Tetapi, apakah karena Wirapati juga seorang panglima perang dan memiliki
tradisi keprajuritan seperti dirinya, sehingga
hubungan yang ada terasa kurang mesra bahkan terkesan terlalu formal? Jika
memikirkan itu semua, Sekarmenur sering merasa sedih. Apalagi dia merasa sudah
lama kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Pikiran-pikiran yang
demikian, akhir-akhir ini sering mengganggunya.
Sindiran dan
olok-olok Silihwara pada rapat tadi pagi pada Wirapati, seakan-akan Wirapati
kurang memperhatikan dirinya, dalam pandangan Sekarmenur sepenuhnya benar.
Sekalipun Wirapati mengatakan lupa. Dan hal itu berarti dilakukan secara tidak
sengaja. Namun sikap demikian itu bagi Sekarmenur menunjukkan pribadi Wirapati
yang belum sepenuhnya mencintai dirinya. Bahkan kini, sekalipun dalam keadaan
sepi, karena Mayangsari, Ratna Pamekas dengan kedua adiknya sedang pergi
berbelanja ke Pasar Karanglewas menemani Khandegwilis, toh Wirapati tidak berani masuk ke dalam kamar. Padahal dia
akan senang sekali jika Wirapati masuk dan menemaninya dirinya yang sedang
menulis surat di atas meja tulis Sang Dewi. Wirapati lebih suka duduk melamun
di teras luar menunggu surat yang sedang ditulisnya. Diam-diam Sekarmenur agak
kesal juga.
Selesai
Sekarmenur menulis, surat segera dilipatnya, dan dimasukkannya ke dalam sampul
surat. Dengan perasaan agak jengkel dipanggilnya Wirapati. “Kanda, masuk !”
Sekarmenur memberi perintah dengan kata-kata yang tegas kepada Wirapati yang
sedang duduk di teras luar. Tiba-tiba kebiasaan Sekarmenur selaku mantan
komandan pasukan wanita Kerajaan Nusakambangan muncul.
Sekarmenur duduk
di atas kursi menghadap meja tulis, menatap tajam wajah Wirapati yang berdiri
di depannya terhalang meja tulis. Wirapati menatap wajah Sekarmenur sebentar,
kemudin menunduk. Sikap Wirapati yang demikian itu membuat darah Sekarmenur
naik.
“Kanda Wirapati!
Apakah Kanda tidak bisa melupakan Dyah Ayu Niken Gambirarum?” tuduhnya sambil
tetap menatap wajah Wirapati.
Wirapati sedikit
terkejut, lalu mengangkat wajahnya. “Ada masalah apa, Dinda?“ tanya Wirapati bingung bercampur heran. Wajahnya tidak
menunjukkan rasa bersalah.
“Aku tanya! Apakah Kanda Wirapati
tidak bisa melupakan Dyah Ayu Niken Gambirarum?”
“Dua malam
berturut-turut aku mimpi didatangi Dyah Ayu Gambirarum…,” jawab Wirapati.
Belum selesai
mengucapkan kata-kata itu, Sekarmenur membanting sampul berisi surat yang baru
ditulisinya ke atas meja. Kemudian berdiri, meninggalkan tempat duduknya.
Sekarmenur lari ke tempat tidur. Lalu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Tak
lama kemudian terdengar isak tangsinya.
Tentu saja
Wirapati jadi bingung dan terkejut. Dia segera mendekati tempat tidur. Sekarmenur
yang sedang tengkurap memeluk guling sambil menangis itu, dipeluknya dari belakang.
“Maafkan aku,
Dinda Sekarmenur. Jika ada kata-kataku menyakiti hati Dinda,” bisik Wirapati
seraya beberapa kali mencium leher dan pipi Sekarmenur. Sesungguhnya itulah
pertama kali Wirapati memiliki keberanian untuk memeluk dan mencium puteri
sulung Adipati Banakeling itu. Bahkan itulah pertama kali, Wirapati memeluk dan
mencium seorang wanita yang dicintainya.
“Dinda salah
paham. Aku belum selesai bicara,” kata Wirapati. Kembali diciumnnya gadis
cantik berkulit kuning yang tengah dipeluknya itu.
Setelah
bertubi-tubi dihujani ciuman, pelan-pelan isak tangis Sekarmenur menghilang.
Air matanya yang bening masih meleleh membasahi bantal dan guling yang
dipeluknya. Hanya air mata yang menetes dari sudut-sudut pelupuk matanya itu,
kini berubah menjadi air mata kebahagiaan. Entah sudah berapa tahun, dia belum
pernah merasakan lagi sebuah pelukan kasih sayang yang pernah diberikan ayah
dan ibundanya. Pelukan kasih sayang ayah dan ibunya telah lenyap dari sisinya
ketika musibah yang mengerikan itu menimpa seluruh keluarganya. Kini Sekarmenur
merasakan pelukan kasih sayang yang telah lama hilang itu, hadir kembali. Hadir
kembali karena dihadirkan oleh Wirapati. Sekarmenur, berharap Wirapati
benar-benar tulus mencintai dirinya.
“Dinda
Sekarmenur, dengarkan baik-baik kataku,” kata Wirapati, sambil kembali mencium
lembut pipi kekasihnya itu. ”Aku mimpi Dyah Ayu Niken Gambirarum mendatangi aku
didampingi Raja Pulebahas. Seakan-akan Dyah Ayu Niken Gambirarum akan
mengatakan kepadaku, agar agar melupakan dia dan agar aku secepatnya menjadikan
Dinda Sekarmenur, istriku,” kata Wirapati jujur.
“Apakah Kanda
masih suka mengingat-ingat Dyah Ayu Niken Gambirarum?” tanya Sekarmenur setelah
isak tangisnya menghilang.
“Sejak Dinda
menerima cintaku dan kita sepakat melanjutkan hubungan kita ke arah yang lebih serius,
yakni membangun mahligai rumah tangga,
sejak itulah aku sudah melupakannya sama sekali. Hanya Dinda Sekarmenur yang
senantiasa bersemayam di hatiku,” kata Wirapati.
“Sungguh agak
mengherankan,” Wirapati melanjutkan, “akhir-akhir ini dia sering muncul dalam
mimpiku. Tetapi tidak pernah sendirian, selalu berdua dengan Raja Pulebahas.
Aku sebenarnya sudah tahu, mereka sudah menjadi sepasang suami istri di alam
sana. Hanya tampaknya ruh mereka masih kesulitan menemukan jalan untuk mencapai
moksa. Mungkin Pendeta Muda atau Kanda Kamandaka bisa menjelaskan mimpi aneh
itu.”
Sekarmenur
membalikkan badannya setelah Wirapati melepaskan pelukannya. Mereka berdua
duduk berdampingan di atas ranjang. Sekarmenur sudah mampu menguasai
perasaannya kembali. Kini perasaan senang dan bahagia menggelayuti seluruh
tubuhnya.
“Aku sebenarnya
menyimpan dua benda pusaka Sang Raja Pulebahas. Yang pertama adalah stoples
berisi kembang Wijayakusuma yang direndam dalam cairan air tape dimurnikan.
Pusaka kedua adalah guci porselin kecil berisi kapas darah perawan suci Dyah
Ayu Niken Gambirarum yang kalau dibuka memiliki aroma harum abadi,” kata Dyah
Sekarmenur sambil menjatuhkan kepalanya ke dada kanan Wirapati yang duduk di
samping kirinya. Wirapati melingkarkan tangan kanannya di atas bahu Sekarmenur
yang sedang bermanja-manja kepadanya sambil terus menceriterakan kedua pusaka
warisan Raja Pulebahas itu.
“Aku sebenarnya menyimpan dua benda pusaka Sang Raja Pulebahas. Yang pertama adalah stoples berisi kembang Wijayakusuma yang direndam dalam cairan air tape dimurnikan. Pusaka kedua adalah guci porselin kecil berisi kapas darah perawan suci Dyah Ayu Niken Gambirarum yang kalau dibuka memiliki aroma harum abadi,” kata Dyah Sekarmenur sambil menjatuhkan kepalanya ke dada kanan Wirapati yang duduk di samping kirinya. Wirapati melingkarkan tangan kanannya di atas bahu Sekarmenur yang sedang bermanja-manja kepadanya sambil terus menceriterakan kedua pusaka warisan Raja Pulebahas itu.
“Ada beban berat
pada diriku, karena aku merasa bukan ahli waris mereka berdua. Sempat terpikir
untuk melarung saja kedua pusaka itu bersama abu jasad Sang Raja yang telah
selesai diperabukan di muara Sungai Ciserayu. Tetapi tiba-tiba dalam kondisi
bingung itu, malam harinya aku bermimpi. Sang Raja Pulebahas memberikan bisikan
gaib kepadaku dengan nada setengah memohon. Aku masih ingat, Sang Raja
mendatangi aku dengan wajah duka didampingi Dyah Ayu Niken Gambirarum yang
memang sudah jadi Permaisuri Sang Raja.”
“Apa isi bisikan
Raja Pulebahas, Dinda?” tanya Silihwarna.
“Sang Raja
berpesan agar pusaka berupa stoples berisi bunga Wijayakusuma diserahkan kepada
Ayunda Dewi, yang dulu gagal diperistrinya. Pesan berikutnya agar guci porselin
dengan isinya bisa dikuburkan di tanah kelahiran Dyah Ayu Niken Gambirarum.
Kanda lebih tahu, dimana tempat kelahiran Dyah Ayu Niken Gambirarum?” tanya
Sekarmenur.
“Di Kalipucang.
Dia kan putri Adipati Kalipucang sebelum kadipaten itu dibumihanguskan Kerajaan
Nusakambangan,” jawab Wirapati sambil mencium bibir lembut Sekarmenur yang
membuat Sekarmenur merasa senang.
“Kita harus
secepatnya memberitahu Ayunda Dewi dan Kanda Kamandaka mengenai kedua pusaka
itu. Lalu langkah-langkah apakah yang harus diambil untuk melaksanakan pesan Raja
Pulebahas dalam mimpiku itu?” kata Sekarmenur yang telah menyadari bahwa mereka
ternyata sering mengalami mimpi dalam waktu yang bersamaan. Didatangi Raja
Pulebahas dan istrinya, Dyah Ayu Niken Gambirarum.
“Selama pesan
dalam mimpi belum dilaksanakan, bisa jadi ruh keduanya masih tersandera di
dekat kedua benda pusaka itu. Dimana kedua benda pusaka itu disimpan?” tanya
Wirapati.
“Di lemari hias dalam kamar peraduan
Sang Raja Pulebahas. Hanya aku yang bisa masuk ke dalamnnya karena kunci kamar
aku yang menyimpannya,” jawab Sekarmenur.
Tiba-tiba mereka
berdua mendengar langkah-langkah adik-adiknya yang baru pulang dari Pasar Karanglewas.
Mereka telah tiba kembali. Terdengar langkah-langkah mereka makin lama makin
dekat. Juga suara canda dan tawa di antara mereka. Khandegwilis, Mayangsari,
Ratna Pamekas, Sekarmelati, dan Sekarcempaka.
Wirapati cepat
berdiri meninggalkan ranjang tempat tidur. Demikian pula Sekarmenur, cepat
merapihkan rambutnya dan pakaiannya, menghapus sisa-sisa air mata yang sempat
membasahi pelupuk matanya. Dengan cekatan Sekarmenur kembali ke meja tulis
memungut dan merapikan sampul berisi surat yang tadi dibantingnya. Lalu
keduanya keluar kamar, dan duduk-duduk di teras depan kamar, seakan-akan sedang
menanti kedatangan adik-adiknya itu.
“Eee, Ndara
Wirapati dan Ndara Sekarmenur. Sudah lama? Kasihan tidak ada yang membuatkan
minum. Biyung Emban baru saja pulang dari Pasar Karanglewas. Ini mengantarkan
Ndara-Ndara yang cantik-cantik ini,” kata Khandegwilis kepada Wirapati dan
Sekarmenur, sambil menunjuk gadis-gadis cantik adik-adiknya itu. Mereka semua
akhirnya duduk di teras Taman Kaputren, melepas lelah.
Sekarmelati
segera membagikan bungkusan makanan kueh jajan pasar yang baru saja dibeli dari
Pasar Karanglewas. ”Menemani Emban Khandegwilis yang berbelanja bumbu-bumbu
keperluan dapur,” kata Sekarmelati.
“Ada yang
mengawal, Ndara. Itu Pendeta Muda,” kata Emban Khandegwilis seakan-akan
memberikan laporan kepada Wirapati. “Pendeta Muda mengawal kita semua. Sambil
jalan-jalan, demikian kata Pendeta Muda. Dia yang memborong kueh-kueh itu.
Katanya di Pakuan Pajajaran tidak ada,” kata Khandegwilis.
“Oh, Pendeta Muda
ikut? Kemana sekarang? Tadi kelihatannya ikut rapat di Pendapa. Pantas
tahu-tahu sudah menghilang. Berani juga Pendeta Muda mengawal sendirian empat
gadis sekaligus!” kata Wirapati sambil tertawa. Emban Khandegwilis dan keempat
gadis cantik itu pun ikut tertawa. Pendeta Muda Amenglayaran langsung menuju
Pendapa setelah pulang dari Pasar Karanglewas.
“Tidak ada
Kanjeng Ayu Adipati rasanya sepi. Sebab biasanya Kaneng Ayu Adipati yang suka
bikin heboh bila berkumpul ramai-ramai seperti ini,” kata Khandegwilis.
“Biyung Emban,
jangan ganggu Ayunda Dewi, ya. Dia dengan suaminya sedang bertapa,” kata
Mayangsari pura-pura mengingatkan Khandegwilis yang ditugasi mengurus semua
keperluan Sang Dewi yang sedang istirahat total di Puri Permatabiru.
“Mana berani
Biyung Emban mengganggu Kanjeng Ayu Adipati yang sedang menikmati masa-masa
pengantin baru? Tadi pagi Biyung Emban masuk ke dalam puri membawakan makanan
kecil dan sarapan pagi.”
“Sedang apa
Ayunda Dewi?” tanya Mayangsari.
“Kalau biasanya
pagi-pagi benar, Kanjeng Ayu Adipati sudah bangun dan duduk di depan meja rias.
Tapi tadi pagi ketika Biyung Emban masuk pelan-pelan, Kanjeng Ayu Adipati masih
di atas ranjang pengantin.”
“Tahu tidak kalau
Biyung Emban masuk?” tanya Mayangsari pula.
“Ya tahu, soalnya
Kanjeng Ayu Adipati dari balik kelambu ranjang pengantin berwarna biru muda
itu, pesan agar Biyung Emban tidak lupa membawa pakaian Kanjeng Ayu Adipati dan
Kanjeng Adipati yang telah kotor untuk dicuci.”
“Kapan Emban
Khandegwilis akan ke sana lagi?”
“Tentu sebentar
lagi, mengantarkan makanan dan minuman untuk santap siang.”
“Ayunda Dewi
masih di ranjang pengantin tidak, ya?” tanya Mayangsari.
“Ah, mana Biyung
Emban tahu? Ndara Mayangsari penasaran ingin tahu saja. Sebulan lagi kan Ndara
Mayangsari akan mengikuti jejak Kanjeng Ayu Adipati. Benar bukan? Hehehe…,“
Khandegwilis berkata sambil tertawa.
Mayangsari
tersenyum dengan wajah agak tersipu-sipu karena kakak-kakaknya dan adik-adiknya
ikut tertawa. Emban Khadeg Wilis buru-buru meninggalkan mereka mencari bujang yang
akan disuruh menyediakan minuman untuk mereka yang tengah berbincang-bincang di
teras Taman Kaputren.
Wirapati segera
meninggalkan Taman Kaputren sambil membawa surat yang telah dibuat Sekarmenur,
ketika matahari sudah hampir mencapai puncak langit biru bersih dengan sejumlah
gumpalan awan putih. Tiba di Pendapa Wirapati menyerahkan surat yang dibuat
Sekarmenur kepada Tumenggung Maresi. Sekalipun rapat sudah ditutup, mereka
masih berkumpul memperbincangkan persiapan pemberangkatan rombongan yang akan
mengikuti bulan madu Sang Dewi dan Kamandaka ke Nusakambangan.
Tumenggung Maresi
cepat-cepat menyerahkan surat dari Wirapati kepada empat orang kurir yang sudah
siap dengan dua ekor kudanya. Siang itu juga setelah diberi sejumlah bekal oleh
Tumenggung Maresi, keempat kurir memacu kudanya meninggalkan Pendapa Kadipaten
Pasirluhur. Mereka berempat naik dua kuda, menuju Nusakambangan.(bersambung)