. Mana tahan Kanda Wirapati sendirian ditinggal Ayunda Sekarmenur?” kata Silihwarna.
“Ah, Dinda Silihwarna ada-ada saja. Gara-gara lupa menghitung diri sendiri. Memang aku yang salah. Jadi tambahan yang ikut bukan 7 orang. Tetapi 8 orang,” kata Wirapati sambil tersenyum, menyadari kesalahannya dirinya, yang menghitung malah tidak dihitung.
“Oh, iya lupa. Pendeta Muda, katanya mau ikut. Tambah 1 jadi 9 orang,” kata Wirapati.
“Tambah Nyai Kertisara dan Rekajaya, 2 orang. Total jumlah rombongan, 5 tambah 9 tambah 2, semuanya 16 orang. Tambah pasukan pengawal umum 11 orang sudah dengan komandan. Jadi semuanya 27 orang. Bisa dibawa dengan berapa perahu, Ndara?” tanya Tumenggung Maresi , kepada Wirapati, setelah menghitung dengan teliti.
“Dinda Sekarmenur, berapa perahu yang akan dikirim untuk membawa 27 orang?” tanya Wirapati.
“Aku lihat satu perahu Nyai Kertisara bisa membawa 6 penumpang. Jadi perahu untuk 11 orang pasukan pengawal cukup 2 perahu baru milik Nyai Kertisara. Untuk yang 16 orang aku akan kirimkan 2 perahu sungai, tiap 1 perahu muat 8 orang,” jawab Sekarmenur.
“Jadi kesimpulannya kebutuhan perahu, seluruhnya hanya perlu 2 perahu baru milik Nyai Kertisara dan 2 perahu dari Nusakambangan. Tukang sauh dicarikan dari Nusakambangan yang sudah berpengalaman. Betul Ndara Ayu Sekarmenur?” tanya Tumenggung Maresi setelah menghitung kembali kebutuhan perahu dan tukang sauhnya yang dijawab Sekarmenur dengan anggukan kepala membenarkan.
“Sekarang rencana pemberangkatan. Tempat pemberangkatan rombongan rencananya pagi hari dan berkumpul di Pangkalan Perahu Sungai Ciserayu Kaliwedi. Barang kali Ndara Ayu Sekarmenur bisa menjelaskan tempat-tempat mana saja yang akan dikunjungi sampai ke Pulau Nusakambangan. Banyak yang belum tahu, Ndara Ayu,” kata Tumenggung Maresi. Sekarmenur memang lebih berpengalaman dan menguasai medan.
“Jika kita berangkat pagi hari setelah sarapan, sepertinya tengah hari sudah melewati Arja Binangun. Muara Sungai Ciserayu sudah dekat. Sampai di muara bisa istirahat untuk santap siang di Padepokan Batuputih. Dari sana bila ingin melihat pulau Bandung, bisa naik bukit yang ada di sisi barat muara. Dari atas bukit, menghadap ke timur akan tampak pemandangan indah Lautan Selatan dilihat dari ketinggian tertentu. Pulau Bandung tempat tumbuhnya bunga sakti Wijayakusuma yang memiliki daya penyembuhan, juga kelihatan. Dari sana, ganti satu perahu laut, bertolak menuju Nusakambangan. Menginap dua atau tiga malam di Nusakambangan. Esok harinya kembali ke daratan, menuju Adireja, nginap lagi semalam. Sampai Adireja, selanjutnya bagaimana rencananya, Kanda Wirapati?” tanya Sekarmenur sesudah memberi gambaran dan penjelasan kepada peserta rapat.
“Terima kasih, Dinda Sekarmenur,” kata Wirapati menyambung penjelasan Sekarmenur. “Di Adireja rombongan akan menginap semalam. Esok paginya rombongan akan dipecah jadi dua. Satu menuju Kadipaten Dayeuhluhur. Satu lagi menuju Kadipaten Pasirluhur,” kata Wirapati.
“Siapa saja yang akan ke Kadipaten Dayeuhluhur?” tanya Tumenggung Maresi.
“Yang pasti Dinda Silihwara dan Dinda Mayangsari dalam waktu dekat ini harus sudah di Kadipaten Dayeuhluhur. Kanjeng Rama sudah menanyakan terus lewat surat yang dibawa kurir. Dimas Arya Baribin dan Dinda Ratna Pamekas, sebaiknya menemani Dinda Silihwarna,” jawab Wirapati sambil memberi saran kepada Arya Baribin.
“Kanda Amenglayaran masih pikir-pikir, tapi sudah bilang ingin ikut ke Kadipaten Dayeuhluhur. Dimas Arya Baribin dan Dinda Ratna Pamekas, memang sudah memutuskan akan menemani  ke Kadipaten Dayeuhluhur,” kata Silihwarna memberikan penjelasan kepada Wirapati.
Tiba-tiba Tumenggung Maresi seperti diingatkan sesuatu. Setelah selesai resepsi pernikahan Sang Dyah Ayu Dewi dengan Kamandaka, kesibukan berikutnya adalah menghadiri upacara dan pesta perkawinan Mayangsari dengan Silihwarna. Upacara dan pesta pernikahan akan di selenggarakan di Kadipaten Dayeuhluhur. Bagaimanapun juga Silihwarna telah ditetapkan oleh Adipati Kandhadaha menjadi tumenggung yang bertanggung jawab mengembangan pusat latihan dasar keprajuritan di Padepokan Baturagung. Apalagi dulu sempat menjadi atasannya dalam operasi menangkap Kamandaka gara-gara Kamandaka diam-diam masuk Taman Kaputren pada malam hari.
“Selamat, Ndara. Satu bulan lagi ya? Akhirnya jadi juga memetik Bunga Kadipaten Dayeuhluhur,” kata Tumenggung Maresi sambil menjabat tangan Silihwarna. Ki Patih dan Jigjayuda ikut memberikan ucapan selamat dengan menjabat tangan Silihwarna. Rencananya memang bulan depan Silihwarna akan melangsungkan pernikahan dengan Mayangsari, putri Adipati Dayeuhluhur.
Ki Patih masih ingat dialah yang dulu mengusulkan agar Silihwarna diangkat menjadi Tumenggung Kadipaten Pasirluhur. Kemudian Kanjeng Adipati Kandhadaha yang menjodohkan secara tidak sengaja dengan Mayangsari. Dia adalah putri bungsu Adipati Dayeuhluhur. Adipati Dayeuhluhur masih ipar Kanjeng Adipati Sepuh.
“Kanjeng Rama sudah menyiapkan tempat untuk menampung tamu keluarga calon mempelai pria,” kata Wirapati. “Bagus sekali kalau Dimas Baribin, Dinda Ratna Pamekas, dan Kanda Amenglayaran bisa menemani Dinda Silihwarna ke Kadipaten Dayeuhluhur. Kelak Ayunda Dewi dan Kanda Kamandaka beserta rombongan akan menyusul, langsung dari Kadipaten Pasirluhur,” kata Wirapati.
“Baiklah, kalau begitu. Tinggal Tumenggung Maresi secepatnya hubungi Rekajaya dan Nyai Kertisara untuk menyiapkan dua perahu. Kapan perahu dari Nusakambangan bisa dikirimkan ke Kaliwedi, Ananda Sekarmenur?” tanya Ki Patih.
“Ada tidak kurir yang bisa dikirim ke Nusakambangan, Paman Patih?” tanya Sekarmenur.
“Ada. Dua orang cukup, Ananda Sekarmenur?”
“Empat orang, agar aman, dengan dua kuda. Nanti Ananda buatkan surat. Besok harus sudah berangkat,” Sekarmenur menjelaskan kepada Ki Patih.
“Siang hari ini pun bisa berangkat, asal surat sudah selesai dibuat,” kata Ki Patih.
“Dinda Sekarmenur, siapa yang bisa dihubungi di Nusakambangan?” tanya Wirapati.
“Tumenggung Surengpati. Kanda sudah kenal baik, kan? Dia berasal dari Adireja. Biar dia mengurus segala sesuatunya. Aku akan minta dikirimkan dua perahu sungai bagus yang ada atapnya. Dengan sepuluh tukang sauh yang berpengalaman, tidak sampai dua hari dua perahu akan tiba di Pangkalan Perahu Nyai Kertisara Kaliwedi,” kata Sekarmenur.
“Tujuh hari yang akan datang perahu dari Nusakambangan sudah bisa sampai di Kaliwedi?” tanya Wirapati.
“Sebenarnya bisa, kalau kurir berangkat besok. Apa lagi kalau hari ini. Perahu Sungai milik Nusakambangan kan pangkalannya di muara Sungai Ciserayu, di tepi Teluk Penyu. Sering sih beroperasi naik ke hulu. Hanya belum pernah sampai ke Kaliwedi. Tapi untuk kepastian, sepertinya perlu waktu delapan hari sejak hari ini,” jawab Sekarmenur.
Ki Patih mengucapkan terimakasih kepada peserta pertemuan. Lalu menutup rapat dan menugaskan Tumenggung Maresi untuk menindaklanjuti kesepakatan dan rencana-rencana yang sudah diputuskan hari itu.
Sekarmenur cepat-cepat kembali ke kamarnya di Taman Kaputren untuk mempersiapkan surat yang akan disampaikan kepada Tumenggung Surengpati. Dia adalah orang kepercayaan Sekarmenur. Tumenggung Surengpati pula yang selama ini ditugaskan menangani roda pemerintahan Kadipaten Nusakambangan selama Sekarmenur, Sekarmelati, Sekarcempaka dan Wirapati di Kadipaten Pasirluhur.
Dengan menggunakan kertas dan alat-alat tulis yang disediakan Tumenggung Maresi Sekarmenur menulis sepucuk surat kepada orang kepercayaannya di Nusakambangan. Wirapati menunggu Sekarmenur yang sedang menulis surat. Dia duduk di teras bekas kamar Sang Dewi di Taman Kaputren. Memang selama tinggal di Kadipaten Pasirluhur, Sekarmenur menempati kamar yang dulu dipakai Sang Dewi sebelum Sang Dewi pindah ke Puri Permatabiru.
Hubungan Sekarmenur dengan Wirapati, termasuk belum lama. Kadang-kadang ada perasaan berdosa dalam diri Sekarmenur. Sebab dialah dulu yang membantu Nyai Gede Wulansari memaksa Dyah Ayu Niken Gambirarum minum cairan yang membuat kekasih Wirapati itu pingsan. Dan akhirnya meninggal. Posisi dirinya waktu itu serba sulit. Anehnya, dia masih sering mimpi bertemu dengan Dyah Ayu Niken Gambirarum. Dalam setiap mimpinya itu Dyah Ayu Niken Gambirarum tidak sendirian, tetapi datang berdua dengan Raja Pulebahas yang memang dikenalnya dengan baik. Bahkan Sang Raja hampir saja menjadi kakak iparnya, jika dulu Sang Raja mengijinkan pernikahan dirinya dengan adik Sang Raja, Patih Puletembini.
Sebenarnya Sekarmenur tahu, bahwa Dyah Ayu Niken Gambirarum sudah menjadi istri Sang Raja Pulebahas. “Tetapi andaikata Dyah Ayu Niken Gambirarum tidak pingsan dan tewas, Putri Adipati Kalipucang itu pasti benar-benar menjadi permaisuri Raja Pulebahas,” pikir Sekarmenur. Dan dirinya mungkin sudah menjadi istri Patih Puletembini, adik Sang Raja.
Hubungan yang serius dirinya dengan Wirapati terjadi satu minggu setelah Wirapati menemaninya dalam acara ritual pembakaran mayat Raja Pulebahas. Upacara pembakaran mayat Raja Nusakambangan dilakukan bersama-sama dengan mayat Patih Puletembini, Tumenggung Surajaladri, dan Rangga Singalaut di Padepokan Batu Putih, dekat muara Sungai Ciserayu.
Mungkin karena hubungan yang belum terlalu lama itu, Sekarmenur sering merasa Wirapati, belum bisa melupakan kekasihnya yang lama. Dia sendiri sering iri, jika melihat kemesraan yang ditunjukkan Sang Dewi dalam hubungannya dengan Kamandaka. Bahkan sebelum menikah pun, Kamandaka sudah menunjukkan kemesraannya di depan umum. Tidak jarang baik Sang Dewi maupun Kamandaka, berani berciuman di depan adik-adiknya.
Bagi Sekarmenur Patih Puletembini dirasakan lebih sering menunjukkan sikapnya yang sangat mesra kepada dirinya. Bahkan Patih Puletembini berani bersikap mesra kepada dirinya, sekalipun di depan Sang Raja. Sebaliknya sikap mesra Wirapati kepada dirinya, dirasakannya hanya sekedarnya saja. Bahkan Wirapati belum berani mencium atau pun merayu dirinya. Padahal sebagai seorang wanita, dia akan senang jika Wirapati berani merayunya. Memang dia merasa sering sangat formal dalam hubungan sehari-hari dengan siapa saja, karena dia pernah menjadi komandan tentara wanita, sehingga tradisi disiplin, lugas, tegas, dan tanpa basa-basi, sering muncul pada dirinya. [bersambung].

1 komentar:

  1. https://www.agensabungayam.site/jadwal-sabung-ayam-update-27-april-2019
    jadwal sabung ayam s128 selalu update dengan memberikan jadwal permainan taruhan sabung ayam s128
    WA : +628122222995
    Line: cs_bolavita

    BalasHapus