Di
belakang kereta yang membawa Kamandaka dan Sang Dewi, mengikuti kereta kuda
yang membawa Tumenggung Maresi, Silihwarna, Mayangsari, Arya Baribin, dan Ratna
Pamekas. Dibelakangnya lagi mengikuti kereta kuda yang membawa Pendeta Muda
Amenglayaran, Sekarmelati, Sekarcempaka, Nyai Kertisara, dan Kandeg Wilis.
Kereta kuda paling belakang membawa Jigjayuda, Lurah Karangjati, dan Rekajaya.
Mereka bertiga punya tugas mengawal kopor dan tas berisi pakaian ganti Sang Dewi dan peserta rombongan lainnya. Di belakang kereta kuda mengikuti
sejumlah kuda yang membawa pasukan pengawal dan keamanan baik yang berasal dari
Nusakambangan maupun dari Pasirluhur.
“Dari
mana kereta kuda yang bagus-bagus ini? Tumenggung Surengpati?” tanya Kamandaka
penasaran ingin tahu. Sebab, kereta kuda semacam itu hanya ada di kota-kota
yang merupakan pusat kerajaan. Di kota kadipaten, lazimnya seorang adipati
tidak diperkenankan memiliki kereta kuda. Hanya seorang raja saja yang boleh
naik kereta kuda.
“Raja
Pulebahas dulu mendatangkannya dari Bandar Malaka, Kanjeng Adipati. Dikirim ke
Nusakambangan dalam keadaan belum dirakit. Setelah tiba di Nusakambangan
barulah kereta kuda itu dirakit.” Sekarmenur yang mendengarkan perbincangan
itu, membenarkan keterangan anak buahnya itu.
“Ya,
kalau dari Bandar Malaka benar,” kata Kamandaka.
“Bagaimana
Kanda bisa yakin kereta kuda ini dibeli dari bandar Malaka?” tanya Sang Dewi
penasaran.
“Ya,
Malaka kan pusat Kerajaan Islam. Di sana tidak ada larangan untuk memiliki
kereta kuda. Orang biasa pun kalau mampu boleh memiliki kereta kuda. Karena itu
di Bandar Malaka kereta kuda bisa diperjualbelikan. Kerajaan Hindu di Jawa yang
mulai membebaskan adipatinya menggunakan kereta kuda adalah Kerajaan Hindu
Kediri. Adipati Tuban adalah satu-satunya adipati dari Kerajaan Hindu Kediri
yang diijinkan oleh Raja Kediri untuk memiliki kereta kuda,” jawab Kamandaka.
“Kalau
Demak?” tanya Sang Dewi pula.
“Sama
dengan Kerajaan Islam Malaka. Di Demak, Kudus, Jepara, dan Rembang. Di
jalan-jalan sudah banyak ditemukan kereta kuda,”
“Di
Cirebon?” tanya Sang Dewi. Sang Dewi tiba-tiba ingat Cirebon. Sebab Ayah dan Ibunya sudah memberitahu kepadanya mau pergi ke Cirebon. Sebelum ke
Cirebon mereka akan ke Kadipaten Dayeuhluhur lebih dulu. Mungkin Ibu Sang Dewi,
Kanjeng Ayu Adipati Sepuh, kangen kepada adiknya, Adipati Dayeuhluhur. Dari
sana Kanjeng Ayu Adipati Sepuh itu akan terus ke Cirebon bersama suaminya.
“Aku
menduga di Cirebon juga belum ada. Sebab harus ada ijin dulu dari Kerajaan
Pajajaran di Pakuan,” jawab Kamandaka sambil melihat kuda yang bergerak lari
membawa kereta yang dinaikinya.
Tak
terasa rombongan Sang Dewi yang sedang asyik mengendarai kereta kuda itu, telah
tiba di halaman bekas Istana Kerajaan Nusakambangan yang megah itu. Istana itu
terdiri dari empat bangunan utama. Dua bagunan yang saling berhadap-hadapan di
sayap kiri dan kanan. Di tengahnya sebuah bangunan Pendapa bentuk joglo yang
menghadap ke utara. Suatu arah ke daratan Jawa dan Asia yang khas dari hampir
semua bangunan kraton yang rajanya menyembah Wisnu. Sekalipun dulu
leluhur pendiri Kerajaan Nusakambangan menyembah Syiwa, tetapi dalam
corak dan ragam bangunan, pengaruh agama Wisnu yang memuja daratan cukup kuat.
Di belakang Pendopo masih ada lagi satu bangunan yang juga mengikuti arah
Pendopo menghadap ke utara.
“Hebat
juga Raja Pulebahas dan leluhur pendahulunya. Bisa membangun istana begini
bagus,” kata Kamandaka kepada Sang Dewi. Mereka berjalan masuk halaman Pendapa
setelah semua anggota rombongan Sang Dewi turun dari kereta kuda. Sang Dewi dan
Kamandaka berjalan didampingi Wirapati, Sekarmenur, dan Tumenggung Surengpati..
“Masih
ada dua komplek bangunan lagi, Kanjeng Adipati,” kata Tumengggung Surengpati
menjelaskan.
”Sebuah
bangunan empat persegi panjang Pondok Tamanbidadari tidak jauh dari sini.
Satunya lagi bangunan agak jauh di sebelah timur selatan, yaitu komplek
bangunan bekas padepokan Pendeta Raga Pitar. Sekarang kosong. Dulu tempat
tinggal Pendeta Raga Pitar beserta sejumlah cantrik pengikutnya.”
Kamandaka
dan Sang Dewi kembali berdecak kagum ketika mereka melihat enam gadis cantik
mirip gadis kembar mendatangi mereka. Setelah memberi hormat kepada Sang Dewi
dan Kamandaka, ke enam gadis kembar itu mempersilahkan Sang Dewi dan rombongan
masuk ke dalam Pendapa. Gadis-gadis cantik itu telah mempersiapkan hidangan
santap malam.
“Mari
Ayunda Dewi,” kata Sekarmenur mengajak masuk ke pendapa. Di sana telah
disiapkan sejumlah hidangan. Aneka macam hidangan untuk santap malam hari
lengkap dengan aneka buah-buahan dan minuman. Di samping aneka macam lalaban
dan sambal, ada aneka macam ikan laut, mulai dari udang bakar, rajungan bakar,
lobster rebus, kepiting rebus sampai bawal bakar.
Matahari
sudah tenggelam di kaki langit sebelah barat. Malam pun telah tiba. Angin laut
berhembus kencang menggoyang pohon-pohon menjulang tinggi yang tumbuh subur di
sekitar komplek bangunan bekas istana. Semua tamu menikmati hidangan santap
malam berupa aneka macam minuman dan makanan yang disediakan. Mereka
menikmatinya dengan lahap. Para tamu sambil bersantap langsung disuguhi
tontonan lengger diiringi musik bambu yang didatangkan dari Adireja. Lengger
membawakan lagu baik dalam Sunda maupun Jawa yang membuat rombongan tamu sangat
terhibur.
Ternyata
sekalipun baru menempuh perjalanan jauh, Mayangsari mau juga tampil menghibur
dengan membawakan sejumlah lagu. Malah Mayangsari duet bareng dengan Ratna Pamekas
yang hanya bisa membawakan lagu dalam bahasa Sunda. Suara Ratna Pamekas
ternyata merdu juga. Tidak mau ketinggalan, tiga bersaudara Sekarmenur,
Sekarmelati, dan Sekarcempaka ikut tampil bersama membawakan dua lagu. Lagu
pertama dalam bahasa Jawa, lagu kedua dalam bahasa Sunda. Tepuk tangan selalu
bergemuruh setiap para penyanyi dadakan itu tampil untuk menghibur.
Sang
Dewi dan Kamandaka senang bukan main melihat adik-adik dan calon adik iparnya
itu pandai menyanyi. “Aku sangat bangga calon-calon istri para calon adipati
itu pandai menyanyi. Sebuah kadipaten dan keraton tanpa aktivitas dan apresiasi
kesenian akan hambar. Ibarat sayur kurang garam,” kata Sang Dewi kepada
Wirapati, Silihwarna, dan Arya Baribin yang berbincang-bincang sambil
mengelilingi Sang Dewi dan Kamandaka. Mereka setuju sepenuhnya dengan pandangan
Sang Dewi soal kegiatan kesenian di setiap kadipaten atau pun keraton. Mereka
senang menyaksikan atraksi kesenian yang menghibur itu.
Malam
hari telah menggantikan senja. Semburat warna merah telah lama menghilang.
Tibalah saatnya rombongan Sang Dewi beristirahat. Sebagian besar rombongan akan
menginap di bangunan bekas kediaman Patih Puletembini yang berada di sebelah
timur bangunan Pendapa. Bangunan yang luas dan mewah itu pada hari-hari biasa
dijadikan tempat tinggal Wirapati, bila dia berada di Nusakambangan untuk
mendampingi Sekarmenur. Sekarmenur segera menugaskan Tumenggung Surengpati.
Para prajurit pengawal dari Kadipaten Pasirluhur supaya ditempatkan di barak
prajurit Nusakambangan yang ada di sayap kiri Pendapa di pojok paling belakang.
Sedangkan Tumenggung Maresi, Jigjayuda, Lurah Karangjati, dan Rekajaya menginap
di bangunan rumah tempat tinggal Tumenggung Surengpati yang berdiri di samping
kiri kediaman Patih Puletembini.
Di
sebelah kanan bangunan bekas kediaman Patih Puletembini, berdiri bangunan
Istana Raja Pulebahas yang tampak megah. Sehari-harinya istana itu dibiarkan
kosong. Hanya Sekarmenur yang memegang kuncinya. Tiap hari Sekarmenur membuka
Istana Raja Pulebahas untuk menjaga kebersihan. Sejumlah tenaga juru kebersihan
khusus ditugaskan menjaga kebersihan dan keutuhan istana. Kamar tidur Raja
Pulebahas selalu terkunci. Kuncinya pun dipegang oleh Sekarmenur. Tiap hari
Sekarmenur membuka kamar Raja Pulebahas. Di samping untuk membersihkan lantai
dan perabotan, juga agar udara luar dan sinar matahari selalu masuk ke dalam
kamar tidur Sang Raja. Hanya selama ditinggal Sekarmenur ke Pasirluhur, Istana
Raja itu dibiarkan terkunci, dan mendapat tambahan penjagaan yang cukup ketat.
Di kamar tidur Sang Raja Pulebahas itulah masih tersimpan dua pusaka Kerajaan
Nusakambangan. Pusaka pertama berupa stoples bersisi bunga Wijayakusuma yang
direndam dalam cairan alkohol dari air tape yang telah dimurnikan. Pusaka ke
dua berupa guci porselin berisi lipatan kapas darah perawan suci Permaisuri
Niken Gambirarum. Sekarmenur melakukan penjagaan sangat ketat pada kedua pusaka
itu, sehingga tidak seorang pun bisa masuk ke dalamnya tanpa seijinnya. Bahkan
Wirapati pun belum diijinkan Sekarmenur masuk ke dalamnya.
Sebenarnya
Sekarmenur wanita cerdas, cerdik, cermat, dan penuh perhitungan. Dengan merawat
dan menguasai kedua pusaka itu, Sekarmenur menjadi sosok yang sangat berwibawa
dan disegani oleh seluruh bekas prajurit Kerajaan Nusakambangan, karena mereka
menganggap Sekarmenurlah pewaris kekuasaan Sang Raja Pulebahas. Sekarmenur
memang pernah diangkat Sang Raja Pulebahas sebagai komandan pasukan wanita.
Dengan posisinya sebagai penjaga dua pusaka itu, para prajurit menganggap
Sekarmenur adalah penerus Sang Raja Pulebahas. Maka tak ada satu prajurit pun
yang berani menentang Sekarmenur. Sementara itu sebagian besar penduduk masih
percaya bahwa ruh dari Raja Pulebahas dan Permaisurinya Ratu Ayu Niken
Gambirarum masih berada di istananya. Mereka belum bisa mencapai moksa, selama
ke dua pusaka itu ada di situ.
Keduanya masih menunggu pertolongan dari orang
yang dipercaya bisa memelihara dan menjaga pusaka itu. Beberapa penghuni
Nusakambangan, sejumlah nelayan dan penduduk pantai daratan mengaku setiap malam
bulan purnama sering dapat melihat pasangan Raja dan Permaisuri itu
berjalan-jalan ke pantai timur Nusakambangan. Mereka asyik bermain asmara di
tepi pantai yang indah di bawah kilauan sinar bulan purnama. Kecantikan dan
keanggunan Sang Permaisuri Ratu Ayu Niken Gambirarum Tunjungbiru itulah yang
kelak berkembang menjadi mitos para nelayan Nusakambangan dan sekitarnya.
Mereka mempercayai Sang Permaisuri itu telah menjelma sebagai penguasa Ratu
Lautan Selatan yang cantik dan sakti.
Tempat
menginap rombongan Sang Dewi ada di samping selatan Istana Raja Pulebahas. Sang
Dewi dan Kamandaka kagum juga ketika memasuki ruang tamu bangunan bekas
kediaman Patih Puletembini. Terasnya menghadap Pendapa lengkap dengan sejumlah
kursi rotan dengan meja menghadap taman mini dengan aneka macam bunga perdu. Di
ruang tamu terdapat perabotan kayu jati sehingga mengingatkan Sang Dewi kepada
perabotan kayu jati di ruang tamu Dalem Gede Kadipaten Pasirluhur. Luas ruang
tamu juga tidak jauh berbeda. Hanya pada sisi kiri ruang tamu dari arah masuk
bekas rumah Patih Puletembini berderet dua kamar tidur tamu yang cukup luas.
“Ayunda
Dewi, ini kamar istirahat Kanda Wirapati sehari-hari jika sedang berada di
Nusakambangan,” kata Sekarmenur kepada Sang Dewi menunjukkan kamar tamu yang
mewah itu dengan perasaan bangga.
“Ayo,
Dinda Wirapati pernah tidur bareng di sini belum?” tanya Sang Dewi menggoda.
“Belum,
Ayunda Dewi,” jawab Sekarmenur tangkas. “Tunggu kalau Kanda Wirapati sudah
resmi jadi suami. Betul kan, Ayunda Dewi?” jawab Sekarmenur tangkas. Wirapati
hanya tersenyum mendengar kata kekasihnya itu.
“Ya,
itulah yang bagus sesuai tuntunan adat, tradisi, dan kitab suci,” kata Sang
Dewi memuji sikap Sekarmenur yang memang sangat disiplin memegang teguh
nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.
Sekarmenur tidak ingin wibawanya dan citranya di depan anak buahnya hancur
gara-gara soal syahwat yang tak terkendali. Sekalipun begitu Sekarmenur bukan
jenis gadis yang berpura-pura suci. Pada situasi dan tempat yang tepat, Dyah
Sekarmenur sosok gadis yang romantis juga. Sehari-harinya Sekarmenur tidak
tinggal di kompleks istana meskipun dia berkuasa mengendalikan jalannya roda
pemerintahan Kadipaten Nusakambangan. Sekarmenur dan ke dua adiknya memilih
tetap tinggal di Pondok Tamanbidadari tidak jauh dari bangunan kompleks istana.
Hanya beberapa pal di belakang komplek istana, dipisahkan oleh parit buatan dan
bangunan tembok pemisah cukup tinggi. Jika komplek istana menghadap ke utara,
bangunan Pondok Tamanbidadari menghadap ke barat.
“Kanda
Amenglayaran malam ini tidur menemani Kanda Wirapati. Dinda Silihwarna dan
Dimas Arya Baribin, tidur di kamar tamu sebelah,” kata Sekarmenur kepada
Silihwarna dan Aryo Baribin sambil menunjukkan pintu kamar tamu yang
berdampingan dengan kamar Wirapati. Petugas yang membawa kopor dan tas segera
memasukkannya ke masing-masing kamar yang disebut Sekarmenur.
“Ayunda
Dewi, mari masuk ruang utama keluarga,” kata Sekarmenur mengajak Sang Dewi
memasuki ruang utama keluarga yang merupakan ruangan cukup luas juga. Di
dinding kiri arah masuk ada pintu yang menuju ke sebuah taman bunga untuk
tempat bersantai. Tampak oleh Sang Dewi di bagian tengah ruangan, ada sebuah
meja makan oval dari kayu jati mengkilat lengkap dengan sejumlah kursi yang
mengelilinginya. Di bagian kanan arah masuk ruang tengah berderet tiga kamar
memanjang ke belakang. Di bagian depan meja oval di sudut sebelah kiri ada
kamar tidur keluarga cukup besar. Sekarmenur rupanya telah mengubahnya menjadi
kamar tidur utama.
“Dinda
Mayangsari dan Dinda Ratna Pamekas, tidur di kamar ini,” kata Sekarmenur
menunjuk pintu kamar pertama di deretan kanan arah masuk ruang tengah.
“Dinda
Sekarmelati dan Sekarcempaka malam ini tidak usah pulang ke Pondok
Tamanbidadari. Malam ini tidur bersama Ayunda di kamar tengah,” katanya sambil
menunjuk pintu kamar deretan ke dua.
“Nyai
Kertisara dan Khandegwilis, tidur di kamar paling ujung,” Sekarmenur
menunjukkan kamar ke tiga.
“Untuk
Ayunda Dewi dan Kanda Kanjeng Adipati, sudah disiapkan kamar khusus,” kata
Sekarmenur sambil menunjuk kamar tidur utama yang ada di sudut kiri ruang
tengah. Pintu kamar tempat menginap Sang Dewi berhadap-hadapan dengan pintu
kamar Nyai Kertisara dan Khandegwilis, dipisahkan sebuah lorong ke arah bagian
belakang rumah.
Sekarmenur
segera mengajak Sang Dewi dan Kamandaka masuk ke ruang kamar tidur utama.
Begitu masuk ruang kamar tidur utama, Sang Dewi dan Kamandaka saling
berpandang-pandangan. Ruang itu jauh-jauh hari telah disulap oleh Sekarmenur
menjadi semacam kamar pengantin nyaris mirip ruang pengantin di Puri
Permatabiru Kadipaten Pasirluhur, hanya ukuran lebih kecil. Tidak ada dapur,
tidak ada meja makan, dan tidak ada ruang ganti khusus. Perlengkapan kamar yang
ada satu lemari pakaian, satu lemari hias, dan sebuah meja rias. Ada pula kamar
mandi ukuran sedang tanpa bak mandi untuk berendam. Di sisi kiri arah masuk ada
meja dengan sepasang kursi kayu jati dengan beludru halus untuk duduk berdua.
Jauh di depan sepasang meja kursi tampak ranjang tempat tidur dari kayu jati
berukir dengan pelitur warna coklat kopi. Pada tiang dan papan penyangga tempat
tidur berwarna coklat kopi mengkilat itu, tertempel pane-panel penghias dari
beludru warna merah mawar, sehingga menimbulkan kesan sebuah ranjang tempat
tidur dengan selera artistik tinggi. Kembali Sang Dewi dan Kamandaka berdecak
kagum ketika menyaksikan ranjang tempat tidur yang berkelambu itu. Semuanya
nyaris sama dengan ranjang pengantin Puri Permatabiru, mulai dari kelambu tipis
halus yang berwarna biru muda, tilam bersprei biru muda, dan sepasang bantal
guling dengan sarung warna pink. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar