“Kasihan
benar Putri Ayunglarang Sakean,” kata
Sang Dewi.
“Lebih
kasihan lagi, karena setelah menerima surat penolakan cinta, Putri Ayunglarang
Sakean, paginya langsung bunuh diri dengan menerjunkan dirinya ke Sungai
Ciliwung,” kata Kamandaka mengakhiri kisah malang seorang putri yang masih
saudaranya juga. Kamandaka, Sang Dewi, Mayang Sari, dan Ratna Pamekas, terdiam
beberapa saat.
“Sesungguhnya,
kalau Kanda Amenglayaran boleh punya istri seperti seorang pendeta Islam, Aku
akan carikan,” kata Kamandaka setelah semuanya
lama terdiam.
“Mana ada
istilah pendeta dalam agama Islam? Bukankah
kata Dimas Arya Baribin, dalam agama Islam tidak dikenal istilah
pendeta. Yang ada adalah ulama, yang berarti orang yang paham agama Islam. Dia
kadang-kadang mempunyai gelar Syekh, Ustad, Sunan, atau Kiyai,” kata Sang Dewi.
“Wah, aku
malah sudah lupa,” kata Kamandaka.
“Aku juga hanya
dengar dari Dimas Arya Baribin,” kata Sang Dewi, ”Praktek peribadatan dalam
agama Islam mudah, murah, tidak memberatkan, dan bisa dilaksanakan sendiri secara mandiri,
tidak mengenal kasta, karena semua manusia di hadapan Tuhan dianggap sama. Dan
mereka tidak mengenal dewa-dewa untuk disembah. Mereka hanya menyembah dan
memohon pertolongan kepada satu-satunya Tuhan mereka, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa, yang mereka sebut Allah.”
“Aku jadi
ingin tahu lebih banyak soal agama yang baru itu, Diajeng,” kata Kamandaka.
Perbincangan terhenti saat ada rombongan tamu datang untuk menyampaikan ucapan
selamat kepada kedua mempelai yang berbahagia itu.
Seluruh
penduduk Kadipaten Pasirluhur menyambut penobatan Kamandaka dan Sang Dewi sebagai
pergantian kepemimpinan di Kadipaten Pasirluhur yang menggembirakan. Adipati
yang baru dengan istrinya dianggap akan mampu mewujudkan masa depan
yang lebih cerah, aman, sejahtera, lebih makmur, dan lebih berkelimpahan.
Lebih-lebih karena penduduk tahu, Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati yang
baru dinobatkan itu, merupakan pasangan serasi, ideal, dan memiliki sejumlah
keunggulan yang jarang ada bandingannya.
Apalagi
pada saat upacara pernikahan dan penobatan kedua pasangan yang tampan dan
cantik itu, bintang Kejora tiap sore menjelang matahari terbenam sudah muncul.
Cahayanya yang indah tampak kemilau di atas kaki langit sebelah barat daya.
“Bintang
Kejora melambangkan kemakmuran, kejayaan, dan kehidupan yang berkelimpahan bagi
Kadipaten Pasirluhur di waktu yang akan datang, Kanjeng Adipati,” kata Ki Patih
pada saat berbincang-bincang dengan Kanjeng Adipati Sepuh Kandhadaha dan
Kanjeng Ayu Adipati Sepuh di halaman Pendapa Kadipaten. Mereka berdiri sambil
menatap bintang paling cemerlang yang ada di atas kaki langit sebelah barat
daya itu. Para tamu yang hadir sudah agak berkurang, sebab sudah hari ke-enam.
“Mangsa
apakah sekarang, Ki Patih?” tanya Kanjeng Ayu Adipati Sepuh. Dia tahu Ki Patih menguasai ilmu perbintangan
yang memadai.
“Sekarang
mangsa Kaso, Kanjeng Ayu. Pesta dan upacara pernikahan dan penobatan Ananda
Raden Kamandaka Banyakcatra dan Ananda Sang Dyah Ayu Dewi Ciptarasa, terjadi pada waktu yang
tepat,” kata Ki Patih. Dia ikut bangga karena anak angkatnya itu akhirnya
berhasil menyunting putri Kanjeng Adipati Kandhadaha. Dengan demikian Ki Patih
merasa telah menjadi besan Kanjeng Adipati pula.
“Kedua
mempelai yang sedang berbahagia itu, pada mangsa Kaso ini berada dalam
lindungan Batara Antaboga dan Dewi
Nagagini, Kanjeng Ayu,” kata Ki Patih
pula.mulai mengeluarkan Ilmu firasat dan watak yang dikuasainya.
“Watak
Ananda Kamandaka memang seperti Batara Antaboga,” kata Ki Patih melanjutkan.
“Cita-citanya tinggi, kadang-kadang muluk-muluk, gemar pada proyek-proyek
mercusuar, tetapi cenderung boros, tidak bisa memegang uang, mudah jatuh hati,
dan menaruh simpati kepada orang yang dianggapnya menderita. Sementara itu,
Ananda Sang Dyah Ayu Dewi, punya watak
sebaliknya yang bisa menutupi kelemahan suaminya.”
“Sang Dewi itu, cerdas, tegas, teliti, pandai memegang
harta benda dan uang, tidak boros, tetapi juga gemar menolong seseorang yang
memang pada tempatnya untuk ditolong. Sang Dewi paling benci pada orang yang
tidak jujur, suka ingkar janji, pemalas, dan orang yang ingin mencapai hasil,
tetapi dengan cara-cara yang mudah, atau malah dengan cara-cara yang curang.
Itulah watak Dewi Nagagini. Itu sebabnya Dewi Nagagini sangat mengagumi Bima,
karena watak Bima cenderung jujur,
lurus, ulet, dan pejuang pantang
menyerah. Disamping itu mangsa Kaso dilukiskan dengan kata-kata simbolis,
’Sotya Murca Ing Embanan’. Artinya permata lepas dari cincin pengikatnya. Alam
semesta melepaskan atau menurunkan kebahagiaan dan keberlimpahan kepada umat
manusia. Pertanda dan alamat baik, Kanjeng Ayu.” kata Ki Patih pula.
“Bagaimana
menurut Ki Patih kesetiaan mempelai pria kepada mempelai putri?” tanya Kanjeng
Ayu Adipati Sepuh masih penasaran.
“Kesetiaannya
tak perlu diragukan. Tak mungkin Ananda
Kamandaka berpaling kepada wanita lain. Bagi Ananda Kamandaka, Ananda
Dewi adalah segalanya. Istri, kekasih, sekaligus sahabat dan bayangan Ibunya, tidak
mungkin ada yang bisa menggantikannya. Ananda Dewi juga pandai mengendalikan
suaminya, sehingga kecil kemungkinan Ananda Kamandaka bisa selingkuh mencari
wanita idaman lain. Ki Patih yakin, Ananda Kamandaka tak akan berani selingkuh,
di samping karena cintanya yang tulus kepada Ananda Dewi,” jawab Ki Patih
mantap, membuat Kanjeng Ayu Adipati Sepuh tersenyum, sangat puas, gembira, dan
bahagia.
Dia percaya
sepenuhnya apa yang dikatakan Ki Patih yang ahli ilmu firasat dan ahli membaca
watak manusia itu. Kanjeng Adipati Sepuh dan Kanjeng Ayu Adipati Sepuh, tidak
perlu cemas terhadap masa depan Kadipaten Pasirluhur, setelah keduanya lengser
dengan rela, ikhlas, dan penuh suka cita itu. Alih generasi dan proses
pergantian kepemimpinan Kadipaten Pasirluhur berjalan aman, lancar, dan alami.
Kanjeng Ayu
Adipati Sepuh memang selalu mengingatkan
suaminya, bahwa setiap orang yang berjalan menuju puncak karir, langkah
berikutnya yang harus dilalui tidak ada jalan
lain kecuali melangkah turun. Melepaskan jabatan yang pernah
digenggamnya. Dan menyerahkannya kepada generasi baru penggantinya.
“Aku selalu
ingat nasihatmu, Diajeng,” kata Kanjeng Adipati Kandhadaha saat akan melepaskan
jabatan sebagai Adipati.
“Nasihat?
Aku malah sudah lupa, Kanda Adipati”
“Bukankah
Diajeng pernah menceriterakan Kisah Perjalanan Sri Kresna dan Sadewa, setelah
Perang Bharatayudha selesai?”
Kanjeng Ayu
Adipati Sepuh lalu ingat ceritera itu. Alkisah, Sadewa mengikuti Sri Kresna
yang Kerajaannya hancur diamuk badai dan ditenggelamkan ke dasar samudra.
Dengan sedih Sri Kresna melangkah pergi diikuti Sadewa yang segera bertanya, ”Kanda
Prabu, kemanakah gerangan Kanda Prabu hendak pergi?”
“O, Adikku
Sadewa. Hidup di dunia ini sebenarnya adalah sebuah perjalanan dan pendakian.
Apakah yang harus dilakukan oleh seseorang yang telah jauh melangkah dan mendaki tinggi sampai di puncak
pendakiannya?”
Sadewa menjawab,
”Duh, Kanda Sri Batara Kresna. Orang
harus terus berjalan sebagaimana hidup ini mengharuskannya. Oleh sebab itu
sekalipun seseorang dalam perjalannya sudah mencapai puncak pendakian. Tetapi oleh karena dia harus terus berjalan, maka
tidak ada pilihan lain. Baginya hanya ada satu-satunya jalan yang
harus dipilihnya, yaitu melangkah turun!” Kanjeng Ayu Adipati Sepuh
tersenyum ketika ingat ceritera itu lalu berkata kepada suaminya,
”Ya, Aku
ingat ceritera itu, Kanda Adipati.”
Kanjeng Adipati
Sepuh Kandhadaha lalu memeluk istrinya sambil berbisik dengan kata-kata lembut
tapi mantap, ”Diajeng, dampingi aku
selalu agar perjalanan turun kita dari
puncak pendakian senantiasa berlangsung selamat, salam, dan bahagia.”
Kanjeng Ayu
Adipati Sepuh menganggukkan kepalanya dengan mata berkaca-kaca. Dia bangga
karena suaminya ikhlas melepaskan tahta Kadipaten Pasirluhur kepada
penggantinya yang lebih muda, Raden Kamandaka
Banyakcatra dan Sang Dyah
Ayu Dewi Ciptarasa.[Tamat,Episode-1,12-12-2017]