“Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang
tempat tidur yang indah itu?” tanya Sang Dewi.
“Dari Cirebon, Ayunda Dewi,” jawab Sekarmenur.
“Pernah ke Cirebon? “ tanya Sang Dewi heran.
“Beberapa kali dulu diajak Patih Puletembini,” jawab Sekarmenur.
Bagi Sekarmenur, bangunan tempat tinggal Patih Pule Tembini di samping Istana
Raja itu, tentu bukan tempat tinggal yang asing. Sekarmenur hampir hapal semua
sudut-sudutnya. Karena bangunan itu adalah tempat tinggal Patih Puletembini
mantan kekasih Sekarmenur yang telah tewas.
“Pernah diajak Dinda Wirapati ke Cirebon?”
“Baru sekali, Ayunda Dewi,”
“Wah, aku dengan Kanda Kamandaka kalah. Aku belum pernah lihat
Kota Cirebon. Kalau Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu malah sering. Lewat mana kalau
Dinda Sekarmenur ke Cirebon?”
“Dulu bersama Patih Pulebahas ramai-ramai dengan beberapa orang
dari Tamanbidadari. Kalau tidak salah lewat jalur sebelah barat Kadipaten
Pasirluhur, akhirnya tiba di sebelah barat Brebes. Dari sana terus ke Cirebon.
Waktu dengan Kanda Wirapati, mampir dulu ke Dayeuhluhur. Dari sana melanjutkan
perjalanan ke Cirebon,” kata Dyah Ayu Sekarmenur.
“Hem, Dinda Sekarmenur memang penata ruangan hebat. Jika melihat
ranjang tempat tidur begini, aku tiba-tiba ingin cepat-cepat tidur,” kata
Kamandaka yang cerdik itu, berusaha menghentikan diskusi istrinya dengan
Sekarmenur yang sedang asyik membicarakan Kota Cirebon.
“Oh, kalau begitu selamat malam, Kanda Kamandaka. Semoga mimpi
indah bersama Ayunda Dewi,” kata Sekarmenur yang cepat tanggap sambil
tersenyum.
Sebelum meninggalkan kamar, Sekarmenur sempat menggoda Sang Dewi
dengan meninggalkan pesan yang membuat Sang Dewi tersenyum. “Ayunda Dewi, ayo
temani Kanda Kamandaka, kasihan sudah mengantuk,” kata Sekarmenur dengan
perasaan puas karena merasa telah memberikan pelayanan yang paling baik.
Dia langsung menghilang di balik pintu. Sekarmenur segera
mengecek kamar mandi yang ada di ruang dapur, ruangan paling belakang. Di sana
ada 6 kamar mandi ukuran sedang, bak-bak mandinya penuh terisi air. Para tamu
selain Sang Dewi dan Kamandaka, memang kalau mau mandi harus menuju kamar mandi
yang ada di ruang paling belakang. Lampu gantung dari minyak buatan China
berpendaran menerangi seluruh ruangan yang ada.
Sementara itu Sang Dewi yang ada di dalam kamarnya segera
membongkar koper pakaian, menatanya di dalam lemari, kemudian mengambil pakaian
tidur untuk dirinya dan suaminya, lalu menyiapkan handuk dan perlengkapan
mandi. Tas berisi peralatan rias ditaruhnya di depan meja rias. Sang Dewi
segera menghambur ke kamar mandi. Sekalipun tanpa air hangat, mandi di
tengah-tengah udara pantai Nusakambangan yang kering karena masih musim
kemarau, bagi Sang Dewi malah terasa sejuk dan menyegarkan badan. Selesai mandi
Sang Dewi mengenakan pakaian tidur dari sutera halus dan wewangian pengharum
badan. Lalu dibawakannya handuk, alas kaki, dan pakaian tidur untuk suaminya.
Sang Dewi tersenyum melihat Kamandaka begitu saja membaringkan
tubuhnya di atas ranjang tempat tidur, tanpa melepas baju yang masih dipakainya
sejak berangkat dari Kaliwedi pagi tadi. Sang Suami tampak tertidur pulas,
mungkin merasa lelah setelah menempuh perjalanan seharian. Diciumnya pipi
suaminya sambil pelan-pelan berbisik.
“Kanda, mandi dulu, baru tidur. Nih, handuk, alas kaki, dan
pakaian tidur. Perlengkapan mandi pembersih dan pengharum badan ada di kamar
mandi.”
Kamandaka yang hampir terlelap tidur, terkejut ketika pipinya
terasa dingin, karena ada bibir lembut yang menempel di pipinya. Kamandaka
pelan-pelan membuka matanya. Rasa nikmat di pipinya tiba-tiba cepat menghilang,
karena Sang Dewi cepat-cepat menarik bibirnya.
“Mandi dulu Kanda, nanti baru tidur. Biar keringat, debu
perjalanan, dan asin air laut hilang,” kata Istrinya. Sang Dewi membantu
melepas kancing baju Kamandaka bagian atas. Kamandaka segera bangkit bergegas
menuju kamar mandi untuk membersihkan badan. Ketika terdengar kecipak air di
dalam kamar mandi, Sang Dewi duduk di depan meja rias. Asyik merias dirinya di
depan cermin hias.
Malam terus merangkak bersamaan dengan munculnya bintang-bintang
baru di langit. Semua tamu rombongan di rumah itu sudah tertidur lelap, setelah
selesai mandi membersihkan badan. Sejumlah lampu gantung telah dipadamkan.
Hanya sebagian kecil saja yang dibiarkan menyala. Di atas ranjang di kamar
tidurnya, Kamandaka memeluk Sang Dewi sambil membisikkan sesuatu. Sang Dewi
tidak bereaksi hanya membalasnya dengan pelukan pula. Samar-samar bunyi deburan
ombak Lautan Selatan yang menghempas karang, terdengar masuk ke kamar Sang Dewi
dan Kamandaka. Semakin malam semakin jelas terdengar suara ombak.
“Nyaman juga ranjang ini, Diajeng. Tidak kalah dengan ranjang di
rumah Nyai Kertisara di Kaliwedi. Juga tidak kalah nyaman dengan ranjang
pengantin di Puri Permatabiru,” bisik Kamandaka.
“Menurut aku, lebih nyaman di sini. Ada bunyi deburan ombak yang
terdengar sampai ke sini. Bagaikan musik malam pengantar tidur,” kata Sang
Dewi. Kamandaka kembali membisikkan sesuatu ke telinga Sang Dewi, mengulangi
bisikan pertama. Sang Dewi dipeluknya kembali. Sang Dewi membalas pelukan
Kamandaka, tetapi tetap tak memberikan reaksi.
“Kanda Kamandaka, jangan malam ini,” akhirnya Sang Dewi
membalasnya dengan membisikkan sesuatu. “Lihatlah melalui jendela, akan tampak
bulan bersinar bagaikan kandil raksasa tergantung di langit sebelah timur. Aku
khawatir ruh Sang Raja dengan Sang Permaisuri, karena iri kepada kita akan
mengganggu kita. Ketika bulan tampak cemerlang seperti itu, biarkan hanya Sang
Raja dan Sang Permaisuri yang boleh bermain asmara di kawasan ini dengan cara
mereka sendiri. Nanti saja kalau sudah sampai di Puri Permatabiru. Bukankah
tadi malam sudah, sewaktu menginap di rumah Nyai Kertisara di Kaliwedi?” kata
Sang Dewi mengingatkan.
Kamandaka tersenyum, ingat kejadian tadi pagi. Rombongan yang
akan mengantarkan Sang Dewi menikmati bulan madu itu berangkat dari Kadipaten
Pasirluhur pada siang hari. Rombongan menuju rumah Nyai Kertisara di Kaliwedi
lebih dulu. Lalu bermalam di sana agar bisa berangkat pagi-pagi. Ternyata Sang Dewi
dan Kamandaka paginya bangun agak kesiangan di kamarnya yang telah disulap oleh
Nyai Kertisara menjadi kamar pengantin yang sangat mewah. Bahkan Kamandaka
hampir tidak mau bangun, karena dia lupa mengira sedang berada di Puri
Permatabiru. Hampir saja istrinya itu tidak boleh bangun, karena Kamandaka
masih senang memeluknya dan masih mau meneruskan permainan cintanya.
Kamandaka memang memiliki satu kamar istimewa di rumah Nyai
Kertisara yang dulu dibangun mirip kamar kediaman Sang Dewi di Taman Kaputren. Nyai Kertisara
telah membayar mahal seorang ahli penata kamar pengantin yang didatangkan dari
Karanglewas yang telah dikontrak oleh Kanjeng Ayu Adipati Kandhadaha. Dia
diminta oleh Nyai Kertisara menata kamar Kamandaka itu menjadi kamar pengantin
yang sama dengan kamar pengantin Sang Dewi di Puri Permatabiru.
“Kalau begitu, pulangnya kita menginap semalam lagi di rumah
Nyai Kertisara, tidak keberatan kan Diajeng?” bujuk Kamandaka.
“Aku kan istri Kanda. Jika Kanda pada waktu pulang ingin
bermalam kembali di Kaliwedi, aku pasti akan mengikuti kehendak Kanda,” kata
Sang Dewi mencoba menghibur suaminya agar tidak sakit hati, karena Sang Dewi
menolak keinginan Kamandaka untuk bermain cinta malam itu .
“Kalau di sini, aku hanya khawatir pada keselamatan Kanda.
Banyak kejadian karena sepasang suami istri melakukan lambangsari di
tempat-tempat terlarang atau pun di waktu-waktu terlarang. Akhirnya mereka
mendapat kutukan dari alam semesta.”
“Apa saja larangan dan kutukan itu?” tanya Kamandaka.
“Misalnya, sepasang pengantin baru dilarang berhubungan badan di
makam atau di kuburan. Kutukannya yaitu keduanya tidak akan dapat melepaskan
diri. Akibatnya bisa fatal dan bisa berujung pada kematian,” kata Sang Dewi menjelaskan.
“Mengerikan juga,” kata Kamandaka menanggapi dengan nada cemas.
“Ya, dan ada lagi. Misalnya, sepasang pengantin baru juga
dilarang melakukan permainan cinta dan lambangsari pada waktu pergantian dari
siang ke malam hari, yaitu waktu yang disebut dengan candik kala. Kutukanya
kedua-duanya bisa menjadi mandul. Dan yang paling menyakitkan ke dua-duanya
bisa langsung kehilangan energi vitalitas selamanya, sehingga mereka berdua
tidak akan bisa bermain asmara seumur hidup,” kata Sang Dewi.
“Tapi bukankah kelak Diajeng akan bisa menyembuhkannya, bila sudah
mendapatkan pusaka bunga sakti Wijayakusuma?” tanya Kamandaka.
“Ssst. Jangan bicarakan itu dulu,” kata Sang Dewi mengingatkan.
Kamandaka merasa takut juga. Terbayang di benaknya wajah Sang
Raja Pulebahas yang sempat dijemputnya dari atas tandu dulu. Ketika itu dirinya
berperan sebagai Uwak Lengser. Kamandaka tiba-tiba menyembunyikan wajahnya ke
dada istrinya, sambil berbisik supaya dipeluk. Sebentar kemudian Kamandaka
sudah terlelap tertidur dalam pelukan istri tercintanya. Sang Dewi tersenyum,
membiarkan wajah suaminya itu menghangati kedua bukit kembar yang menghiasi
dadanya. Sang Dewi pun segera menyusul, terlelap dalam mimpi indah.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar