Jika orang biasa, perjalanan
dari Pakuan ke Tatar Ukur dengan menunggang kuda memerlukan waktu enam hari.
Tetapi karena Banyakcatra seorang ksatria yang pandai menunggang kuda, setelah
menempuh perjalanan dua hari, pada sore harinya dia telah sampai di tepi hutan
Raja Mandala dan telah berhasil menyeberang Sungai Citarum.
Dipandangnya matahari
sudah sangat condong ke barat, tidak lama lagi malam akan segera tiba untuk
menyelimuti bumi. Banyakcatra segera mencari rumah penduduk untuk bermalam. Esok
paginya pada hari ketiga, Banyakcatra akan meneruskan perjalannya. Diperkirakan
menjelang tengah hari dia sudah akan tiba di Tatar Ukur. Dari sana perjalanan
ke lereng Gunung Tangkuban Perahu bisa ditempuh hanya dalam beberapa jam. Sebelum
sore, Banyakcatra akan tiba di Padepokan Ki Ajar Wirangrong.
Esok harinya tepat
ketika matahari sedang berada di atas kepala, Banyakcatra sudah tiba di Tatar Ukur
yang kelak menjadi Tatar Bandung. Dia meninggalkan hutan Raja Mandala pagi-pagi
benar, sebelum matahari terbit. Jarak Raja Mandala-Tatar Ukur tidak terlalu
jauh. Tetapi, jalannya berkelak kelok terkadang agak licin dan menyusuri lereng-lereng
bukit kapur dengan gua pawonnya, menyebabkan kuda tidak bisa dipacu dengan
cepat.
Dari Tatar Ukur
Banyakcatra memacu kudanya ke arah utara. Gunung Tangkuban Perahu yang membujur
dari arah barat ke arah timur itu terlihat bagaikan perahu raksasa tengah
ditengkurabkan di muka bumi oleh para dewa. Aroma belerang berasal dari
kepundan kadang menyinggahi hidung Banyakcatra, terbawa angin gunung yang
bertiup menuruni lereng sebelah selatan menyebar ke seluruh lembah Jaya Giri
yang subur.
Gunung Tangkuban Perahu
sejak jaman dahulu dianggap sebagai salah satu gunung yang disucikan. Sri
Baginda Prabu Siliwangi telah mengukuhkan wilayah Lembah Tangkuban Perahu
lereng selatan sebagai lemah dewasana, lemah
kawikuan, atau tanah perdikan
yang dibebaskan dari kewajiban membajar pajak dan upeti kepada raja. Di sisi
timur lereng Tangkuban Perahu terdapat semacam ngarai yang sangat indah. Tidak
jauh dari sana Ki Ajar Wirangrong mendirikan padepokan yang diberi nama Padepokan
Sangkuriang.
Ki Ajar Wirangrong
adalah mantan perwira komandan pasukan pilihan Kerajaan Galuh yang pernah
mengabdikan dirinya pada Raja Galuh Rahyang Niskala Wastu Kancana. Padepokan
Sangkuriang didirikan sebagai bentuk pengabdian Ki Ajar Wirangrong untuk
mendidik para ksatria Kerajaan Sunda menjadi ksatria yang tangguh di bidang
olah keprajuritan, seni bela tanah air, dan seni bela diri. Para cantriknya
juga dididik hidup mandiri dengan mengolah tanah-tanah pertanian subur yang
terhampar di kaki Gunung Tangkuban Perahu.
Pada waktu masih muda,
Ki Ajar Wirangrong juga bersahabat bahkan sempat menjadi teman seperguruan Ayah
Sri Baginda, Rahyang Dewa Niskala. Mereka berdua kemudian berpisah untuk menempuh
jalan takdirnya masing-masing. Ki Ajar Wirangrong mendirikan padepokan untuk
mendidik para ksatria Galuh, sedangkan Rahyang Dewa Niskala mendirikan Kerajaan
Pajajaran di Pakuan.
Ki Ajar Wirangrong kemudian
dipercaya oleh Sri Baginda menjaga gunung suci Tangkuban Perahu, sekaligus
menyelenggarakan upacara-upacara keagamaan yang dilakukan di puncak Gunung yang
ditujukan kepada Dewa Syiwa. Ki Ajar Wirangrong adalah seorang brahmana mantan
ksatria yang tekun dalam mendalami kitab-kitab suci agama, menguasai yoga, dan
gemar menjalankan tapa brata untuk meningkatkan ketajaman mata batin dan
kualitas spiritualnya.
Di padepokannya banyak
berdatangan para cantrik dan mentrik dari berbagai kawasan di wilayah Pajajaran.
Banyak pula putra adipati yang sengaja datang dari tempat jauh untuk menimba
ilmu di Padepokan Ajar Wirangrong. Para Adipati sendiri tidak sedikit yang sengaja
menyempatkan diri mengunjungi Padepokan Ajar Wirangrong untuk meminta saran dan
petunjuk bermacam hal. Biasanya yang ditanyakan adalah hal-hal yang berkaitan
dengan ajaran suci, seperti praktek penyelenggaraan acara-acara ritual
keagamaan. Tetapi tidak jarang mereka bertanya tentang masalah-masalah yang
berkaitan dengan kepentingan pribadi para adipati. Semua itu menunjukkan bahwa
Ki Ajar Wirangrong memang seorang brahmana mantan ksatria yang mumpuni dan
disegani serta dianggap memiliki daya lebih dari seorang brahmana yang
disayangi para dewa. Sore itu Ki Ajar Wirangrong memanggil salah seorang
cantrik kepercayaanya.
“Cantrik, sebentar lagi
akan datang seorang tamu yang sekarang sedang dalam perjalanan menuju ke sini.
Dia adalah seorang ksatria muda. Siapkanlah tempat bermalam untuk beristirahat,
jamuan makan malam, dan keperluan lainnya. Setelah selesai makan antarkan dia
menemui aku di beranda samping bangsal pertemuan. Tugaskan salah seorang
temanmu untuk menjemputnya di gerbang padepokan,” ujar Ki Ajar Wirangrong
memberi perintah.
“Baik Yang Mulia Bapa
Wiku, hamba akan segera laksanakan,”
jawab Cantrik jaga lalu segera mundur dari hadapan Ki Ajar. Ketika dua
orang cantrik jaga bergegas ke pintu gerbang akan melaksanakan perintah Ki
Ajar, seorang ksatria tampan, bertubuh kekar, dan berwajah cemerlang, sudah
turun dari kudanya hendak masuk ke dalam gerbang.
“Selamat sore Raden,
ada salam dari Ki Ajar Wirangrong. Hamba ditugaskan untuk menjemput Raden.
Marilah ikuti hamba, Raden,” ujar salah seorang cantrik dengan cekatan, kemudian
mengantarkan Banyakcatra ke pondokan untuk beristirahat. Cantrik yang lain
menuntun kuda Banyakcatra dan dibawanya ke tempat penambatan.
“Sampaikan salam
kembali kepada Yang Suci Eyang Ajar Wirangrong, Cantrik. Sampaikan pula terima kasihku
atas segala keramahtamahan yang aku terima, yang belum tentu aku bisa membalas
segala budi mulianya,” jawab Banyakcatra sambil berjalan mengikuti cantrik
penjemput tamu itu, menuju asrama yang khusus disediakan untuk para tamu
padepokan yang hendak bermalam.
Banyakcatra kagum
dengan keramahtamahan penyambutan kepadanya. Sambil berjalan melewati sejumlah bangunan
komplek padepokan yang teratur dan tertata dengan baik itu, dia berkata di dalam benaknya, ”Sungguh Ki
Ajar Wirangrong seorang brahmana kekasih dewa. Dia dianugerahi ilmu yang luar
biasa. Dari mana dia tahu kedatanganku? Adakah Ayahanda memberitahukannya?”
Sebuah pertanyaan yang
akhirnya lenyap sendiri karena dia tidak bisa menjawabnya. Yang muncul kemudian
adalah rasa hormat dan kagum kepada Ki Ajar yang dipandangnya sebagai seorang
brahmana berilmu tinggi. Tidak salah bila ayahnya menyuruhnya menghadap guna
memohon petunjuk, di manakah gerangan ada seorang gadis cantik mirip ibundanya.
***
Sekalipun baru saja
menempuh perjalalanan jauh, Banyakcatra tidak merasa lelah. Lebih-lebih setelah
mandi air hangat di pancuran di belakang padepokan. Dia merasakan tubuhnya
semakin segar. Di lereng Gunung Tangkuban Perahu banyak ditemukan sumber mata
air hangat mengandung belerang. Dari sumber mata air itulah, melalui
buluh-buluh bambu, air hangat dialirkan ke belakang pedepokan untuk keperluan
mandi para cantrik dan penghuni padepokan lainnya. Air hangat yang mengandung
belerang itu dipercaya berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit
kulit, menyegarkan tubuh, dan meremajakan sel-sel kulit, sehingga mereka yang
sering mandi air hangat itu akan selalu tampak muda. Diam-diam Banyakcatra
ingat legenda Danyang Sumbi yang tubuhnya selalu muda tidak termakan usia.
“Bisa jadi karena
Danyang Sumbi itu rajin mandi di pancuran air hangat berkhasiat meremajakan
kulit yang banyak ditemukan di lereng Gunung Tangkuban Perahu. Wajar saja jika
Sangkuriang setelah puluhan tahun berpisah, tidak lagi mengenali wajah Ibunya
yang tetap awet muda dan cantik jelita. Tetapi sungguh aneh dan mustahil Sangkuriang yang maha sakti itu sampai tidak
tahu bahwa Danyang Sumbi adalah ibunya sendiri,” gumam Banyakcatra di dalam
hati.
“Jangan-jangan
sebenarnya Sangkuriang sudah tahu. Sangkuriang ingin menikahi Danyang Sumbi
yang cantik jelita, sekalipun wanita itu Ibunya sendiri. Wajar jika dewa tidak
mengijinkannya. Keinginan Sangkuriang itu jelas melanggar ajaran suci. Tetapi
Danyang Sumbi memang pantas dihukum para dewa. Sebab Danyang Sumbi memilih menguji
kesaktian Sangkuriang dari pada berterus terang menjelaskan kepada Sangkuriang,
siapa sebenarnya dirinya. Danyang Sumbi minta Sangkuriang membuatkan sebuah
perahu dan danau buatan dengan cara membendung Sungai Citarum yang harus
diselesaikan hanya dalam waktu semalam.”
Kisah
Sangkuriang-Danyang Sumbi terus berkecamuk di benak Banyakcatra saat dia mandi
di bawah pancuran. Entah mengapa Banyakcatra ingin tahu lebih mendalam makna
tersembunyi di balik kisah cinta tidak sampai antara anak dan ibunya itu. Dia
pun menduga, bisa jadi itulah maksud ayahnya menyuruh agar dirinya menemui Ki Ajar Wirangrong.
Sangkuriang akhirnya
marah. Danyang Sumbi yang menolak cinta Sangkuriang, dikejarnya. Saat hendak tertangkap,
dewa menyelamatkan sekaligus menghukum Danyang Sumbi dengan mengubahnya menjadi
sebuah gunung. Itulah sebabnya penduduk di Tatar Ukur menyebut gunung itu,
Gunung Putri, gunung yang dipercaya sebagai jelmaan Danyang Sumbi.
Sangkuriang pun murka
bukan main. Perahu hasil ciptaannya yang sedang berlabuh di tepi danau buatan
hasil membendung Sungai Citarum dengan bantuan jin itu ditendangnya hingga
terbang dan jatuh ke arah utara. Perahu itu pun berubah menjadi Gunung Tangkuban
Perahu. Batu pembendung Sungai Citarum pun ditendangnya ke arah timur, hingga menjelma
menjadi Gunung Manglayang. Sumbat bendungan dirusak oleh Sangkuriang, sehingga
terbentuklah saluran Sungai Citarum yang menembus kaki gunung yang disebutnya
Sang Hiyang Tikoro. Melalui saluran Sang Hiyang Tikoro itulah danau buatan itu
surut kembali.
Sangkuriang benar-benar
sangat kecewa dan putus asa. Impiannya
bisa berlayar ke tengah Danau Bandung
untuk bermain asmara di atas perahu di tengah danau buatannya, berantakan
seketika karena ulah Danyang Sumbi. Dalam keputusasaannya dan dirundung cinta
berat, Sangkuriang pun lenyap ditelan bumi di tengah hutan di Tatar Ukur.
Rakyat di sekitar Tatar Ukur kemudian mempercayai tempat lenyapnya Sangkuriang
itu dengan memberi nama Ujung Beurung.
“Sesungguhnya Gunung
Tangkuban Perahu adalah simbol seorang wanita sedang tertelungkup sehingga
tidak bisa diajak bermain cinta oleh siapa pun. Bukankah perahu itu simbol dari
wanita dalam kepercayaan bangsa apa pun?” Banyakcatra tersenyum sendiri saat
memikirkan itu semua. Pikirannya tentang legenda itu terus terbawa sampai ke
kamar pondokannya setelah selesai mandi. Pergulatan di dalam benak Banyakcatra
tentang hubungan cinta Sangkuriang–Danyang Sumbi, baru terputus saat di
depannya terlihat hidangan santap malam yang telah disediakan seorang cantrik.
Usai santap malam,
seorang cantrik menghampirinya dan memberitahu bahwa Ki Ajar telah menunggunya
di beranda dekat bangsal pertemuan. Beranda itu merupakan tempat khusus
menerima para tamu yang akan bertemu dengan Ki Ajar.
“Cucunda Banyakcatra
menyampaikan sembah bakti, Yang Suci Eyang Ajar Wirangrong, teriring salam dari
Ayahanda Sri Baginda di Keraton Pajajaran,” ujar Banyakcatra dengan takzim
menyampaikan salam hormat kepada Ki Ajar Wirangrong yang duduk di depannya.
Mereka hanya duduk
berdua di beranda samping bangsal pertemuan, tempat biasanya Ki Ajar menemui
tamu-tamunya. Tidak jauh dari mereka berdua ada seorang cantrik bertugas
menjaga nyala api dari sebuah tungku, sehingga meskipun udara malam di luar
dinginnya terasa seperti mencubiti kulit, tetapi di beranda tetap terasa hangat.
“Salam bakti Cucu,
Eyang terima dengan baik. Demikian pula salam dari Sri Baginda di Pajajaran. Ada persoalan berat apakah gerangan
Cucu hadapi, hingga jauh-jauh dari Pajajaran mengunjungi Eyang di sini?”
“Ampunilah cucunda Eyang
Wiku, cucunda telah merepotkan Eyang. Cucunda tahu, Eyang Wiku niscaya sudah
tahu persoalan rumit yang membelit cucunda. Hanya pertolongan dari Eyang Wiku
yang bisa menyelamatkan nasib cucunda yang malang ini, Eyang,” ujar
Banyakcatra. “Cucunda ingin langsung pada persoalan saja, Eyang. Cucunda telah
jatuh cinta pada seorang gadis. Tetapi cucunda
sendiri tidak tahu di mana gadis itu berada. Gadis itu selalu muncul dalam
benak cucunda, wajah
dan perilakunya sungguh mirip sekali dengan mendiang Ibunda. Cucunda sudah
bertekad untuk menemukan gadis mirip wajah Ibunda yang senantiasa muncul dalam
benak dan pikiran cucunda.
Cucunda bahkan telah bersumpah tidak akan berumah tangga dengan seorang gadis
manapun, bila gadis itu tidak mirip Ibunda. Itulah yang membuat Ayahanda juga
bingung. Kiranya hanya Eyang Wiku yang tahu di mana gerangan gadis yang
wajahnya mirip Ibund berada? Cucunda memohon dan menunggu petunjuk dari Eyang
Wiku.”
Ki Ajar langsung
tersenyum mendengar penuturan Banyakcatra yang disampaikan secara langsung dan
terus terang, tidak berlika-liku, dan terkesan cerdas.
“Cucuku, kamu sebenarnya
cukup pantas menjadi pengganti Ayahmu kelak menduduki singgasana Kerajaan
Pajajaran. Tetapi Cucuku, kamu telah memilih takdirmu sendiri. Sekalipun begitu
Cucuku, kamu adalah seorang ksatria sejati, karena kamu lebih suka memilih
cinta dari pada tahta. Gadis yang kamu cari itu memang sudah ditakdirkan akan menjadi
pendamping hidupmu. Tetapi jalan untuk mendapatkannya bukan jalan yang mudah.
Gadis yang mirip Ibumu itu bernama Dewi Ciptarasa, putri bungsu Adipati Kadipaten
Pasirluhur di lereng selatan Gunug Agung sebelah timur Sungai Citanduy. Untuk
menaklukan gadis idaman hatimu itu, hanya ada satu cara, kamu harus melakukan
penyamaran sebagai orang biasa saja. Tentu tidak mudah sebagai orang biasa ingin meraih cinta seorang putri adipati berwajah cantik.”
“Tetapi justru itulah
pria idaman Dyah Ayu Dewi Ciptarasa. Dengan melamar sebagai ksatria putra raja,
peluang lamaran Cucu ditolak justru cukup besar. Sudah banyak adipati dan putra
adipati ingin menyunting gadis cantik yang wajahnya mirip Ibumu itu. Tetapi
tidak satu pun lamaran diterimanya.”
“Terima kasih Eyang
Wiku, cucunda sangat
berhutang budi kepada Eyang Wiku atas segala petunjuk yang sangat berguna.
Apakah kelak dewa akan mengutuk cucunda,
karena cucunda
hanya ingin menikah dengan seorang wanita yang wajahnya mirip dengan Ibunda,
Eyang Wiku?”
“Tidak usah khawatir,
Cucuku. Kamu bukan Sangkuriang dan Dewi Ciptarasa juga bukan Danyang Sumbi.
Kamu dan Dewi Ciptarasa sama sekali tidak ada hubungan darah. Cucuku tentunya
ingat kisah Sangkuriang-Dayang Sumbi, bukan?”
Banyakcatra mengangguk
membenarkan Ki Ajar Wirangrong yang tak pernah meleset itu. “Benar, Eyang Wiku.
Terkadang hati kecil cucunda
sedikit cemas memikirkan masalah itu.”
“Pada jaman dulu,
penduduk di sekitar wilayah ini banyak yang melakukan perkawinan sedarah karena
ketidaktahuan mereka. Untuk mencegah terjadinya perkawinan sedarah itulah kisah
Sangkuriang diciptakan orang, sebagai nasihat dan sekaligus peringatan agar
penduduk jangan melakukan perkawinan sedarah yang dilarang ajaran suci.
Dinamakan Tangkuban Perahu karena perahu itu simbol wanita. Perahu yang dalam
keadaan tengkurap pastilah tidak bisa dinaiki oleh seorang nelayan manapun,
sekalipun nelayan tadi sesakti Sangkuriang. Apabila dilanggar, pastilah akan
mendapat murka para dewa. Sedangkan kamu, Cucuku, tidak ada hubungan darah
dengan Dewi Ciptarasa. Karena itu dewa tidak akan mengutukmu, malah akan
memudahkan usahamu, jika kamu tetap melaksanakan ajaran suci yang merupakan
petunjuk para dewa. Janganlah kamu melakukan hubungan badan dengan seorang
wanita yang belum secara sah menjadi istrimu,” kata Ki Ajar Wirangrong memberi
nasihat.
Banyakcatra merasa
tenteram dan tenang setelah mendapat petunjuk dari Ki Ajar Wirangrong.
Semangatnya semakin berkobar-kobar ingin segera meneruskan perjalanan ke
Kadipaten Pasirluhur. Malam itu Banyakcatra tidur pulas dipondokannya dipeluk
udara dingin berkabut yang menyelimuti seluruh penghuni Padepokan Sangkuriang.
[ Bersambung]