Pagi hari itu
amat cerah. Matahari sudah naik lebih dari sepenggalah. Burung kutilang, emprit,
dan prenjak berloncat-loncatan kian kemari dari satu dahan ke dahan lain.
Daun-daun pepohonan yang tumbuh di halaman Kadipaten Pasirluhur, bergerak-gerak
pelan ditiup angin pagi. Di Pendapa Kadipaten, Ki Patih memimpin pertemuan
terbatas untuk menindaklanjuti pesan Kanjeng Ayu Adipati yang akan melakukan
bulan madu melayari Sungai Ciserayu sampai muaranya. Kemudian dari sana akan
dilanjutkan ke Adireja dan Nusakambangan. Wirapati, Sekarmenur, Silihwarna, dan
Arya Baribin sengaja diundang untuk menghadiri rapat. Ki Patih didampingi
Tumenggung Maresi dan wakilnya Jigjayuda.
“Tumenggung
Maresi, dari rombongan Kanjeng Ayu Adipati, berapa orang akan ikut?” tanya Ki
Patih.
“Kanjeng Adipati
dan Kanjeng Ayu Adipati. Kanjeng Adipati Sepuh dan Istrinya, sudah 4 orang.
Tambah Khandegwilis, sudah 5 orang. Ki Patih, mau ikut?” Tumenggung Maresi
balik bertanya kepada Ki Patih.
“Ki Patih mau
jaga Pendapa saja. Tumenggung Maresi dan Jigjayuda saja yang akan mengawal
Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati. Kanjeng Adipati Sepuh sudah Ki Patih
tanya, tidak akan ikut. Katanya dengan Kanjeng Ayu Adipati Sepuh ada acara mau
ke Cirebon,” kata Ki Patih.
“Baiklah kalau
begitu. Berarti jumlahnya tetap 3 orang dengan 2 pengawal pribadi, semuanya
sudah 5 orang. Siapa lagi yang akan ikut, Ndara Wirapati?” tanya Tumenggung
Maresi.
“Dinda Silihwarna
dan Dimas Arya Baribin. Dinda Sekar Menur dan dua adiknya, Dinda Mayangsari dan
Dinda Ratna Pamekas, jadi ditambah 7 orang,“ kata Wirapati menghitung
orang-orang yang akan ikut menemani Kanjeng Ayu Adipati.
“Kanda Wirapati?
Belum dihitung. Kasihan Ayunda Sekarmenur jika tak ada yang mengawal,” kata
Silihwarna mengingatkan. Sekarmenur yang duduk di samping Wirapati tertawa
mendengar olok-olokan Silihwarna.
“Kalau tidak ada
yang mengawal, ya mengawal diri sendiri,” kata Sekarmenur.
“Tenang saja
Ayunda, masih ada Tumenggung Silihwarna yang bisa mengawal,” Silihwarna mulai
menggoda.
“Lho, nanti Dinda
Mayangsari marah,” kata Sekarmenur.
“Ya, tidaklah.
Kan yang dikawal dua-duanya, Ayunda Sekarmenur dan Dinda Mayangsari,” jawab
Silihwarna.
“Lho, Ndara
Wirapati mau kemana?” tanya Tumenggung Maresi heran.
“Ya, mau ikut
dalam rombongan. Mana tahan Kanda Wirapati sendirian ditinggal Ayunda
Sekarmenur?” kata Silihwarna.
“Ah, Dinda
Silihwarna ada-ada saja. Gara-gara lupa menghitung diri sendiri. Memang aku
yang salah. Jadi tambahan yang ikut bukan 7 orang. Tetapi 8 orang,” kata
Wirapati sambil tersenyum, menyadari kesalahannya dirinya, yang menghitung
malah tidak dihitung.
“Oh, iya lupa.
Pendeta Muda, katanya mau ikut. Tambah 1 jadi 9 orang,” kata Wirapati.
“Tambah Nyai
Kertisara dan Rekajaya, 2 orang. Total jumlah rombongan, 5 tambah 9 tambah 2,
semuanya 16 orang. Tambah pasukan pengawal umum 11 orang sudah dengan komandan.
Jadi semuanya 27 orang. Bisa dibawa dengan berapa perahu, Ndara?” tanya Tumenggung
Maresi , kepada Wirapati, setelah menghitung dengan teliti.
“Dinda
Sekarmenur, berapa perahu yang akan dikirim untuk membawa 27 orang?” tanya
Wirapati.
“Aku lihat satu
perahu Nyai Kertisara bisa membawa 6 penumpang. Jadi perahu untuk 11 orang pasukan
pengawal cukup 2 perahu baru milik Nyai Kertisara. Untuk yang 16 orang aku akan
kirimkan 2 perahu sungai, tiap 1 perahu muat 8 orang,” jawab Sekarmenur.
“Jadi
kesimpulannya kebutuhan perahu, seluruhnya hanya perlu 2 perahu baru milik Nyai
Kertisara dan 2 perahu dari Nusakambangan. Tukang sauh dicarikan dari
Nusakambangan yang sudah berpengalaman. Betul Ndara Ayu Sekarmenur?” tanya
Tumenggung Maresi setelah menghitung kembali kebutuhan perahu dan tukang
sauhnya yang dijawab Sekarmenur dengan anggukan kepala membenarkan.
“Sekarang rencana
pemberangkatan. Tempat pemberangkatan rombongan rencananya pagi hari dan
berkumpul di Pangkalan Perahu Sungai Ciserayu Kaliwedi. Barang kali Ndara Ayu
Sekarmenur bisa menjelaskan tempat-tempat mana saja yang akan dikunjungi sampai
ke Pulau Nusakambangan. Banyak yang belum tahu, Ndara Ayu,” kata Tumenggung
Maresi. Sekarmenur memang lebih berpengalaman dan menguasai medan.
“Jika kita
berangkat pagi hari setelah sarapan, sepertinya tengah hari sudah melewati Arja
Binangun. Muara Sungai Ciserayu sudah dekat. Sampai di muara bisa istirahat
untuk santap siang di Padepokan Batuputih. Dari sana bila ingin melihat pulau
Bandung, bisa naik bukit yang ada di sisi barat muara. Dari atas bukit,
menghadap ke timur akan tampak pemandangan indah Lautan Selatan dilihat dari
ketinggian tertentu. Pulau Bandung tempat tumbuhnya bunga sakti Wijayakusuma
yang memiliki daya penyembuhan, juga kelihatan. Dari sana, ganti satu perahu
laut, bertolak menuju Nusakambangan. Menginap dua atau tiga malam di
Nusakambangan. Esok harinya kembali ke daratan, menuju Adireja, nginap lagi
semalam. Sampai Adireja, selanjutnya bagaimana rencananya, Kanda Wirapati?”
tanya Sekarmenur sesudah memberi gambaran dan penjelasan kepada peserta rapat.
“Terima kasih,
Dinda Sekarmenur,” kata Wirapati menyambung penjelasan Sekarmenur. “Di Adireja
rombongan akan menginap semalam. Esok paginya rombongan akan dipecah jadi dua.
Satu menuju Kadipaten Dayeuhluhur. Satu lagi menuju Kadipaten Pasirluhur,” kata
Wirapati.
“Siapa saja yang
akan ke Kadipaten Dayeuhluhur?” tanya Tumenggung Maresi.
“Yang pasti Dinda
Silihwara dan Dinda Mayangsari dalam waktu dekat ini harus sudah di Kadipaten
Dayeuhluhur. Kanjeng Rama sudah menanyakan terus lewat surat yang dibawa kurir.
Dimas Arya Baribin dan Dinda Ratna Pamekas, sebaiknya menemani Dinda
Silihwarna,” jawab Wirapati sambil memberi saran kepada Arya Baribin.
“Kanda
Amenglayaran masih pikir-pikir, tapi sudah bilang ingin ikut ke Kadipaten
Dayeuhluhur. Dimas Arya Baribin dan Dinda Ratna Pamekas, memang sudah
memutuskan akan menemani ke Kadipaten
Dayeuhluhur,” kata Silihwarna memberikan penjelasan kepada Wirapati.
Tiba-tiba
Tumenggung Maresi seperti diingatkan sesuatu. Setelah selesai resepsi
pernikahan Sang Dyah Ayu Dewi dengan Kamandaka, kesibukan berikutnya adalah
menghadiri upacara dan pesta perkawinan Mayangsari dengan Silihwarna. Upacara
dan pesta pernikahan akan di selenggarakan di Kadipaten Dayeuhluhur.
Bagaimanapun juga Silihwarna telah ditetapkan oleh Adipati Kandhadaha menjadi
tumenggung yang bertanggung jawab mengembangan pusat latihan dasar keprajuritan
di Padepokan Baturagung. Apalagi dulu sempat menjadi atasannya dalam operasi
menangkap Kamandaka gara-gara Kamandaka diam-diam masuk Taman Kaputren pada
malam hari.
“Selamat, Ndara.
Satu bulan lagi ya? Akhirnya jadi juga memetik Bunga Kadipaten Dayeuhluhur,”
kata Tumenggung Maresi sambil menjabat tangan Silihwarna. Ki Patih dan
Jigjayuda ikut memberikan ucapan selamat dengan menjabat tangan Silihwarna.
Rencananya memang bulan depan Silihwarna akan melangsungkan pernikahan dengan
Mayangsari, putri Adipati Dayeuhluhur.
Ki Patih masih
ingat dialah yang dulu mengusulkan agar Silihwarna diangkat menjadi Tumenggung
Kadipaten Pasirluhur. Kemudian Kanjeng Adipati Kandhadaha yang menjodohkan secara
tidak sengaja dengan Mayangsari. Dia adalah putri bungsu Adipati Dayeuhluhur.
Adipati Dayeuhluhur masih ipar Kanjeng Adipati Sepuh.
“Kanjeng Rama
sudah menyiapkan tempat untuk menampung tamu keluarga calon mempelai pria,”
kata Wirapati. “Bagus sekali kalau Dimas Baribin, Dinda Ratna Pamekas, dan
Kanda Amenglayaran bisa menemani Dinda Silihwarna ke Kadipaten Dayeuhluhur.
Kelak Ayunda Dewi dan Kanda Kamandaka beserta rombongan akan menyusul, langsung
dari Kadipaten Pasirluhur,” kata Wirapati.
“Baiklah, kalau
begitu. Tinggal Tumenggung Maresi secepatnya hubungi Rekajaya dan Nyai
Kertisara untuk menyiapkan dua perahu. Kapan perahu dari Nusakambangan bisa
dikirimkan ke Kaliwedi, Ananda Sekarmenur?” tanya Ki Patih.
“Ada tidak kurir
yang bisa dikirim ke Nusakambangan, Paman Patih?” tanya Sekarmenur.
“Ada. Dua orang
cukup, Ananda Sekarmenur?”
“Empat orang,
agar aman, dengan dua kuda. Nanti Ananda buatkan surat. Besok harus sudah
berangkat,” Sekarmenur menjelaskan kepada Ki Patih.
“Siang hari ini
pun bisa berangkat, asal surat sudah selesai dibuat,” kata Ki Patih.
“Dinda
Sekarmenur, siapa yang bisa dihubungi di Nusakambangan?” tanya Wirapati.
“Tumenggung
Surengpati. Kanda sudah kenal baik, kan? Dia berasal dari Adireja. Biar dia
mengurus segala sesuatunya. Aku akan minta dikirimkan dua perahu sungai bagus
yang ada atapnya. Dengan sepuluh tukang sauh yang berpengalaman, tidak sampai
dua hari dua perahu akan tiba di Pangkalan Perahu Nyai Kertisara Kaliwedi,”
kata Sekarmenur.
“Tujuh hari yang
akan datang perahu dari Nusakambangan sudah bisa sampai di Kaliwedi?” tanya
Wirapati.
“Sebenarnya bisa,
kalau kurir berangkat besok. Apa lagi kalau hari ini. Perahu Sungai milik
Nusakambangan kan pangkalannya di muara Sungai Ciserayu, di tepi Teluk Penyu.
Sering sih beroperasi naik ke hulu. Hanya belum pernah sampai ke Kaliwedi. Tapi
untuk kepastian, sepertinya perlu waktu delapan hari sejak hari ini,” jawab
Sekarmenur.
Ki Patih
mengucapkan terimakasih kepada peserta pertemuan. Lalu menutup rapat dan
menugaskan Tumenggung Maresi untuk menindaklanjuti kesepakatan dan rencana-rencana
yang sudah diputuskan hari itu.
Sekarmenur
cepat-cepat kembali ke kamarnya di Taman Kaputren untuk mempersiapkan surat
yang akan disampaikan kepada Tumenggung Surengpati. Dia adalah orang
kepercayaan Sekarmenur. Tumenggung Surengpati pula yang selama ini ditugaskan
menangani roda pemerintahan Kadipaten Nusakambangan selama Sekarmenur,
Sekarmelati, Sekarcempaka dan Wirapati di Kadipaten Pasirluhur.
Dengan
menggunakan kertas dan alat-alat tulis yang disediakan Tumenggung Maresi
Sekarmenur menulis sepucuk surat kepada orang kepercayaannya di Nusakambangan.
Wirapati menunggu Sekarmenur yang sedang menulis surat. Dia duduk di teras
bekas kamar Sang Dewi di Taman Kaputren. Memang selama tinggal di Kadipaten Pasirluhur,
Sekarmenur menempati kamar yang dulu dipakai Sang Dewi sebelum Sang Dewi pindah
ke Puri Permatabiru.
Hubungan
Sekarmenur dengan Wirapati, termasuk belum lama. Kadang-kadang ada perasaan
berdosa dalam diri Sekarmenur. Sebab dialah dulu yang membantu Nyai Gede
Wulansari memaksa Dyah Ayu Niken Gambirarum minum cairan yang membuat kekasih
Wirapati itu pingsan. Dan akhirnya meninggal. Posisi dirinya waktu itu serba
sulit. Anehnya, dia masih sering mimpi bertemu dengan Dyah Ayu Niken
Gambirarum. Dalam setiap mimpinya itu Dyah Ayu Niken Gambirarum tidak
sendirian, tetapi datang berdua dengan Raja Pulebahas yang memang dikenalnya
dengan baik. Bahkan Sang Raja hampir saja menjadi kakak iparnya, jika dulu Sang
Raja mengijinkan pernikahan dirinya dengan adik Sang Raja, Patih Puletembini.
Sebenarnya
Sekarmenur tahu, bahwa Dyah Ayu Niken Gambirarum sudah menjadi istri Sang Raja
Pulebahas. “Tetapi andaikata Dyah Ayu Niken Gambirarum tidak pingsan dan tewas,
Putri Adipati Kalipucang itu pasti benar-benar menjadi permaisuri Raja
Pulebahas,” pikir Sekarmenur. Dan dirinya mungkin sudah menjadi istri Patih
Puletembini, adik Sang Raja.
Hubungan yang
serius dirinya dengan Wirapati terjadi satu minggu setelah Wirapati menemaninya
dalam acara ritual pembakaran mayat Raja Pulebahas. Upacara pembakaran mayat
Raja Nusakambangan dilakukan bersama-sama dengan mayat Patih Puletembini,
Tumenggung Surajaladri, dan Rangga Singalaut di Padepokan Batu Putih, dekat
muara Sungai Ciserayu.
Mungkin karena
hubungan yang belum terlalu lama itu, Sekarmenur sering merasa Wirapati, belum
bisa melupakan kekasihnya yang lama. Dia sendiri sering iri, jika melihat
kemesraan yang ditunjukkan Sang Dewi dalam hubungannya dengan Kamandaka. Bahkan
sebelum menikah pun, Kamandaka sudah menunjukkan kemesraannya di depan umum.
Tidak jarang baik Sang Dewi maupun Kamandaka, berani berciuman di depan
adik-adiknya.
Bagi Sekarmenur
Patih Puletembini dirasakan lebih sering menunjukkan sikapnya yang sangat mesra
kepada dirinya. Bahkan Patih Puletembini berani bersikap mesra kepada dirinya,
sekalipun di depan Sang Raja. Sebaliknya sikap mesra Wirapati kepada dirinya,
dirasakannya hanya sekedarnya saja. Bahkan Wirapati belum berani mencium atau pun
merayu dirinya. Padahal sebagai seorang wanita, dia akan senang jika Wirapati
berani merayunya. Memang dia merasa sering sangat formal dalam hubungan
sehari-hari dengan siapa saja, karena dia pernah menjadi komandan tentara
wanita, sehingga tradisi disiplin, lugas, tegas, dan tanpa basa-basi, sering
muncul pada dirinya. [bersambung].