Entri yang Diunggulkan
SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)
SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...
Kamis, 28 Mei 2020
SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)
SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26): “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang indah itu?” tanya Sang Dewi. “Dari Cirebon, Ayunda De...
Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)
“Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang
tempat tidur yang indah itu?” tanya Sang Dewi.
“Dari Cirebon, Ayunda Dewi,” jawab Sekarmenur.
“Pernah ke Cirebon? “ tanya Sang Dewi heran.
“Beberapa kali dulu diajak Patih Puletembini,” jawab Sekarmenur.
Bagi Sekarmenur, bangunan tempat tinggal Patih Pule Tembini di samping Istana
Raja itu, tentu bukan tempat tinggal yang asing. Sekarmenur hampir hapal semua
sudut-sudutnya. Karena bangunan itu adalah tempat tinggal Patih Puletembini
mantan kekasih Sekarmenur yang telah tewas.
“Pernah diajak Dinda Wirapati ke Cirebon?”
“Baru sekali, Ayunda Dewi,”
“Wah, aku dengan Kanda Kamandaka kalah. Aku belum pernah lihat
Kota Cirebon. Kalau Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu malah sering. Lewat mana kalau
Dinda Sekarmenur ke Cirebon?”
“Dulu bersama Patih Pulebahas ramai-ramai dengan beberapa orang
dari Tamanbidadari. Kalau tidak salah lewat jalur sebelah barat Kadipaten
Pasirluhur, akhirnya tiba di sebelah barat Brebes. Dari sana terus ke Cirebon.
Waktu dengan Kanda Wirapati, mampir dulu ke Dayeuhluhur. Dari sana melanjutkan
perjalanan ke Cirebon,” kata Dyah Ayu Sekarmenur.
“Hem, Dinda Sekarmenur memang penata ruangan hebat. Jika melihat
ranjang tempat tidur begini, aku tiba-tiba ingin cepat-cepat tidur,” kata
Kamandaka yang cerdik itu, berusaha menghentikan diskusi istrinya dengan
Sekarmenur yang sedang asyik membicarakan Kota Cirebon.
“Oh, kalau begitu selamat malam, Kanda Kamandaka. Semoga mimpi
indah bersama Ayunda Dewi,” kata Sekarmenur yang cepat tanggap sambil
tersenyum.
Sebelum meninggalkan kamar, Sekarmenur sempat menggoda Sang Dewi
dengan meninggalkan pesan yang membuat Sang Dewi tersenyum. “Ayunda Dewi, ayo
temani Kanda Kamandaka, kasihan sudah mengantuk,” kata Sekarmenur dengan
perasaan puas karena merasa telah memberikan pelayanan yang paling baik.
Dia langsung menghilang di balik pintu. Sekarmenur segera
mengecek kamar mandi yang ada di ruang dapur, ruangan paling belakang. Di sana
ada 6 kamar mandi ukuran sedang, bak-bak mandinya penuh terisi air. Para tamu
selain Sang Dewi dan Kamandaka, memang kalau mau mandi harus menuju kamar mandi
yang ada di ruang paling belakang. Lampu gantung dari minyak buatan China
berpendaran menerangi seluruh ruangan yang ada.
Sementara itu Sang Dewi yang ada di dalam kamarnya segera
membongkar koper pakaian, menatanya di dalam lemari, kemudian mengambil pakaian
tidur untuk dirinya dan suaminya, lalu menyiapkan handuk dan perlengkapan
mandi. Tas berisi peralatan rias ditaruhnya di depan meja rias. Sang Dewi
segera menghambur ke kamar mandi. Sekalipun tanpa air hangat, mandi di
tengah-tengah udara pantai Nusakambangan yang kering karena masih musim
kemarau, bagi Sang Dewi malah terasa sejuk dan menyegarkan badan. Selesai mandi
Sang Dewi mengenakan pakaian tidur dari sutera halus dan wewangian pengharum
badan. Lalu dibawakannya handuk, alas kaki, dan pakaian tidur untuk suaminya.
Sang Dewi tersenyum melihat Kamandaka begitu saja membaringkan
tubuhnya di atas ranjang tempat tidur, tanpa melepas baju yang masih dipakainya
sejak berangkat dari Kaliwedi pagi tadi. Sang Suami tampak tertidur pulas,
mungkin merasa lelah setelah menempuh perjalanan seharian. Diciumnya pipi
suaminya sambil pelan-pelan berbisik.
“Kanda, mandi dulu, baru tidur. Nih, handuk, alas kaki, dan
pakaian tidur. Perlengkapan mandi pembersih dan pengharum badan ada di kamar
mandi.”
Kamandaka yang hampir terlelap tidur, terkejut ketika pipinya
terasa dingin, karena ada bibir lembut yang menempel di pipinya. Kamandaka
pelan-pelan membuka matanya. Rasa nikmat di pipinya tiba-tiba cepat menghilang,
karena Sang Dewi cepat-cepat menarik bibirnya.
“Mandi dulu Kanda, nanti baru tidur. Biar keringat, debu
perjalanan, dan asin air laut hilang,” kata Istrinya. Sang Dewi membantu
melepas kancing baju Kamandaka bagian atas. Kamandaka segera bangkit bergegas
menuju kamar mandi untuk membersihkan badan. Ketika terdengar kecipak air di
dalam kamar mandi, Sang Dewi duduk di depan meja rias. Asyik merias dirinya di
depan cermin hias.
Malam terus merangkak bersamaan dengan munculnya bintang-bintang
baru di langit. Semua tamu rombongan di rumah itu sudah tertidur lelap, setelah
selesai mandi membersihkan badan. Sejumlah lampu gantung telah dipadamkan.
Hanya sebagian kecil saja yang dibiarkan menyala. Di atas ranjang di kamar
tidurnya, Kamandaka memeluk Sang Dewi sambil membisikkan sesuatu. Sang Dewi
tidak bereaksi hanya membalasnya dengan pelukan pula. Samar-samar bunyi deburan
ombak Lautan Selatan yang menghempas karang, terdengar masuk ke kamar Sang Dewi
dan Kamandaka. Semakin malam semakin jelas terdengar suara ombak.
“Nyaman juga ranjang ini, Diajeng. Tidak kalah dengan ranjang di
rumah Nyai Kertisara di Kaliwedi. Juga tidak kalah nyaman dengan ranjang
pengantin di Puri Permatabiru,” bisik Kamandaka.
“Menurut aku, lebih nyaman di sini. Ada bunyi deburan ombak yang
terdengar sampai ke sini. Bagaikan musik malam pengantar tidur,” kata Sang
Dewi. Kamandaka kembali membisikkan sesuatu ke telinga Sang Dewi, mengulangi
bisikan pertama. Sang Dewi dipeluknya kembali. Sang Dewi membalas pelukan
Kamandaka, tetapi tetap tak memberikan reaksi.
“Kanda Kamandaka, jangan malam ini,” akhirnya Sang Dewi
membalasnya dengan membisikkan sesuatu. “Lihatlah melalui jendela, akan tampak
bulan bersinar bagaikan kandil raksasa tergantung di langit sebelah timur. Aku
khawatir ruh Sang Raja dengan Sang Permaisuri, karena iri kepada kita akan
mengganggu kita. Ketika bulan tampak cemerlang seperti itu, biarkan hanya Sang
Raja dan Sang Permaisuri yang boleh bermain asmara di kawasan ini dengan cara
mereka sendiri. Nanti saja kalau sudah sampai di Puri Permatabiru. Bukankah
tadi malam sudah, sewaktu menginap di rumah Nyai Kertisara di Kaliwedi?” kata
Sang Dewi mengingatkan.
Kamandaka tersenyum, ingat kejadian tadi pagi. Rombongan yang
akan mengantarkan Sang Dewi menikmati bulan madu itu berangkat dari Kadipaten
Pasirluhur pada siang hari. Rombongan menuju rumah Nyai Kertisara di Kaliwedi
lebih dulu. Lalu bermalam di sana agar bisa berangkat pagi-pagi. Ternyata Sang Dewi
dan Kamandaka paginya bangun agak kesiangan di kamarnya yang telah disulap oleh
Nyai Kertisara menjadi kamar pengantin yang sangat mewah. Bahkan Kamandaka
hampir tidak mau bangun, karena dia lupa mengira sedang berada di Puri
Permatabiru. Hampir saja istrinya itu tidak boleh bangun, karena Kamandaka
masih senang memeluknya dan masih mau meneruskan permainan cintanya.
Kamandaka memang memiliki satu kamar istimewa di rumah Nyai
Kertisara yang dulu dibangun mirip kamar kediaman Sang Dewi di Taman Kaputren. Nyai Kertisara
telah membayar mahal seorang ahli penata kamar pengantin yang didatangkan dari
Karanglewas yang telah dikontrak oleh Kanjeng Ayu Adipati Kandhadaha. Dia
diminta oleh Nyai Kertisara menata kamar Kamandaka itu menjadi kamar pengantin
yang sama dengan kamar pengantin Sang Dewi di Puri Permatabiru.
“Kalau begitu, pulangnya kita menginap semalam lagi di rumah
Nyai Kertisara, tidak keberatan kan Diajeng?” bujuk Kamandaka.
“Aku kan istri Kanda. Jika Kanda pada waktu pulang ingin
bermalam kembali di Kaliwedi, aku pasti akan mengikuti kehendak Kanda,” kata
Sang Dewi mencoba menghibur suaminya agar tidak sakit hati, karena Sang Dewi
menolak keinginan Kamandaka untuk bermain cinta malam itu .
“Kalau di sini, aku hanya khawatir pada keselamatan Kanda.
Banyak kejadian karena sepasang suami istri melakukan lambangsari di
tempat-tempat terlarang atau pun di waktu-waktu terlarang. Akhirnya mereka
mendapat kutukan dari alam semesta.”
“Apa saja larangan dan kutukan itu?” tanya Kamandaka.
“Misalnya, sepasang pengantin baru dilarang berhubungan badan di
makam atau di kuburan. Kutukannya yaitu keduanya tidak akan dapat melepaskan
diri. Akibatnya bisa fatal dan bisa berujung pada kematian,” kata Sang Dewi menjelaskan.
“Mengerikan juga,” kata Kamandaka menanggapi dengan nada cemas.
“Ya, dan ada lagi. Misalnya, sepasang pengantin baru juga
dilarang melakukan permainan cinta dan lambangsari pada waktu pergantian dari
siang ke malam hari, yaitu waktu yang disebut dengan candik kala. Kutukanya
kedua-duanya bisa menjadi mandul. Dan yang paling menyakitkan ke dua-duanya
bisa langsung kehilangan energi vitalitas selamanya, sehingga mereka berdua
tidak akan bisa bermain asmara seumur hidup,” kata Sang Dewi.
“Tapi bukankah kelak Diajeng akan bisa menyembuhkannya, bila sudah
mendapatkan pusaka bunga sakti Wijayakusuma?” tanya Kamandaka.
“Ssst. Jangan bicarakan itu dulu,” kata Sang Dewi mengingatkan.
Kamandaka merasa takut juga. Terbayang di benaknya wajah Sang
Raja Pulebahas yang sempat dijemputnya dari atas tandu dulu. Ketika itu dirinya
berperan sebagai Uwak Lengser. Kamandaka tiba-tiba menyembunyikan wajahnya ke
dada istrinya, sambil berbisik supaya dipeluk. Sebentar kemudian Kamandaka
sudah terlelap tertidur dalam pelukan istri tercintanya. Sang Dewi tersenyum,
membiarkan wajah suaminya itu menghangati kedua bukit kembar yang menghiasi
dadanya. Sang Dewi pun segera menyusul, terlelap dalam mimpi indah.(bersambung)
Kamis, 13 Februari 2020
SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (25)
SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (25): Di belakang kereta yang membawa Kamandaka dan Sang Dewi, mengikuti kereta kuda yang membawa Tumenggung Maresi, Silihwarna, Mayangsari,...
Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (25)
Di
belakang kereta yang membawa Kamandaka dan Sang Dewi, mengikuti kereta kuda
yang membawa Tumenggung Maresi, Silihwarna, Mayangsari, Arya Baribin, dan Ratna
Pamekas. Dibelakangnya lagi mengikuti kereta kuda yang membawa Pendeta Muda
Amenglayaran, Sekarmelati, Sekarcempaka, Nyai Kertisara, dan Kandeg Wilis.
Kereta kuda paling belakang membawa Jigjayuda, Lurah Karangjati, dan Rekajaya.
Mereka bertiga punya tugas mengawal kopor dan tas berisi pakaian ganti Sang Dewi dan peserta rombongan lainnya. Di belakang kereta kuda mengikuti
sejumlah kuda yang membawa pasukan pengawal dan keamanan baik yang berasal dari
Nusakambangan maupun dari Pasirluhur.
“Dari
mana kereta kuda yang bagus-bagus ini? Tumenggung Surengpati?” tanya Kamandaka
penasaran ingin tahu. Sebab, kereta kuda semacam itu hanya ada di kota-kota
yang merupakan pusat kerajaan. Di kota kadipaten, lazimnya seorang adipati
tidak diperkenankan memiliki kereta kuda. Hanya seorang raja saja yang boleh
naik kereta kuda.
“Raja
Pulebahas dulu mendatangkannya dari Bandar Malaka, Kanjeng Adipati. Dikirim ke
Nusakambangan dalam keadaan belum dirakit. Setelah tiba di Nusakambangan
barulah kereta kuda itu dirakit.” Sekarmenur yang mendengarkan perbincangan
itu, membenarkan keterangan anak buahnya itu.
“Ya,
kalau dari Bandar Malaka benar,” kata Kamandaka.
“Bagaimana
Kanda bisa yakin kereta kuda ini dibeli dari bandar Malaka?” tanya Sang Dewi
penasaran.
“Ya,
Malaka kan pusat Kerajaan Islam. Di sana tidak ada larangan untuk memiliki
kereta kuda. Orang biasa pun kalau mampu boleh memiliki kereta kuda. Karena itu
di Bandar Malaka kereta kuda bisa diperjualbelikan. Kerajaan Hindu di Jawa yang
mulai membebaskan adipatinya menggunakan kereta kuda adalah Kerajaan Hindu
Kediri. Adipati Tuban adalah satu-satunya adipati dari Kerajaan Hindu Kediri
yang diijinkan oleh Raja Kediri untuk memiliki kereta kuda,” jawab Kamandaka.
“Kalau
Demak?” tanya Sang Dewi pula.
“Sama
dengan Kerajaan Islam Malaka. Di Demak, Kudus, Jepara, dan Rembang. Di
jalan-jalan sudah banyak ditemukan kereta kuda,”
“Di
Cirebon?” tanya Sang Dewi. Sang Dewi tiba-tiba ingat Cirebon. Sebab Ayah dan Ibunya sudah memberitahu kepadanya mau pergi ke Cirebon. Sebelum ke
Cirebon mereka akan ke Kadipaten Dayeuhluhur lebih dulu. Mungkin Ibu Sang Dewi,
Kanjeng Ayu Adipati Sepuh, kangen kepada adiknya, Adipati Dayeuhluhur. Dari
sana Kanjeng Ayu Adipati Sepuh itu akan terus ke Cirebon bersama suaminya.
“Aku
menduga di Cirebon juga belum ada. Sebab harus ada ijin dulu dari Kerajaan
Pajajaran di Pakuan,” jawab Kamandaka sambil melihat kuda yang bergerak lari
membawa kereta yang dinaikinya.
Tak
terasa rombongan Sang Dewi yang sedang asyik mengendarai kereta kuda itu, telah
tiba di halaman bekas Istana Kerajaan Nusakambangan yang megah itu. Istana itu
terdiri dari empat bangunan utama. Dua bagunan yang saling berhadap-hadapan di
sayap kiri dan kanan. Di tengahnya sebuah bangunan Pendapa bentuk joglo yang
menghadap ke utara. Suatu arah ke daratan Jawa dan Asia yang khas dari hampir
semua bangunan kraton yang rajanya menyembah Wisnu. Sekalipun dulu
leluhur pendiri Kerajaan Nusakambangan menyembah Syiwa, tetapi dalam
corak dan ragam bangunan, pengaruh agama Wisnu yang memuja daratan cukup kuat.
Di belakang Pendopo masih ada lagi satu bangunan yang juga mengikuti arah
Pendopo menghadap ke utara.
“Hebat
juga Raja Pulebahas dan leluhur pendahulunya. Bisa membangun istana begini
bagus,” kata Kamandaka kepada Sang Dewi. Mereka berjalan masuk halaman Pendapa
setelah semua anggota rombongan Sang Dewi turun dari kereta kuda. Sang Dewi dan
Kamandaka berjalan didampingi Wirapati, Sekarmenur, dan Tumenggung Surengpati..
“Masih
ada dua komplek bangunan lagi, Kanjeng Adipati,” kata Tumengggung Surengpati
menjelaskan.
”Sebuah
bangunan empat persegi panjang Pondok Tamanbidadari tidak jauh dari sini.
Satunya lagi bangunan agak jauh di sebelah timur selatan, yaitu komplek
bangunan bekas padepokan Pendeta Raga Pitar. Sekarang kosong. Dulu tempat
tinggal Pendeta Raga Pitar beserta sejumlah cantrik pengikutnya.”
Kamandaka
dan Sang Dewi kembali berdecak kagum ketika mereka melihat enam gadis cantik
mirip gadis kembar mendatangi mereka. Setelah memberi hormat kepada Sang Dewi
dan Kamandaka, ke enam gadis kembar itu mempersilahkan Sang Dewi dan rombongan
masuk ke dalam Pendapa. Gadis-gadis cantik itu telah mempersiapkan hidangan
santap malam.
“Mari
Ayunda Dewi,” kata Sekarmenur mengajak masuk ke pendapa. Di sana telah
disiapkan sejumlah hidangan. Aneka macam hidangan untuk santap malam hari
lengkap dengan aneka buah-buahan dan minuman. Di samping aneka macam lalaban
dan sambal, ada aneka macam ikan laut, mulai dari udang bakar, rajungan bakar,
lobster rebus, kepiting rebus sampai bawal bakar.
Matahari
sudah tenggelam di kaki langit sebelah barat. Malam pun telah tiba. Angin laut
berhembus kencang menggoyang pohon-pohon menjulang tinggi yang tumbuh subur di
sekitar komplek bangunan bekas istana. Semua tamu menikmati hidangan santap
malam berupa aneka macam minuman dan makanan yang disediakan. Mereka
menikmatinya dengan lahap. Para tamu sambil bersantap langsung disuguhi
tontonan lengger diiringi musik bambu yang didatangkan dari Adireja. Lengger
membawakan lagu baik dalam Sunda maupun Jawa yang membuat rombongan tamu sangat
terhibur.
Ternyata
sekalipun baru menempuh perjalanan jauh, Mayangsari mau juga tampil menghibur
dengan membawakan sejumlah lagu. Malah Mayangsari duet bareng dengan Ratna Pamekas
yang hanya bisa membawakan lagu dalam bahasa Sunda. Suara Ratna Pamekas
ternyata merdu juga. Tidak mau ketinggalan, tiga bersaudara Sekarmenur,
Sekarmelati, dan Sekarcempaka ikut tampil bersama membawakan dua lagu. Lagu
pertama dalam bahasa Jawa, lagu kedua dalam bahasa Sunda. Tepuk tangan selalu
bergemuruh setiap para penyanyi dadakan itu tampil untuk menghibur.
Sang
Dewi dan Kamandaka senang bukan main melihat adik-adik dan calon adik iparnya
itu pandai menyanyi. “Aku sangat bangga calon-calon istri para calon adipati
itu pandai menyanyi. Sebuah kadipaten dan keraton tanpa aktivitas dan apresiasi
kesenian akan hambar. Ibarat sayur kurang garam,” kata Sang Dewi kepada
Wirapati, Silihwarna, dan Arya Baribin yang berbincang-bincang sambil
mengelilingi Sang Dewi dan Kamandaka. Mereka setuju sepenuhnya dengan pandangan
Sang Dewi soal kegiatan kesenian di setiap kadipaten atau pun keraton. Mereka
senang menyaksikan atraksi kesenian yang menghibur itu.
Malam
hari telah menggantikan senja. Semburat warna merah telah lama menghilang.
Tibalah saatnya rombongan Sang Dewi beristirahat. Sebagian besar rombongan akan
menginap di bangunan bekas kediaman Patih Puletembini yang berada di sebelah
timur bangunan Pendapa. Bangunan yang luas dan mewah itu pada hari-hari biasa
dijadikan tempat tinggal Wirapati, bila dia berada di Nusakambangan untuk
mendampingi Sekarmenur. Sekarmenur segera menugaskan Tumenggung Surengpati.
Para prajurit pengawal dari Kadipaten Pasirluhur supaya ditempatkan di barak
prajurit Nusakambangan yang ada di sayap kiri Pendapa di pojok paling belakang.
Sedangkan Tumenggung Maresi, Jigjayuda, Lurah Karangjati, dan Rekajaya menginap
di bangunan rumah tempat tinggal Tumenggung Surengpati yang berdiri di samping
kiri kediaman Patih Puletembini.
Di
sebelah kanan bangunan bekas kediaman Patih Puletembini, berdiri bangunan
Istana Raja Pulebahas yang tampak megah. Sehari-harinya istana itu dibiarkan
kosong. Hanya Sekarmenur yang memegang kuncinya. Tiap hari Sekarmenur membuka
Istana Raja Pulebahas untuk menjaga kebersihan. Sejumlah tenaga juru kebersihan
khusus ditugaskan menjaga kebersihan dan keutuhan istana. Kamar tidur Raja
Pulebahas selalu terkunci. Kuncinya pun dipegang oleh Sekarmenur. Tiap hari
Sekarmenur membuka kamar Raja Pulebahas. Di samping untuk membersihkan lantai
dan perabotan, juga agar udara luar dan sinar matahari selalu masuk ke dalam
kamar tidur Sang Raja. Hanya selama ditinggal Sekarmenur ke Pasirluhur, Istana
Raja itu dibiarkan terkunci, dan mendapat tambahan penjagaan yang cukup ketat.
Di kamar tidur Sang Raja Pulebahas itulah masih tersimpan dua pusaka Kerajaan
Nusakambangan. Pusaka pertama berupa stoples bersisi bunga Wijayakusuma yang
direndam dalam cairan alkohol dari air tape yang telah dimurnikan. Pusaka ke
dua berupa guci porselin berisi lipatan kapas darah perawan suci Permaisuri
Niken Gambirarum. Sekarmenur melakukan penjagaan sangat ketat pada kedua pusaka
itu, sehingga tidak seorang pun bisa masuk ke dalamnya tanpa seijinnya. Bahkan
Wirapati pun belum diijinkan Sekarmenur masuk ke dalamnya.
Sebenarnya
Sekarmenur wanita cerdas, cerdik, cermat, dan penuh perhitungan. Dengan merawat
dan menguasai kedua pusaka itu, Sekarmenur menjadi sosok yang sangat berwibawa
dan disegani oleh seluruh bekas prajurit Kerajaan Nusakambangan, karena mereka
menganggap Sekarmenurlah pewaris kekuasaan Sang Raja Pulebahas. Sekarmenur
memang pernah diangkat Sang Raja Pulebahas sebagai komandan pasukan wanita.
Dengan posisinya sebagai penjaga dua pusaka itu, para prajurit menganggap
Sekarmenur adalah penerus Sang Raja Pulebahas. Maka tak ada satu prajurit pun
yang berani menentang Sekarmenur. Sementara itu sebagian besar penduduk masih
percaya bahwa ruh dari Raja Pulebahas dan Permaisurinya Ratu Ayu Niken
Gambirarum masih berada di istananya. Mereka belum bisa mencapai moksa, selama
ke dua pusaka itu ada di situ.
Keduanya masih menunggu pertolongan dari orang
yang dipercaya bisa memelihara dan menjaga pusaka itu. Beberapa penghuni
Nusakambangan, sejumlah nelayan dan penduduk pantai daratan mengaku setiap malam
bulan purnama sering dapat melihat pasangan Raja dan Permaisuri itu
berjalan-jalan ke pantai timur Nusakambangan. Mereka asyik bermain asmara di
tepi pantai yang indah di bawah kilauan sinar bulan purnama. Kecantikan dan
keanggunan Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum Tunjungbiru itulah yang
kelak berkembang menjadi mitos para nelayan Nusakambangan dan sekitarnya.
Mereka mempercayai Sang Permaisuri itu telah menjelma sebagai penguasa Ratu
Lautan Selatan yang cantik dan sakti.
Tempat
menginap rombongan Sang Dewi ada di samping selatan Istana Raja Pulebahas. Sang
Dewi dan Kamandaka kagum juga ketika memasuki ruang tamu bangunan bekas
kediaman Patih Puletembini. Terasnya menghadap Pendapa lengkap dengan sejumlah
kursi rotan dengan meja menghadap taman mini dengan aneka macam bunga perdu. Di
ruang tamu terdapat perabotan kayu jati sehingga mengingatkan Sang Dewi kepada
perabotan kayu jati di ruang tamu Dalem Gede Kadipaten Pasirluhur. Luas ruang
tamu juga tidak jauh berbeda. Hanya pada sisi kiri ruang tamu dari arah masuk
bekas rumah Patih Puletembini berderet dua kamar tidur tamu yang cukup luas.
“Ayunda
Dewi, ini kamar istirahat Kanda Wirapati sehari-hari jika sedang berada di
Nusakambangan,” kata Sekarmenur kepada Sang Dewi menunjukkan kamar tamu yang
mewah itu dengan perasaan bangga.
“Ayo,
Dinda Wirapati pernah tidur bareng di sini belum?” tanya Sang Dewi menggoda.
“Belum,
Ayunda Dewi,” jawab Sekarmenur tangkas. “Tunggu kalau Kanda Wirapati sudah
resmi jadi suami. Betul kan, Ayunda Dewi?” jawab Sekarmenur tangkas. Wirapati
hanya tersenyum mendengar kata kekasihnya itu.
“Ya,
itulah yang bagus sesuai tuntunan adat, tradisi, dan kitab suci,” kata Sang
Dewi memuji sikap Sekarmenur yang memang sangat disiplin memegang teguh
nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.
Sekarmenur tidak ingin wibawanya dan citranya di depan anak buahnya hancur
gara-gara soal syahwat yang tak terkendali. Sekalipun begitu Sekarmenur bukan
jenis gadis yang berpura-pura suci. Pada situasi dan tempat yang tepat, Dyah
Sekarmenur sosok gadis yang romantis juga. Sehari-harinya Sekarmenur tidak
tinggal di kompleks istana meskipun dia berkuasa mengendalikan jalannya roda
pemerintahan Kadipaten Nusakambangan. Sekarmenur dan ke dua adiknya memilih
tetap tinggal di Pondok Tamanbidadari tidak jauh dari bangunan kompleks istana.
Hanya beberapa pal di belakang komplek istana, dipisahkan oleh parit buatan dan
bangunan tembok pemisah cukup tinggi. Jika komplek istana menghadap ke utara,
bangunan Pondok Tamanbidadari menghadap ke barat.
“Kanda
Amenglayaran malam ini tidur menemani Kanda Wirapati. Dinda Silihwarna dan
Dimas Arya Baribin, tidur di kamar tamu sebelah,” kata Sekarmenur kepada
Silihwarna dan Aryo Baribin sambil menunjukkan pintu kamar tamu yang
berdampingan dengan kamar Wirapati. Petugas yang membawa kopor dan tas segera
memasukkannya ke masing-masing kamar yang disebut Sekarmenur.
“Ayunda
Dewi, mari masuk ruang utama keluarga,” kata Sekarmenur mengajak Sang Dewi
memasuki ruang utama keluarga yang merupakan ruangan cukup luas juga. Di
dinding kiri arah masuk ada pintu yang menuju ke sebuah taman bunga untuk
tempat bersantai. Tampak oleh Sang Dewi di bagian tengah ruangan, ada sebuah
meja makan oval dari kayu jati mengkilat lengkap dengan sejumlah kursi yang
mengelilinginya. Di bagian kanan arah masuk ruang tengah berderet tiga kamar
memanjang ke belakang. Di bagian depan meja oval di sudut sebelah kiri ada
kamar tidur keluarga cukup besar. Sekarmenur rupanya telah mengubahnya menjadi
kamar tidur utama.
“Dinda
Mayangsari dan Dinda Ratna Pamekas, tidur di kamar ini,” kata Sekarmenur
menunjuk pintu kamar pertama di deretan kanan arah masuk ruang tengah.
“Dinda
Sekarmelati dan Sekarcempaka malam ini tidak usah pulang ke Pondok
Tamanbidadari. Malam ini tidur bersama Ayunda di kamar tengah,” katanya sambil
menunjuk pintu kamar deretan ke dua.
“Nyai
Kertisara dan Khandegwilis, tidur di kamar paling ujung,” Sekarmenur
menunjukkan kamar ke tiga.
“Untuk
Ayunda Dewi dan Kanda Kanjeng Adipati, sudah disiapkan kamar khusus,” kata
Sekarmenur sambil menunjuk kamar tidur utama yang ada di sudut kiri ruang
tengah. Pintu kamar tempat menginap Sang Dewi berhadap-hadapan dengan pintu
kamar Nyai Kertisara dan Khandegwilis, dipisahkan sebuah lorong ke arah bagian
belakang rumah.
Sekarmenur
segera mengajak Sang Dewi dan Kamandaka masuk ke ruang kamar tidur utama.
Begitu masuk ruang kamar tidur utama, Sang Dewi dan Kamandaka saling
berpandang-pandangan. Ruang itu jauh-jauh hari telah disulap oleh Sekarmenur
menjadi semacam kamar pengantin nyaris mirip ruang pengantin di Puri
Permatabiru Kadipaten Pasirluhur, hanya ukuran lebih kecil. Tidak ada dapur,
tidak ada meja makan, dan tidak ada ruang ganti khusus. Perlengkapan kamar yang
ada satu lemari pakaian, satu lemari hias, dan sebuah meja rias. Ada pula kamar
mandi ukuran sedang tanpa bak mandi untuk berendam. Di sisi kiri arah masuk ada
meja dengan sepasang kursi kayu jati dengan beludru halus untuk duduk berdua.
Jauh di depan sepasang meja kursi tampak ranjang tempat tidur dari kayu jati
berukir dengan pelitur warna coklat kopi. Pada tiang dan papan penyangga tempat
tidur berwarna coklat kopi mengkilat itu, tertempel pane-panel penghias dari
beludru warna merah mawar, sehingga menimbulkan kesan sebuah ranjang tempat
tidur dengan selera artistik tinggi. Kembali Sang Dewi dan Kamandaka berdecak
kagum ketika menyaksikan ranjang tempat tidur yang berkelambu itu. Semuanya
nyaris sama dengan ranjang pengantin Puri Permatabiru, mulai dari kelambu tipis
halus yang berwarna biru muda, tilam bersprei biru muda, dan sepasang bantal
guling dengan sarung warna pink. (bersambung)
Langganan:
Postingan (Atom)